Oleh: Anwar Djaelani
Inpasonline.com-“Saya Jamin Kebebasan Pers”. Demikianlah janji Prabowo jika nanti terpilih menjadi presiden, yang oleh Jawa Pos edisi 30/05/2014 dijadikan sebagai berita utama. Sementara, www.merdeka.com 14/05/2014 menurunkan judul “5 Janji Jokowi Perbaiki Ekonomi Indonesia jika Jadi Presiden”. Memang, menjelang pemilihan presiden 09/07/2014, aneka janji ditabur oleh calon presiden (capres). Tapi, soal janji, hendaknya para capres berhati-hati. Mengapa?
Perlu Dihidupkan
Kita harus berhitung dengan cermat jika membuat janji. Pertama, janji itu harus ditepati. Kedua, jangan tambah bukti bahwa banyak di antara kita yang mudah berjanji tapi kerap tak ditepati.
Berkata-kata itu mudah dan berjanji itu gampang. Sebagai ilustrasi, di beberapa waktu yang lalu, sebuah koran terbitan Surabaya mengabarkan bahwa telah terbit dua jilid buku yang menghimpun janji-janji seorang presiden. Maka, kita bisa membayangkan, dengan banyaknya janji itu pastilah cukup berat bagi yang bersangkutan untuk mewujudkannya. Sebab, jangankan untuk janji ‘sepanjang’ dua buku, untuk mewujudkan sebuah janji saja membutuhkan proses dan mungkin juga ‘pertimbangan ulang’. Misal, jika kelak Prabowo benar-benar terpilih menjadi presiden dan kemudian kebebasan pers berkembang tak terkendali maka bagaimana dia akan bersikap?
Jangan pernah membuat janji jika sekiranya kita sulit mewujudkannya. Sungguh, pemenuhan janji dari seorang pemimpin berbanding lurus dengan level keterpercayaan yang akan diperolehnya. Jika aspek pemenuhan janji ternyata baik maka akan baik pula keterpercayaan kepadanya, dan sebaliknya.
Memenuhi janji adalah salah satu aspek terpenting dari sikap amanah pemimpin. Amanah berhubungan dengan keteladanan dan sangat bergantung kepada kesamaan antara kata dan perbuatan. Tentang ini kita punya contoh tak elok di masa lalu. Di Orde Baru, kita sering mendengar pidato sejumlah pemimpin yang indah-indah. Dari lisan mereka berhamburan pidato sarat petuah, tetapi -sayang- cepat ditelan cakrawala karena mereka tak mengiringinya dengan keteladanan. Dari lisan mereka bertaburan aneka slogan menawan, tetapi –sayang- mudah disapu gelombang karena mereka tak menghidupkannya dengan contoh. Padahal, kita mengerti bahwa siapapun sangat tidak menyukai pemimpin yang tak sama antara kata dan tingkah-lakunya.
Kita harus bisa menghidupkan apa-apa yang kita katakan. Kita harus berhati-hati jika membuat janji. Setiap janji harus ditepati dan jika kita tidak bisa memenuhinya maka akan datang resiko yaitu kita tak bisa dipercaya oleh orang lain. Oleh karena itu, kepada siapapun –terutama para pemimpin- janganlah kita tergolong seperti orang kebanyakan yang hanya pandai memberi janji, sementara kita tak bersungguh-sungguh mewujudkannya.
Performa kita akan jauh lebih memikat jika kita bisa ‘berbicara’ lewat kerja keras dalam menyejahterakan sesama. Jika itu sudah kita lakukan maka tanpa kita berpidato mengumbar janji, kita sesungguhnya diam-diam telah ‘berkampanye’ dengan cantik yaitu bahwa kita adalah pemimpin yang baik. Atau, tanpa kita sengaja, kita telah memasang iklan tinggi-tinggi tentang diri kita bahwa kita layak dipercaya dan –oleh karena itu- bisa dipilih sebagai pemimpin yang amanah.
Prabowo menebar janji. Jokowi pun demikian. Di saat-saat seperti ini, publik berhak menilai apakah janji-janji mereka berkemungkinan besar untuk ditepati atau tidak. Caranya adalah dengan melihat rekam-jejak mereka di masa-masa sebelumnya.
Tentang ini ada yang menarik. Di satu sisi, publik masih ingat akan janji-janji Jokowi di saat kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta di tahun 2012. Misal, www.republika.co.id 15/03/2014 menurunkan judul: “Ingat, Inilah 19 Janji Jokowi Saat Pilgub DKI 2012”. Dua di antanya adalah janji untuk mengatasi banjir dan akan memimpin Jakarta selama lima tahun. (Untuk janji yang disebut terakhir dan diucapkan pada 20/09/2012 itu, maksudnya adalah bahwa Jokowi tidak akan menjadi kutu loncat dengan mengikuti Pemilu 2014).
Kini, di sisi yang lain, bacalah www.jpnn.com 30/05/2014. Situs itu menurunkan judul: “Janji Jokowi Tuntaskan Kasus Lapindo Diragukan”. Apa pasal? Pada 29/05/2014 Capres Jokowi menghadiri acara peringatan delapan tahun tragedi lumpur Lapindo di Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada kesempatan itu dia berjanji akan menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Komitmen ini menjadi salah satu poin kontrak politik yang ditandatangani Jokowi dengan korban lumpur Lapindo.
Situs itu menulis, bahwa “Kemampuan Jokowi menyelesaikan kasus lumpur Lapindo dipertanyakan dan diragukan Twips. Belum teratasinya banjir di Jakarta setelah hampir dua tahun jadi gubernur menjadi bahan keraguan atas janji Jokowi”.
Terkait ini, ada empat Twips yang dikutip www.jpnn.com. Pertama, pemilik akun @m_singgih10, M Singgih Adi P, meragukan Jokowi bisa mengatasi masalah Lapindo. Dia membandingkan dengan janji Jokowi mengatasi banjir dan macet di Jakarta. Saat kampanye Pilgub hampir dua tahun sebelumnya, Jokowi katakan gampang mengatasi banjir dan macet di ibukota.
Kedua, pemilik akun @nurmanfaller menulis: “Yakin bisa kerja 5thn? Biasanya 2thn udh loncat”. (Rupanya, si penulis menyoal terlanggarnya komitmen Jokowi untuk tak menjadi kutu loncat, yaitu ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta tak akan maju sebagai capres).
Ketiga, pemilik akun @YudhiHiro tak yakin Jokowi benar-benar akan menjalankan janjinya setelah nanti jadi presiden. Dia mengajak tak percaya dengan janji Jokowi. “Tukang boong di percaya ,jkt aj gk slesai,” tulis @YudhiHiro.
Keempat, bagi Boris Muda Harahap, sikap Jokowi terhadap korban lumpur Lapindo hanya untuk pencitraan. “Peduli ketika Nyapres doang!” kata dia dalam @BorisMuda.
Ukuran Kepercayaan
Sungguh, berita yang dilansir www.jpnn.com di atas memberikan pelajaran yang sangat penting: Bahwa agar janji kita dipercaya orang, maka janji terdahulu harus beres. Alhasil, kapanpun, hendaknya kita tak pernah lupa dengan ajaran ini: “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung-jawabannya” (QS Al Israa’ [17]: 34). []