Imam al-Haddad: Dahulukan Ilmu yang Paling Bermanfaat

Oleh: Kholili Hasib

Inpasonline.com-Sejak peradaban modern mendominasi kehidupan umat manusia, maka banyak sekali lahir berbagai macam ilmu. Manusia ditantang untuk mempelajari banyak ilmu-ilmu untuk menyelesaikan tugas-tugas kehidupan di dunia ini. Dari satu sisi, tentu saja umat manusia diuntungkan dengan kecepatan perkembangan ilmu-ilmu baru. Apalagi kebutuhan manusia di zaman modern ini nampak semakin kompleks jika dibandingkan dengan manusia yang hidup pada zaman dahulu. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia relatif lebih mudah terpenuhi dengan adanya ilmu dan teknologi baru.

Ilmu yang berkaitan dengan hajat hidup manusia secara umum tersebut biasanya masuk ke dalam hukum ilmu fardhu kifayah. Jika ada sebagian atau satu orang saja yang mempelajari ilmu jenis fardhu kifayah, maka gugurlah kewajiban yang lainnya untuk menuntut ilmu tersebut. Karena memang, tidak semua orang memiliki kemampuan, kekuatan dan dana cukup untuk menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Ada orang yang memiliki kemampuan akal akan tetapi tidak memiliki waktu dan biaya. Ada pula orang yang memiliki biaya cukup, waktu yang luas untuk mempelajari ilmu fardhu kifayah, akan tetapi ia tidak memiliki kemampuan cukup dari segi akal dan kefahaman terhadap ilmu. Makanya disebut fardhu kifayah karena setiap orang tidak dituntut untuk mempelajarinya.

Oleh karena itu, mengetahui skala prioritas dalam belajar ilmu itu sangat penting. Jika keliru menempatkan prioritas suatu ilmu, maka efek ke masa depan seseorang itu tidak baik. Boleh jadi, ilmu yang ia pelajari kemudian tidak memberi manfaat, baik untuk dirinya ataupun untuk hajar hidup orang banyak. Dalam pandangan Islam, tentu saja jenis ilmu-ilmu fardhu ‘ain  itu yang wajib diutamakan dan dinomor satukan. Sebab, setiap individu Muslim memiliki kewajiban untuk mempelajari jenis ilmu fardhu ‘ain. Maka, setiap Muslim wajib mengetahui mana ilmu yang termasuk kategori fardhu ‘ain dan mana ilmu yang termasuk fardhu kifayah. Jika kita mengetahui kedudukan atau kategori ilmu, maka kita bisa menempatkan berbagai macam ilmu itu dengan benar.

Dalam hal ini penjelasan imam al-Haddad perlu kita cermati. Kata beliau, jenis ilmu itu sangatlah banyak. Dari segian banyak ilmu itu, ada di antaranya yang tidak bermanfaat dan tidak penting bagi kebaikan diri pribadi seseorang. Ada di antara ilmu itu yang penting dan bermanfaat bagi orang tertentu, tetapi tidak penting atau tidak bermanfaat bagi orang lainnya. Bahkan kata beliau, ada ilmu yang manfaatnya itu kondisional. Maksudnya, pada satu waktu penting bagi seseorang, namun di waktu yang lain menjadi kurang penting dan nilai kemanfaatannya hilang. Ada juga ilmu itu yang berbahaya, tidak ada manfaatnya. Terkadang pula ilmu itu terlalu berlebihan dimiliki seseorang dan menjadi tidak penting. [1]

Di sinilah kita dituntut untuk jeli dan mengenali jenis dan kategori ilmu itu. Imam al-Haddad berkata:

فينبغي للعاقل النجيب أن يشتغل من العلوم بالمهم النافع. بل بالأهم الأنفع في حق نفسه بالخصوص، ثم في حق غيره إن تأهل لذلك وفرغ له. وذلك لأن العمر قصير، والوقت عزيز والموت قريب والسفر بعيد.

Seyogyanya bagi orang yang berakal dan cerdas menyibukkan dengan ilmu-ilmu yang penting dan bermanfaat, bahkan dengan ilmu yang paling penting paling bermanfaat bagi dirinya sendiri secara khusus. Baru kemudian, jika ia ada kemampuan dan ada waktu luang maka bisa sibuk dengan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain. Hal ini dikarenakan umur itu pendek, waktu itu berharga, ajal itu dekat dan perjalanan (menuju akhirat) itu masih jauh”[2].

Imam al-Haddad dalam nasihat tersebut menekankan kepada pentingnya perbaikan pribadi atau individu terlebih dahulu. Jika individu baik, maka akan melahirkan masyarakat yang baik pula. Dahulukan kepentingan dan kebutuhan jiwa. Jika memang ada kemampuan, maka pelajarilah ilmu-ilmu yang bisa memenuhi kebutuhan orang lain (kepentingan umum).

Memang, yang disebut ilmu bermanfaat itu pertama-tama adalah bermanfaat untuk dirinya sendiri. Ilmu yang memeperbaiki prilaku, membersihkan jiwa, membetulkan tata cara ibadah kita, dan lain-lain. Ilmu yang demikian itu dikategorikan bermanfaat (nafi’).

Dalam nasihat itu pula imam al-Haddad menyeru dengan menggunakan kalimat al-‘aqil dan an-najib, yang artinya orang berakal dan cerdas. Maksudnya adalah, orang yang memiliki akal dan kecerdasan pasti mendahulukan sesuatu yang paling penting. Orang yang kesibukannya pada suatu hal yang tidak penting atau sia-sia dinamakan bodoh. Orang yang berakal dan cerdas memahami betapa waktu itu sangat berharga, memiliki pemikiran bahwa ajal itu akan cepat datang. Jika demikian halnya, maka seseorang tidak akan menunda-nunda kebaikan. Menunda kebaikan justru perbuatan orang bodoh, dan akalnya tidak sempurna.

Lalu apa itu ilmu yang bermanfaat dan yang paling bermanfaat? Di sini imam al-Hadda mengajak kita berfikir. Bahwa jika kita ingin mengetahui suatu ilmu itu paling manfaat maka bayangkanlah bahwa besok kita akan meninggal dunia. Kira-kira ilmu apa yang kita siapkan pada hari ini jika besok akan meninggal dunia. Demikian imam al-Haddad memberi ukuran atau batasan ilmu yang bermanfaat. Beliau mengatakan [3]:

إذا أردت أن تعرف النافع المهم في حقك من العلوم والأعمال والأنفع والأهم، فاستحضر في نفسك أنك توت غدا وأنك تصير إلى الله تعالى.

“Jika engkau ingin mengetahui ilmu-ilmu dan amal yang bermanfat dan penting, atau paling bermanfaat dan paling penting, maka hadirkanlah hatimu sekarang bahwa besok engkau meninggal dunia dan sesungguhnya engkau berjalan menuju Allah Swt”.

Dalam pandangan ini, ilmu yang sangat diperlukan untuk persiapan menjemput ajal itulah yang dinamakan ilmu yang paling bermanfaat. Maka, imam al-Haddad menganjurkan agar setiap Muslim menghadirkan hatinya seperti ini agar mengenali apa saja ilmu yang paling bermanfaat, dan ilmu apa saja yang kurang ada manfaat atau bahkan bisa menghabiskan waktu tanpa ada manfaat sama sekali. Jika seorang telah mengetahui ilmu yang paling bermanfaat itu, maka segeralah jangan menunda waktu untuk mengambilnya. Sebaliknya, meninggalkan ilmu yang tidak memberi manfaat.

Nasihat tersebut sejalan dengan penjelasan imam Junaid al-Baghdadi, ketika beliau ditanya ilmu apa yang paling bermanfaat? Imam Junaid menjawab: Yiatu ilmu yang menunjukkan engkau kepada Allah Swt dan menjauhkan dari hawa nafsumu.[4]

Dalam salah satu wasiatnya beliau menyatakan bahwa hendaknya seorang Muslim itu ‘rakus’ dalam mencari ilmu yang bermanfaat, baik dengan membaca, menelaah, atau menghafal. Terhadap ilmu yang bermanfaa itu jangan lah merasa terbebani dengan rasa malas dan bosan.[5]

Berkaitan dengan banyaknya jenis buku atau kitab, tentu saja tidak semua pelajar mampu menelaah atau muthalaah satu persatu kitab-kitab para ahli ilmu atau karya para ulama salaf. Jika ada kemampuan dan waktu beliau mendorong untuk tekun menelaah kitab-kitab para ulama’. Imam al-Haddad memberi nasihat, pelajari kitab-kitab para ulama salaf karena di dalamnya berisi petunjuk untuk mengenal Allah Swt (ma’rifatullah) dan berisi bimbingan untuk memperbaiki niat, dan ikhlas dan beramal. Tidaklah seseorang itu enggan menelaah kitab-kitab para ulama kecuali mata hatinya buta dan  gelap hatinya.

Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas menjelaskan bahwa, sangat disayangkan ada orang yang hidup di zaman ini merasa lebih hebat dan lebih alim daripada orang-orang sebelumnya. Padahal, kehebatan orang sekarang itu berkat dari telah terhadap kitab-kitab ulama dahulu.[6] Karena itu janganlah mencela orang-orang sholih terdahulu. Banyak orang tidak kenal ulama alim dahulu lalu meremehkan dan mencelanya. Padahal andaikan ia mengenali turats orang alim sholeh dahulu dipastikan ia tidak akan menoleh ke yang lainnya, disebabkan banyaknya ‘mutiara-mutiara’ yang ada dalam karya turats ulama dahulu.

Namun jika ada seseorang tidak memiliki waktu yang cukup atau kemampuan yang lebih untuk mengakses kitab-kitab para ulama, maka imam al-Hadadd memberi petunjuk bahwa hendaklah cukup dengan menelaah kitab-kitab imam al-Ghazali. Beliau mengatakan:

وإن ضاق وقتك، ولم يتسع النظر فيها عموما، فخص الكتب الغزالية منها، فإنها من أنفعها وأجمعا وأبدعها.

“Jika waktumu sempit, dan tidak ada kesempatan luang untuk menelaah (kitab-kitab ulama dahulu) secara umum, maka khususkanlah dengan kitab-kitab imam al-Ghazali. Karena kitab-kitab imam al-Ghazali itu yang paling bermanfaat, paling lengkap dan paling bagus”[7]

Kitab-kitab imam al-Ghazali di mata imam al-Haddad sangat istimewa. Imam al-Haddad terpikat dengan kitab-kitab imam al-Ghazali, seakan-akan kitab imam Ghazali itu seperti lauk makanan yang lezat. Beliau menikmati menelaah kitab imam al-Ghazali. Karena di dalamnya (kitab-kitab imam al-Ghazali) merangkum persoalan-persoalan syariah, tariqah (jalan menuju Allah Swt), haqiqah, dan peninggalan-penggalan ulama sebelumnya. [8]

Imam al-Haddad secara khusus menganjurkan untuk mengkaji kitab-kitab imam al-Ghazali dikarenakan karya-karya imam al-Ghazali sangat komprehensif. Imam al-Ghazali pun sosok yang unik, seorang sufi yang ahli dalam berbagai macam bidang ilmu. Berbagai macam ilmu itu telah beliau tulis.

[1] Al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, al-Fushul al-Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyah, (Darul Hawi, 2008), hal. 41

[2] Ibid

[3] Ibid, hal. 43

[4] Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith, Al-Manhaj as-Sawiy Syarh Ushul Thariqah as-Sadah Aly Ba’alawiy, (Tarim: Darul Ilmi wa Da’wah, 2006), hal. 244

[5] Al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, Al-Washoya an-Nafi’ah, (Tarim: al-Hawi, 2011), hal. 19

[6] Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith, Al-Manhaj as-Sawiy Syarh Ushul Thariqah as-Sadah Aly Ba’alawiy, (Tarim: Darul Ilmi wa Da’wah, 2006), hal. 246

[7] Al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, Al-Washoya an-Nafi’ah, (Tarim: al-Hawi, 2011), hal. 20

[8] Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith, Al-Manhaj as-Sawiy Syarh Ushul Thariqah as-Sadah Aly Ba’alawiy, (Tarim: Darul Ilmi wa Da’wah, 2006), hal. 249

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *