Oleh : Muhammad Kholid*
Inpasonline.com-Mungkin kita pernah mendengarkan ungkapan-ungkapan seperti ini: ‘Lebih baik tidak religius tapi humanis, dari pada religius tapi tidak humanis’. ‘Tuhan tidak perlu dibela, yang perlu dibela adalah manusia’. ‘Apakah adil non-muslim yang berbuat baik dimasukkan ke neraka, dan muslim yang berbuat jahat masuk surga’. ‘Saya tidak percaya adanya hukum Tuhan, yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stakeholder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini’. Pernyataan seperti ini adalah pemikiran penganut ideologi humanisme. Begitulah logika sebagian golongan yang mengaku dirinya sebagai humanis religious.
Dalam diskursus filsafat Barat, humanisme dimaknai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, dan bukan pada otoritas supranatural manapun. Paham humanisme bisa kita tarik kebelakang hingga era Protagoras (490 M-420 M) dengan perkataanya yang terkenal:‘manusia adalah ukuran untuk segala-galanya, untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk hal-hal yang tidaka ada sehingga mereka tidak ada’.
Awalnya Barat mengakui Tuhan sebagai pusat (teorentris) segala sesuatu. Tapi kemudian pada abad modern, mereka membangun argument bahwa pusat segala sesuatu adalah manusia (antroposentris). Sebuah pergeseran yang revolusioner.
Antroposentris adalah menganggap manusia sebagai hakekat sentral kosmos (center of cosmos). Linda Smith merenung tentang manusia: “Betapa indahnya manusia! betapa agungnya di dalam budi! betapa tak terbatasnya di dalam kemampuan-kemapuan! di dalam bentuk dan gerak betapa jelas dan menakjubkan! di dalam tindakan betapa miripnya dengan malaikat! Di dalam pengertian betapa miripnya dengan seorang dewa! Keindahan dunia! Suri tauladan segala binatang”.
Barat telah mengesampingkan Tuhan, dan mengetengahkan manusia. Slogan yang terkenal di Barat man is deified and deity humanized. Diderot mengatakan bahwa ‘manusia adalah tempat tinggal dimana kita harus mulai dan dimana kita merujuk atas segala sesuatu’. Senada dengan itu, Charles Swinburne menegaskan “kemulyaan kepada manusia di tempat tinggi! Karena manusia adalah tuan segalanya”. Sir Julian Huxley juga mengamini bahwa “manusia adalah bentuk kehidupan terakhir yang dominan dimuka bumi ini, dan satu-satunya pelaku di muka bumi ini”. Tokoh seperti Spinoza, Goethe, Hegel serta Marx berpendapat bahwa manusia menguasai dunia di luar dirinya.
Menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, jika pluralisme agama memindah pusat orbit dunia agama (world of religion) kepada satu Tuhan, maka humanisme memindahkan orbit segala sesuatu dari Tuhan kepada manusia.
Tidak cukup dengan hanya mengesampingkan Tuhan. Lebih radikal lagi, eksistensi Tuhan kemudian dinafikan. Jean Paul Sartre menyatakan ‘Kalau kita menerima manusia sebagai yang paling unggul, maka Tuhan tidak ada’. Sartre menganggap jika tidak ada Tuhan, maka akan ada kehidupan yang eksistensi mendahului esensi. Adanya Tuhan akan menghancurkan kebebasan manusia. Menurut Feurbach ‘bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi angan-angan manusialah yang menciptakan Tuhan’. Hingga puncaknya Tuhan dianggap mati, dengan slogan Nietzche yang terkenal ‘Tuhan sudah mati’.
Sebenarnya penafian terhadap eksistensi Tuhan hanyalah upaya Barat untuk menggapai kebebasan yang mereka pahami. Aturanpun jika harus ada, berangkat dari kesepakatan manusia sendiri atas dasar rasionalitas. Clinton Rossiter dalam bukunya Conservatism in America mengatakan “sejak dulu bagi kita kebebasan merupakan obsesi. Kita menjunjung tinggi kebebasan lebih daripada kekuasaan dan tanggungjawab; hak lebih diutamakan daripada kewajiban, semua itu merupakan kecenderungan historis kita. Bagi kami yang menjadi patokan bukanlah manusia yang baik, tetapi manusia yang bebas”.
Humanisme yang menuntut kebebasan juga anti terhadap yang namanya otoritas. Gogineni berpendapat “sebagai kaum humanis kami menolak kekuasaan atau otoritas mutlak, kami mengedepankan pencarian kebenaran secara beda, dan yang terpenting bagi humanisme adalah pencarian kebenaran, bukan memiliki kebenaran, kami berkomitmen terhadap kebebasan berpikir dan bertindak dan memusatkan perhatian kepada manusia”. Prinsip anti-otoritas inilah yang kemudian diikuti oleh para pengusung liberalisasi pemikiran Islam. Untuk meneguhkan paham anti-otoritas ini, mereka mulai mengkritik para ulama.
Nasr Hamid Abu Zayd melontarkan tuduhan kepada Imam Syafi’i berkenaan dengan metodologi hukum Islam, yang dianggap oleh Abu Zayd sebagai sebuah upaya untuk mempertahankan hegemoni ke-Qursysyan-nya. Dalam buku Fiqh Lintas Agama ditegaskan “Kita lupa, imam Syafi’ie memang arsitek ushul fiqh yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqh tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’ie meletakkan kerangka ushul fiqhnya, para pemikir fiqh muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya”.
Masih dalam buku yang sama, ditegaskan “Bagi masyarakat kapitalis modern, menggunakan symbol-simbol keagamaan, seperti fiqih, merupakan cara untuk mengembangkan kapitalis, sebagaimana tercermin dalam maraknya bank-bank yang menggunakan symbol keagamaan…. Jadi fiqih merupakan khazanah yang diperebutkan, karena didalamnya tersimpan semangat teosentrisme. Lalu apa yang terjadi bila fiqih bercorak teosentrisme? Kita akan masuk kedalam jebakan otoritarianisme” (Fiqh Lintas Agama, 134). Menurutnya, fiqh yang baik adalah fiqh bercorak antroposentrisme, fiqh yang mengakomodasi ‘hasrat’ manusia.
Ulama adalah manusia, kita juga manusia. Begitu klakarnya. Memang kita semua manusia, tapi apakah sama kualitas manusia yang telah menekuni bidang ilmu seperti ushul fiqh, ilmu hadist, ilmu tafsir, dll dengan manusia yang kerjaannya hanya main game siang malam?, Disinilah perlunya adab. Sebuah sikap untuk menentukan otoritas pada tempatnya. Semua orang memang berhak menafsirkan, tapi syaratnya harus punya otoritas dalam ulum diniyah. Seseorang yang sakit secara nalar umum, akan berangkat menuju dokter untuk berobat, karena yang memiliki otoritas mendiagnosa dan memberi obat adalah dokter. Yang memiliki otoritas untuk mengemudi pesawat ya pilot. Apa jadinya jika seorang pramugari berlagak menjadi pilot. Adanya otoritas bertujuan agar tercipta sebuah keteraturan. Tapi, sikap anti-otoritas seperti ini jangan-jangan agar mereka diakui memiliki otoritas untuk menginterpretasikan agama sesuka mereka. Seperti yang diungkapkan Muhammad Syahrur, fama ‘adami wujudi an-nash yastathi’ al-musyri’ an yasyra’ ma sya’a (ketika tidak adanya teks, seorang penetap hukum diperkenankan menetapkan hukum sesukanya).
Humanisme – yang diikuti oleh beberapa muslim seperti kasus diatas – tidak terlepas dari worldview Barat dalam memandang manusia. Dalam perspektif Barat, manusia hanya berdimensikan lahir. Seperi yang dikatakan Protagoras diatas ‘untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk hal-hal yang tidaka ada sehingga mereka tidak ada’. Yang disebut ada hanyalah yang bisa diindera, sehingga unsur metafisis dianggap tidak ada. Sedangkan dalam Islam, manusia itu memiliki dimensi lahir (fisik) dan bathin (metafisik). Dimensi lahir membuat manusia disebut basyar. Itu berasal dari saripati tanah yang terpancar dari sulbi lelaki dan masuk ke dalam rahim perempuan untuk bergerak dari nutfah kepada gumpalan darah menuju potongan daging. Dimensi lahir itu kemudian menjadi manusia seutuhnya dengan ditiupkannya ruh.
Sedang dimensi bathin, manusia memiliki ruh. Ruh menurut Islam disebut pula aql, qalb, dan nafs. Disebut berbeda karena berinteraksi dengan lapis-lapis realitas yang berbeda. Ruh adalah realitas abstrak yang ditiupkan Tuhan. Dengannya pula ia terhubung dengan Tuhan. Aql berurusan dengan dengan ilmu dan realitas intelektual. Qalb yang berlapis berhubungan dengan berbagai hal, dari tauhid, iman, termasuk gejolak emosi alamiah manusia. Sedangkan nafs adalah yang mengurusi tubuh agar bisa senantiasa hidup. Maka nafs memiliki hawa dan syahwat. Dengan keduanya menginginkan berbagai hal. Jika kurang ataupun melampui, maka akan membawa pada kebinasaan.
Dari keseluruhan dimensi internal itu, aql adalah pengikat. Ia mengikat banyak hal. Dari iman, ilmu dan sebagainya. Dengan dimensi internal itu, basyar disebut insan. Insan menuju kebahagiaan dunia dan akherat hanya dengan syariat. Karena dimensi manusia berlapis, maka syariat memandu keseluruhan lapisan itu. Jadi kebebasan yang dimaksud Islam adalah kebebasan untuk memilih yang terbaik diantara yang baik (red, syariat). Oleh karenanya kebebasan dalam bahasa arabnya disebut ikhtiar yang asal katanya khair (baik).
*Penulis adalah founder at-Tanwir dan Alumni PKU U