Oleh M. Anwar Djaelani
Jefry Al-Buchori berpulang pada Jum’at 26/04/2013. Banyak yang merasa kehilangan atas meninggalnya da’i yang baru berumur 40 tahun itu. Jenazahnya dishalati ribuan jamaah di Masjid Istiqlal Jakarta ba’da shalat Jum’at. Di hari-hari berikutnya, ada yang berharap agar segera muncul penggantinya. Siapa Jefry? Seperti apa perjalanan hidupnya?
Rahasia ‘Kelokan’
Fakta di atas menunjukkan, Jefry Al-Buchori (belakangan setelah aktif berdakwah akrab disapa Ustadz Jefry, disingkat Uje) dinilai cukup berhasil dalam berakwah. Memang, setidaknya untuk sebagian orang, kiprah dakwah Jefrry tergolong sukses terutama untuk kalangan muda dan selebriti.
Jefry adalah da’i muda yang ‘bersinar’. Wajah dan suaranya sering menghiasi televisi. Bahasa yang dipakainya mudah dipahami, terutama untuk anak-anak muda. Sejak memulai dakwah sampai dia meninggal, tak ada kontroversi atas kehidupan pribadinya. Hal itu berbeda dengan masa lalunya, yang suram.
Sedari kecil, orang-tua Jefry berusaha memberikan pendidikan Islam yang kuat. Untuk itu -antara lain- dengan menyekolahkannya di pesantren. Sayang, Jefry dikenal sebagai santri yang nakal. Dia pernah kabur dari pesantren, hanya untuk main dan nonton film.
Lalu, Jefry dipindahkan ke Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Di sekolah itu, malah kenakalannya bertambah. Di saat kuliah, waktunya lebih banyak untuk hal-hal lain seperti main bilyar di seberang kampusnya. Alhasil, studinya tak selesai.
Pendek kata, dulunya Jefry itu nakal. Dia pernah menjadi pemakai narkoba. Dia pernah akrab dengan dunia malam dan bahkan pada 1991 menjadi dancer di salah satu club.
Titik balik Jefry –bisa dibilang- terjadi saat dia berumrah bersama ibu dan kakaknya. Dia bertobat. Selepas umrah, dia mendapat amanah dari kakak tertuanya -Abdullah Riyad- untuk melanjutkan dakwah di Jakarta. Hal ini karena si kakak pindah ke Singapura, menjadi Imam Besar di Masjid Haji Mohammad Soleh.
Saat berdakwah kali pertama di sebuah Masjid di Mangga Dua, Jakarta, teks naskah Jefry dituliskan oleh sang istri (wanita asal Semarang dan pernah menjadi ‘gadis sampul’ sebuah majalah remaja). Seusai berceramah, panitia membekalinya dengan ‘uang transport’ yang tak sampai Rp 50 ribu. Rezeki itu langsung diberikan Jefry kepada istrinya seraya berkata sambil terisak-isak: “Inilah rezeki halal pertama yang saya kasih ke kamu.”
Jefry terus melangkah di jalan dakwah. Bahasa penyampaiannya yang mudah dipahami dan kadang diperkaya dengan nasihat yang sebagian terbit karena ‘diilhami’ oleh apa yang pernah dialaminya di masa lalu, menjadikan dakwah Jefry bisa diterima di berbagai kalangan.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, kisah hidup Jefry menambah contoh orang-orang yang berhasil keluar dari masa lalunya yang ‘gelap’ dan menggantinya dengan masa ‘terang’. Memang, asal kita tak putus asa, seberat apapun ujian, insya-Allah akan ada jalan keluar. “Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus-asa dari rahmat Allah’. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Az-Zumar [39]: 53).
Balada ‘Mantan’
Di zaman Nabi Muhammad SAW, setidaknya dua contoh berikut ini akan semakin menguatkan kebenaran ‘seloroh’ di tengah-tengah masyarakat bahwa “Lebih baik menjadi mantan preman –orang nakal, orang ‘rusak’- ketimbang menjadi mantan kiai”.
Contoh pertama, Umar bin Khaththab RA. Umar dijuluki oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Al-Faruq (mampu memisahkan yang haq dengan yang bathil). Bahkan, pernah Nabi SAW bersabda: “Seandainya ada Nabi sesudahku, maka dia adalah Umar bin Khaththab” (HR Tirmidzi dan Ahmad). Tapi, bagaimana masa lalu Umar?
Di masa jahiliyah, Umar pernah mengubur putrinya sendiri hidup-hidup karena ketika itu dianggap aib jika memiliki anak perempuan. Lalu, ketika Nabi SAW menyebarkan Islam secara terbuka di Mekkah, Umar-lah yang bereaksi sangat keras melawannya. Segelintir umat Islam pada saat itu mengakui Umar sebagai lawan yang paling mereka perhitungkan. Hal ini karena Umar mempunyai reputasi bagus sebagai ahli strategi perang dan sekaligus seorang prajurit yang sangat tangguh. Umar juga yang paling sering menggunakan kekuatannya untuk menyiksa pengikut Nabi SAW. Bahkan, pada puncak kebenciannya terhadap Islam, Umar pernah mencoba membunuh Nabi SAW.
Contoh kedua, Abu Sufyan bin Harits RA. Dia saudara sepupu Nabi SAW. Dia pernah disusukan oleh ibu susu Nabi SAW, Halimatus Sa’diyah. Tapi, sekitar 20 tahun dilaluinya dalam kesesatan yaitu memusuhi Islam. Selama itu dia menjadi tulang punggung Quraisy, menggubah syair-syair untuk menjelekkan Nabi SAW. Dia juga selalu mengambil bagian dalam perang melawan Islam.
Hidayah Allah datang. Abu Sufyan bersyahadat di depan Nabi SAW. Mulai detik itu, Abu Sufyan tekun beribadah dan rajin berjihad. Dengan cara itu dia ingin menghapus masa lalunya yang gelap dan mengejar ketertinggalannya selama ini. Di peperangan-peperangan yang terjadi setelah Pembebasan Mekkah, dia selalu ikut bersama Rasulullah SAW. Dia sangat ingin berjuang fi-sabilillah sampai menemui syahid dan jika bisa syahidnya di hadapan Rasulullah SAW. Tapi, Allah berkehendak lain sekalipun peluang untuk itu pernah diperolehnya yaitu di Perang Hunain.
Di kemudian hari Abu Sufyan meninggal dengan ‘cara biasa’ tapi indah, karena seolah-olah dia tahu ajal akan menjemputnya. Kala itu -tiga hari sebelum meninggal- dia menggali liang lahat di Pemakaman Baqi’, tak jauh dari Masjid Nabawi. Ketika ditanya, Abu Sufyan menjawab: “Aku sedang menyiapkan kuburku”.
Jangan Lalai
Kisah orang-orang yang bermasa lalu kelam tapi -dengan hidayah Allah- lalu tampil menjadi pembela Islam sangat banyak. Umar bin Khaththab RA dan Abu Sufyan bin Harits RA adalah sekadar dua contoh yang mudah disebut. Sementara, Jefry –dengan segala kekurangan dan kelebihannya- bukan tak mungkin bisa menjadi contoh pula.
Semua kisah tersebut bisa menjadi pelajaran yang baik bagi kita. Misalnya, janganlah kita pernah lalai untuk terus berdoa: “Yaa Muqallibal Quluub, tsabbit qalbi ‘ala Diinik” – “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu” (HR Ahmad dan at Tirmidzi). []