Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku “Ulama Kritis Berjejak Manis” dan sebelas judul lainnya
inpasonline.com – Ada lebih dari seratus judul buku karya Hamka. Insya Allah semua karya ulama, yang lahir pada 1908 dan wafat pada 1981, itu bernilai tinggi. Empat di antaranya tergolong istimewa karena masih sering dikutip atau diperbincangkan orang.
Empat buku yang dimaksud adalah seri ”Mutiara Falsafat Buya Hamka”. Berikut ini, berturut-turut judulnya: 1).Tasawuf Modern. 2).Falsafah Hidup. 3).Lembaga Hidup. 4).Lembaga Budi.
Mari buka Falsafah Hidup. Kita berkonsentrasi pada bahasan seperti yang terkandung pada judul tulisan ini; Renungan tentang hidup yang tak lama.
Menuju Mulia
Tentu, manusia ingin teratur urusan kehidupannya. Tentu, orang-orang ingin tenteram hidupnya di dunia. Puncaknya, semua berkehendak hidup bahagia di akhirat.
Untuk mencapainya, kata Hamka, hendaknya bisa mementingkan pikiran kita sendiri. Bahwa, pikiran yang matang bisa membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Juga, bisa memisahkan antara yang terang dengan yang gelap.
Kesemua itu, hanya akan dapat dicapai dengan pikiran yang teratur. Hanya akan bisa diraih dengan pikiran yang beres. Lalu, dari situ, kita akan maju menuju ketinggian dan kemuliaan.
Perumpamaan Tepat
Terkait, Hamka lalu memberi nasihat. Hendaknya, manusia jangan pernah hanya berlindung atau terpengaruh oleh pikiran orang lain. Kata Hamka, manusia yang pikirannya tidak tegak sendiri itu sangat berbahaya.
Manusia seperti yang dimaksud pada kalimat terakhir di atas, yang sangat berbahaya, tidak boleh dibiarkan hidup sendiri. Hal ini, karena yang bersangkutan tak punya spirit hidup. Dia bak rumput yang tumbuh di bawah pohon beringin, hidup segan mati tidak mau. Bisa menjadi seperti itu karena tidak mendapat cahaya dari matahari (Hamka, Filsafat Hidup, 2002: h.154).
Tamsil Jitu
Agar bisa mempergunakan akal dengan baik, lanjut Hamka, serupa dengan yang terjadi di dunia olahraga. Bahwa, prestasi terbaik olahragawan hanya akan didapat jika mereka berlatih dalam waktu yang lama dan bersungguh-sungguh.
Orang yang berakal akan merasa ringan atas semua kesusahan yang ditemuinya. Mereka merasa lumrah atas semua aral yang melintang di depannya. Hal ini, karena mereka sadar bahwa makin mulia suatu tujuan akan makin sukar usaha menggapainya.
Orang yang berakal tidak melihat rasa lelah saat mendaki puncak bukit. Hal ini karena yang diingatnya, bahwa nanti saat dia sudah di puncak ketinggian akan bisa melihat ke bawah yaitu alam yang terbentang luas dan indah. Di saat itu, dia akan merasakan nikmat Allah yang luar biasa. Demikian tamsil Hamka (h.155).
Metafora Asyik
Hidup ini tidak lama. Kesempatan yang pendek harus kita gunakan untuk berjuang. Semua, untuk meraih bahagia.
Harus takutkah kita dengan fakta bahwa sesungguhnya hidup kita tak lama? Perhatikan ilustrasi berikut ini. Sekarang, misalnya, usia seseorang 60 tahun. Di saat merenung, ”Rasanya baru saja saya menyelesaikan SMA”. Juga ini, ”Rasanya, baru saja saya menikah”. Pun, ini, ”Rasanya, baru saja saya punya anak”.
Begitulah, hidup kita! Di titik ini, Hamka punya perbandingan yang menggelitik. Kata Hamka, jika kita bertambah takut maka akan bertambah gelap jalan. Ini mirip orang yang meratapi jenazah agar hidup lagi. Jika ada orang mati bisa hidup lagi lantaran ditangisi, maka-kata Hamka-manusia akan meminta kepada air hujan untuk menambah air mata agar bisa mengembalikan kerabatnya yang telah mati (h.156).
Sederhana, Sederhanalah!
Berpikirlah secara sederhana. Kita tidak diminta memikirkan hal-hal yang sekiranya tak akan terpikul. Hal yang diamanahkan kepada manusia ialah perkara-perkara yang sesuai dengan mereka.
Sekaitan, berikut ini nasihat Hamka. Pikiran sederhana menimbulkan tawakkal. Pikiran sedehana menimbulkan cita-cita yang mulia. Adapun tawakkal, merupakan tonggak kepercayaan dan iman. Lalu, cita-cita yang suci menghindarkan kepercayaan dari pengaruh negatif pendapat nenek-moyang yang diterima secara taklid (h.157).
Menjalani Skenario
Rumus hidup itu pasti. Jalan hidup itu mempunyai permulaan, pertengahan, dan ujung. Laluilah dengan tertib, sepenuh usaha yang positif.
Permulaan langkah ialah cita-cita. Jika tak ada cita-cita, hidup kita seperti tak punya hakikat. Atas cita-cita itu kita harus berikhtiar meraihnya, meski pada akhirnya harus yakin terhadap apa yang disebut takdir.
Milikilah cita-cita. Sungguh, lantaran adanya cita-cita muncullah orang-orang pandai. Juga, berkembanglah ilmu. Pun, lebih sejahteralah mutu kehidupan.
Lihat, misalnya, ada kaum yang bercita-cita untuk merdeka. Maka, di antara mereka pasti muncul pemimpin-pemimpin yang tampil ke muka. Tugas pemimpin, antara lain, memberikan penyadaran bahwa merdeka adalah syarat untuk hidup. Oleh sebab itu, merdeka harus diperjuangkan meski untuk itu mereka harus mati.
Lagi-lagi Hamka membuat perumpamaan yang asyik. Cita-citalah yang menghilangkan rasa sakit serta melupakan kepedihan dan kesulitan. Hal ini, karena cita-cita adalah dinamo hidup.
Jika bukan karena cita-cita, hilanglah nafsu bekerja. Juga, akan berhentilah gerak dunia. Pun, reduplah pikiran-pikiran para ahli hikmah. Alhasil, cita-cita harus hidup selamanya di diri kita (h.158-159).
Ibarat Elok
Rawat cita-cita kita. Jalanilah secara tekun dan sabar. Perhatikanlah, bagaimana aktivitas burung-burung yang mengangkut rumput di paruhnya selembar demi selembar. Itu dikerjakannya, untuk membuat sarang bagi anaknya.
Perhatikanlah petani. Mereka tekun di sawah. Mereka rela berada di bawah terik matahari sehingga punggungnya menghitam. Ini, karena mereka punya cita-cita dan lalu berusaha meraihnya secara tekun dan sabar.
Kata Hamka, tak boleh seorangpun putus asa selama matahari masih terbit dari timur. Tak perlu kita mengeluh, sementara dari bumi masih tumbuh berbagai tanaman (h.159).
Sang Kepala
Di medan perjuangan hidup, langitkan cita-cita kita. Hadapi semua aral yang menghadang. Selalu berbaik sangka-lah kepada Allah.
Selanjutnya, senantiasa berbaik sangka-lah kepada sesama manusia. Hal yang demikian akan menghilangkan dendam. Lalu, yang datang adalah ketenteraman hidup (h.159).
Sungguh, selalu berbaik sangka-lah kepada Allah dan kepada manusia. Kedua hal ini adalah kepala dari segala sifat baik pada diri manusia. Sifat-sifat baik itu sangat dibutuhkan manusia dalam menjalani hidup yang pendek. Allahu Akbar! []