Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Ulama, bukan sebuah profesi. Namun, wujud ulama merupakan amanah dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Amanah adalah kemampuan untuk menjaga (hafidz) dan menempatkan sesuatu pada tempatnya (‘adil). Karena itu, aktifitasnya bisa terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat; ekonomi, politik, budaya dan bidang-bidang fardhu kifayah lainnya.
Amanah, salah satunya dipraktikkan dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Menebar kebaikan, mencegah kemunkaran. Di sini, ulama tidak boleh diam. Dan haram mendiamkan kemunkaran. Persoalan besar sekarang, seruan ma’ruf telah banyak. Tapi masih minim peringatan terhadap yang munkar. Sehingga kerusakan makin mudah menyebar.
Imam al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Masyarakat akan rusak, jika meninggalkan nahi munkar, rusak peradabannya, menjadi peradaban badlawah (primitif), tidak beretika dan beradab. Lebih ironis lagi jika diucapkan oleh seorang yang disebut ulama’. Maka kata imam al-Ghazali kerusakan masyarakat dikarenakan rusaknya ulama’.
Imam Ibnu Hajar meriwayatkan sebuah hadis Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika telah nampak fitnah agama, maka orang berilmu (alim) wajib menampakkan ilmunya” (HR. al-Hakim). Biasanya, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya.
Kewajiban nahi munkar dibebankan kepada ulama yang menyertai politik atau di luar politik. Allah berfirman: “Hendaklah di antar kalian ada segolongan umat yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan Merekalah termasuk orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran: 104). Ulama yang berpolitik tantangan dan tanggung jawab yang dipikulnya lebih besar. Ia harus menjadi ‘alat’ agama. Bukan menjadi ‘alat’ penguasa.
Maksud amanah adalah ulama itu merupakan seorang ‘pekerja’ Nabi bukan ‘pekerja’ penguasa. Ulama berperan sebagai alat menyebar kepentingan Islam dan kaum Muslimin, memberi keadilan, dan menjaga kesejahteraan ruhani.
Sedangkan ulama non-politik harus menjadi rujukan dan diminta pandangannya tentang kepentingan agama dan bangsa. Menunjukkan kewibawaan ilmunya. Bukan tunduk kepada kepada penguasa.
Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama, juga harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.
Ketika, penguasa menghambat kepentingan kaum Muslimin, ulama haram untuk berdiam diri. Wacana terbaru misalnya, isu tentang penghambatan penghapusan peraturan syariah Islam oleh kaum minoritas. Ketika minoritas otoriter, dikhawatirkan memecah kesatuan NKRI.
Justru sangat wajar jika mayoritas memiliki kendali kuasa mempraktikkan syariah. Harusnya, yang minoritas menghormati, yakni menghormati atas hak-hak mayoritas memegang kendali. Sedangkan mayoritas melindungi kebebasan berkeyakinannya kaum minoritas. Inilah keadilan, bukan kesema-menaan.
Otoriteriarisme kaum sekuler-liberal tidaklah cukup dinasihati, tapi harus dihambat gerak lajunya. Karena ideologi sekular-liberal merupakan bentuk kemungkaran akidah yang wajib dicegah.
Persoalan besar yang kini dihadapi kaum Muslimin adalah, objektifitas ulama ketika berada dalam kendaran politik. Ulama dalam pusaran politik praktis, jika tidak berhati-hati akan mempolitikkan ilmu dan agama.
Pandangan agamanya akan dipengaruhi oleh ideologi politiknya. Isu penerapan syariah tidak begitu serius ditanggapi oleh ulama di barisan pencegah syariah. Justru senantiasa mencari kesalahan musuh politiknya, bukan memberantas musuh agamanya.
Para ulama, harusnya mengingat lekat perkatan Ibnu Hajar, bahwa siapa saja yang diam ketika kemungkaran meluas, maka laknat Allah, Malaikat dan manusia seluruhnya akan melaknat dia (Imam Ibnu Hajar, al-Shawaiq al-Muhriqah,10).
Belum lama ini, ulama dari Bandung, KH. Athian Ali, mengingatkan, jika ada ulama yang mendukung penolakan hukum Islam, maka kemungkinan mata hatinya sudah gelap dan hubbuddunya (cinta dunia).
Pemimpin agama yang hubbuddunya merupakan pemimpin yang fasik. Menurut imam al-Ghazali, seorang “ulama” yang fasik lebih berbahaya daripada seorang awam yang maksiat. “Ulama” yang fasik disebut dengan “ulama jahat” (ulama’ suu’). Cirinya, menjual ilmu dengan harta. Parameternya bukan ilmu, tapi duniawi – kedudukan (jaah), harta (maal), dan kebanggaan diri. Jika ada kemungkaran, dibiarkan – demi kepentingan sesaat.
Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan, mencerai-beraikan masyarakat, dan bangsa. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebalikanya seorang ulama sejati (ulama al-akhirah) ia sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja, ia memberi nasihat murni ikhlas karena meminginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.
Patutlah para ulama kini melaksanakan nasihat Syaikh Hasyim Asyari dalam salah satu kitabnya: “Wahai para ulama’ yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perakar furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). Belalah agama Islam, berusahalah memerangi orang yang menghinal al-Qur’an, menghina sifat Allah dan perangi orang yang mengaku-ngaku ikut ilmu batil dan akidah yang rusak. Jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib” (al-Tibyan, hal. 33).
Beliau mendorong keras kepada para ulama’ untuk bersama-sama membela akidah Islam. Tidak fanatik buta serta menggalang kekuatan pemikiran dalam satu barisan akidah Islam.