inpasonline.com – Ilmu pertama yang lahir di kalangan umat Islam adalah Ilmu Tafsir. Ia menjadi mungkin (possible) dan menjadi kenyataan karena sifat ilmiah struktur Bahasa Arab. Tafsir “benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, ataupun hermeneutika Kristen, dan juga tidak sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain.”[1] Ilmu tafsir Al-Qur’an adalah penting karena ia benar-benar merupakan ilmu asas yang di atasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa Al-Thabari (wafat 923 M) menganggapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu.[2] Ini adalah ilmu yang mengupas hal ihwal kitab suci al-Qur’an dari segi sejarah turunnya, sanadnya, adab/cara membacanya, lafadz-lafadznya, arti-artinya, yang berhubungan dengan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.[3]
Namun, akhir-akhir ini, kita – umat Islam – dikejutkan oleh berbagai serangan arus pemikiran liberal, baik yang dilakukan oleh orientalis maupun orang-orang Islam yang terpengaruh pemikiran Barat. Dalam ilmu tafsir, dimunculkanlah hermeneutika. Ilmu yang mula-mula diterapkan dalam menafsirkan Bible ini, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam menafsirkan berbagai kitab suci, terutama Al-Qur’an.
Dalam sebuah hadits shahih dinyatakan :
حَدِيْثُ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيnَ. عَنِ النَبِيِ y قَالَ: “لَتَتَبَعَنmَ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ, شِبْرًا بِشِبْرٍ, وَTِ رَاعًا بِTِ رَاعٍ. حَتىَm لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبmٍ تَبَعْتُمُوْهُمْ”. قُلْنَا: “يَارَسُوْلَ الله, الْيَهُوْدِ وَالنَصَارَى؟”. قَالَ: “فَمَنْ؟”ز (رواه البخارى و مسلم)
Abi Said Al-Khudri r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga meskipun mereka berjalan masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian akan mengikuktinya.” Lalu kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Apakah mereka itu adalah Yahudi dan Nasrani? Beliau bersabda, “Siapa lagi?!”[4]
Kalangan yang kurang peka atau tidak jeli memang cenderung memandang enteng persoalan ini. Atau bahkan menganggapnya bukan persoalan sama sekali. Alasannya, ilmu itu netral. Namun, apakah benar demikian? Kecuali wahyu yang berasal dari Allah, boleh dikata semua produk pemikiran manusia pada hakekatnya tidaklah netral dalam arti bebas dari kepentingan para perumusnya dan pra anggapan yang menyertainya. Hanya mereka yang naïf menganggap ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Aneka ragam ideology dan produk pemikiran sesungguhnya sarat dengan berbagai pra-andaian terpendam (tacit assumptions) dan kepentingan terselubung (hidden interests).[5] Tiga puluh lima tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1973, Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengingatkan umat Islam mengenai ilmu pengetahuan yang sesugguhnya tidak bebas nilai dalam Risalah :
Kita harus mengetahui dan menyadari bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral; bahwa setiap kebudayaan memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenainya meskipun diantaranya terdapat beberapa persamaan. Antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan perbedaan itu begitu mendalam sehingga tidak bisa dipertemukan.[6]
Definisi dan Sejarahnya
Hermeneutika, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneune dan hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”.[7] Istilah hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM), Politikos, Epinomis, Definitione, dan Timeus. Lebih dari itu, sebagai sebuah terminologi, hermeneutika juga bermuatan pandangan hidup (worldview) dari para penggagasnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa hermeneutika tidak bebas nilai. Istilah ini bukan merupakan sebuah istilah yang netral.[8]
Semula hermenutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran” kehidupan sosial.[9] Kemunculan hermeneutika dipicu oleh persoalan-persoalan yang terjadi dalam penafsiran Bible. Awalnya bermula saat para reformis menolak otoritas penafsiran Bible yang berada dalam genggaman gereja. Menurut Martin Luther (1483-1546 M), bukan gereja dan bukan Paus yang dapat menentukan makna kitab suci, tetapi kitab suci sendiri yang menjadi satu-satunya sumber final bagi kaum Kristen. Menurut Martin Luther , Bible harus menjadi penafsir bagi Bible itu sendiri. Dia menyatakan, “This means that [Scripture] itself by itself is the most unequivocal, the most accessible [facilima], the most testing, judging, and illuminating all things,…”[10] Pernyataan tegas Martin Luther yang menggugat otoritas gereja dalam memonopoli penafsiran Bible, berkembang luas dan menjadi sebuah prinsip Sola Scriptura (cukup kitab suci saja, tak perlu ‘tradisi’).[11] Berdasarkan prinsip Sola Scriptura, dibangunlah metode penafsiran bernama hermeneutika.
Seorang Protestan, F.D.E. Schleiermacherlah yang bertanggung jawab membawa hermeneutika dari ruang biblical studies (biblische Hermeneutik) atau teknik interpretasi kitab suci ke ruang lingkup filsafat (hermenutika umum), sehingga apa saja yang berbentuk teks bisa menjadi objek hermeneutika.[12] Bagi Schleiermacher, tidak ada perbedaan antara tradisi hermeneutika filologis yang berkutat dengan teks-teks dari Yunani-Romawi dan hermeneutika teologis yang berkutat dengan teks-teks kitab suci.[13] Dalam sebuah tesis Ph.D. dinyatakan bahwa :
Originally, the term ‘Hermeneutics’ was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, ‘Hermeneutics’ became ‘General Hermenenutics’ at the bands of philosopher and Protestant theologian Friederich Schleiermacher. Schleiermacher transformed Hermeneutics into a philosophical field of study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding.[14]
Oleh karena transformasi yang dilakukan olehnya, maka Schleiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern (the father of modern hermeneutics).
Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha para pendahulunya semisal Semler dan Ernesti yang berupaya “membebaskan tafsir dari dogma”.[15] Lebih dari itu, ia juga mengajukan perlunya melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum ini, “semua teks harus diperlakukan sama, “tidak ada yang perlu diistimewakan, tak peduli apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks hasil karangan manusia biasa.[16]
The New Encyclopedia Brittanica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.[17]
Menurut Adian Husaini, hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan metode tafsir Al-Quran. Di kalangan Kristen, saat ini, penggunaan hermeneutika dalam interpretasi Bible sudah sangat lazim, meskipun juga menimbulkan perdebatan (Husaini, 2007 : 8). Dari definisi di atas jelas, bahwa penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an memang tidak terlepas dari tradisi Kristen. Celakanya, tradisi ini digunakan oleh para hermeneut (pengaplikasi hermeneutika untuk Al-Qur’an) untuk melakukan dekonstruksi[18] terhadap al-Qur’an dan metode penafsirannya.
Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir
Hermeneutika, sebagai sebuah metode penafsiran, tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon pengarang, horizon pembaca, maupun horizon teks itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memerhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan kontektualisasi.[19]
Menurut Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya, “Hermeneutika Inklusif”, problema dasar yang diteliti hermeneutika adalah masalah penafsiran teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan yang sedemikian banyak lagi kompleks yang terjalin di sekitar watak dasar teks dan hubungannya dengan al-turats di satu sisi, serta hubungan teks di sisi lain. Yang terpenting di antara sekian banyak persoalan di atas adalah bahwa hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada hubungan mufassir dengan teks.[20] Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah teks yang berupa bahasa (nasshun lughawiyyun). Peradaban Arab Islam tidak mungkin melupakan sentralisasi teks. Menurutnya, prinsip-prinsip, ilmu-ilmu dan juga kebudayaan Arab Islam itu tumbuh dan berdiri di atas teks. [21] Namun demikian, teks tidak akan bisa apa-apa kalau tidak ada campur tangan manusia. Artinya, teks tidak akan mampu mengembangkan peradaban dan keilmuan Arab Islam apabila tidak mendapatkan sentuhan dari pemikiran manusia. Dalam pandangan demikian, dengan kata lain agama sebagai teks tidak akan berfungsi apabila keberadaanya tidak dipikirkan manusia. Karenanya, ia berpendapat bahwa perkembangan Islam itu sangat tergantung kepada relasi dialektis antara manusia dengan dimensi realitasnya pada satu sisi, dan teks pada sisi yang lainnya.[22] Di sini jelas terlihat Nashr Hamid Abu Zayd mengganggap Islam dan Al-Qur’an masih harus terus didialektikkan dan harus mengikuti perubahan zaman, bukan hanya dalam tataran praktis, namun juga dalam tataran konsep, termasuk konsep mengenai metode tafsir.
Terlebih lagi, Nashr Hamid dan para hermeneut lain memandang Al-Qur’an hanya sebatas produk budaya, bukan ‘Kalam Allah’ sehingga tidak lepas dari konteks sosio cultural masyarakat Arab saat Al-Qur’an diturunkan (historis kritis). Metode penafsiran Nasr Hamid yang melepaskan posisi teks Al-Qur’an dari ‘Kalam Allah’ dapat dilihat dari kritikannya terhadap metode tafsir Ahlu Sunnah, dengan menyimpulkan : (1) Tafsir yang benar menurut Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah tafsir yang didasarkan pada otoritas ulama terdahulu; (2) Kekeliruan yang mendasar pada sikap Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah usaha yang mengaitkan “makna teks” dan ‘dalalah’-nya dengan masa kenabian, risalah, dan turunnya wahyu. Ini bukan saja kesalahan “pemahaman”, tetapi juga merupakan ekspresi sikap ideologisnya terhadap realitas – suatu sikap yang bersandar pada keterbelakangan, antikemajuan dan anti-progresivitas. Oleh karena itu kaum Ahlussunnah menyusun sumber-sumber utama penafsiran Al-Qur’an pada empat hal : penjelasan Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.[23]
Jadi, ketika konsep teks Al-Qur’an dibongkar, dan dilepaskan dari posisinya sebagai ‘Kalam Allah’ maka Al-Qur’an akan diperlakukan sebagai ‘teks bahasa’ dan ‘produk budaya’ sehingga bisa dipahami melalui kajian historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasul Allah dan para sahabat beliau mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat Al-Qur’an dalam kehidupan mereka. Dengan pembongkaran Al-Qur’an sebgaai ‘Kalam Allah’, maka barulah metode hermeneutika memungkinkan digunakan untuk memahami Al-Qur’an. Metode ini memungkinkan penafsiran Al-Qur’an menjadi bias dan disesuaikan dengan tuntutan nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat)[24]. Akibatnya, kini muncul konsep-konsep seperti : 1) Relativisme Tafsir dan dekonstruksi syari’ah dan 2) Menolak otoritas Mufassir.
Insya Allah to be continued
* Mahasiswa Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
[1] Al-Attas, The Concept of Education in Islam : A Framework for an Islamic Philosophy of Education. An Address to the Second World Conference on Muslim Education, Islamabad, Pakistan, 1980. Kuala Lumpur : Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM), 1980; cetakan kedua oleh International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1991, dikutip dari Prof.Dr.Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah, (Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.1/Muharram 1425 H), hal 54.
[2] Abu Ja’far Ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, diterjemahkan dan diberi pengantar oleh J.Cooper (Oxford : OUP, 1987), selanjutnya sebagai Jami’ al-Bayan, 1:8, dikutip dari Prof.Dr.Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah, (Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.1/Muharram 1425 H), hal 54.
[3] Al-Imam As-Suyuthi, Ilmu Tafsir (terjemahan), (Surabaya : Bina Ilmu, 1982), 11.
[4] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadits Shahih Bukhari Muslim edisi revisi Kitab Ilmu, (Surabaya : Bina Ilmu, 2005), hal 951.
[5] Dr.Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran-Bab Hermenutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani Press, 2008), hal 176-177.
[6] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Syed M.Naquib Al-Attas, diterjemahkan dari The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, (Bandung, Mizan, 2003), hal 115.
[7] Prof.Dr.H.Mudjia Raharjo,M.Si., Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta : Ar-Ruzzmedia, 2008), hal 27.
[8] Hamid Fahmi Zarkasyi,MA, Menguak Nilai di Balik Hermeneutika, (Jurnal ISLAMIA, Tahun 1 Volume 1 Muharram 1425 H), hal 16.
[9] Prof.Dr.H.Mudjia Raharjo,M.Si., Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta : Ar-Ruzzmedia, 2008), hal 30.
[10] Werner Georg Kummel, The New Testament : The History of the Investigation of Its Problems, Penerjemah S.McLean Gilmour dan Howard C.Kee (New York : Abingdon Press, 1972), 21-22, dikutip dari Adnin Armas, MA, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an, Bahan-Bahan Mata Kuliah Islamic Worldview di Program Pendidikan dan Pemikiran Islam Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Editor : Adian Husaini, 2008.
[11] Werner Georg Kummel, The New Testament : The History of the Investigation of Its Problems, Penerjemah S.McLean Gilmour dan Howard C.Kee (New York : Abingdon Press, 1972), 27, dikutip dari Adnin Armas, MA, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an, Bahan-Bahan Mata Kuliah Islamic Worldview di Program Pendidikan dan Pemikiran Islam Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Editor : Adian Hisaini, 2008.
[12] Prof.Dr.H.Mudjia Raharjo,M.Si, Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta : Ar-Ruzzmedia, 2008), hal 30.
[13] Theodore Plantinga, Historical Understading in the Thought of Wilhelm Dilthey (United Kingdom : Edwin Ellen Press, Ltd., 1992), 103, dikutip dari Adnin Armas, MA, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an, Bahan-Bahan Mata Kuliah Islamic Worldview di Program Pendidikan dan Pemikiran Islam Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Editor : Adian Husaini, 2008.
[14] Aref Ali Nayed, Interpretation As the Engagement of Operational Artifacts : Operational Hermeneutics (unpublished Ph.D. Thesis, The University of Guelph, 1994), 3-4, dikuitp dari Dr.Ugi Suharto, Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika?, (Jurnal ISLAMIA, Tahun 1 No.1 Muharram 1425 H, hal 47.
[15] Johann Salomo Semler, Vorbereitung zur theologischen Hermeneutik, zu weiterer Beforderung des Fleisses angehender Gottesgelerten (Halle, 1970) dan Johann August Ernesti, Institutio Interpretis Novi Testamenti, ed. Christoph Friedrich von Ammon (Halle, 1809; pertama kali terbit 1761). Cf. Manfred Frank, Das individuelle Allgemeine : Textstrukturierung und interpretation nach Schleiermacher (Frankfurt am Main : Surkamp, 1977), dikutip dari Dr.Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran-Bab Hermenutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani Press, 2008), hal 179.
[16] Ibid.,hal 180.
[17] The New Encyclopedia Brittanica, (Chicago : Encyclopedia Brittanica Inc., 15th edition)
[18] Secara etimologis dekonstruksi berarti pembongkaran dari dalam. Dekonstruksi merupakan alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk penafsiran baku. Kris Budiman, Kosakata Semiotika (Yogyakarta, LKiS, 1999), 21, dikutip dari Dr.Ir.Muhammad Shahrur, Prinsip-Prinsip Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, bagian Pengantar Penerjemah, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2004), hal xvii.
[19] Ibid., hal 31.
[20] Nashr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Inklusif-Mengatasi Peroblematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, (Jakarta : ICIP, 2004), 3.
[21] Menyatakan Al-Qur’an sebagai teks penuh dengan resiko. Pertama, sebagai teks AL-Qur’an tidak bisa lepas dari konteks budaya dan sejarah. Kedua, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan kebahasaan dan sastra yang memperhatikan aspek kultural dan historisitas teks. Ketiga, titik tolak studi Al-Qur’an berubah dari keimanan menjadi keilmuan dan objektivitas (scientific and objectivity). Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nass Dirasah fi Ulum al-Qur’an, (Kairo : al-Hay’ah al-Misriyah al-‘Ammah li al-Kitab), 11. Dikutip dari tesis Arif Mansyuri, Konstruksi Tafsir Feminis (Studi Pemikiran Amina Wadud Atas Kesetaraan Jender dalam Al-Qur’an), IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006, hal 1.
[22] Nashr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Inklusif-Mengatasi Peroblematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, (Jakarta : ICIP, 2004), bagian Pengantar Redaksi, hal vii.
[23] Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas Dirasah fi Ulum al-QUr’an, (Beirut : al-Markaz al-Thaqafiy al-Araby, 1994), hal 221-223. Dikutip dari Adian Husaini dan Henri Salahuddin, Studi Komparatif : Konsep Al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd dan Mu’tazilah, Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.2/Juni-Agustus 2004, hal 35-36.
[24] Adian Husaini dan Henri Salahuddin, Studi Komparatif : Konsep Al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd dan Mu’tazilah, Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.2/Juni-Agustus 2004, hal 36.