Belajar dari Kearifan Ilmuwan Muslim Masa Lalu: Ilmu untuk Akhirat

Oleh Yulia Eka Putrie, Dosen Fakultas Sains UIN Malang

Salah satu perbedaan mendasar antara pandangan keilmuan di Barat dan pandangan keilmuan kaum Muslimterletak pada pandangan terhadap penghargaan atas diri dan karya seorang ilmuwan. Adanya pengakuan terhadap hak atas kekayaan intelektual seseorang di dunia Barat seringkali mewujud dalam besarnya nominal yang harus dikeluarkan oleh setiap pihak yang ingin memanfaatkan hasil penemuan atau penelitiannya. Jurnal-jurnal dijual dengan harga mahal, lisensi penemuan dibayar dengan harga yang melangit, begitu pula dengan hak paten atas suatu produk. Penerbit yang ingin mempublikasikan suatu buku harus memperoleh ijin penerbitan atau penerjemahan dengan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, harga bukupun melangit.

Hal ini sebagian besar disebabkan oleh pola pikir materialistis yang telah menyatu dengan peradabannya. Segala sesuatu dihargai dengan besaran nominal. Semakin besar nominal yang diberikan, semakin besar pula tanda penghargaan terhadap seseorang atau sesuatu. Selain itu, paham individualisme tampaknya juga memiliki peran penting dalam pembentukan persepsi internal dalam diri ilmuwan Barat.

Kecerdasan dan luasnya pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang dimiliki secara mutlak oleh si ilmuwan, dan karenanya harus diakui oleh orang lain. Hal ini pula yang menyebabkan para ilmuwan Barat seringkali sama terkenalnya dengan penemuan yang dihasilkannya. Orang awam bahkan lebih mengenal Einstein tanpa harus memahami teori relativitas yang dicetuskannya. Kenyataan ini tentunya bukan semata-mata kesalahan para ilmuwan itu sendiri, tetapi lebih merupakan akibat kumulatif dari pola pikir kolektif masyarakat Barat yang memang mengagungkan potensi-potensi individu dan menilai segala sesuatu berdasarkan materi.

Sikap yang sangat bertolak belakang dengan kenyataan di atas dapat kita lihat pada diri ilmuwan-ilmuwan muslim di masa lalu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam segala bidang di masa itu hanya diikuti oleh sedikit penyebutan ilmuwan muslim sebagai penemu. Hal ini pun baru banyak disadari di abad-abad terakhir ini, setelah penelitian intensif mengenai karya-karya mereka mengungkapkan bahwa merekalah sebenarnya the founding fathers dari banyak teori ekonomi, kedokteran, fisika, dan sebagainya yang sebelumnya diklaim sebagai penemuan ilmuwan Barat.

Tingginya etos belajar dan mencari ilmu yang dimiliki masyarakat muslim saat itu sebenarnya menyebabkan sebagian besar dari mereka pantas mendapat sebutan ilmuwan. Namun, sikap tawadhu’ yang bersumber dari ajaran Islam-lah yang membuat mereka tidak menonjolkan dirinya sendiri sebagai orang yang berilmu. Sebagai contoh, Imam Syafi’i mengucapkan sebuah kalimat yang menjadi saksi akan sikap tawadhu ini, “Saya ingin sekali manusia mengetahui ilmu ini, dan tidak menisbahkannya sedikit pun kepada saya selama-lamanya.” Beliau lantas memberi alasan, “Agar aku diberi pahala karenanya, dan mereka tidak memuji aku.”

Segala pengetahuan mereka yakini berasal dari Allah dan hanya milik Allah. Hak atas kekayaan intelektual itu sesungguhnya hanya milik Allah semata. “…Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS al-Baqarah [2]: 32).

Pengetahuan yang ada pada diri kita sesungguhnya sangat terbatas pada apa yang diijinkan oleh Allah untuk kita ketahui dan kita miliki. Karenanya, tidak pantas seorang ilmuwan muslim menonjolkan dan menyombongkan kemampuan dan kepintaran, yang bila Allah kehendaki dapat sirna dalam sekejap. Misalnya, lewat hilangnya ingatan akibat kecelakaan, atau sebab-sebab lain yang tak pernah kita kira sebelumnya.

Selanjutnya, sikap tawadhu ini pun mewujud ke dalam hasil-hasil keilmuan mereka, berupa ribuan kitab yang diterjemahkan dan disebarluaskan tanpa harus membayar lisensi sedikitpun kepada sang pengarang. Tradisi keilmuan ini terus dilanjutkan bahkan hingga saat ini. Untuk menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku laris dari Timur Tengah misalnya, terkadang sebuah penerbit di Indonesia hanya perlu memohon ijin tanpa harus mengurus hak paten dari pengarang atau penerbit buku aslinya. Bayaran yang diberikan lebih berupa bagi hasil dari keuntungan, yang nominalnya seringkali lebih ‘ditentukan’ oleh rasa terima kasih dan etika penerbit yang merasa diuntungkan dari penjualan buku-buku terjemahan itu. Tidak jarang pula, para penulis itu tidak bersedia dibayar sepeser pun. Mereka malah berterima kasih atas usaha penerjemahan dan penerbitan hasil karyanya. Mereka merasa sangat beruntung, karena ilmu itu dapat diperoleh lebih banyak orang dan karenanya lebih banyak menuai manfaat. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi saw yang menjanjikan kebaikan yang jauh lebih besar kepada orang-orang yang menjadi jalan bagi orang lain untuk mendapatkan petunjuk.

Penghormatan masyarakat muslim di masa lalu kepada para ilmuwannya tidak dinyatakan melalui nominal-nominal tertentu. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa mereka tidak menghargai kemampuan para ilmuwan itu. Sebaliknya, mereka menyatakannya dengan cara-cara yang jauh lebih saintifik dan ilmiah.

Apa yang kita kenal saat ini sebagai etika mengutip pernyataan atau teori dari orang lain, yaitu dengan selalu menyebutkan sumber aslinya, merupakan cerminan dari penghargaan ini. Kebiasaan menyebutkan sumber asli ini mulai berkembang sebagai salah satu tradisi keilmuan, ketika metode takhrij hadits Nabi saw mensyaratkan sanad perawi disebutkan secara lengkap untuk mencegah terambilnya hadits-hadits dhaif atau palsu dari pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi.

Pada masa-masa sebelumnya, etika mengutip ini belum dikenal dalam tradisi keilmuan. Hal ini tampak pada banyaknya hasil karya filsuf Yunani Kuno yang saat ini baru diketahui ternyata diambil dari doktrin-doktrin Mesir Kuno tanpa menyebutkan sumber aslinya, seperti doktrin air Thales, udara Anaximes, api Pythagoras, Heraclitus, Democritus dan Plato.

Tentu saja, hal ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh mencari rejeki dengan ilmu kita. Walaupun hak atas kekayaan intelektual itu merupakan milik Allah semata, Allah tidak pernah melarang kita untuk memanfaatkan ilmu yang telah diberikannya untuk mencari penghidupan di dunia.

Sama halnya, walaupun seluruh benda dan makhluk di bumi ini adalah milik Allah, namun Allah tetap menghalalkan jualbeli dan mengharamkan pencurian, termasuk di dalamnya pencurian dan plagiasi ilmu atau karya intelektual. Hanya saja, sikap sombong dan berlebih-lebihan dalam mencari keuntungan dari ilmu yang dimiliki itulah yang harus dihindari oleh para ilmuwan muslim. Kesadaran yang mendasar juga harus dibangun bahwa ilmu itu bukanlah mutlak menjadi milik kita sendiri, walaupun ia tercetus dari pemikiran kita, karena Allah-lah pemilik segala ilmu pengetahuan. Selain itu, niat dalam mencari, mengamalkan, dan menyebarkan ilmu yang dimiliki itu juga harus kembali diluruskan, karena Allah telah berfirman di dalam al-Qur’an sebagai berikut: ”Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat” (QS. asy-Syuraa [42]: 20).

Oleh karena itu, bagi ilmuwan-ilmuwan muslim saat ini, terdapat dua pilihan jalan yang dapat ditempuh dalam menyikapi keilmuannya. Barangsiapa menginginkan keuntungan dunia semata, yang diberikan baginya hanyalah dunia. Namun, barangsiapa menginginkan akhirat, Allah akan memberikan baginya keuntungan di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya, uswatun hasanah (contoh yang baik) itu telah terbentang di depan mata kita lewat akhlak para pendahulu kita.Allahu a’lamu bishawab. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *