Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Dilihat dari sudut pandang tertentu, Negara Indonesia dapat disebut negara yang istimewa. Di bumi pertiwi ini, kaya dengan tradisi dan budaya yang akarnya merujuk kepada bangsa dengan tradisi keilmuan yang kuat. Tradisi berwacana juga kuat hingga pada era awal pembentukan Negara Indonesia. Tokoh-tokoh cendekia, dan ulama kenamaan yang dikenal di alam Melayu-Nusantara berasal dari Aceh, Minangkabau, Riau, Banten, Jawa, Kalimantan Barat, hingga Banjarmasin. Prof. Syed M. Naquib al-Attas menyebutkan, abad ke-16 dan ke-17 M merupakan abad kebangkitan relovusioner tradisi keilmuan di Nusantara (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal.45). Tetapi, revolusi pembudayaan ilmu tidak akan terjadi, bila tidak ada akar yang kuat.
Akar dan Pembudayaan
Dari mana kekuatan akar hingga pembudayaan ilmu itu? Secara historis dapat ditelusuri dari sejarah revolusi keilmuan di Nusantara. Islam yang datang ke Nusantara di bumi Arab. Dari sebuah bangsa yang berkultur ilmu pengetahuan selama berabad-abad. Dari abad ke-7 M hingga 18 M. Pada saat bersamaan bangsa Eropa masih dalam situasi yang rendah tradisi ilmunya. Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, seorang sejarawan dan mantan Mufti Kerajaan Johor, mengatakan: “Jika kita ingin melihat keajaiban ilmu bumi pada abad ke-11 M (9H), maka janganlah dicari di Eropa yang pada masa itu masih biadab. Tapi carilah pada orang Arab” (Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, hal. 162).
Dunia Timur, khususnya Nusantara, dicari-cari bangsa Eropa sejak masa lampau. Tetapi mereka ‘buta’ dengan peta dunia Timur. Akhirnya, orang Arab-Muslim lah, yang memberi tahu. Ia bernama Ahmad bin Majid Assadi. Dikenal dengan Ibnu Majid atau Asad al-Bahr (singa laut). Bangsa Portugis memporeh peta dari Ibnu Majid. Ternyata Portugis pun tidak mampu memahami peta Ibnu Majid. Maka, jadilah Ibnu Majid sebagai nakhdoda kapal Portugis (Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, hal. 169).Jadi, para sarjana Muslim Arab sudah lama mengenal negeri di kepulauan Nusantara, jauh sebelum bangsa Barat mengenalnya.
Karena dibawa oleh bangsa yang sudah kuat tradisi rasionalisme dan ilmunya, maka Islam datang ke bumi pertiwi melalui jalan adu perwacanaan. Hal ini yang membedakan dengan ketangan bangsa Barat yang Kristiani yang membawa karakter kolonialisme. Adu perwacanaan itu dimulai dari hal yang sederhana tetapi sangat mendasar.
Abdul Hadi WM berpendapat, perkembangan Islam di Nusantara sebagai ‘perembesan secara damai’. Dalam berhadapan dengan nilai-nilai budaya masyarakat Islam di Indonesia tidak langsung berkonfrontasi, melainkan berdialog secara terus-menerus dan penuh kesabaran (Abdul Hadi WM,Islam, Cakrawal Estetik dan Budaya, hal. 291)
Contoh adu perwacanaan adalah pembudayaan kitab Aqaid an-Nasafi. Sebuah cara hikmah dan hasanah dalam merebut akal masyarakat Melayu-Nusantara. Kitab ‘Aqa’id ini ditulis oleh Abu Hafs Umar Najmuddin al-Nasafi, wafat tahun 1142 M. Ia seorang imam Aswaja bermadzhab Hanafi dan Maturidi. Kitab ini disyarah oleh beberapa ulama, yang paling terkenal syarah dari Imam Sa’duddin al-Taftazani, wafat tahun 1387. ‘Aqaid merupakan kitab ilmu kalam akidah Aswaja. Kitab ini sangat penting, karena dibukan dengan kalimat epistemologis : “Berkata Ahlul Haq; hakihat sesuatu itu tetap dan mengetahui hakikat sesuatu itu perkara yang mungkin dicapai. Berbeda dengan golongan sufasthaiyyah (kaum shopists). Sumber-sumber ilmu itu ada tiga yaitu, panca indra yang lima, khabar shadiq dan akal.
Pembukaan kalimat kitab ‘Aqaid Nasafi tersebut merupakan kaidah pokok dalam epistemologi Aswaja. Kaidah ini harus dianut oleh tiap Muslim Aswaja. Prof. Al-Attas menemukan, bahwa manuskrip tertua yang ditemukan di alam Melayu Nusantara adalah manuskrip kitab Aqaid al-Nasafi ditulis pada abad 16 M. Manuskrip ini kemudian disyarah dan diterjemahkan oleh Prof. Al-Attas dalam karya nya berjudul The Oldest Known Malay Manuscript: 16th Century Malay Translation of ‘Aqa’id of Al-Nasafi diterbitkan oleh University Malaya tahun 1988. Artinya, kitab ini merupakan karya paling penting dan sangat berpengaruh pada abad itu dalam proses kebangakitan akal Melayu-Nusantara dan pembudayaan ilmu. Kitab ini menjadi referensi penting para penyebar Islam.
Sehingga, abad ke-16 sampai 17 merupakan zaman puncak kemajuan intelektualisme dan rasionalisme. Adapun bentuk intelekualisme dan rasionalisme yang berkembang adalah tradisi Asy’ariyyah dan sufiyyah. Menurut Farid Mohd Sahran, madzhab teologi yang mendominasi Islamisasi di alam Melayu adalah Ahlussunnah wal Jama’ah aliran Asya’irah. Aliran ini pada awalnya dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan kemudiannya telah diteruskan oleh tokoh-tokoh besar seperti Abu Bakar al-Baqillani, Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Abu Hamid al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi, Abu al-Fath al-Syahrastani, Abd Qahir al-Baghdadi, Abu Ishaq al-Isfarayini dan Muhammad Yusuf al-Sanusi.
Aliran ini dicirikan dengan keutamaan dalil wahyu dalam penghujahan disamping memperkukuhnya dengan kehujahan akal dan pengambilan jalan tengah antara pendekatan ultrarasional Mu’tazilah yang mengutamakan pandangan akal dan juga pendekatan sempit sebahagian ahli Hadis yang terlalu menenkankan pendekatan tekstual” (Mohd Farid Mohd Shahran, Akidah dan Pemikiran Islam: Isu dan Cabaran, hal. 6).
Hingga kini, di beberapa komunitas santri di Jawa Timur, masih ditemukan pengajian kitab-kitab Abdul Qahir al-Bahgdadi, khususnya kitab Al-Farqi Bainal Firaq. Sebuah kitab kalam yang bukan hanya menjelaskan tipologi madzhab-madzhab pemikiran, tapi juga membahas isu-isu terdalam, metafisika, epistemologi dan kaidah penalaran Islam.
Atas dasar itu, maka para ulama Indonesia mengkategorikan Indonesia dan wilayah di sekitarnya disebut darul Islam (daerah Islam). Pada Muktamar NU ke-XI di Banjarmasin 9 Juni 1936 resmi diputuskan, wilayah yang kini disebut Negara Indonesia adalah darul Islam, dengan merujuk kepada kitab Bughyatul Mustarsyidin karya As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi al-Hadrami, kitab fiqih yang hingga kini menjadi rujukan penting di pesantren Indonesia. Kitab Bughyatul Mustarsyidini menjelaskan dengan menyebut secara khusus daerah Betawi dan Jawa pada umumnya sebagai darul Islam. Karena kemungkinan pada zaman itu Betawi (Batavia) masyhur di negeri Hadramaut Yaman, dan istilah Jawa oleh ulama Arab dimaksudkan wilayah di kepulauan Nusantara. Fatwa As-Sayyid Abdurrahman Ba’alawi tersebut menjelaskan setiap tempat yang dihuni kebanyakan orang Muslim dinamakan darul Islam. Menurut dia, meskipun negeri Jawa sedang diduduki oleh penjajah Kafir, tetapi pada masa lalu sebelum datang bangsa kolonial, Jawa diperintah oleh kerajaan Islam dan hukum Islam pernah diterapkan pada masa kerajaan (Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi al-Hadrami, Bughyatul Mustarsyidin, hal. 254).
Tradisi Berwacana
Sebagai implikasi dari pembudayaan intelektual dan rasional yang mengakar kuat itu, maka dalam perjalanan sejarah pendirian Negara ini penuh dengan adu wacana. Peresmian sila-sila Pancasila dan Pembukaan UUD (Undang-Undang Dasar) ’45 adalah contoh bangsa kita telah terlatih beradu wacana. Isu pemberlakuan syariat Islam dalam butir Pancasila itu merupakan isu cukup hangat, dan melalui perdebatan sangat sulit. Bukan tidak mudah membawa para kelompok Islamis yang diwakili tokoh NU dan tokoh Muhamadiyah, Nasionalis, dan kelompok Kristen ke dalam sebuah kesepakatan.
Meskipun Piagam Jakarta itu akhirnya tidak menjadi kesepakatan hingga hari ini tetapi, munculnya terminologi-terminologi dalam Pancasila merupakan buah ‘emas’ pikiran tokoh Islam. Bagaimana tidak, istilah-istilah kunci dalam pandangan alam Islam dipakai, seperti adil, adab, musyawarah, hikmah. Justru, dipakainya istilah-istilah kunci Islam itu menunjukkan kecanggihan para tokoh Islam dalam adu perwacanaan pada awal pendirian Negara ini.
Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, jelas menunjukkan bahwa sila yang paling asas ini mengandung makna tauhid. Kesepakatan pendiri negara negara berketuhanan atas dasar pemahaman tauhid ini tidak berlebihan. Prof. Hazairin, Guru Besar Ilmu Hukum UI, berpendapat, “Bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah’.
Pendapat tersebut juga pernah diputuskan oleh ulama NU dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo Jawa Timur tanggal 21 Desember 1983. Di antara keputusan Munas tersebut adalah, (1) Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimaman dalam Islam.
Keputusan ini dikukuhkan kembali pada Bahsul Masail PWNU Jawa Timur 31 Maret – 1 April 2012 di Kencong Jember yang memutuskan bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam Pancasila merupakan pengejawantahan dari berbagai nilai-nilai ke-Islaman (Ahlussunnah wal Jama’ah).
Maka, KH. Wahid Hasyim pada saat pembahasan rancangan UUD 1945, pada pasal 2 ayat 4 agar Presiden adalah orang Indonesia asli yang Muslim. Kalimat yang diusulkan berbunyi : “Yang Menjadi Presiden dan wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam” (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 33). Usulan kiai NU ini satu nafas dengan asas negara yang berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Semua ini bermakna, dari aspek peradaban masa depan Indonesia itu ada di kaum Muslimin.
Maka, tidak ada yang salah dengan paham patriotisme dan nasionalisme dengan berpijak pada kenyataan ini. Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud yang benar adalah istilah ‘patriotissme adil’ (just patriotism). Maksudnya, patriotisme dan nasionalisme yang berasaskan ilmu pengetahuan mendalam dan meluas tentang bangsa dan Negara, bukan nasionalisme yang ta’asub. Tetapi berdasarkan nilai agama dan akhlak yang tinggi dan ditafsirkan dengan tepat dan benar, diamalkan dengan bijaksana, dan adil (Wan Mohd Nor Wan Daud dalam Bunga Rampai Bangsa, Kebangsaan dan Patriotisme, hal. 14).
George Mc Turner Kahin, seorang penulis terkenal Eropa dalam bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia berkesimpulan bahwa nasionalisme Indonesia didorong oleh semangat keislaman. Kemungkinan tesis Mc Turner Kahin pun berdasarkan narasi sejarah Nusantara pada masa lampau yang nilai dan kultur bangsanya dipupuk dengan baik oleh para mubaligh dari negeri Arab. Nasionalisme ini yang dimaksud dalam istilah Prof. Wan adalah nasionalisme atau patriotism adil. Sebuah nasionalisme yang pembudayaannya mempertimbangkan pengalaman sejarah dan tradisi negara itu sejak di mengenali makna dirinya yang terus berperanan hingga ke masa ini. Pembudayaan dan perwacanaan nasionalisme demikian lah yang diperlukan untuk dipupuk oleh para pemuda-pemuda Indonesia hari ini. Sehingga, lahir bangsa yang kenal dirinya, dan pembudayaan akar sejarah kebangsaan menjadi landasan bersikap dalam setiap isu kebangsaan, Negara, politik, ilmu dan budaya.
Tulisan diterbitkan Rebublika – Islamia, Kamis 15 Agustus 2019