Sejarah Melayu-Nusantara dalam Perspektif Peradaban Islam

 

Oleh: Kholili Hasib

Inpasonline.com-Dalam pengkajian sejarah Islam, khususnya sejarah Islam di kepulauan Melayu-Nusantara, perlu memperhatikan dua hal penting. Pertama, karena studi sejarah ini merupakan bagian dari pengkajian peradaban, maka perlu memahami ulang makna peradaban. Khususnya apa itu peradaban Islam. Kedua, membaca sejarah Melayu-Nusantara  dari perspektif peradaban Islam. Apa yang dimaksud membaca sejarah Melayu-Nusantara dari perspektif peradaban itu dapat dipahami setelah makan peradaban Islam itu telah jelas. Pemahaman ini penting, agar pembaca sejarah tidak memahami peradaban Islam itu sekedar dinamika politik kekuasan dari kekhalifahan satu ke kekhalifaan lainnya. Tetapi dapat menemukan esensi dan sari pati peradaban Islam itu sendiri.

Ibnu Khaldun dalam Muqadimah-nya menyebutkan ada tiga faktor munculnya peradaban. Pertama, kemampuan manusia untuk berfikir untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, kesanggupan manusia berjuang untuk hidup. Ketiga, kemampuan berorganisasi dalm bentuk kekuasaan politik (Ibn Khaldun,The Muqaddimah: an Introduction to History, Trans. Franz Rosenthal, hal. 54-57).

Jika membaca sejarah dengan perspektif Ibnu Khaldun ini, maka studi sejarah Islam itu ada tiga isu utama, yaitu sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, sejarah sosial masyarakat dan sejarah politik. Tentu saja, ketiga itu tersebut saling beririsan dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Meskipun begitu, jika dibaca dalam sejarah para ilmuan Muslim dahulu, dinamika politik tidak sampai terlalu mempengaruhi perkembangan ilmu. Di saat perang salib dan perang Tar-Tar, dunia Islam masih mampu melahirkan banyak ulama-ulama hebat, kegiatan pendidikan di ribath-ribath masih tetap normal berlangsung.

Secara khusus, Ibnu Khaldun mengatakan, tanda wujudnya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan, seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optik, kedokteran dll. Ilmu pengetahuan tak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya.

Karena itu, cara pandang terhadap peradaban Islam itu harus tepat. Bahwa peradaban itu merupakan proses selektif dan kreatif elemen dasar Islam dengan kultur dan budaya masyarakat. Elemen dasar Islam yang menyeleksi dan mengkreasi bentuk kebudayaan baru itu adalah konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep nabi, konsep ilmu, konsep manusia, konsep hidup, konsep kebahagiaan.

Berkembangnya ilmu pengetahuan ini bumbuh dari proses ini. Dalam hal ini Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan: “Peradaban Islam sebagai peradaban yang muncul dari keragaman budaya masyarakat Muslim di dunia merupakan hasil dari masuknya unsur-unsur dasar agama Islam yang menyebabkan orang-orang itu muncul dari dalam diri mereka sendiri. Ini adalah peradaban hidup yang denyut nadinya menggambarkan proses islamisasi” (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Historical and Fiction, p. xv).

Maka membaca sejarah Islam di Melayu-Nusantara perlu dari perspektif sejarah tumbuh-kembang ilmu pengetahuan. Menurut pengamatan Prof. Al-Attas, abad ke-16 merupakan babak penting sejarah Islam di Melayu Nusantara. Karena pada abad ke-16 merupakan awal kebangkitan ilmu pengetahuan di dunia Islam di wilayah rantau Melayu-Nusantara.

Ia mengatakan: “Abad-abad ke-enam belas dan ke-tujuh belas suasana kesuburan dalam penulisan sastera falsafah, metafizika dan teologi rasional yang tiada terdapat tolak bandinganya di mana-mana dan di zaman apa pun di Asia Tenggara. Penterjemahan al-Qur’an yang pertama dalam bahasa Melayu telah diselenggarakan beserta syarahannya yang berdasarkan al-Baydawi; dan terjemahan-terjemahan lain serta syarahan-syarahan dan karya-karya asli dalam bidang falsafah, tasawuf dan ilmu kalam semuanya telah diselenggarakan pada zaman ini juga” (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal.45).

Dari Sumatra dan Jawa, lahir pemikir-pemikir Muslim terkenal. Tidak hanya di Nusantara tapi juga bertaraf internasional. Hamzah Fansuri, asal Aceh, seorang ahli tasawuf dan filsafat Islam disebut sebagai orang yang pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan secara rasional dan sitematis-filosofis. Ia pernah melakukan perjalanan intelektual dari Asia Tenggara, India hingga Timur Tengah.

Setelah itu, di Aceh lahir pemikir besar di bidang ilmu Kalam, Nuruddin al-Raniri. Seorang Mufti Besar Sultan Iskandar II. Menurut al-Attas, al-Raniri menulis sekitar 22 buah judul buku. Karya terkenalnya dalam bidang teologi adalah Durr al-Fara’id, terjemahan bahasa Melayu dari Syarah Aqa’id al-Nasafiyah oleh Syaikh Taftazani. Kitab akidah yang ditulis oleh Syaikh Umar al-Nasafi, ulama bermadzhab Hanafi. Kitab yang diterjemah al-Raniri ini berisi asas-asa akidah dan prinsip epistemologi Islam.

Beberapa ulama Muslim yang diakui internasional adalah Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani, Syaikh Yasin al-Fadani, Syaikh Mahmud al-Tirmasi dan lain-lain yang karyanya dicetak dan dipelajari di Timur Tengah.

Kitab Tuhfatu al-Nafis, ditulis Raja Ali Haji dari Riau mengandung cerita tentang ilmu astronomi. Ditulis di dalamnya: “ … Raja Ahmad itu pergi berulang-ulang mengaji ilmu falakiyah … kepada Syaikh Abd al-Rahman Misri di dalam Betawi itu” (Tatiana Dannisova, Refleksi Historiografi Alam Melayu, hal.64).

Dan masih banyak lagi karya-karya ilmu pengetahuan di Nusantara. Pada masa abad ke-16 hingga zaman akhir penjajahan Belanda, Pesantren menjadi basis Islamisasi. Tradisi menulis pegon sangat kuat. Beberapa Kiai Jawa pada zaman kolonialisasi Belanda bahkan mengharamkan menulis dengan huruf latin. Dan menekankan menggunakan huruf pegon. Agara berbeda dengan kaum penjajah.

Salah satu warisan yang sangat besar jasanya adalah metode memaknai kitab Arab dengan bahasa Jawa dan Sunda dengan kaidah-kaidah tertentu yang sengaja diciptakan sehingga ketika kiai mendiktekan makna, para santri sambil belajar gramatika Arabnya. Seperti istilah-istilah “utawi”,”iku”,”ing”, “nyatane”, “apane”, dan lain-lain yang merujuk kepada istilah gramatika bahasa Arab. Metode ini dianggap memudahkan pelajar untuk menguasai kaidah bahasa Arab.

Zaman dahulu, ada dua kitab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang berpengaruh di alam Melayu-Nusantara; yaitu Aqaid al-Nasifyah, karya imam Nasafi dan Aqidah al-Thahawiyah, karya imam al-Thahawi. Prof. Al-Attas menemukan, bahwa manuskrip tertua yang ditemukan di alam Melayu Nusantara adalah manuskrip kitab Aqaid al-Nasafi ditulis pada abad 16 M. Manuskrip ini kemudian disyarah dan diterjemahkan oleh Prof. Al-Attas dalam karya nya berjudul The Oldest Known Malay Manuscript: 16th Century Malay Translation of ‘Aqa’id of Al-Nasafi diterbitkan oleh University Malaya tahun 1988.

Kitab ‘Aqa’id ini ditulis oleh Abu Hafs Umar Najmuddin al-Nasafi, wafat tahun 1142 M. Ia seorang imam Aswaja bermadzhab Hanafi dan Maturidi. Kitab ini disyarah oleh beberapa ulama, yang paling terkenal syarah dari  Imam Sa’duddin al-Taftazani, wafat tahun 1387. ‘Aqaid merupakan kitab ilmu kalam akidah Aswaja. Kitab ini sangat penting, karena dibukan dengan kalimat epistemologis : “Berkata Ahlul Haq; hakihat sesuatu itu tetap dan mengetahui hakikat sesuatu itu perkara yang mungkin dicapai. Berbeda dengan golongan sufasthaiyyah (kaum shopists). Sumber-sumber ilmu itu ada tiga yaitu, panca indra yang lima, khabar shadiq dan akal.

Temuan ini membuktikan bahwa, proses pengislaman di alam Melayu-Nusantara telah sampai pada konsep-konsep berpikir yang tinggi. Bahwa, telah terjadi tradisi ilmu tinggi — baik falsafah dan kalam — dalam masyarakat Muslim Melayu-Nusantara ini. Artinya, dahulu sudah ada masyarakat yang mempelajari tema-tema pemikiran tinggi. Pengislaman bukan dilakukan “sambil-lalu”, sambil berdagang atau sambil berbisnis. Karena kerja pengislaman oleh para muballigh itu bukan sambilan, atau pun bukan asal-asalan.

Pembukaan kalimat kitab ‘Aqaid Nasafi tersebut merupakan kaidah pokok dalam epistemologi Aswaja. Kaidah ini harus dianut oleh tiap muslim Aswaja. Jika tidak, akan terjebak dalam kerancuan pemikiran-pemikiran menyimpang.

Syekh Abdul Qahir al-Baghdadi, wafat tahun 1037 M, seorang teolog Asy’ariyah menjelaskan bahwa ada kelompok-kelompok yang menolak  akal sebagai sumber ilmu dan hanya mengakui panca indera. Kelompok ini dahulu disebut al-Sumaniyah, kelompok yang mempercayai reinkarnasi, penyembah berhala. Menurut kelompok ini, tidak ada sumber ilmu yang diakui kecuali panca indra. Sehingga mereka juga menolak ilmu penalaran (ilmu nadzariyyah). Argumentasi kelompok ini djawab oleh Syekh al-Baghdadi dalam kitabnya Ushul al-Din, halaman 21. Jika ada Muslim mengikuti pemikiran al-Sumaniyah ini maka termasuk kelompok sesat (Ahl al-Dhalal), bukan Aswaja. Dalam tradisi Barat, kelompok ini disebut aliran filsafat empirisisme yang muncul baru abad ke-17 dan 18 M. Namun, kerancuan pemikiran ini telah tuntas dibahas al-Baghdadi pada abad ke-10.

Kelompok yang cacat epistemologi yang disinggung oleh imam Nasafi adalah Sufasthaiyyah. Kelompok ini menurut al-Baghdadi adalah kelompok sesat. Jika ada Muslim yang mengikuti jalan pemikirannya, maka telah keluar dari pemikiran Aswaja. Salah satu pemikirannya dijelaskan oleh al-Baghadadi, yaitu “Anna al-Haqaiq al-Asy’ya’ tabi’atun li al-‘I’tiqad” (sesungguhnya hakikat sesuatu itu mengikuti keyakinan tiap-tiap orang). Berarti pemikiran ini membenarkan semua I’tiqad. Kebenaran sesuatu tergantung kepercayaan masing-masing. (lihat Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqi baina al-Firaq, hlm. 249).

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *