Oleh: Anwar Djaelani
Inpasonline.com-KH Abdullah bin Nuh turut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dan lalu ikut pula mempertahankannya. Tetapi, lebih dari itu, berbagai aktivitas dakwahnya –terutama lewat Pesantren Al-Ghazali di Bogor- patut untuk kita teladani. Seperti apa sajakah jejak dakwah dia?
Aktif Bergerak
Abdullah bin Nuh lahir pada 30/06/1905 di Cianjur. Ayah dia bernama KH Raden Muhammad Nuh, seorang ulama. Ibunya bernama Nyi Raden Hajjah Aisyah. Di masa kanak-kanak, Abdullah bin Nuh dibawa bermukim di Mekkah selama dua tahun. Sepulang dari Mekkah, dia belajar di Madrasah Al-I’anat At-Thalibin Muslimin yang didirikan ayahnya, di Cianjur.
Abdullah bin Nuh belajar agama secara serius sejak kecil. Ketika sangat belia, dia telah menghafal kitab nahwu Alfiyah Ibn Malik. Dia terbiasakan bercakap dalam bahasa Arab di rumah sejak kecil, sehingga tak heran jika dia menguasai bahasa Arab lisan maupun tulisan. Bahasa asing lain yang dikuasainya adalah Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis.
Abdullah bin Nuh tercatat pernah belajar di Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan. Juga, di Madrasah Arabiyah di Semarang. Bakat dan kemampuannya dalam sastra Arab begitu menonjol. Dalam usia 13 tahun, dia sudah mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah bin Nuh dikirim ke majalah berbahasa Arab yang terbit di Surabaya.
Masih berumur belasan tahun, dia lantas melanjutkan pendidikan ke Hadramaut School di Surabaya. Di madrasah ini, dia tidak hanya menimba ilmu agama, tetapi juga digembleng gurunya -Sayyid Muhammad bin Hasyim- dalam hal praktik mengajar, berpidato dan kepemimpinan. Di sini pula-lah, dia diberi kepercayaan untuk menjadi guru-bantu.
Selama di Hadramaut School, Abdullah bin Nuh mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya, antara lain: mengajar, berdiskusi, ketrampilan berbahasa dan lainnya. Di Surabaya pula Abdullah bin Nuh berkesempatan menjadi redaktur majalah pekanan berbahasa Arab, Hadramaut.
Kecakapannya dalam bahasa Arab mengantarkan Abdullah bin Nuh ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Hal itu atas referensi gurunya, Sayyid Muhammad bin Hasyim. Dia masuk Fakultas Syariah dan mendalami fiqih Mazhab Syafi’i. Setelah dua tahun di Al-Azhar, Abdullah bin Nuh berhasil mendapat gelar Syahadatul ‘Alimiyyah yang memberinya hak untuk mengajar. Periode tersebut berlangsung sekitar 1926-1928.
Di masa pergerakan nasional, Abdullah bin Nuh juga terlibat aktif. Tercatat, dia pernah menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada 1943-1945 di wilayah Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Pada 1945-1946, dia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada 1948-1950, dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jogjakarta.
Dalam pengembangan keilmuan, Abdullah bin Nuh sangat antusias. Misal, dia tercatat sebagai salah seorang pendiri Sekolah Tinggi Islam (kini dikenal sebagai UII, Universitas Islam Indonesia) Jogjakarta. Juga, sering menghadiri berbagai pertemuan dan seminar tentang Islam di luar negeri.Top of Form
Masih di soal ilmu, Abdullah bin Nuh seperti tidak dapat dipisahkan dari nama Imam Al-Ghazali. Abdullah bin Nuh yang punya aneka gelar ini –yaitu kiai, cendekiawan, sastrawan dan sejarawan- bukan hanya dikenal sebagai penerjemah buku-buku Imam Al-Ghazali, tetapi juga mendirikan perguruan Islam bernama “Pesantren Al-Ghazali” di Kota Bogor.
Abdullah bin Nuh terlihat berusaha untuk ‘menghidupkan’ Imam Al-Ghazali. Hal ini, bisa dilihat dari: Pertama, sejak kecil, melalui ayahnya dia mempelajari kitab-kitab karya Imam Al-Ghazali termasuk Ihya’ Ulumuddin. Kedua, dia menamai pesantrennya dengan “Pesantren Al-Ghazali”. Ketiga, dia rutin mengajarkan kitab Ihya’ Ulumuddin dalam pengajian pekanan yang dihadiri banyak pihak yaitu dari Bogor, Sukabumi, Cianjur dan sekitarnya.
Abdullah bin Nuh banyak menulis buku, baik dalam Bahasa Arab, Indonesia, maupun Sunda. Sebagian karya dirinya sendiri dan lainnya karya terjemahan. Karyanya yang paling dikenal dan terus dipelajari para santri di beberapa pesantren yang di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, adalah “Ana Muslim”. Sementara, buku terjemahannya yang paling dikenal adalah “Menuju Mukmin Sejati” yang berasal dari “Minhajul ‘Abidin”-nya Imam al-Ghazali.
Lebih dari 20 buku karya Abdullah bin Nuh, di antaranya: 1).Kamus Indonesia-Inggris-Arab (bahasa Indonesia). 2).Cinta dan Bahagia (bahasa Indonesia). 3).Zakat dan Dunia Modern (bahasa Indonesia). 4).Ukhuwah Islamiyah (bahasa Indonesia). 5).Tafsir Al-Qur’an (bahasa Indonesia). 6).Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten (bahasa Indonesia). 7).Diwan ibn Nuh (syiir terdiri dari 118 kasidah, 2731 bait). 8).Ringkasan Minhajul Abidin (bahasa Sunda). 9). Al-Alam Al-Islami (bahasa Arab). 10).Fi Zhilalil Ka’bah Al-Bait Al-Haram (bahasa Arab). 11). Ana Muslimun Sunniyun Syafi’iyyun (bahasa Arab). 12).Muallimul Arabiyyah (bahasa Arab). 13).Al-Islam wa Al-Syubhat Al-Ashriyah (bahasa Arab). 14).Minhajul Abidin (terjemah ke bahasa Indonesia). 15).Al-Munqidz min Adl-Dlalal (terjemah ke bahasa Indonesia). 16).Panutan Agung (terjemah ke bahasa Sunda).
Termasuk karya Abdullah bin Nuh yang menarik adalah berupa prosa berjudul “Persaudaraan Islam” (1925). Di situ, tampak keinginan Abdullah bin Nuh agar Muslimin di dunia bersatu menjadi kekuatan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan, tanpa membedakan suku, ras dan bahasa. Antara lain dia menyatakan: ”Anda saudaraku, karena kita sama-sama menyembah Tuhan yang satu. Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di sebuah padang luas, yaitu Padang Arafah. Kita sama-sama lahir dari hidayah Allah. Menyerap syariat Nabi Muhammad Saw. Kita sama-sama bernaung di bawah langit kemanusiaan yang sempurna. Dan, sama-sama berpijak pada bumi kepahlawanan yang utama”.
Ada Dasar
Kiai-pejuang ini wafat pada 26/10/1987. Almarhum meninggalkan jejak dakwah yang cukup melimpah. Maka, menjadikan KH Abdullah bin Nuh sebagai salah satu uswah cukup beralasan. []