Studi Fiqh & Syari’at Islam: Kritik Pandangan Orientalis (2 habis)

Maka untuk menghindari sirkularitas alias ‘muter-muter’, dianggaplah dan diyakini sajalah presuposisi itu seolah-olah sudah atau bahkan pasti benar. Nah, di sinilah letak persoalannya. Berikut ini sejumlah teori dan presuposisi yang mendasari kajian orientalis mengenai Syari’ah dan fiqh Islam.

Pertama, teori ‘perkembangan’. Adalah Ignaz Goldziher yang julung kali secara panjang lebar menulis bahwasanya Hukum Islam itu mengalami perkembangan (Entwicklung: development) dan pemekaran (Entfaltung: Unfolding) dalam arti tidak langsung matang, lengkap atau tertib dari permulaan, akan tetapi melalui proses panjang dari masa pembentukan (formation), kelahiran (genesis), pertumbuhan (growth), pematangan (ossification) dan akhir-nya kemerosotan (decline). Semua itu konon terjadi akibat tuntutan zaman dan perubahan masyarakat dari masa ke masa: “… nach Massgabe des öffentlichen Bedürfnisses die gesetzliche Entwicklung des Islams gleich nach dem Tode des Propheten ihren Anfang nimmt.” Teori yang menyertai pendekatan historis ini menjadi ‘rukun iman’ orientalisme yang digigit kuat-kuat oleh para pengkaji sezaman maupun sesudahnya –Alois Sprenger, David Samuel Margoliouth, Duncan B. Macdonald, dan E. Gräf.

Kedua, ‘teori pinjaman’ yang juga merupakan asas dari metode penelitian sejarah. Teori ini mengandaikan bahwasanya agama –seperti halnya pengetahuan, ketrampilan dan seni– adalah hasil budi-daya dan reka-cipta manusia. Ia tidak muncul dari langit biru, melainkan berasal dari pergaulan antar anggota masyarakat, puak atau bangsa tertentu dengan bangsa lainnya. Maka Islam pun beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan manusia (bukan wahyu samawi). Bertolak dari andaian ini para orientalis bertungkus-lumus mencari-cari apa yang mereka sangka atau percaya sebagai asal-usul (origins), sumber (sources), atau anasir asing (foreign elements) yang mempunyai kesan atau pengaruh (influence) terhadap ajaran-ajaran Islam. Para orientalis umumnya mendakwa sebagian besar ajaran Islam berkenaan akidah dan ibadah diambil dari doktrin dan tradisi agama Yahudi ataupun Nasrani. Demikian menurut Rudolf Macuch, Carl H. Becker, A.J. Wensinck, I.K.A. Howard, Uri Rubin, Georges Vajda, C.S. Hurgronje, H. Lazarus-Yafeh, dan lain-lain.

Khusus mengenai fiqh dan ushul fiqh sebagai disiplin ilmu, metodologi, dan falsafah perundang-undangan, maka Alfred von Kremer, I. Goldziher, G. Bergsträsser, Joseph Schacht, G.-H. Bousquet, Judith R. Wegner, Patricia Crone, Norman Calder, Harald Motzki, Christopher Melchert, dan Wael B. Hallaq. Semua orientalis ini pada intinya sebulat suara bahwasanya fiqh dan ushul fiqh sebagai suatu bangunan ilmu baru muncul pada abad kedua dan atau ketiga Hijriah, sekitar seratus hingga dua ratus tahun setelah wafatnya Nabi MuÎammad saw. Masih menurut mereka, fiqh bermula dari praktik masyarakat yang tetap terpelihara turun-temurun alias living traditions –istilah Schacht- yang kemudian ditulis dan dibincangkan oleh sekelompok cendekiawan hingga lama-kelamaan tersusun and terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu. Hadits beserta sanadnya dicipta sebagai alat justifikasi suatu tindakan atau pendapat tertentu dalam polemik antar mazhab. Imam as-Syafi’i dinilai berjasa sebagai pengasas ushul fiqh akan tetapi juga dituduh bersalah sebagai pengunci pintu ijtihad dan penyebab kemandekan fiqh. Demikian pendapat Schacht dan para pengekornya.  

Ketiga, ‘teori pengibulan’ yang menuding adanya semacam konspirasi para cendekiawan pada abad-abad kedua, ketiga dan keempat Hijriah untuk menipu publik dengan ‘menyuapkan’ Hadits dan sebagainya ke ‘mulut’ Nabi saw. Sarjana orientalis semisal Motzki memuji seorang rekannya yang katanya “has already demonstrated with some good examples how older traditions of the sahaba become Hadith of the Prophet and marasil become marfu’at.”

 

Lima Teori tentang Syari’ah

 

Pandangan orientalis Barat terhadap Syari’at Islam dapat dipilah-pilah sebagai berikut. Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya. Teori ini dipegang oleh Noel J. Coulson. Menurutnya, alasan utama mengapa banyak ahli fiqh menolak jabatan hakim (qadi) di pengadilan tinggi ialah karena mereka tahu betul bahwasanya Syari’at itu hanyalah adicita agama, penting dipelajari namun sekadar untuk diketahui dan bukan untuk diterapkan sebagai sebuah sistem undang-undang: “For them the Shari’a represented a religious ideal, to be studied for its own sake rather than applied as a practical system of law.”  Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam, seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syari’at agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Syari’ah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka. Semua ulama dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa. Peliknya, teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini oleh Joseph Schacht ini justru disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi ‘Islam normatif’ dan ‘Islam historis’.

Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu sangat sewenang-wenang –“authoritarian to the last degree,” tukas Hamilton A.R. Gibb. Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan sama menolak mentah-mentah implementasi Syari’ah di Indonesia – negeri yang lebih dari sembilan-puluh persen penduduknya beragama Islam. Padahal terdapat seabrek data historis betapa luas dan luwesnya praktek legislasi dan yurisprudensi oleh para khulafa’ dan fuqaha’ sebelum ini, sebagaimana tercermin dalam kumpulan fatwa dan sebagainya.  

Teori ketiga disuarakan oleh Snouck Hurgronje. Menurutnya, dari sejak awal telah terjadi perceraian antara Syari’ah (yakni ulama yang mewakili sistem perundangan dan kehakiman) dan Negara (yakni umara’ atau penguasa yang menentukan sistem perpolitikan). Masing-masing berjalan mengikut caranya sendiri. Penguasa tak peduli apa kata ulama, manakala ulama mengecam tirani penguasa dan kerusakan masyarakatnya: “In fact, the works of fiqh are full of disparaging judgements on conditions ‘of the present day’. … The administration of justice everywhere is nothing but a public mockery of the divine laws referring to it,” tulis Hurgronje. Gambaran negatif ini merupakan generalisasi semata. Ia hanya betul untuk beberapa kasus tertentu dan tidak terbukti dalam banyak periode dimana terjadi ‘simbiosis konstruktif’ –meminjam istilah Haim Gerber- yakni masa-masa dimana para ulama’ menyikapi situasi secara bijak dan realistis, bukan karena putus asa, melainkan karena mereka sangat menyadari pentingnya fungsi negara dalam mempertahankan Islam dan menegakkan Syari’ahnya.

Lawrence Rosen mengusung teori yang keempat. Menurut dia, Hukum Islam itu kacau-balau, bersumber dari budaya dan adat istiadat, tidak memiliki standar rasional seperti Hukum Barat (common law Anglo-Amerika atau civil law Eropa) yang tersusun rapi lagi rasional. Teori ini serupa dengan pernyataan seorang tokoh nasional Indonesia bahwa Syari’at Islam itu cermin budaya Arab dan oleh karenanya implementasi Syari’ah itu sama dengan Arabisasi yang berarti mundur ke abad ketujuh Masehi. Dalam bukunya, Rosen mengutip ungkapan beberapa praktisi hukum di Barat yang melecehkan lembaga peradilan masyarakat Islam. Ia sendiri lantas menarik kesimpulan bahwa “… in the Islamic courts of Morocco the metasystem of the law and the characteristic forms of indeterminate judgements are remarkably close to the overall culture of its people.” Pendapat miring Rosen ini memantulkan kembali imej orientalisme klasik tentang Islam sebagai sistem masyarakat primitif berbanding pola pikir Barat modern yang jauh lebih maju dan canggih! 

Teori kelima dianjurkan J. Schacht, yang mendakwa SyariÝat Islam hanya berjalan selama lebih kurang dua abad untuk kemudian mandek gara-gara Imam as-Syafi’i. Jika sebelumnya ramai orang berijtihad, maka zaman sesudah Imam as-Syafi’i bermulalah era kejumudan alias ankylose. Cukuplah literatur fatwa fuqaha’ sebagai pengejawantahan ijtihad menukas lontaran orientalis tersebut. Wallahu a’lam.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *