Oleh : M. Anwar Djaelani
Ada amanah Allah, yaitu bacalah sejarah! Bacalah kisah! Perhatikan QS Yusuf [12]: 111 ini:
لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
yang artinya, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”.
Ibrahim As Kesayangan Allah
Perhatikan QS Asy-Syu’araa’ [26]: 69 ini:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ اِبْرٰهِيْمَ ۘ yang artinya, “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim”.
Ibrahim adalah tokoh yang lulus dari berbagai ujian, seperti tergambar di ayat ini: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim’.” (QS Al-Baqarah [2]: 124).
Berat atau ringannya ujian berbanding lurus dengan derajat iman seseorang. Semakin tinggi iman seseorang, maka ujian kepadanya semakin berat. Renungkanlah hadits ini: “Manusia yang paling berat ditimpa cobaan ialah Nabi-Nabi, kemudian orang-orang shalih, sesudah itu menurut perbandingan demi perbandingan. Dicobai seseorang menurut ukuran keagamaannya. Bertambah tebal agamanya, bertambah hebat pula cobaannya” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi).
Perhatikan, antara lain ujian Ibrahim As. Dia dakwahi ayahnya, pembuat patung (berhala) kenamaan. Dia dakwahi Namrudz, yang kemudian si raja yang zalim itu membakar Sang Penyeru agama yang hanif.
Kemudian, inilah balasan yang lain bagi Ibrahim As. Dia mendapat sebutan sebagai Kesayangan Allah. Seksamailah QS An-Nisaa’ [4]: 125) ini: وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبْرَٰهِيمَ خَلِيلًا yang artinya, “Dan, Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya”.
Selanjutnya, masya Allah, nama Ibrahim (As) selalu kita sebut dalam bacaan shalawat pada tasyahud pada setiap kita shalat: “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala aali Ibrahim (Yaa Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim).
Ibnu Taimiyah, Penegak Agama!
Di Tafsir Al-Azhar, di bagian awal di bawah judul “Hikmat Ilahi”, Hamka menulis sebagai berikut. Bahwa Imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan, tanda orang yang teguh berjalan di garis yang haq ialah bila dia mati jenazahnya diantarkan ke pemakaman oleh ribuan orang dengan sukarela.
Perkataan Ahmad bin Hambal, lanjut Hamka, diungkap kembali oleh penulis riwayat hidup Ibnu Taimiyah setelah Ulama Besar itu wafat. Ini, karena si penulis menyaksikan, ketika jenazah Ibnu Taimiyah diantarkan dari dalam penjara Damaskus ke pemakanan dengan diiringkan oleh tidak kurang dari satu juta manusia.
Ibnu Taimiyah telah wafat. Oleh karena itu, kata Hamka, dia tidak bisa menyaksikan begitu besarnya jumlah orang yang mencintainya (2003: 55). Siapa Ibnu Taimiyah?
Ibnu Taimiyah (1263-1328), adalah contoh bahwa kebenaran agama harus terus ditegakkan apapun resikonya. Ketika masyarakat di sekitarnya tenggelam dalam berbagai bid’ah dan khurafat, Ibnu Taimiyah meluruskannya sekalipun berhadapan dengan kekuasaan yang lalu (sering) memenjarakannya.
Ketika usianya belum dua puluh tahun dia telah mulai memberi fatwa. Ibnu Taimiyah lalu menjadi pusat tempat bertanya tentang banyak masalah, terutama tentang hadits. Dalam menghadapi berbagai penyimpangan ajaran Islam, dia tegas. Ahli bid’ah dan khurafat adalah musuhnya. Dia berani membersihkan Islam dari ajaran sesat. Itu dilakukannya konsisten di manapun dia berada. Di Mesir, misalnya, dia memerangi bid’ah, khurafat, serta berbagai penyelewengan penafsiran Al-Qur’an dan Hadits.
Memang, kritik-kritiknya kepada ahli bid’ah dan khurafat menimbulkan dendam sebagian orang. Berkali-kali dia difitnah karena keberaniannya berpendapat yang bertentangan dengan banyak orang. Berulang-kali pula dia ditahan.
Di dalam penjara dia merasa mendapat banyak kesempatan untuk membaca dan menulis. Misal, pada tahun 728, setelah setahun dipenjara, dia telah menyelesaikan tulisan berupa bantahan kepada pihak yang dinilainya menyimpang.
Di saat menulis, Ibnu Taimiyah pandai menyusun kerangka tulisan dan indah memilih kata-kata. Tiap hari Ibnu Taimiyah rajin menulis. Aneka tema yang ditulisnya, seperti tafsir, fiqh, atau ilmu ushul. Sekitar empat buah buku kecil yang memuat berbagai pendapatnya di bidang keislaman bisa dibuatnya dalam sehari. Maka, ketika wafat di dalam penjara pada 1328, secara keseluruhan dia mewariskan sekitar lima ratus judul buku karangannya. Majmu’ Fatawa yang berisi fatwa-fatwa dalam agama adalah salah satu di antara yang paling masyhur.
Di saat-saat akhir kehidupannya, ruang gerak dia dipersempit. Di dalam penjara, dirampas semua buku, kertas, tinta dan pena miliknya. Situasi ini telah membuatnya terkekang, karena dia tak bisa lagi membaca dan menulis. Berbeda dengan ketika dia masih diperbolehkan membawa “benda-benda” itu.
Terutama di saat-saat penjara masih memberinya kelonggaran membaca dan menulis, Ibnu Taimiyah tak pernah bersedih. Baginya, ini ketentuan Allah yang tak boleh disesali. Dia merasa, cukup banyak kebaikan yang didapat di dalamnya, misalnya, ada waktu sangat luang untuk belajar dan beribadah.
Atas perjuangan Ibnu Taimiyah dalam menegakkan kebenaran yang dilakukannya secara tegas dan tanpa kompromi, memang banyak yang memusuhinya. Namun, tak sedikit pula yang mendukung dan menyayanginya. Pihak-pihak itu dari beragam kalangan, seperti orang shalih, tentara, pedagang, rakyat awam dan lain-lain.
Lihatlah saat Ibnu Taimiyah wafat! Dunia Islam berduka. Banyak rakyat di Damaskus, Mesir, serta di lain-lain wilayah menangis. Lalu, mereka yang mampu, berduyun-duyun menyalati jenazah Ibnu Taimiyah. Saat iring-iringan jenazah diantar ke pemakaman, panjangnya bisa menandingi seperti saat Imam Ahmad bin Hanbal dikebumikan.
Hamka Terus “Hidup”
Masya Allah, sekitar 650 tahun kemudian Hamka mengalami hal yang sama. Saat Hamka wafat pada 1981, sangat banyak yang mengantar jenazahnya ke pemakaman. Itu, tanda Hamka dicintai masyarakat. Siapa Hamka?
Hamka (1908-1981) adalah Ulama Besar yang punya kontribusi signifikan kepada agama dan bangsanya. Tak lama setelah Hamka wafat pada 1981, KH EZ Muttaqien memberikan kesaksian, bahwa “Hamka tiada hentinya berjuang dengan pikiran, kegiatan, tulisan, lisan, dan sikap-sikapnya sejak zaman mudanya. Sepekan menjelang wafatnya dia masih menunaikan tugasnya berdakwah”.
Hamka tak lelah berdakwah. Kata EZ Muttaqien, Hamka memenuhi kriteria seperti yang dimaksud sabda Rasulullah Saw ini: “Seorang mukmin tidak pernah kenyang melakukan kebaikan, kecuali kalau dirinya telah memasuki surga”.
Hamka tak lelah berdakwah? Hamka tak khawatir dengan aneka halangan di dunia dakwah? Hidup yang takut terbentur dengan kesulitan dan kepayahan, kata Hamka, samalah artinya dengan jam yang berputar hanya lantaran diputar orang lain. Bila putaran habis, ia pun terhenti dengan sendirinya.
Teruslah berjuang! Hidup yang sunyi dari perjuangan, lanjut Hamka, sangat murah harganya terlebih dalam pandangan Allah. Sungguh, tidak dapat diingkari bahwa perjuangan itulah yang membentuk orang menjadi manusia dalam alam yang luas ini. Perjuangannya adalah sendi dari kemuliaannya (2016: 90).
Melakukan dakwah kepada jalan yang baik adalah tugas utama dalam hidup. Jin dan manusia diciptakan ke dunia ini adalah untuk mengabdikan diri kepada Allah, lain tidak. Kalau tidak beribadah kepada Allah apalah artinya hidup ini. Umur terlalu pendek, di dunia ini. Umur yang pendek itu mesti diisi sehingga setelah kita mati sekalipun, namun iman dan amal shalihnya masih hidup dan tetap hidup (2003: 6928).
Cermati prinsip Hamka ini: Kita beramal shalih untuk faedah sesama manusia. Oleh karena itu, mengadakan dakwah kepada jalan Allah tidak boleh berhenti meskipun akan dituduh orang tukang sihir ataupun gila. Itu jangan dipedulikan! Berpalinglah dari mereka dan jangan berkecil hati. Dakwah harus diteruskan. Meskipun orang-orang yang melampaui batas itu akan menuduh yang tidak-tidak.
Perhatikan dua kalimat terakhir di atas: ”Dakwah harus diteruskan. Meskipun orang-orang yang melampaui batas itu akan menuduh yang tidak-tidak”. Subhanallah, Hamka yang kritis itu mengalami apa yang ditulisnya yaitu dituduh yang tidak-tidak. Dia difitnah dan ditahan oleh rezim Orde Lama.
Pada 27 Januari 1964, bertepatan dengan 12 Ramadhan 1385 H, siang hari Hamka dijemput aparat keamanan di rumahnya. Dia ditangkap (hanya berdasar fitnah) dan ditahan. Bersama dia, sejumlah aktivis Partai Masyumi juga ditahan secara sepihak oleh penguasa. Tuduhannya, akan melakukan makar dan merencanakan pembunuhan atas Presiden Soekarno.
Berhari-hari Hamka diinterogasi, tak kenal henti. Disebut berhenti hanya ketika makan dan shalat saja. Bahkan, di saat tidur pun diganggu. Rupanya, target aparat, harus ada pengakuan bersalah dari Hamka.
Setelah 26 bulan, Hamka dibebaskan (tanpa pernah diadili). Pihak Kejaksaan Agung dan pihak Panglima Angkatan Kepolisian lalu mengeluarkan surat keterangan bahwa Hamka tidak bersalah. Oleh karena itu kepada Hamka tidak akan diadakan tuntutan. Hamka bebas.
Hamka bersyukur sebab selama dalam tahanan dia punya waktu yang cukup dalam mengerjakan tafsir di waktu siang. Di malam hari Hamka mendapat kesempatan yang sangat luas buat beribadah, termasuk buat Tilawatil Qur’an sampai khatam lebih dari 100 kali. Hamka mendapat kesempatan buat shalat tahajjud dan bemunajat hampir setiap malam. Buku-buku penting dalam hal tasawuf, tauhid, filsafat agama, hadits-hadits, tarikh pejuang-pejuang Islam dan lain-lain dapat Hamka baca. Singkat kata, simpul Hamka, kalau bukan karena ditahan maka tidaklah dia akan mendapatkan kesempatan seluas itu. Hamka pun mengambil pelajaran: “Di waktu segala jalan hubungan di bumi ditutup orang, hubungan ke langit lapang terluang” (2003: 57).
Warna hidup adalah duka dan suka, silih berganti. Hamka berada dalam bayang-bayang duka saat ditahan secara sewenang-wenang (tanpa kesalahan yang bisa dibuktikan). Hamka disapa rasa suka kala di tahanan dia punya banyak kesempatan melengkapi tafsir Al-Qur’an yang kemudian diberi nama Tafsir Al-Azhar.
Ketika Hamka wafat pada 24 Juli 1981, semakin pahamlah kita bahwa ulama yang dekat dengan semua kalangan itu betul-betul dicintai umat. Perhatikanlah, ribuan jamaah ikut menyalati jenazah Hamka di Masjid Al-Azhar, yang diimami KH Hasan Basri (Ketua MUI waktu itu). Jamaah meluap sampai pekarangan. Sementara, yang tidak sempat berwudhu pun khusuk berdoa.
Ketika hendak diusung kembali dari masjid untuk diberangkatkan ke pemakaman, masyarakat makin padat. Berkali-kali ada yang mengingatkan masyarakat agar tidak histeris dan menjaga suasana tetap khidmat.
Sepanjang perjalanan dari Masjid Al-Azhar menuju pemakaman Tanah Kusir Jakarta, iring-iringan kendaraan sepanjang sekitar 3 Km berjalan tersendat-sendat. Ini, karena umat berjejal di tepi jalan. Mereka ingin menyaksikan seorang Ulama Besar sedang menuju peristirahatannya yang terakhir.
Sementara, di pemakaman Tanah Kusir sudah ramai orang mendahului berangkat untuk memperoleh tempat di dekat liang lahat. Turut mengantar ke pemakaman, sekadar menyebut, beberapa tokoh nasional seperti Mohammad Natsir, KH Hasan Basri, KH Abdullah Syafi’i, Emil Salim, Bustanul Arifin, Ali Sadikin, dan Tjokropranolo.
Terus Disebut-sebut
Sampai Hari Akhir, setidaknya ketika masih ada orang yang shalat, nama Ibrahim masih akan terus disebut-sebut. Lalu, setidaknya sampai hari ini, nama Ibnu Taimiyah dan Hamka masih disebut-sebut orang dalam bingkai positif.
Ibnu Taimiyah dan Hamka terasa masih hidup karena mereka telah beramal shalih dalam bingkai untuk menghadirkan manfaat bagi sesama. Keduanya secara istiqomah telah melakukan dakwah dalam bentuk lengkap yaitu nahi munkar dan amar makruf di atas landasan iman. Maka, setelah mati pun iman dan amal shalih mereka tetap hidup. []