Oleh: Kholili Hasib
Mukaddimah
Inpasonline.com-Problema pemikiran liberalisme dengan mengusung gagasan pluralisme agama, gender equality (kesetaraan gender), relativisme, sekularisme, dan lain-lain sesungguhnya mengerucut pada masalah epistemologi. Adalah kenyataan bahwa, pengusung gagasan Islam Liberal terdiri dari golongan sarjana Muslim, ilmuwan Muslim atau lulusan lembaga pendidikan Islam. Pemikiran liberalisme yang diusung oleh para intelektual Muslim menunjukkan ada kesalahan dalam bidang ilmu sehingga melahirkan gagasan-gagasan keliru.
Penyelewengan pemikiran dari kalangan ilmuan sebenarnya tidak hanya terjadi pada zaman ini. Ulama-ulama dahulu — khususnya para ahli Kalam (mutakallimun) — seperti Imam al-Nasafi, Imam al-Ghazali, Abdul Qahir al-Baghdadi dalam sejarahnya pernah merespon golongan-golongan lain yang menyimpang dari Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Seperti golongan sufasthaiyyah (kaum shopist), falasifah (yang dimaksud adalah kelompok filosof yang merujuk pada tradisi Yunani), hasywiyyah, mu’tazilah, dan lain-lain. Para ulama tersebut telah menangani pemikiran-pemikiran itu dengan kaidah ilmiyah berdasarkan tradisi keilmuan Islam.
Tampaknya setiap babak sejarah tertentu selalu ada golongan ilmuan yang menyimpang, dan berkat Rahmat Allah Swt juga selalu ada tokoh yang menangkisnya. Pada abad ke-3 H, pemikiran mu’tazilah berkembang cukup pesat berhasil ditangkis oleh Abu Hasan al-Asy’ari (imam Asy’ari). Kira-kira dua abad berikutnya banyak ilmuan Muslim yang terpengaruh pemikiran falasifah. Hingga Imam al-Ghazali meresponnya dengan menulis kitab Tahafut al-Falasifah. Dua imam ini lantas menjadi rujukan dan inspirasi bagi para ulama, dan sarjana Muslim setelahnya dalam merespon berbagai aliran pemikiran baru yang menyimpang. Kaidah-kaidahnya dirujuk, pemikirannya menjadi dasar dan gagasannya dikembangkan lagi sesuai tantangan yang baru. Bagaimana dengan sekarang? Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas boleh juga kita katakan termasuk sarjana Muslim kontemporer yang merespon dengan serius kekeliruan epistemologi Barat.
Kalam dan Epistemologi Islam
Cabang-cabang ilmu dalam Islam memiliki tradisi, corak dan kekhasan tersendiri. Ia lahir dari perkembangan Islam itu sendiri. Seiring dengan ekspansi dakwah pasca wafatnya Rasulullah Saw, terjadi konversi massal bangsa-bangsa non-Arab. Proses interaksi Islam dengan kaum-kaum non-Arab itu berkonsekuensi penyerapan terhadap tradisi dan budaya lokal setempat. Dari sinilah terjadi benturan unsur-unsur, nilai dan pemikiran Islam dengan tradisi non-Arab itu. Interaksi dan pertemuan antara dua peradaban, Islam dan Yunani, terjadi pada saat berlaku futuh al-Buldan (pembukaan negeri-negeri) di beberapa wilayah di luar Hijaz. Mulai Mesopotamia (Iraq), Persia (Iran), Khurasan (Asia Tengah), negeri-negeri di Traxonomia dan lain-lain. Sejak ini, maka timbul pemikiran-pemikiran baru di dunia Islam. Kemudian ditambah dengan masuknya ilmu logika Yunani ke dunia Islam.
Dalam catatan sejarah, ia masuk setelah abad ke-2 H seiring dengan gelombang besar-besaran kaum non-Arab masuk agama Islam. Pada fase pertama, transmisi pemikiran filosof Yunani seperti Aristoteles (w. 322 SM) dan Plato (w. 348 SM) dilalui secara oral (al-naql al-syafawiy). Pada masa ini, terjadi dialog-dialog dan perdebatan antara kaum Muslimin dengan orang Yahudi dan Nasrani maupun kaum pagan (wathaniyah). Dalam perdebatan itu, kaum Muslimin telah mengenal teori-teori logika Yunani dari kaum non-Muslim tersebut.
Maka, pada fase awal ini kaum Muslim baru mengetahui persoalan-persoalan mengenai filsafat Yunani. Interaksi pertama ini, yakni di abad-abad sebelum ke-5 H, para ulama menolak logika Aristoteles. Ilmu-ilmu seperti Ushul Fiqih dan Kalam tidak mengambil hujjah-hujjahnya dengan logika Aristoteles.
Jadi, ilmu kalam berkembang setelah orang-orang Islam berdebat dengan orang-orang yang memiliki keyakinan baru, campuran antara akidah Islam dengan keyakinan-keyakinan asing. Dalam hal ini, kaum mu’tazilah cukup aktif melakukan perdebatan-perdebatan dengan orang-orang Kristen. Baradu hujjah mengenai masalah ketuhanan. Kelompok mu’tazilah disebut kelompok pertama yang mengasaskan kaidah-kaidah perbedaan untuk beradu hujjah. Sebutan kalam qudama’ (ilmu kalam orang-orang dahulu) dimaksudkan kepada golongan mu’tazilah.
Tetapi, setelah muncul imam Asy’ari yang menangkis mu’tazilah, dimana imam Asy’ari mengenalkan kaidah untuk mempertahankan akidah Aswaja dan cara berhujjah dengan lawan, maka ilmu Kalam Aswaja memiliki karakteristik berbeda dengan Kalam kaum mu’tazilah.
Karena itu, maka para ulama menjelaskan bahwa ilmu kalam merupakan ilmu tentang hukum-hukum i’tiqadiyah (al-ahkam al-muta’alliqah bi al-i’tiqadiyah). Para ulama’ telah menjelaskan bahwa ilmu kalam itu adalah ilmu yang membahas tentang isu-isu berkaitan dengan keyakinan. Al-Taftazani mengatakan, ilmu kalam adalah ilmu yang membahas hukum i’tiqadiyah. Dikenal juga dengan ilmu tauhid dan sifa. Abdurrahman al-Iji mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang menthabitkan dan menjawab keyakinan-keyakinan agama (aqaid diniyyah) terhadap keyakinan lain dengan mengajukan hujah-hujah dan menolak shubhat-shubhatnya. Ibnu Khaldun juga berpendapat ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari hujah-hujah keyakinan dan keimanan dengan dalil-dalil aqli untuk menolak kelompok yang melakukan distorsi keyakinan Aswaja
Dengan demikian, ilmu kalam merupakan ilmu yang membahas isu-isu pokok dalam agama; mulai ketuhanan, kenabian, wahyu dan lain-lain yang bermaksud menguatkan hujah dan menolak keyakinan distorsif dari keyakinan lain dengan cara menthabitkan dalil-dalil aqli dan naqli.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan dari ilmu kalam adalah, Pertama, memperkokoh dan memperkuat akidah yang menjadi keyakinan dalam agama. Kedua, secara metodologi, ilmu kalam menjadikan akal sebagai sarana yang dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajaran agama, bukan sebagai fondasi atau titik tolak utama bagi keyakinan dalam beragama. Ketiga, objek kajian ilmu kalam adalah meliputi akidah-akidah yang diterima syariah. Dalam pandangan ahli kalam, ajaran-ajaran yang diterima dari syariah itu dianggap sebagai sesuatu yang aksioma yang menjadi titik permulaan kajiannya.
Karena itu, ilmu kalam berkaitan erat dengan epistemologi ilmu Islam. Al-Baqillani memulai kajian ilmu kalam dengan penjelasan tentang hakikat ilmu, akal, nalar dan klasifikasi ilmu. Karena itu, pada masa fase awal ilmu kalam berkaitan dengan ilmu ushul. Atau dengan kata lain, kajian ilmu ushul itu bersentuhan dengan teologi. Hal ini diakui oleh George Makdisi bahwa ilmu ushul yang dikodifikasi oleh imam Shafi’I tidak ada yang baru. Kandungan kitab al-Risalah nya berhubungan dengan ushul al-din. Sehingga Makdisi menyebut ilmu ini dengan Juridical Theology. Menurut Makdisi, sebagaimana dirujuk oleh Nirwan Syafrin, tujuan imam Shafi’i menkodifiksi ilmu ushul ini adalah untuk meletakkan dasar berpikir ilmiah untuk menentang pola pikir kalam yang pada saat itu dipresentasikan oleh kelompok Mu’tazilah.
Imam al-Ghazali menerangkan urgensi dari ilmu kalam. Menurutnya, ilmu kalam bertujuan menjaga akidah Aswaja dan mengawasi dari penyelewengan (tasywisy) golongan ahlu bid’ah. Hukum mempelajari ilmu kalam menurut imam al-Ghazali fardhu kifayah. Hanya bagi orang-orang yang memiliki kecerdasan, dan bekal ilmu yang cukup. Bukan wajib bagi seluruh Muslim. Kecuali sampai pada tujuan untuk mengokohkan keyakinan, membersihkan hati dari keragu-raguan dalam masalah iman. Karena menghilangkan keragu-raguan dalam agama itu wajib bagi tiap Muslim. Dalam hal ini imam al-Ghazali ingin menegaskan bahwa ilmu kalam itu diperlukan, namun dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan akidah Aswaja. Bahkan, dengan kalam versi ini, imam al-Ghazali berpendapat bahwa dengan ilmu kalam manusia akan memahami tauhid dan mengenal dzat serta sifat-sifat-Nya.
Ketentuan-ketentuan itu antara lain adalah epistemologi. Atau konsep-konsep mengenai dasar dan faham ilmu. Dalam hal ini Imam al-Nasafi dalam kitabnya Al-’Aqa’id mengawali pembahasannya dengan pernyataan yang sangat penting :
حقائق الأشياء ثابتة والعلم بها متحقق خلافا للسوفسطائية ثم أسباب العلم للخلق ثلاثة: الحواس الخمس والخبر الصادق والعقل.
Hakikat segala sesuatu itu tetap dan pengetahuan tentangnya adalah pasti. Berbeda dengan golongan sufastaiyyah. Kemudian sumber ilmu bagi manusia ada tiga: panca indera, khabar shadiq dan akal.
Kitab akidah dan ilmu kalam imam Nasafi di atas dibuka dengan pembahasan epistemologi. Yaitu bahwa sumber ilmu itu ada tiga: yaitu panca indra, khabar shadiq dan akal.
Imam Nasafi perlu menjelaskan sumber-sumber ilmu yang diakui Aswaja, sebab ada kolompok-kelompok yang menolak itu. Di antara yang menolak itu adalah golongan sufastaiyyah. Golongan ini terbagi menjadi tiga. Pertama, Allaadriyah. Mereka golongan yang menjadikan keragu-raguan (syak) sebagai metode. Meragukan hakikat sesuatu. Bahkan mereka meragukan wujud mereka sendiri. Mereka ragu apakah dalam diri mereka atau dalam ilmu itu ada hakikatnya. Kedua,Al-Inadiyyah. Golongan ini menolak (inad) terhadap kemungkinan manusia mencapai ilmu. Ilmu yang pasti ia ragui. Bahwa manusia tidak bisa sampai pada level pengetahuan mutlak. Ketiga, Al-Indiyyah. Mereka kaum subjektivisme. Yaitu bahwa kebenaran itu tergantung oleh tiap-tiap golongan atau orang. Mereka mirip dengan kaum relativisme, yaitu merelatifkan kebenaran.
Syekh Abdul Qohir al-Baghdadi berpendapat golongan sufastaiyyah adalah firqah sesat disebabkan mereka menafikan ketetapan ilmu, tidak mengakui hakikat sesuatu, dan membenarkan semua i’tiqad (keyakinan-keyakinan). Kemudian al-Baghdadi menerangkan pembagian ilmu manusia menjadi dua, ilmu dharuriy dan ilmu muktasab. Ilmu dharuriy adalah ilmu yang diperoleh secara langsung tanpa memerlukan penelitian dan dalil, seperti pengetahuan bahwa api itu panas. Ilmu muktasab adalah ilmu yang diperoleh dengan usaha. Ilmu dharuriy ada dua yaitu badihiy dan hissy. Ilmu badihiy adalah ilmu aksiomatik. Seperti pengetahuan tentang diri kita, dari rasa sakit rasa lezat dan lain-lain,. Ilmu hissy adalah ilmu yang bersumber dari empirik/panca indra. Sedangkan ilmu muktasab dibagi menjadi dua yaitu aqliy dan syar’i. Kedua ilmu ini membutuhkan penalaran dan penelitian atau disebut istidlaliy.
Pembagian ilmu ini penting diterangkan, sebab pada abad ke-4 H berkembang golongan bernama al-samaniyah dan golongan dahriyyah. Golongan samaniyah mengingkari nalar dan akal sebagai sumber ilmu. Golongan dahriyyah adalah kelompok yang mengingkari Sang Pencipta dan meyakini kekadiman (kekekalan alam). Kelompok ini anti Tuhan. Meskipun dalil adanya Tuhan melalui penelitian dan penalaran, mereka menolaknya. Ada juga faham yang menolak indera memiliki faidah ilmu. Seperti kelompok Abu Hasyim al-Jubba’i.
Penjelasan al-Baghdadi ini menunjukkan bahwa sejak zaman dulu sudah berkembang golongan-golongan yang menolak rasio dan empiris sebagai sumber ilmu, di samping juga ada golongan yang menolak khabar shadiq sebagai sumber utama ilmu. Dalam Islam, ketiga sumber ini tidak dinafikan.
Islam mengakui indera sebagai sumber informasi dan juga sumber ilmu. Dan dalam sains disebut empirical sources. Sebagai salah satu sumber empiris yang memang diakui Islam sebagai saran manusia menerima ilmu. Sedangkan fungsi akal adalah dapat menutupi kelemahan panca indera. Akal menafsirkan fakta-fakta dari pengalaman inderawi untuk menghasilkan hukum, kesimpulan yang dapat dipahami. Imam al-Ghazali memberikan perumpamaan, bulan jika dilihat dengan indera mata terlihat kecil seperti logam duit. Namun kita tidak serta merta menyimpulkan begitu saja bahwa bulan itu sebesar logam duit, sebab akal kita menyatakan bulan itu besar. Dari mana akal bisa menyimpulkan bulan itu besar? Dari pembacaan hasil penelitian, dari sumber-sumber terpercaya. Akal memberi informasi baru dimana pengamatan empiris tidak mampu menyimpulkan yang sebenarnya.
Akal dibagi menjadi tiga, yaitu wajib bagi akal, mustahil bagi akal dan mungkin bagi akal. Wajib bagi akal adalah sesuatu yang akal kita tidak bisa menolaknya. Akal sehat harus menerimanya. Contoh berupa pernyataan ‘Ayah itu lebih tua dari anaknya’. Proposisi ini tidak bisa ditolak oleh akal sehat. Sedangkan lawannya adalah mustahil bagi akal, yakni akal tidak bisa menerimanya. Contoh: ‘Ibu itu lebih muda dari anaknya’. Atau berupa proposisi, ‘Ada segitiga bulat’. Ini tentu mustahil.
Sedangkan mungkin bagi akal adalah proposisi-proposisi yang akal bisa menerimanya, tergantung kemungkinan-kemungkinan. Contoh misalnya, ‘Istri lebih tua dari suaminya’.
Imam Fakhruddin al-Razi berpendapat dari segi cara memperoleh ilmu, akal ada dua yaitu akal badihiy dan akal iktisab. Akal badihiy adalah gambaran sesuatu itu bisa langsung masuk dalam jiwa tanpa upaya, bisa menafikan dan menetapkan. Yang kedua adalah memperoleh ilmu dengan upaya yang dibantu oleh indera. Namun begitu, akal memiliki keterbatasan. Akal harus selaras dengan bimbingan wahyu.
Kedudukan akal dalam khazanah Islam adalah untuk memastikan, mengokohkan dan mengabsahkan suatu keyakinan. Ini tidak berarti bahwa sumber kebenaran wahyu adalah akal, atau akal dapat dijadikan satu- satunya patokan untuk menilai salah atau benarnya wahyu. Sebab sesuai dengan kapasitas dan keterbatasan manusia, akal tidak dibebani untuk mengenali hal-hal ghaib, atau untuk merumuskan cara berinteraksi dengan Tuhan. Oleh karena itu, akal selalu diikat dengan nilai-nilai wahyu. Maka dalam teologi Islam kedudukan akal dan wahyu haruslah seimbang dan terpadu.
Sumber ketiga yaitu khabar shadiq. Imam Nasafi menjelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua. Pertama, khabar mutawatir, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dari banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta, disampaikan dari satu generasi ke generasi lain dan oleh karena itu merupakan sumber ilmu yang pasti. Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan oleh para Rasul yang diperkuat dengan mu’jizat. Informasi melalui jalur ini bersifat istidlali, yakni bisa diterima dan diyakini kebenarannya jika telah diteliti dan dibuktikan terlebih dahulu statusnya.
Informasi mutawatir yang terbentuk oleh kesepakatan bersama, yang termasuk di dalamnya sarjana, ilmuan, dan orang yang berilmu pada umumnya, dapat dipersoalkan oleh nalar dan pengalaman. Tetapi otoritas jenis kedua, yaitu pesan yang dibawa oleh Nabi dan Rasul, yang juga dikukuhkan oleh kesepakatan umum, sifatnya mutlak. Sehingga tingkat otoritas tertinggi dalam Islam adalah al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Kedua otoritas ini dibangun di atas tingkat-tingkat kognisi intelektual dan ruhaniah yang lebih tinggi, dan di atas pengalaman transsendental yang tidak dapat disempitkan hanya pada tingkat akal dan pengalaman biasa.
Dalam ilmu hadis, khabar mutawatir memiliki sejumlah syarat di antaranya; Pertama, para narasumbernya harus betul-betul mengetahui apa yang mereka katakana, sampaikan atau laporkan. Tidak boleh hanya menduga-duga. Kedua, mereka harus mengetahuinya secara pasti dalam arti pernah melihat, menyaksikan, mengalami atau mendengarnya secara langsung tanpa disertai ilusi, distorsi dan semacamnya.
Dalam ushul fikih, ada beberapa kemungkinan bentuk dalil sebagai sumber ilmu. Pertama, Qath’iut Tsubut Qath’ud Dilalah (sumber informasinya jelas terpercaya dan maknanya juga terang tidak ada ruang untuk ijtihad atau mengandung ambiguitas). Semua dalil-dalil tentang perkara Ushul (pokok-pokok agama) adalah dari jenis dalil ini. Kedua, Qath’iut Tsubut Danniyud Dilalah (sumber informasinya jelas terpercaya akan tetapi maknanya masih dzanni, mengandung dugaan dan bisa ditafsirkan lebih dari satu makna). Biasanya terkait dengan perkara furu (cabang-cabang agama).
Khabar ahad sifatnya tidak qath’i. namun bisa di amalkan dan tidak bisa digunakan sebagai dalil akidah. Sebab khabar ahad mengandung dzann (dugaan). Imam Al-Syaukani menerangkan, khabar ahad bisa diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat. Pertama, sumbernya harus orang mukallaf, yaitu orang yang telah kena kewajiban melaksanakan perintah agama. Kedua, narasumbernya beragama Islam. Orang kafir tidak bisa diterima sumbernya. Ketiga, narasumbernya harus memenuhi ‘adalah’ yaitu memiliki integritas moral. Keempat narasumber diharuskan memiliki kecermatan dan ketelitian (dhabt), tidak sembrono dan asal jadi. Kelima, narasumber harus jujur dan terus terang, tidak menyembunyikan rujukannya.
Merespon Liberalisasi Pemikiran
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam pidato International Conference on Al-Ghazali’s Legacy tanggal 24-27 Oktober 2001 di ISTAC mengatakan, problem pemikiran yang dihadapi Muslim pada masa ini hampir mirip pada saat zaman imam al-Ghazali. Ia hidup pada era pergolakan pemikiran dan agama yang ditandai dengan masuknya pandangan asing ke dalam pemikiran kaum Muslim oleh para filosof.
Imam al-Ghazali seorang ahli tasawuf, fikih dan kalam merespon pemikiran para ilmuan yang terpengaruh oleh pandangan asing tersebut dengan menulis kitab Tahafut al-Falasifah. Sebelumnya ia menulis kitab pendahuluan Maqashid al-Falasifah yang membahas tiga masalah utama: Thabi’iyyat (ilmu alam), Ilahiyyat (metafisika) dan Mantiqiyyat (ilmu logika). Ia banyak mempersoalkan pemikiran falasifah pada pembahasan ilahiyyat. Pendekatan yang digunakan dalam menangkis pemikiran itu berdasarkan kalam Asy’ariyyah. Imam al-Ghazali sendiri seorang ahli kalam yang menganut madzhab Asy’ariyyah. Kaidah-kaidah nya mengikuti aliran Asy’ariyyah dengan ditambah pemikiran ijtihadnya sesuai dengan masalah yang ia hadapi.
Dengan demikian, sebenarnya kaidah, rumus dan “formula obat” untuk menghadapi setiap aliran pemikiran telah ada dalam tradisi Islam (turath al-Islami). Maka, pada saat muncul aliran-aliran pemikiran baru yang masuk ke dalam pemikiran umat Islam pada zaman kontemporer ini seperti; ateisme, humanisme, ralativisme, pluralisme, sekularisme, dan lain-lain maka patutlah sarjana Muslim merujuk pada tradisi Islam yang telah ada itu.
Jika zaman dahulu ada aliran pemikiran dahriyyah, hasywiyyah, mu’tazilah, sufasthaiyyah dan lain-lain, maka pada hari ini juga muncul aliran pemikiran ateisme, humanisme, ralativisme, pluralisme, sekularisme. Ideologi ini termasuk aliran kalam baru. Atau aliran kalam pada zaman modern. Maka, ketika membahas golongan dahriyyah, dan sufathaiyyah misalnya, al-Baghdadi dan al-Nasafi mengokohkan pembahasan kaidah ilmu. Kajian ini yang pada zaman modern disebut epistemologi. Maka, dapat disimpulkan juga bahwa problem golongan sufastaiyyah dan lain-lain juga problema epistemologi.
Struktur epistemologi Islam yang telah dijelaskan oleh para ulama ahli kalam dan ahli filsafat perlu menjadi dasar pendekatan dalam menghadapi liberalisasi pemikiran pada masa ini. Karena itu, dalam menghadapi liberalisasi pemikiran ada dua tugas yang harus dikerjakan. Pertama, menguasai turath Islam. Kedua, menguasai pemikiran Barat modern.
Penguasaan turath khususnya mengenai ilmu ushul. Ilmu ini ilmu pokok, dan kaidah keilmuan. Ada dua ilmu ushul, yatu ushul fiqh dan ushul kalam. Ilmu ini mengandung ketentuan, batasan, dan kaidah-kaidah. Sehingga, ketika dihadapkan pada pemikiran asing baru, pemikiran Islam siap dalam merespon. Dalam filsafat, mungkin posisinya mirip dengan ilmu logika. Untuk menguasai ini tentunya menuntut untuk menguasai bahasa Arab.
Penguasaan ilmu pemikiran dan peradaban Barat diperlukan guna mengetahui letak problem-problem dasar dari wacana liberalisasi agama. Hal ini sudah dicontohkan oleh imam al-Ghazali. Sebelum menjawab problem pemikiran falasifah beliau menulis kitab Maqashid al-Falasifah. Tujuannya mendalami dan memahami dengan benar ilmu para falasifah. Dengan pemahaman benar, maka akan mampu menjawab dengan tepat wacana yang dipersoalkan.
Penutup
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa wujudnya pemikiran liberalisme pada zaman ini merupakan tantangan epistemologi Islam. Ini merupakan tantangan baru Kalam. Solusi untuk menghadapinya dapat dengan merujuk tradisi turath Islam. Karena, para ulama ahli kalam terdahulu telah berhasil menangkis berbagai pemikiran menyimpang. Kaidah dan ketentuan yang telah ditetapkan para ulama dahulu kemudian digunakan sebagai pendekatan dalam menjawab wacana liberalisasi agama itu. Para sarjana Muslim kontemporer perlu kembali lagi kepada turats Islam. Liberalisme tidak dapat dijawab hanya dengan dalil nash al-Qur’an dan Hadits. Sebagaimana para ulama dahulu tidak merespon golongan-golongan menyimpang dengan hanya nash al-Qur’an dan Hadits. Maka di sini, pendekatan madzhab kalam Asy’ari cukup relevan. Karena ia menghadirkan pemikiran yang seimbang antara naql (dalil teks) dengan aql (dalil rasio), dengan menempatkan naql di atas aql.
Seperti yang pernah digambarkan oleh imam al-Ghazali, ahli kalam bagaikan dokter. Mengobati penyakit pemikiran. Maka, sebelum suatu pemikiran itu diobati, perlu melakukan diagnosa. Setelah itu kemudian diberi obat. Pemberian obat tentunya dengan dosis. Terlalu sedikit tidak bisa menyembuhkan, terlalu banyak (over dosis) bisa merusak atau mematikan. Menjawab liberalisme juga sama, perlu diagnosa, dosis dan obat. Untuk melakukan itu semua perlu menguasi dua ilmu, yaitu ilmu turath dan ilmu peradaban Barat. Wallahu a’lam bishowab.
Last modified: 18/02/2019