Pemuda, Bahasa, dan Peradaban Mulia

 

Oleh M. Anwar Djaelani

membaca1Berbahagialah pemuda Indonesia. Mereka punya hari besar, yaitu Hari Sumpah Pemuda. Sayang, satu di antara ketiga sumpah pada 1928 itu –yaitu ikrar untuk menjunjung bahasa Indonesia- kini tak begitu mewujud. Tentu saja, hal ini sangat mencemaskan.

Peran dan Nasib

      Di zaman pergerakan mewujudkan Indonesia merdeka, peran bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu perjuangan jelas tak dapat disangkal. Lewat Sumpah Pemuda, semangat dari berbagai kekuatan bangsa –tak hanya pemuda saja- kian bergelora untuk merdeka.

Memang, pada 28 Oktober 1928 pemuda-pemudi Indonesia berikrar tentang tiga hal. Para pemuda menyatakan bahwa mereka sebangsa, se-tanah air, dan sebahasa. Khusus yang disebut terakhir, lengkapnya adalah bahwa pemuda-pemudi “Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Di masa sekarang, tampak tak ada persoalan dengan materi sumpah untuk berbangsa dan bertanah-air yang satu. Tapi, untuk sumpah ketiga, kita mesti prihatin. Lihatlah, sikap pemuda di keseharian mereka dalam berbahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan. Ternyata, semangat mereka rendah dalam menjunjung bahasa Indonesia.

Cermatilah bahasa para pemuda. Maka, akan segera tampak bahwa sumpah yang selalu mereka ulang-ulang setiap tahun di Hari Sumpah Pemuda sama sekali tak masuk ke jiwanya. Tanda-tandanya, sangat mudah dilihat yaitu di saat mereka berbicara. Dalam menyusun kalimat mereka tampak kedodoran di saat memilih kata atau frase.

Lihatlah Vicky Prasetya. Lelaki berusia 29 tahun –masih bisa digolongkan sebagai pemuda- terkenal di sekitar September 2013. Dia terkenal karena mampu memroduksi aneka kata atau frase ajaib dan sekaligus memakainya secara ganjil dalam serangkaian kalimat yang membuat banyak orang terkesima karena tak mengerti apa maksudnya.

Misal, Vicky pernah berkata: “Di usiaku ini, twenty nine my age, aku masih merindukan apresiasi karena basically, aku senang musik, walaupun kontroversi hati aku lebih menyudutkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih ya.” Atau kalimat ini: “Dengan adanya hubungan ini, bukan mempertakut, bukan mempersuram statusisasi kemakmuran keluarga dia, tapi menjadi confident.”

Atas Vicky-isme alias ‘Bahasa Vicky’ tersebut banyak yang setuju bahwa hal itu sesungguhnya mewakili rata-rata kita (termasuk pemuda) dalam berbahasa Indonesia yaitu serampangan dalam memilih kata atau frase dan dalam menyusun kalimat. Artinya, Vicky tak sendirian dalam memraktikkan bahasa yang kacau.

Lihatlah mutu bahasa Indonesia para pemuda dalam berkirim SMS (pesan pendek). Perhatikanlah kualitas bahasa Indonesia mereka lewat berbagai tulisannya di media sosial (semisal di facebook). Cermatilah mutu bahasa Indonesia mereka di berbagai tayangan sinetron. Dari sana kita akan mudah mendapatkan kata-kata tak baku seperti ‘biarin’, ‘ngurusin’, ‘ngapain’, ‘enggak’, ‘emang’, ‘gini’, ‘aja’, dan kata-kata lain yang sejenis dengan itu.

Para pemuda juga memerparah kualitas berbahasa mereka yaitu di saat mereka secara tanpa alasan mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Para pemuda sama sekali merasa ‘tak berdosa’ di saat mereka dengan fasih menyelipkan kata-kata ‘sorry’, ‘and’, ‘or’, ‘thank you’, dan yang sejenis dengan itu dalam kalimat-kalimatnya.

Atas keadaan yang tak sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda ini, siapa yang harus bertanggung-jawab? Tentu saja, yang harus mawas diri adalah semua kalangan dan tak hanya pemuda saja. Bukankah dalam kehidupan ini faktor saling memengaruhi adalah sesuatu yang tak bisa kita hindari? Terlebih di negeri ini yang budaya ‘meniru pemimpin’-nya masih sangat kuat.

Semua harus menyesal, terutama (para) pemimpin. Sangat mungkin dari pemimpin-lah pemuda kita belajar berbahasa. Di sekolah mereka memang diajari untuk taat pada EYD (ejaan yang disempurnakan). Tapi apa yang bisa diharapkan dengan belajar bahasa Indonesia di sekolah yang jam belajarnya terbatas, sementara di luar kelas ‘jam belajar’-nya tak terbatas?

Tentang situasi yang disebut terakhir itu, bacalah artikel Charmelya Maretha berjudul “Mencermati EYD alias Ejaan Yudhoyono” di Jawa Pos 23/10/2013. Charmelya mencatat banyak kalimat aneh Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Misal, di saat bicara subsidi BBM, SBY bilang: “Saya juga banyak menghabiskan waktu untuk talk direct to the people…”. Lalu, ketika mengomentari unjuk rasa, SBY mengatakan, “I know beban rakyat,…”.

Jika cara SBY dalam berbahasa seperti itu, salahkah para pemuda yang juga serampangan? Jika dalam berbahasa sempat ada istilah Vicky-isme, maka –agar adil- bisa pula kita sebut ada SBY-isme.

Jangan Khianat

Sepintas, secara langsung penggunaan bahasa Indonesia tak berhubungan dengan kepentingan Islam. Tapi, sebagai bahasa pengantar ilmu pengetahuan di sebuah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, maka penguasaan atas bahasa Indonesia sangatlah strategis.

Bahasa Indonesia harus kita kuasai dengan baik sebab hal itu sangat bermanfaat di saat kita berdakwah, baik dengan lisan ataupun tulisan. Kita yakin, mutu dakwah dipengaruhi oleh sejumlah hal termasuk penguasaan kita atas bahasa Indonesia. Maka, di titik inilah, pemimpin diharapkan memberi teladan dalam berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Terkait ini, pemimpin bisa bersedekah dengan cara memberi teladan yaitu selalu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bukankah semua perbuatan baik adalah sedekah? Begitu juga,“Berkata yang baik itu adalah sedekah” (HR Bukhari dan Muslim).

Sungguh, kita harus berbenah. Bahasa Indonesia adalah jatidiri bangsa. Bahasa Indonesia bisa menjadi pengantar agar kita berperadaban mulia. Untuk itu, setelah (para) pemimpin memberi teladan dalam berbahasa yang baik dan benar, maka para pemuda harus bisa mengikutinya. Pemuda jangan merasa tak pandai bergaul jika dalam kesehariannya selalu berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Bahkan, mungkin ada baiknya jika kita justru merasa berkhianat kepada Sumpah Pemuda di saat berbahasa secara serampangan.

Ayolah, junjung bahasa Indonesia. Berbahasa Indonesia secara baik dan benar di semua kesempatanan –terutama di saat berdakwah- insyaAllah akan bisa mengantarkan kita kepada sebuah peradaban yang mulia. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *