Teladan Jihad Imam Nawawi

Tak Tunduk

 

 

Imam Nawawi ulama besar. Dia lahir di Nawa, dekat Damaskus, pada 631 H. Karya tulis dia sangat banyak. Berikut ini sekadar menyebut beberapa contoh. Syarh Shahih Muslim (penjelasan Kitab Shahih Muslim). Riyadhus Shalihin (kumpulan hadits mengenai akhlaq). Al-Arba’in an-Nawawiyah (kumpulan 40 -tepatnya 42- hadits penting). Al-Adzkar (kumpulan doa Rasulullah SAW). Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (panduan hukum Islam yang lengkap).

Imam Nawawi adalah teladan, termasuk di saat menghadapi penguasa yang zalim. Kisah berikut ini adalah sebuah ‘cermin’. Patut kita menjadikannya sebagai pelajaran yang sangat berharga.

Kala itu, tak ada yang berani ber-amar ma’ruf nahi munkar dengan mengingatkan sang raja. Sebab, mereka tak mau menerima resiko buruk sebagai akibat berani mengritisi raja. Berbeda dengan Imam Nawawi. Dia telah mengamalkan ajaran Islam dengan mengatakan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil, termasuk di hadapan penguasa zalim.

Alkisah, di Syam -negeri tempat Imam Nawawi tinggal- berlangsung musim kemarau yang panjang. Tanah pertanian kering, ternak banyak yang mati. Paceklik datang, rakyat melarat.

Di saat-saat itu, negeri terancam bahaya lain. Ada dugaan, bangsa Mongol dan Tartar (bangsa yang dikenal kejam dan memusuhi Islam) akan menyerbu dan menghancurkan kerajaan Syam.

Raja Zhahir Baibars –penguasa Syam- memerintahkan seluruh rakyat Syam agar membayar dana perang. Raja telah memanggil seluruh ulama untuk dimintai pertimbangan. Dana perang harus terkumpul dan para ulama akan dijadikan alat legitimasi.

Banyak ulama yang menyetujui. Ada juga yang tak menyetujui, bahkan menentangnya. Namun, setelah diintimidasi, akhirnya semua ulama menyetujui. Bahkan, mereka pun ikut menyosialisasikannya. Tetapi –ternyata- masih ada seorang ulama yang tetap tak setuju. Dia adalah Imam Nawawi.

Puncaknya, raja mengumpulkan semua ulama di Istana untuk mengesahkan “Undang-undang” itu. Imam Nawawi datang dengan muka yang tegak. Berbeda dengan ulama lainnya, yang menunduk penuh takzim.

Acarapun dimulai. Semua ulama menunduk, kecuali Imam Nawawi. Dia biasa-biasa saja. Dia memandang ke arah raja beserta para pembesar yang mengelilinginya.

“Mengapa Anda tak mau menyetujui perintahku, wahai Tuan Imam? Apakah Anda lebih senang bila kerajaan kita diduduki musuh?” Demikian tanya raja kepada Imam Nawawi.

Imam Nawawi diam,  tak  segera   menjawab. Dia faham, raja sedang murka. Sesaat mata Imam Nawawi bersitatap dengan mata sang raja. Tetapi, sang raja ‘kalah’. Sinar mata Imam Nawawi memancar menembus apa saja, karena tidak ada yang dia takuti kecuali Allah saja. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (QS Faathiir [35]: 28).

Setelah keadaan tenang dan raja telah kehabisan kata-kata, Imam Nawawi berkata: “Sesungguhnya, rakyat Syam sekarang telah melarat. Berat bagi mereka untuk membayar dana perang. Bukannya saya tak setuju perintah Tuan. Tetapi, bukankah masih ada dana lain yang dapat ditarik? Itu sangat banyak dan agaknya mencukupi. Selama sumber lain masih ada, maka saya tak mau menyetujui perintah Tuan yang berakibat lebih menyengsarakan rakyat. Mengapa Tuan masih memberi beban kepada rakyat yang lebih berat lagi, sementara penghasilan mereka tak cukup untuk biaya makan?

Suasana mencekam. Sejurus kemudian, raja berkata: “Coba tunjukkan, sumber yang manakah itu?”

Tangkas Imam Nawawi menjawab: “Bukankah dahulu Tuan adalah seorang budak belian? Dan setelah Tuan menjadi raja sekarang ini, bukankah Tuan belum menebus diri Tuan sendiri? Berapakah harga tebusan diri Tuan?”

Situasi semakin mencekam. Para ulama amat kagum dan heran, mengapa Imam Nawawi seberani itu.

“Tidak hanya itu saja! Tuan mempunyai 1.000 pegawai. Setiap pegawai itu mempunyai pakaian-pakaian kebesaran yang mewah dan ditaburi emas permata,” cecar Imam Nawawi.

Raja diam dan merah padam wajahnya. Imam Nawawi terus membeber. “Masih ada lagi! Tuan-pun mempunyai 100 dayang-dayang. Sekujur badan mereka itu penuh dengan pakaian kemegahan bertabur emas permata. Bila Tuan mau menanggalkan semua pakaian kemegahan dari para pegawai dan dari dayang-dayang itu, pastilah dapat membiayai pertahanan negara.”

Seluruh yang hadir tak ada yang berani menegakkan kepalanya. Semua tunduk, takut. Mereka berpikir: “Apakah gerangan hukuman yang akan diterima Imam Nawawi?”

Benar, raja-pun murka: “Sudah, sudah …! Tak patut Anda mengatakan hal-hal itu di majelis ini!”

Imam Nawawi menukas: “Saya-pun tidak patut membujuk rakyat, dengan jalan memberi fatwa supaya mereka mau membayar dana perang sebelum Tuan sendiri berlaku adil.”

Raja lalu bertitah: “Sekarang juga Anda  mesti  keluar  dari  Negeri  Syam  ini! Sekarang juga!”

Imam Nawawi menyambut: “Baik! Saya akan pergi dari negeri ini!”

Setelah itu, rapat bubar. Hari itu juga, Imam Nawawi pergi ke kampung halamannya sendiri (yang masih daerah Syam juga).

Perkembangan berikutnya, menarik. Seluruh ulama Syam meminta raja agar keputusan mengusir Imam Nawawi dicabut, sekaligus sang Imam diminta kembali ke Kota Damaskus lagi. Kata mereka, “Dia ulama shalih! Dia pemimpin kami. Kami tak mau dipisahkan dari dia. Maka, kami mohon, agar dia dikembalikan lagi ke Kota Damaskus ini.”

Raja reda murkanya. Dia sadar, bahwa rakyat tak bisa dipisahkan dari para ulamanya. Maka, dibentuklah panitia untuk menyambut Imam Nawawi.

Tetapi, “Aku tidak akan kembali ke Damaskus, selama raja masih berada di kota itu! Aku akan masuk ke Damaskus, bila raja telah keluar dari sana,” tegas Imam Nawawi ke para utusan raja dan para ulama yang menjemputnya.

Sekitar sebulan setelah itu, sang raja meninggal. Dan, Imam Nawawi kembali ke Damaskus.

Jihad Utama

Imam Nawawi wafat pada 676 H. Dia telah memeragakan dengan indah, bahwa: Jihad yang paling utama adalah kalimat haq yang diucapkan pada raja (penguasa) yang zalim (HR Abu Dawud dan Turmudzi). []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *