Permasalahan Mudik Fisik dan Non-Fisik
inpasonline.com, 28 Agustus 2010
Belum lagi jika dihitung besar biaya yang harus mereka bayar demi menunaikan tradisi mudik ini. Seorang sopir pribadi yang diwawancarai Harian Kompas mengaku harus mengeluarkan dana sebesar 3 juta untuk mudik dan balik, padahal gajinya jauh di bawah biaya itu. Anehnya, biaya sebanyak itu sebagian besar ia habiskan untuk biaya transport sekeluarga dan selebihnya untuk jajan di perjalanan dan biaya hidup di kampung halaman. Tentu masih banyak orang-orang yang bernasib seperti sopir pribadi tersebut.
Besarnya biaya transport mudik lebaran sudah sangat sering dibicarakan publik. Hampir semua sepakat bahwa penyebab besarnya biaya transport karena beberapa angkutan umum mengambil kesempatan dalam kesempitan. Beberapa para pengusaha jasa angkutan misalnya memanfaatkan kesempatan mudik lebaran ini dengan seenaknya menaikkan tarif berlipat-lipat. Yang lebih rumit lagi jika tiket sudah dipegang oleh para calo, mereka tidak segan-segan memeras calon pemudik dengan harga di luar jangkauan akal sehat. Tidak heran jika sebagian pemudik lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, baik motor atau mobil, meskipun kadang dengan biaya lebih mahal. Hal itu tetap dipilih untuk mengurangi resiko berdesak-desakan dan tindakan sewenang-wenang dari para pengusaha jasa angkutan umum.
Kenyataan tersebut tidak serta merta menyelesaikan masalah, dengan semakin bertambahnya kendaraan pribadi yang dipakai untuk mudik maka kemacetan tidak bisa dihindari. Dalam Harian Kompas (27/8) seorang calon pemudik mengaku waktu tempuh Jakarta – Gunung Kidul normalnya hanya 12-15 jam, tapi pada saat puncak arus mudik bisa molor menjadi 24 jam. Bahkan calon pemudik itu mengaku pernah terjebak macet di jalan hingga tiga hari tiga malam karena jalannya rusak.
Belum lagi ramainya kendaraan di jalanan juga berpotensi terjadinya kecelakaan lalu lintas. Penyebabnya memang bisa beragam, kadang karena ugal-ugalan, jalan rusak, kendaraan rusak, atau bahkan ditabrak kendaraan lain. Dari informasi media kita bisa menyaksikan kecelakaan demi kecelakaan terjadi tiap tahunnya selama berlangsungnya arus mudik lebaran ini. Kepolisian Negara Republik Indonesia mencatat, jumlah pemudik yang meninggal dunia tahun 2007 mencapai 798 orang. Jumlah itu membengkak menjadi 1.092 orang pada tahun 2008 dan 702 orang pada tahun 2009. Haruskah angka-angka kecelakaan maut itu tetap seperti itu bersamaan dengan berlangsungnya “tradisi” mudik ini?
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas adalah permasalahan yang bersifat fisik, artinya permasalahan tersebut terlihat jelas dengan mata kepala kita sendiri. Hal ini yang lebih dominan bisa berperan mengatasinya adalah pemerintah. Pemerintahlah yang bisa memberikan solusi permasalahan keruwetan saat-saat para pemudik membeli tiket dan permasalahan calo. Begitu pula pemerintah punya andil besar menyelesaikan permasalahan desak-desakan pemudik dalam angkutan umum. Mungkin penyediaan angkutan massal yang aman dan murah bisa menjadi salah satu solusinya. Pemerintah juga bisa mendorong terhadap instansi atau perusahaan untuk menyediakan angkutan mudik bagi para pegawai dan karyawannya. Termasuk pula bagi kampus-kampus juga diminta menyediakan angkutan massal untuk mengangkut mahasiswa dan karyawannya selama mudik dan balik. Termasuk pula pemerintah juga bisa menyiapkan jalan-jalan agar aman dilalui para pemudik.
Ada permasalahan lain, selain permasalahan fisik di atas, yang juga mempunyai pengaruh terhadap kegiatan mudik tersebut, yaitu permasalahan yang saya istilahkan sebagai permasalahan non-fisik. Permasalahan ini juga mempunyai dampak yang juga tidak kecil terhadap pelaku mudik dan orang lain. Disebut permasalahan non fisik, karena masalah ini datangnya dari intern pelaku mudik sendiri, khususnya yang terkait dengan tujuan mereka mudik. Salah satu tujuan mudik sebagian orang adalah dalam rangka pamer kekayaan kepada masyarakat kampung halamannya. Permasalahan ini sebenarnya manusiawi, tapi jika ini tidak terkontrol maka akan menimbulkan permasalahan yang ruwet.
Sebagian pemudik misalnya, merasa gengsi jika pulang kampung tidak membawa uang yang banyak. Hal itu akan menjadikannya berusaha dengan segala cara yang penting mendapatkan uang banyak. Orang seperti ini biasanya tidak akan memperdulikan puasanya, alias tidak berpuasa, bahkan tidak akan perduli dengan halam atau haram cara yang ditempuhnya. Kerawanan sosial yang terjadi ketika mendekati masa-masa mudik kemungkinan bisa dipicu oleh masalah ini. Terjadinya perampokan yang sangat marak akhir-akhir ini tentu juga tidak bisa dilepaskan dari permasalahan ini. Dan sudah bukan rahasia lagi, ketika menjelang waktu mudik lebaran orang sama-sama waspada karena barang-barangnya sangat rawan dicuri atau dirampok orang lain.
Permasalahan ini perlu mendapatkan penanganan yang serius juga, khususnya kepada tokoh-tokoh masyarakat, agar mempengaruhi masyarakat bagaimana seharusnya menyikapi mudik. Ancaman terhadap orang pamer kekayaan dan mengambil hak-hak orang lain yang bersumber dari agama, juga bisa dijadikan bahan memperingati masyarakat. Termasuk ancaman hukuman penjara atau lainnya bagi pelaku tindakan kriminal juga menjadi sarana efektif agar masyarakat sadar hukum. Tentu tidak hanya pada tokoh masyarakat, media pun juga harus ikut andil dalam mempengaruhi masyarakat terhadap masalah tersebut. Dan yang terpenting pula, bagi perusahaan atau instansi juga terlibat memberantas masalah kerawanan sosial ini dengan cara memberikan bekal THR yang cukup bagi karyawannya. Karena pencegahan terhadap kriminal tidak bisa hanya dengan hukum, tetapi usaha pencegahan dengan penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan tindakan kriminal itulah justru yang sangat efektif mencegahnya.