Penyimpangan Hukum dan Gagal Paham Maqasid Al-Syari’ah

Oleh: Denny Widyanto*

Inpasonline.com-Para cendekiawan muslim dewasa ini banyak mendiskusikan mengenai munculnya dekonstruksi syariah dengan menggunakan konsep maqasid al-syariah. Secara sederhana, dekonstruksi syariah berarti meruntuhkan, membongkar dan membangun kembali Syariah Islam. Sedangkan maqasid al-syariah adalah usaha menjelaskan hikmah atau tujuan di balik hukum-hukum syariat. Berangkat dari pengertian tersebut, oleh kelompok liberal di Indonesia maqasid al-syariah disalah-gunakan, kemudian dimanfaatkan sebagai alasan untuk tidak berpegang pada nash Al-Quran. Karena menurut mereka yang penting dalam memahami ayat Al-Quran adalah esensinya, bukan makna literalnya (teksnya). Bagi mereka yang penting adalah tujuannya, bukan bentuk hukumnya.

Bagi kelompok liberal di Indonesia maqasid al-syariah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam islam, termasuk sumber dari Al-Quran itu sendiri. Sehingga beberapa hukum syariat dalam islam menurut mereka tidak harus diikuti. Dengan asumsi karena itu semua hanya ekspresi lokal masyarakat Islam masa lampau, dan sudah tidak sesuai lagi tujuan hukum tersebut untuk diterapkan dengan kondisi umat zaman sekarang. Sehingga menurut mereka syariat Islam perlu di-dekostruksi-kan kembali, salah satu caranya dengan menggunakan konsep maqasid al-syariah ini.

Berikut dua contoh hukum syariat yang menurut kelompok liberal perlu di-dekostruksi-kan kembali hukumnya. Yang pertama, hukum Jilbab, menurut mereka yang penting dari hukum tersebut adalah tujuannya. Yaitu memenuhi kepantasan berpakaian di depan orang lain. Sehingga apabila tidak berjilbab sudah cukup pantas bagi masyarakat setempat, maka tidak diperlukan lagi berjibab. Yang kedua, hukum larangan kawin sesama jenis. Menurut mereka lagi-lagi yang penting dari hukum tersebut adalah tujuannya. Yaitu mengenai jumlah populasi manusia. Umat Nabi Luth dulu diazab karena mereka menghambat pertumbuhan populasi manusia waktu itu. Sementara sekarang, seiring meledaknya jumlah penduduk dunia, menurut mereka kawin sejenis mustinya digalakkan.

Diantara alasan kelompok liberal dalam penentuan hukum dengan mengusung konsep maqasid al-syariah, untuk menggugat penentuan hukum dengan metodologi ushul fiqh klasik, adalah bahwa menurut mereka dalam metodologi ushul fiqh klasik tidak menghiraukan kemampuan akal manusia dalam merumuskan konsep kemaslahatan. Oleh karena itu kemudian mereka membuat sendiri sebuah kaidah untuk pembenaran perbuatan mereka sendiri, kaidah tersebut adalah “yang menjadi pertimbangan adalah maqasid-nya (tujuannya) bukan bunyi teks-nya secara harfiah”. Hal ini mengindikasikan bahwa menurut mereka akal adalah landasan utama dalam ber-ijtihad. Sehingga dengan sendirinya, Al-Quran dan Sunnah harus tunduk di bawah akal manusia. Pandangan ini jelas menunjukkan kultus yang berlebihan kepada akal, atau pen-dewa-an kepada akal manusia.

Padahal sesungguhnya akal manusia tidak bisa dijadikan sebagai landasan utama ber-ijtihad, dikarenakan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki akal manusia. Mengenai keterbatasan akal manusia ini Muhammad Imarah dalam Hawla Tanaqudl al-Naql Al-Quran Ma’a al-‘Aql mengungkapkan bahwa, seringkali terbukti saat ini akal tidak mengetahui tentang suatu hal, yang ternyata diketahuinya di masa yang akan datang. Selain itu apa yang diketahui akal seseorang, belum tentu diketahui akal orang yang lain. Ditambah lagi terdapatnya hawa nafsu dalam diri manusia yang dapat menutup akalnya, ketika hawa nafsunya berkuasa. Sehingga akalnya akan memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsunya ketika mempertimbangkan suatu perkara atau hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa pertimbangan akal manusia sangat terbatas.

Keterbatasan akal manusia tersebut yang akan menimbulkan masalah, atau bahkan kekacauan ketika ia dijadikan landasan utama penetapan hukum. Permasalahan awalnya akan muncul dari produk hasil hukumnya, kemudian berkembang menjadi kekacauan di kalangan umat. Al-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah mengatakan bahwa “bila akal bertentangan dengan teks, maka harus di dahulukan teks dan akal harus diakhirkan, akal tidak boleh dibiarkan berpikir dengan liar kecuali sebatas dalam jangkauan teks”. Dengan kata lain untuk mendapatkan penetapan hukum yang benar, maka teks itu harus di kedepankan, akal hanya dapat berkreasi di ranah yang diperboleh oleh teks, dan akal harus selalu tunduk kepada teks sumber hukum syari’ah, terlebih pada hukum syari’ah yang sudah permanen.

Selanjutnya Al-Syatibi dalam kitab yang sama juga mengungkapkan bahwa pada taklif (hukum) yang didalamnya terdapat masyaqqat (kesulitan), qashdu al-Syari’ (tujuan Allah) tidak bermaksut menimbulkan masyaqqat bagi mukallaf (pelakunya) akan tetapi justru sebaliknya, dibalik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf. Dalam masalah agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri, yaitu sebagai sebagai wasilah amar ma’ruf nahi al-munkar. Demikian pula dalam kasuk berjilbab dan larangan kawin sesama jenis, qashdu al-Syari’ tidak bermaksut menimbulkan masyaqqat bagi mukallaf. Namun justru sebaliknya kemaslahatan mukallaf itu sendiri, yaitu melindungi diri mereka dari kerusakan.

Oleh karena itu dapat disimpulkan dalam kedua contoh kasus (perintah berjilbab dan larangan kawin sesama jenis)  perlu kita lihat hukumnya dengan kaidah-kaidah diatas. Perintah berjilbab dan larangan kawin sesama jenis adalah hukum yang permanen   dalam syari’ah Islam, karena di dukung oleh nash yang qath’iy (pasti) baik dari segi transmisi ataupun maknanya. Maka tidak ada ruang bagi akal manusia disini untuk mengubah-ubah hukum asal kedua syari’at tersebut. Bahwa perintah berjilbab bagi wanita dewasa wajib dan larangan nikah sesama jenis adalah haram adalah sifatnya permanen. Tidak bisa diubah-ubah oleh akal manusia walaupun dengan dalih maslahah dengan konsep maqasid al-syariah. Lagi pula sudah jelas bahwa tujuan dari Hukum tersebut adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.

Penutup

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Konsep maqasid al-syariah yang diusung kelompok liberal ini jelas bertentangan dengan syari’ah Islam. Dan memang dari awal konsep tersebut mereka gunakan bukan untuk mencari “kebenaran” di dalam syariah Islam, namun untuk mencari “pembenaran” dalam syariah Islam atas kepentingan mereka. Konsep tersebut hanyalah sebagai upaya mereka untuk men-dekonstruksi syari’at Islam yang bertententangan dengan kepentingan mereka, yang kemudian direka-ulang dengan tujuan akhir untuk menghasilkan hukum yang sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk memuluskan upaya ini terlebih dahulu Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam ditundukkan dengan akal, dengan dalih merealisasikan kemaslahatan bagi manusia. Namun sejatinya ini merupakan upaya menggeser sumber hukum utama dalam Islam (Al-Quran) yang berasal dari Allah SWT, diubah menjadi berpusat pada akal manusia. Oleh karena itu umat Islam harus dapat bersikap dengan kritis dalam melihat pemikiran-pemikiran mereka, agar tidak terjebak ke dalam pola pikir mereka. Karena walaupun mungkin bagi beberapa orang pemikiran mereka “tampak” make senses (masuk akal), namun sesungguhnya pemikiran mereka sangat bertentangan dengan syariat Islam dan pada akhirnya akan semakin menjauhkan pengikut pemikirannya dari kebenaran al-Quran.

 

Peserta Program Kaderisasi Ulama XII, UNIDA Gontor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *