Seorang Muslim yang terbina akan melihat ada banyak sekali pelajaran dari hijrah Nabawiyyah. Memang, dalam hijrah terdapat banyak manfaat karena pada hakikatnya hijrah adalah madrasah keimanan.
Manfaat hijrah juga dirasakan oleh para Nabi yang mulia, yang kemudian manfaat tersebut turut dirasakan oleh umat manusia. Hijrah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memberikan pelajaran berharga bagi kita. Kemusyrikan yang merajalela di negeri yang dipimpin Raja Namrud, mengharuskan Ibrahim a.s. untuk memboyong istrinya ke negeri lain, yang kelak menjadi Tanah Haram, yakni Mekkah al-Mukarromah di Arab Saudi. Saat itu, Mekkah hanya sebuah wilayah tandus, dan tidak berpenghuni, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan Raja Namrud.
Manfaat hijrah yang dirasakan oleh kholilullah Ibrahim ‘alaihissalam antara lain Allah menjadikan Tanah Suci Mekkah yang tadinya tandus dan tidak berpenghuni, menjadi wilayah yang penuh keberkahan, memberikan anak keturunan yang mulia (insan kamil yakni Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam), menganugerahkan air paling utama (zam-zam) yang penuh keberkahan serta manfaat, terbangunnya Baitullah (Ka’bah al-Musyarrofah). Allah juga menjadikan Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang selalu disebut dengan kebaikan (lisan shidiq) oleh generasi setelahnya (hingga saat ini) dan menampakkannya dalam manasik haji dan sebagainya,” jelas KH Ihya’.
Kemudian KH Iya’ menambahkan, hijrah Nabawiyyah Muhammadiyyah yang dilakukan oleh Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallohu anhum ke Madinah hingga terbukanya kota Mekkah (fathu Makkah) merupakan peristiwa “mbabat alas” atas tersebar dan berkembangnya Islam di seluruh dunia. Seluruh kebaikan yang telah didapatkan kaum Muslimin dan seluruh kemuliaan yang mereka peroleh sert seluruh keberuntungan yang mereka capai sepanjang masa merupakan buah dari hijrah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Hal ini sesuai dengan risalah beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berhasil menyiapkan umat Islam hingga tingkat yang tidak bisa disamai oleh generasi sesudahnya.
Kemudian Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam memperluas pemahaman hijrah sehingga mencakup berhijrah dari sesuatu yang dilarang Allah; dengan meninggalkan maksiat dan sikap melawan kepada Allah.
Beliau SAW bersabda kepada salah seorang sahabat bernama Fudek, “Wahai Fudek, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, jauhilah keburukan dan tinggallah di manapun dari tanah kaummu, tentu kamu tetap menjadi seorang yang berhijrah!”” (HR. Baghawi, Ibnu Mandah dan Abu Nuaim, Kanzul Ummal 8/3031, al-Qudwah al-Hasanah hal. 42).
Sesuai dengan hadits-hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, kondisi pada masa sekarang ini penuh fitnah dan kemaksiatan. Di mana-mana kita bisa melihat kemaksiatan sehingga manusia sekarang ini tidak bisa lepas dari godaan syahwat farji (syahwat kemaluan) dan syahwat bathni (syahwat perut).
Syahwat farji terkait dengan aurot yang terpampang di mana-mana, akibat kebebasan informasi serta kemajuan teknologi. Syahwat bathni terkait dengan sulitnya mencari rizqi yang halal pada masa sekarang ini; begitu tipisnya batas antara riba dan bukan riba dalam transaksi ekonomi. Begitu gawatnya situasi sekarang ini, sampai-sampai KH. Ihya’ menegaskan bahwa hanya dengan menikah seseorang bisa selamat dan hanya dengan menetapi diri dalam jama’ah seseorang bisa terhindar dari transaksi ekonomi yang haram.
“Yang dapat menyamai pahala hijrah-nya Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat adalah Jihad fi sabilillah alias perang fisik. Jihad fi sabilillah itu tidak pernah terputus hingga hari kiamat. Namun jika seumur hidup tidak dapat kesempatan berperang, maka jihad mencari ilmu agama untuk mengembangkan agama di saat orang-orang di sekelilingnya hanya mengejar dunia, pahalanya bisa menyamai pahala jihad. Terlebih lagi, di zaman sekarang ini jarang yang bersedia menimba ilmu agama dan memperjuangkan agama,” jelas KH. Ihya’.
KH Ihya’ bersyukur Allah selalu memperingatkan kaum Muslimin agar tidak terjebak dalam situasi buruk yang melingkupi orang-orang yang hidup di zaman modern yang penuh fitnah ini. “Dan Allah memperingatkan kalian akan siksa-Nya. Dan Allah sangat sayang kepada para hamba-Nya” (QS Ali-Imron ayat 30); Diwasiatkan pula supaya mencari jalan keluar dari hal tersebut, “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah, tabahkanlah diri (bergaul dengan sesama), masuklah dalam jaringan (jama’ah) dan bertakwalah kepada supaya meraih keberuntungan” (QS Ali-Imron ayat 200).
“Kita harus sabar dan menjadi seorang yang berhijrah dalam menghadapi tantangan globalisasi dan tantangan pemikiran. Tetaplah berada dalam jama’ah,” tandas KH Ihya’ mengakhiri tausiyahnya. (Kartika Pemilia)