Doktrin humanisme semakin menguat seiring kuatnya hegemoni Barat terhadap negara-negara berkembang, kususnya negara yang penduduknya mayoritas muslim. Inilah kemudian yang mempengaruhi beberapa pemikir Islam kontemporer. Dengan berusaha melegitimasi humanisme melalui doktrin agama, dimunculkanlah istilah, humanis religius.[3] Istilah ini mengindikasikan betapa kuatnya pengaruh humanisme sehingga mengesankan doktrin humanisme lebih superior dari pada agama. Yang pada gilirannya, agama harus menyesuaikan diri dengan humanisme.
Pengaruh ini juga tampak pada beberapa pemikir Islam kontemporer dalam pandangan mereka terhadap syari’ah. Dalam pandangan mereka, satu-satunya solusi agara masyarakat muslim bangkit dari ketertinggalan, harus melakukan reformasi syari’ah. Karena, bagi mereka banyak ketentuan syari’ah yang tidak sesuai dengan realitas sosial saat ini. ketentuan qishas, rajam, potong tangan baagi pencuri, pemakaian jilbab bagi perempuan, adalah sedikit contoh dari ketentuan yang sudah tidak relefan. Ketentuan-ketentuan tersebut bagi mereka sesungguhnya bukan ketentuan yang bersifat qat’i, itu hanyalah cerminan dari budaya Arab. Bahkan Al-Qur’anpun yang merupakan sumber utama syari’ah, di mata mereka hanyalah hasil interpretasi manusia.[4] Dengan demikian, maka syari’ah harus disesuikan dengan konteks saat ini. Pandangan tersebut tidak hanya berlawanan dengan pandangan mainstream Islam, tapi akan menimbulkan problem baru dalam ketentuan hukum Islam.
Bertolak dari gambaran di atas, maka makalah ini akan mencoba menelusuri landasan filosofis dari humanisme. Sehingga sisi ontologis dan cara pandang humanisme terhadap realitas dan kebenaran bisa ditampakkan. Selanjutnya, akan melihat implikasi doktrin humanisme terhadap cara pandang sebagian pemikir Islam kontemporer terhadap syari’ah.
B. Basis Filosofis Humanisme
Humanisme merupakan doktrin filosofis yang menjadikan manusia sebagai ukuran segala sesuatu.[5] Dalam pandangan Humanisme, manusia merupakan subjek sentral dalam menentukan semua kebijakan tentang relasi manusia dengan alam semesta, relasi sesama manusia. Dalam pandangan Barat, sebagaimana dikatakan Spinoza, Goethe, Hegel serta Marx, hakekat kehidupan manusia adalah apabila dia menguasai dunia di luar dirinya.[6] Dengan perangkat rasio yang dimilikinya, manusia mampu menentukan sendiri cara menyikapi kehidupan dan menentukan standar moralnya sendiri tanpa perlu melibatkan agama ataupun Tuhan.[7] Yang intinya segala sesuatu diperuntukkan dan dikembalikan kepada manusia atau serba human. Seperti dikatakan Diderot, seorang tokoh humanisme dan ensiklopediis Prancis abad ke-18, sebagaimana dikutip oleh Leela Gandhy, “Manusia adalah tempat tinggal dimana kita harus mulai dan dimana kita merujuk atas segala sesuatu”.[8] Linda Smith dan William Reaper mengutip beberapa tokoh Barat yang menegaskan hal tersebut, diantaranya Charles Swinburne menulis, “Kemulyaan kepada manusia di tempat tiinggi! Karena manusia adalah tuan segalanya”. Sir Julian Huxley, juga menambahkan, “Manusia adalah bentuk kehidupan terakhir yang dominan dimuka bumi ini, dan satu-satunya pelaku di muka bumi ini”. Pengagungan terhadap manusia ini, menurut Smith juga tergambar dalam karya Shakespeare:
“Betapa indahnya manusia! Betapa agungnya di dalam budi! Betapa tak terbatasnya di dalam kemampuan-kemampuan! Didalam bentuk dan gerak betapa jelas dan menakjubkan! Di dalam tindakan betapa miripnya dengan malaikat! Di dalam pengertian betapa miripnya dengan seorang dewa! Keindahan dunia! Suri teladan segala binatang”.[9]
Sehingga pada akhirnya segala sesuatu bagi humanisme bertolak dan berujung pada manusia. Manusia diangungkan sedemikian rupa, yang pada gilirannya semua yang ada tidak akan berarti apa-apa kalau bukan untuk dan demi manusia. Dengan demikian antroposentrisme menjadi basis filosofis sekaligus world view bagi humanisme.
Doktrin tentang superioritas manusia ini pada gilirannya menafikan eksistensi Tuhan. Hal ini tergambar dari beberapa pemikir Barat yang menegaskan hal tersebut. Jean Paul Sartre menyatakan, “Kalau kita menerima manusia sebagai yang paling unggul, maka Tuhan tidak ada”.[10] Begitu juga dengan Feuerbach, “Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi angan-angan manusialah yang menciptakan Tuhan”.[11] Bahkan Nietzsche lebih dahsyat lagi, dia memproklamirkan penghapusan Tuhan dalam diri manusia, dengan menyatakan, “Tuhan sudah mati”. Nietzsche membunuh Tuhan dalam bentuk apapun, sehingga tidak ada ruang yang tersisa dalam diri manusia dan alam semesta bagi Tuhan.[12] Jadi, keberadaan Tuhan bagi masyarakat Barat merupakan musuh yang harus dimusnahkan.[13]
Penyingkiran peran agama dan keberadaan Tuhan dalam humanisme merupakan cita-cita untuk keluar dari kungkungan segala bentuk otoritas. Karena menurut Sartre, jika tidak ada Tuhan, maka akan ada kehidupan yang eksistensi mendahului esensi.[14] Dengan pengertian bahwa manusia menjadi bebas, tidak ditentukan oleh suatu kodrat tertentu.[15] Sebab, lanjut Sartre, bahwa keyakinan akan adanya Tuhan akan menghancurkan kebebasan manusia.[16] Hal ini juga ditegaskan oleh Gonineni, direktur Internasional Persatuan Humanis dan Etis Internasional, dengan menyatakan bahwa:
“Sebagai kaum humanis kami menolak kekuasaan atau otoritas mutlak. …kami mengedepankan pencarian kebenaran secara bebas. … dan yang terpenting bagi humanisme adalah pencarian kebenaran, bukan memiliki kebenaran…. Kami berkomitmen terhadap kebebasan berpikir dan bertindak dan memusatkan perhatian kepada manusia…”.[17]
Dari pernyataan di atas, tampak jelas bahwa kebebasan menjadi nilai yang harus dijunjung tinggi bagi humanime. Kebebasan yang dimaksud adalah bebas dari segala bentuk otoritas, baik politik, agama ataupun Tuhan. Semangat kebebasan ini kemudian mewarnai segenap sisi kehidupan masyarakat Barat, baik segi sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan bidang lainnya. Dari sinilah kemudian muncul gerakan liberalisme di Barat. Sehingga dikatakan bahwa liberalisme merupakan anak kandung dari humanisme.[18]
Disamping kebebasan, humanisme juga meniscayakan relatisme. Kierkegaard menulis, bahwa “Kebenaran adalah subjektifitas”.[19] Bagi humanisme masing-masing manusia dianggap mempunyai ukuran kebenaran sendiri-sendiri, sehingga menapikan kebenaran absolut. Sebagaimana dikatakan Schiller, bahwa spirit dari aliran humanisme adalah relatisvisme, yang menolak semua kebenaran yang absolut.[20]
Dari sini tampak bahwa humanisme bukanlah konsep yang universal. Hal ini disebabkan karena, pertama, antroposentrisme, menjadikan manusia sebagai pusat segala-galanya. Kedua, ateisme, menapikan adanya Tuhan dalam kehidupan manusia. Ketiga, liberalisme, manusia bebas mencari nilai moral dan menentukan kebenaran, serta menolak semua bentuk otoritas yang mengekang kreativitas manusia. Keempat, relativisme, tidak mengakui adanya kebenaran yang absolut. Yang semuanya merupakan cerminan dari miliu masyarakat Barat yang trauma terhadap agama. pada akhirnya menjadi agama baru bagi masyarakat Barat.
Dengan demikian, humanisme tidak relevan diaplikasikan dalam Islam, mengingat paham tersebut sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, manusia sebagaimana dikatakan Naquib Al-Attas[21] dengan mengutip beberapa ayat al-Qur’an, merupakan hamba Allah yang harus tunduk dan taat dengan perintah Tuhannya.[22] Sehingga fitrah manusia adalah bertuhan.[23] Manusia juga ditugaskan sebagai khalifah di atas dunia,[24] yang diamanatkan untuk menjaga ketertiban dan keseimbangan dunia dengan menegakkan keadialan dan mencegah kezhaliman.[25] Untuk menjalankan tugas kehambaan dan kekhalifahan tersebut, Allah menurunkan kepada manusia syari’ah[26] melalui para rasul-Nya.[27]
C. Implikasi Humanisme Terhadap Syari’ah
Kalaupun kemudian beberapa pemikir Islam mengadopsi dotrin tersebut, ini merupakan efek dari proyek globalisasi dan westernisasi. Sebab bagi Barat, Islam dianggap sebagai ancaman terbesar bagi pasca runtuhnya sosialisme.[28] Barat terus berupaya menyebarkan paham-paham, budaya dan ideologi anutan mereka melalui proyek tersebut. Mega proyek ini dijalankan dengan tiga strategi, yakni orientalisme yang dimanfaatkan untuk mengkaji sekaligus mendekonstruksi pemahaman keislaman. Selanjutnya misonarisme sebagai strategi untuk mempengaruhi umat Islam agar menerima ideologi mereka, dan juga kolonialisme sebagai langkah penaklukan. Program ini diperlancar dengan penguasaan mereka terhadap media informasi dan komunikasi.[29] Akibatnya, tidak sedikit intelektual muslim yang mengadopsi dokrin ini, dan dijadikan sebagai rujukan dalam melihat syari’ah.
Doktin humanisme tampak pada proyek dekonstruksi syariah yang dilakukan oleh beberapa pemikir Islam kontemperer. Dekonstuksi syari’ah ini dilakukan dengan desakralisasi syari’ah. sebagaimana dilakukan Abdullahi Ahmed An-Na’im.[30] Bagi An-Na’im syari’ah tak lain hanyalah produk sejarah yang dikonstruksi manusia, yang terus mengalami evolusi untuk guna penyesuaian dengan realitas. An-Naim menegaskan bahwa syari’ah hanyalah, “the product of process of interpretation of analogical derivation from the text of the Qur’an and Sunna and other tradition”.[31] Ia menamakan syari’at ini dengan historical shari’ah (syari’ah historis). Na’im selanjutnya menyatakan “…some definite and generally agreed principles of shari’a are in clear conflict with corresponding principles of international law”.[32]
Kedua hukum tersebut tidak mungkin dapat hidup berdampingan, jelas Na’im.[33] Dalam pandangannya, andaikan kaum Muslim tetap memaksakan untuk menerapkan syariat Islam tersebut, mereka akan mengalami kerugian karena tidak dapat mengecap manfaat sekularisasi. An-Na’im menegaskan, “If historical shari’a is applied today, the population of Muslim countries would lose the most significant benefits of secularisation”.[34] Dan menurutnya, yang paling merasakan kerugian ini adalah masyarakat non-Muslim dan kaum wanita. Bagi masyarakat non-Muslim mereka akan menjadi masyarakat kelas kedua, dan bagi wanita pula mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Tapi kaum lelaki pun, katanya, juga akan merasakan dampaknya, sebab mereka akan kehilangan kebebasan karena disekat berbagai undang-undang.[35] Dengan demikian, terlihat jelas bahwa An-Na’im melihat syari’ah hanyalah konstruksi manusia. Sehingga bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman. Dari sini terlihat jelas bahwa An-Na’im telah menghilangkan peranan Tuhan dalam menentukan syari’ah.
Desakralisasi syari’ah ini juga telah mempengaruhi masyarakat muslim Indonesia. Seorang tokoh yang Jaringan Islam Liberal di Indonesia menyatakan “saya tidak percaya adanya ‘hukum Tuhan’,…. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini”. Sehingga dalam pandangannya, ketentuan syari’ah mengenai qishas, potong tangan bagi pencuri, ataupun pemakaian jilbab bagi perempuan tidak lain hanyalah pengaruh budaya Arab.[36]
Dari pandangan di atas, terlihat bahwa mereka telah merubah paradigma syari’ah yang berorietasi ilahiyah kepada antroposentis un sich. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan peran Tuhan dalam pembentukan syari’ah. Maka syari’ah dipandang hanyalah konstruksi manusia yang tidak ada bedanya dengan peraturan-peraturan yang lain yang dibuat manusia. Implikasi dari pandangan tersebut, akan menghilangkan spirit penghambaan kepada Tuhan. Karena syari’ah dalam Islam merupakan jalan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan. Ini akan berujung pada pada hilangnya peran Tuhan dalam kehidupan manusia. Disinilah doktrin humanisme sangat mewarnai cara pandang mereka terhadap syari’ah.
Selanjutnya, dekonstruksi syari’ah ini dilakukan dengan menggugat otoritas ulama. Abû Zayd melontarkan tuduhan kepada Imam Syafi’i yang berkenaan dengan metodologi hukum Islam, yang diangggap oleh Abu Zayd sebagai sebuah upaya untuk mempertahankan hegemoni ke-Quraysyan-nya.[37] Disamping itu pernyataan yang kurang lebih sama terdapat juga dalam dalam buku Fiqih Lintas Agama, “Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya.”[38]
Apa yang dilakukan oleh beberapa pemikir ini mengindikasikan bahwa mereka anti otoritas. Mereka tidak ingin terkungkung dengan segala metodologi yang hasilkan oleh para ulama terdahulu. Dengan diruntuhkannya kepercayaan masyarakat terhadap ulama, maka apa yang dihasilkan ulama tidak akan bernilai di mata masyarakat. Sedangkan peran ulama dalam menjaga ajaran agama sangat signifikan. Dengan hilangnya peran ulama di masyarakat maka syari’ah tentunya akan ikut hilang. Semangat anti otoritas yang ditunjukkan oleh para pemikir ini tidak berbeda dengan doktrin humanisme tidak ingin terdekte oleh segala bentuk otoritas.
Lebih lanjut, dekonstruksi syari’ah juga dilakukan melalui kritik sejarah atau kontekstualisasi ijtihad. Metodologi istimbat hukum (Usul Fiqih) yang ada saat ini, dianggap tidak relevan dan bersifat subyektif-ideologis, sehingga memerlukan metodologi yang lebih obyektif. Salah satu pendekatan yang dianggap obyektif adalah pendekatan sejarah. Menurut Syahrur, “…Penerapan ayat-ayat hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Dengan demikian gugurlah qiyas dan tetaplah ijtihad terhadap ayat-ayat hukum. Prinsipnya adalah akal dan kesesuaian ijtihad dengan realitas objektif”.[39]
Dalam pandangan Syahrur, hukum Islam terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Akhirnya yang menjadi tolak ukur kebenaran dalam melakukan interpretasi terhadap teks Al-Qur’an adalah realitas empirik. Sehingga menurut Syahrur dalam merealisasikan ketentuan syari’ah atau hukum Islam dalam konteks saat ini, tidak bisa disamakan dengan generasi Islam sebelumnya. Sebagaimana ditegaskan Syahrur, “….masing-masing generasi menafsirkan al-Qur’an berdasar pada realitas tertentu pada masa mereka hidup, kita yang hidup pada abad 20 ini juga berhak menafsirkan al-Qur’an berdasar ‘semangat zaman’ yang mencitrakan kondisi pada masa sekarang.“[40] Terlebih, ketika ketentuan hukum tidak disebutkan secara tekstual, maka lanjut Syahrur, ” فمع عدم وجود النص يستطيع المشرع أن يشرع ما شاء “.[41] Sehingga dalam pandangan Syahrur, tidak ada ketentuan hukum Islam yang bersifat permanen dan final, semuanya bisa berubah seiring perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dari sini terlihat bahwa Syahrur lebih mengedepankan relaitas dari ketentuan wahyu.
Dengan menjadikan realitas sebagai landasan dalam menentukan syari’ah akan menimbulkan problem baru. Karena bagaimanapun realitas selalu berubah. Apabila realitas publik menganggap kemaksiatan sebagai suatu hal yang baik, maka syari’ah akan dipaksa untuk menjustifikasi maksiat. Karena, suatu kemaksiatan, apabila dibublikasikan secara terus-menerus maka semakin lama masyarakat akan melihat perbuatan tersebut hal yang biasa atau malah hal yang baik.
Hal ini terbukti dalam bebarapa kasus yang berkaitan dengan syari’ah yang ada di Indonesia. Adanya gugatan terhadap Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadi rujukan Pengadialan Agama di Indonesia. Mereka yang tergabung dalam Tim Pengaruutamaan Gender Departemen Agama mengajukan draf KHI baru yang isinya antara lain, Mengharamkan Poligami (pasal 3 ayat 2), dan menghalalkan nikah beda agama (pasal 54). Calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri (tanpa wali) asalkan calon suami atau istrin itu berumur 21 tahun, berakal sehat dan rasyid rasyidah (pasal 7 ayat 3). Masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah lagik-laki adalah 130 hari (pasal 88 ayat 7a). Bagian waris anak laki-laki dan wanita adalah sama (Pasal 8 ayat 3 bagian kewarisan).[42] Hal ini dilakukan, karena menurut mereka KHI yang ada sekarang ini sudah tidak sesuai dengan relaitas publik saat ini. Bertentangan dengan Hukum Internasional dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Itulah sebabnya, mengapa pembaharuan mutlak diperlukan.”[43]
Selain itu, penghalalan pernikahan sesama jenis, juga merupakan bentuk aplikatif dari kontekstualisasi ijtihad. Mereka berargumen bahwa untuk membatasi jumlah penduduk saat ini, perkawinan sesama jenis dapat dijadikan solusi. Dalam jurnal Justisia dikatakan, “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan”.[44]
Inilah beberapa stategi yang dilakukan untuk mendekonstruk syaria’ah. Semua cara tersebut mempunyai semangat yang sama dengan apa yang menjadi doktrin dalam humanisme. Yaitu antroposentrisme, relatifisme, liberalisme. Sehingga kalau ini dilanjutkan, maka yang ada bukan lagi syari’ah tapi paham humanisme.[45]
D. Penutup
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa humanisme terlahir dari rahim peradaban Barat yang trauma kepada agama. Akibatnya, humanisme dengan orientasi antroposentrisnya anti terhadap agama (ateis), menjunjung tinggi kebebasan, dan tidak mengakui kebenaran yang absolut. Sehingga paham ini tidak bisa didialogkan dengan Islam, karena secara ontologis keduanya sangat paradaoks. Menjadikan humanisme sebagai basis filosofis dalam mengkaji syari’ah justru akan mendekonstruksi syari’ah itu sendiri.
Untuk itu, di era perang pemikiran (ghazwul fikri) saat ini, sebagaimana diakui oleh juga Amin Abdullah, menurutnya diperlukan sikap kritis, konseptual, dan argumentatif.[46] Tidak menerima begitu saja apa yang datang dari peradaban lain, tanpa kritik. Karena bagaimanapun setiap ilmu tidak ada yang bebas nilai (value free).[47] Setiap ilmu lahir dari masyarakat yang mempunyai cara pandang (world view) tersendiri dalam meliat relaitas. Dan tiap-tiap peradaban mempunyai world view yang berbeda-beda.[48]
Wallahua’lam bisshowab
Daftar Pustaka
A. Khudori Soleh (Ed.), Pemikiran Islam Kontemporer,(Yogyakarta, Jendela, 2003).
A. Sudiarja, Agama (di zaman) yang Berubah, (Yogyakarta, Kanesius, 2006).
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law, (Syracuse, New York, Syracuse University Press, 1990).
———, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin Ar-Rany, (Yogyakarta, LKiS, 1994).
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta, Gema Insani Press, 2005)
Adib Abdushomad GJA (ed), Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran An-Na’im, (Yogyakarta, Gama Media, 2004).
Akbar S. Ahmed, Islam Sebagai Tertuduh: Kambing Hitam di Tengah Kekerasan Global, Terj. Agung Prihantoro, (Bandung, Arasy, 2004).
Ali Syari’ati, Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif Muhammad, (Jakarta, Pustaka Hidayah, 1992).
Amin Abdullah, Humanisme Religius Versus Humanisme Sekuler Menuju Sebuah Humanisme Spiritual. Dalam, Islam Dan Humanisme Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. (Yogyakarta, Pustaka pelajar dan IAIN Wali Songo Semarang, 2007).
———–, Islamic studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010).
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta, Perspektif, 2005).
Bambang Sugiharto (ed.), Humanisme dan Humaniora Relevansinya bagi Pendidikan, (Yogyakarta, Jalasutra, 2008).
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007)
Bryan Magee, The Story of Philosphy, tert. Marcus Widodo, Hardono Hadi, (Yogyakarta, Kanisius, 2008).
David Michel Levin, The Opening of Vision: Nihilism and the Postmodernism Situation, (London, Routledge, 1988).
Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004).
Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta, Kanisius, 2006).
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo, Central for Islamic and Occidental Studies-ISID Gontor, 2008).
Henri Shalahuddin, Al-Qur’an di Hujat, (Jakarta, Al-Qalam, 2007).
Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, terj. Yudhi Murtanto, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002).
Karen Armstrong, Perang Suci dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan, (Jakarta, Serambi, 2007).
Laode M. Kamaluddin (Ed), On Islamic Cilization Menyalakan Kembali Lentera Peradaban yang Sempat Padam, (Semarang, Unisula Press, 2010).
Leela Gandhy, Postcolonial Theory; A Critical Introduction, (Sidney, Allen & Unwin, 1998).
Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, terj. P. Hardono Hadi, (Yogyakarta, Kanesius, 2004).
Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996).
Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, terj. Musthalah Maufur, (Jakarta, Rabbani Press, 1998).
Muhamad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (Kaioro dan Damaskus, Sina lil al- Nasr, 1992).
———-, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2008).
Mun’im A Sirry (Ed.), Fiqh Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif/Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004).
Saiyad Fareed Ahmad dan Sahuddin Ahmad, 5 tangtangan Abadi Terhadap Agama, terj. Rudy Harisyah Alam, (Bandung, Mizan, 2008).
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta, Gema Insani Press, 2008).
Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G Tahzib Lie, (ed), Kebebasan Beragama atau Berkeyakianan: Seberapa Jauh?, terj. Rafael Edy Bokso dan M. Ririfai Abduh, (Yogyakarta, Kanisius, 2010).
Tim Pengarusutamaan Gender Depag RI, Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender, Departemen Agama RI, 2004).
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung, Mizan, 1998).
Zaenal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung, Rosdakarya, 2006).
Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” Dalam Artikel Koran Harian Kompa s(18-11-2002).
Redaksi, Indahnya Perkawinan Sesama Jenis, dalam Jurnal Justisia, Edisi 25, th. XI 2004. (Semarang, Fakuktas Syari’ah IAIN Walisongo)
[1] http:/www.kompas.com/utama/news/0509/062628.htm.
[2] Franzs Magnis Suseso, Humanisme Relegius vs Humanisme Sekuler?, dalam Islam dan Humanisme Aktualisasi Humanisme Islam Di Tengah Krisis Humanisme Universal. (Yogyakarta, Pustaka pelajar dan IAIN wali Songo Semarang, 2007), p. 209.
[3] Lihat. Amin Abdullah, Humanisme Religius Versus Humanisme Sekuler Menuju Sebuah Humanisme Spiritual. Dalam, Islam dan Humanisme …, p. 187.
[4] Lihat. Nashr Hamid Abu Zayd dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflection on Islam, (London: Westport, Connecticut, 2004), p. 96.
[5] David Michel Levin, The Opening of Vision: Nihilism and the Postmodernism Situation, (London, Routledge, 1988), p. 3. Lihat juga. Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996), p. 295. Zaenal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung, Rosdakarya, 2006), cet. iv. p. 42. Pandangan ini sesungguhnya muncul sejak zaman Yunani Klasik. Ketika para pemikir Yunani kuno (6-4 SM) memusatkan perhatian mereka pada alam semesta, sehingga memunculkan apa yang dinamakan mitos kosmologi, yaitu mitos yang mencari keterangan tentang asal-usul, sifat-sifat kejadian dalam alam semesta serta pencipta alam semesta. Thales (biasanya disebut sebagai filosof Yunani awal yang hidup sekitar Abad ke-6 SM) misalnya mempertanyakan asal usul alam, dan dia menyatakan dari air, Anaximenes menyatakan dari udara, dan Herakleitos menyatakan dari api. Selain berbicara tentnag bahan baku alam, juga mengenai bentuk, Anaximandros (610-546 SM) menyatakan bahwa bumi berbentuk datar atau lempeng, bumi adalah benda padat yang tidak ditopang oleh apapun dan menggantung diruang angkasa. Dari mitos ini muncullah mitos tentang dewa-dewa, konsekuensinya manusia harus tunduk dengan alam dan dewa-dewa tersebut. Sehingga corak pemikiran Yunani kuno bersifaf kosmosentris. inilah yang digugat oleh Protagoras (480–411 SM) seorang tokoh Sophist terkenal, ia ingin keluar dari mitos tentang alam dan dewa-dewa, ia menentang kekuasaan dewa-dewa bahkan meragukan adanya dewa-dewa, dia melihat ada kecendrungan mereduksi manusia pada alam, baginya, “Manusia adalah tolak ukur segalanya, jika manusia menganggapnya demikian maka demikianlah adanya, jika tidak demikian maka tak demikian pula”. Doktrin ini muncul kembali pada masa renaissans dalam sejarah peradaban Barat sebagai bentuk protes terhadap dominasi Gereja yang sangat kuat pada waktu itu. Lihat Bryan Magee, The Story of Philosphy, tert. Marcus Widodo, Hardono Hadi, (Yogayakarta, Kanisius, 2008), p. 12-17. Lihat juga, Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hal. 105. Robert Pepperel, Posthuman Kompleksitas Kesadaran, Manusia dan Teknologi, terj. Hadi Purwanto, (Yogyakarta, Kresasi Wacana, 2009), p. 279.
[6] Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), cet. III, p. 39.
[7] Prinsip ini ditetapkan oleh Dewan Humanisme Sekuler (council for Secular Humanism) yang dikutip oleh Saiyad Fareed Ahmad dan Sahuddin Ahmad. Lihat. Saiyad Fareed Ahmad dan Sahuddin Ahmad, 5 tangtangan Abadi Terhadap Agama, terj. Rudy Harisyah Alam, (Bandung, Mizan, 2008), p. 259-260.
[8] Leela Gandhy, Postcolonial Theory; A Critical Introduction, (Australia, Allen & Unwin, 1998), p. 41.
[9] Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, terj. P. Hardono Hadi, (Yogyakarta, Kanesius, 2004), cet. v. p. 132.
[10] Ibid, p. 10.
[11] Hendrikus Endar S., Humanisme dan Agama, dalam Bambang Sugiharto (Ed.), Humanisme dan Humaniora Relevansinya bagi Pendidikan, (Yogyakarta, Jalasutra, 2008), p. 188-189.
[12] Ibid
[13] Pandangan ini sesungguhnya tidak lepas dari trauma sejarah yang dialami masyarakat Barat. Trama ini disebabkan karena kekuasaan Gereja yang sangat dominan pada zaman pertengahan (dalam babakan sejarah Barat), yang telah menimbulkan bencana kemanusiaan dan kemunduran Ilmu pengetahuan. Agama yang seharusnya menjadi penjaga moral masyarakat, tapi di Barat justru menjadi alat untuk meletimasi kebiadaban. Melalui makamah inquisisinya, Gereja telah memberangus jutaan nyawa yang menurut Gereja dinyatakan bersalah, atau bertentangan. Penomena ini digambarkan oleh beberapa pemikir Barat yang dekat dengan institusi Gereja, diantaranya Karen Amstrong, seorang mantan biarawati yang menceritakan bahwa, “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrument teror dalam Gereja Katolik…”. Lihat. Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (New York, Anchor Books, 2001), p. 62-63. Lihat juga terjemahan dalam bahasa Indonesia, Karen Armstrong, Perang Suci dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan, (Jakarta, Serambi, 2007), cet. v. p. 703. Selain Amstrong, Nietzsche juga menceritakan phenomena yang ada di Gereja, dengan menyatakan bahwa, “Penyingkapan topeng moralitas Kristen merupakan peristiwa yang tiada bandingnya… Segala sesuatu yang sampai saat ini disebut “Kebenaran” dikenal sebagai bentuk tipuan yang paling merugikan, jahat, paling hina; dalih suci untuk “memperbaiki” umat manusia sebagai kelicikan untuk menghisap kehidupan sendiri dan membuatnya kekurangan darah. Moralitas sebagai vampirisme…”. Dikutip Linda Smith dan William Raeper, Lihat Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat…., p. 128.
[14] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, terj. Yudhi Murtanto, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), p.43-44.
[15] Lihat Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), p. 5.
[16] Pernyataan ini dikutip Magnis Suseno, Lihat Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta, Kanisius, 2006), p. 94.
[17] Rajaji Ramanadha Babu Gogineni dan Lars Gule, Humanisme dan Kebebasan dari Agama, dalam Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G Tahzib Lie, (ed), Kebebasan Beragama atau Berkeyakianan: Seberapa Jauh?, terj. Rafael Edy Bokso dan M. Ririfai Abduh, (Yogyakarta, Kanisius, 2010). p. 611-613.
[18] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta, Gema Insani Press, 2008), p.76. Lihat juga, Ali Syari’ati, Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif Muhammad, (Jakarta, Pustaka Hidayah, 1992), p. 39-40.
[19] Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat…, p.79.
[20] Pernyataan ini dikutip Anis Malik Thoha, dari Schiller, F. C. S., Humanism.. … Lihat. Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta, Perspektif, 2005), p.51.
[21] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung, Mizan, 1998). p. 94-111.
[22] وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. Adz Dzariyat, 51: 56).
[23] وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (QS. Al-A’raf, 7: 172).
[24] وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً …..
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ ….” (QS. Al-Baqarah, 2: 30).
[25] وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali ‘Imran, 3:104).
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلاَتُخْسِرُوا الْمِيزَانَ.
“Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”. (QS. Arrohman, 55: 9)
[26] Syari’ah adalah setiap jalan yang ditetapkan oleh Allah untuk manusia, yang tidak berubah, dan melalui perantara nabi. Syari’ah mencakup ibadah, mu’amalah dan nlai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis ahkam. Sehingga syari’ah adalah Islam itu sendiri. Dan syari’ah Islam adalah syari’ah penutup dan bersifat universal. Lihat. Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, terj. Musthalah Maufur, (Jakarta, Rabbani Press, 1998), p. 102-106.
[27] ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
“kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. Al-Jasiyah, 45:18)
[28] Lihat, Samuel P. Hungtington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, (New York, Penguin Book, 1997). Serangan terhadap Islam semakin gencar terutama pasca peristiwa 11 September 2001, dengan jargon mereka “Perang terhadap Terorisme” yang sesnungguhnya adalah perang terhadap Islam. Untuk lebih jelasnya, lihat juga, Akbar S. Ahmed, Islam Sebagai Tertuduh, Terj. Agung Prihantoro, (Bandung, Arasy, 2004)
[29] Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam…, p. 48.
[30] Abdullahi Ahmed an-Na’im lahir di Sudan, 19 November 1946. Pendidikan S-1 ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Khartoum, Sudan tahun 1970 dengan gelar LL.B. Kemudian tahun 1971-1973, ia menempuh studi magisternya di Universitas Cambridge Inggris dengan mengambil spesialisasi pada masalah hak-hak sipil dan hubungannya dengan konstitusi negara-negara berkembang serta hukum internasional (the law relating to the civil liberties, constitutional law of developing countries and private international law). Pada tahun serta di universitas yang sama, ia juga mengambil program magister bidang kriminologi. Sedangkan untuk program doktor (Ph. D.) ditempuhnya di Universitas Edinburg, Skotlandia dalam bidang hukum pada tahun 1976 dengan disertasi berjudul “Comparative pre-Trial Criminal Procedure: English, Scottish, U.S. and Sudanese Law”, yakni suatu kajian mengenai perbandingan prosedur pra-peradilan kriminal antara hukum Inggris, Skotlandia, Amerika Serikat dan Sudan). Lihat Adib Abdushomad GJA (ed), Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran An-Na’im, (Yogyakarta, Gama Media,2004), p.20-22.
[31] “hasil dari proses penafsiran, derivasi melalui qiyas terhadap teks al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi yang lain”. Lihat. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law, (Syracuse, New York, Syracuse University Press, 1990), p. 11. Lihat juga terjemahan dalam bahsa indonesia, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin Ar-Rany, (Yogyakarta, LKiS, 1994), p. 20.
[32] “sebagian prinsip-prinsip syari’ah yang pasti dan secara umum disepakati terang-terangan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional”, Ibid., 151.
[33] Ibid., 8.
[34] “Jika syari’ah historis ini diaplikasikan saat ini, kebanyakan penduduk negeri Muslim akan kehilangan manfaat yang cukup signifikan dari sekulraisasi “. Ibid. p. 8.
[35] Ibid., 8-9.
[36] Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” Artikel diterbitkan oleh Koran Harian Kompas pada tanggal 18-11-2002.
[37] Hendri Shalahuddin, Al-Qur’an Dihujat, (Jakarta: al-Qolam, 2007), p 66-69
[38] Mun’im A Sirry (Ed.), Fiqh Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif/Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004) cet. III, p 5
[39] Muhamad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer , terj. Sahiron Syamsuddin,, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2008), p. 106.
[40] Muhamad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (Kaioro dan Damaskus, Sina lil al- Nasr, 1992), p. 44, 47 dalam Wael B. Hallaq Membaca Teori Batas M. Shahrur dalam M. Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, terjemah Sahiron Syamsuddin Prinsip Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Jogyakarta,2007), p. 3.
[41] ”….ketika tidak adanya teks, seorang penetap hukum diperkenankan menetapkan hukum sesukanya. Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Al-Ahali, 2000), p. 56.
[42] Untuk melihat lebih jelas, ketentuan-ketentuan hukum Islam yang ingin dirombak oleh Tim Pengarusutamaan Gender Depag 2004, lihat Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender, Departemen Agama RI, 2004).
[43] Abd Moqsith Ghazali, “Argumen Metodologis CLD KHI,” o8/03/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=774
[44] Redaksi, Indahnya Perkawinan Sesama Jenis, dalam Jurnal Justisia, Edisi 25, th. XI 2004. (Semarang, Fakuktas Syari’ah IAIN Walisongo). P. 1.
[45] Untuk melihat lebih jauh strategi Batat untu membaratkan Islam, Lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta, Gema Insani Press, 2005).
[46] M. Amin Abdullah, Islamic studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta, ustaka Pelajar, 2010), cet. II. P. 8.
[47] Ibid, p. 104.
[48] Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam…., p. 41.
Last modified: 24/04/2011