Oleh: Usep Mohamad Ishaq
Inpasonline.com-PADA suatu kesempatan ketika menghadiri kuliah filsafat Ilmu di suatu perguruan tinggi bidang sains dan teknologi, saat itu kebetulan bersamaan dengan tugas presentasi dari para mahasiswa peserta kuliah. Setelah beberapa lama berselang para peserta bergantian menyajikan karya tulisnya, salah satu tema yang menarik perhatian adalah makalah yang berkaitan dengan kemunduran sains di dunia Islām, setelah menguraikan fakta dan data sejarah, kemudian ia menyimpulkan dengan meyakinkan dan tanpa ragu-ragu bahwa sosok yang bertanggung jawab atas kemunduran sains di dunia Islām adalah sosok seorang teolog bernama al-Ghazālī, karena ia cenderung pada ilmu agama dan menolak filsafat. Nampaknya tidak ada tanda keberatan dari peserta lain, demikian pula dari profesor pengampu mata kuliah tersebut.
Pada kesempatan lainnya selang beberapa tahun, ketika penulis berkesempatan menjadi panelis dalam suatu acara ilmiah, salah seorang panelis lain juga tanpa ragu-ragu menyalahkan al-Ghazālī terhadap kemunduran sains, alasannya sederhana, senada dan seirama: serangan telak beliau terhadap filsafat yang mengakibatkan orang-orang Islām berpaling dari sains pada ilmu agama.
Demikian juga tidak terhitung tulisan yang memiliki nada serupa baik dalam media cetak maupun jejaring sosial, bahwa al-Ghazālī penyebab utama kemunduran sains di dunia Islām. Nampaknya pandangan seperti ini banyak diterima tanpa direnungkan lebih jauh.
Awal tuduhan
Anggapan seperti ini sebenarnya bisa dilacak jauh ke belakang. Misalnya pendapat seorang orientalis Goldziher, ia menyatakan bahwa kemunduran sains di dunia Islām adalah karena suatu “conservative religious forces”,[ Muzaffar Iqbal, Science and Islam (London: Greenwood Press, 2007),hlm. 125] atau juga ulasan seorang pemenang nobel fisika terkenal Steven Weinberg tahun 1979 yang juga seorang ateis [Dalam Steven Weinberg, “A deadly certitude” (artikel dapat dilihat pada laman http://tls.timesonline.co.uk/article/0,,25349-2552017.htmlhttp://old.richarddawkins.net/articles/531-a-deadly-certitude]
“Alas, Islam turned against science in the twelfth century. The most influential figure was the philosopher Abu Hamid al-Ghazzali, who argued in The Incoherence of the Philosophers against the very idea of laws of nature…After al-Ghazzali, there was no more science worth mentioning in Islamic countries.”
(Sayang sekali, Islām berbalik menentang sains pada abad kedua belas. Sosok yang paling berpengaruh adalah seorang filsuf Abū Ḥāmid al-Ghazālī, yang berargumen dalam “Kerancuan Para Filsuf” menentang gagasan hukum alam…setelah al-Ghazālī, tidak ada lagi sains yang layak diperhitungkan di negeri-negeri Islām.)
Pandangan semacam ini banyak diikuti bukan hanya oleh orientalis namun juga kalangan saintis Muslim yang mungkin tidak memiliki akses untuk membaca langsung pandangan-pandangan Imām al-Ghazālī. Tentu saja pendapat seperti ini tidak berlandaskan argumen yang kukuh dan data yang lengkap. George Saliba seorang sejarawan terkemuka peneliti peradaban Islām bahkan menantang mereka yang bersikukuh dengan tesis tersebut untuk menjawab pertanyaan: jika benar Imām al-Ghazālī menyebabkan kemunduran sains bagaimana menjelaskan tetap munculnya hampir puluhan saintis dalam setiap disiplin ilmu pasca al-Ghazālī? Bahkan dalam beberapa segi lebih hebat dari sebelumnya.[3] Ini mengindikasikan bahwa islamisasi dalam bentuk pembersihan anasir filsafat yang merusak dan konseptualisasi keilmuan yang dilakukan Imām al-Ghazālī bukanlah faktor yang menyebabkan kemunduran sains di dunia Islām.
Ada banyak faktor yang saling memengaruhi kemunduran sains di dunia Islām saat itu seperti invasi militer, penjajahan, perpecahan politik, ekonomi, dan lain-lain. Misalnya bukti yang diajukan Saliba bahwa sekitar abad 16 faktor-faktor luar berperan besar dalam melemahkan kemajuan sains di dunia Islām seperti perpecahan politik di kalangan mereka sendiri, peperangan dengan dunia Barat, kolonialisasi Barat untuk mencari sumber-sumber kekayaan baru di negeri-negeri Muslim dan lain-lain. Akibatnya institusi-institusi pendidikan yang berperan dalam pengembangan sains menyusut dan bergantung sepenuhnya pada penemuan-penemuan saintifik asing.[ Asadullāh ʿAlī al-Andalusi, The Rise And Decline of Scientific Productivity In The Muslim World: A Preliminary Analysis]
Konsep ilmu Imām al-Ghazali
Jika para penuduh ini mau sedikit membuka langsung pandangan-pandangan Imām al-Ghazali dalam berbagai karyanya, akan jelas bagaimana sebenarnya posisi dan sikap beliau pada ilmu-ilmu rasional seperti sains, kedokteran, logika dan matematika. Imām al-Ghazālī raḥimahuʾLlāh dalam Iḥyā‘ mengklasifikasikan ilmu farḍ kifāyah (ilmu yang wajib dikuasai secara mencukupi oleh satu komunitas) pada sharʿiyyah dan ghayr sharʿiyyah.
Ilmu-ilmu farḍ kifāyah yang bersumber dari para nabi yang disebut oleh Imām al-Ghazālī sebagai ilmu sharʿiyyah yaitu yang menyandarkan rujukannya pada al-Qur‘ān, sunnah, ijmaʿ, dll; dan kedua, ilmu ghayr sharʿiyyah–yang sebagaimana dinyatakan beliau sendiri untuk tidak usah heran dengan pernyataan ini– adalah seperti ilmu kedokteran, ilmu berhitung, ilmu pengetahuan alam dan lain-lain.
Ilmu ghayr sharʿiyyah pun diurutkan menurut kepentingannya dalam masyarakat, dan sangat bergantung pada keperluan suatu masyarakat. Contoh ilmu ghayr sharʿiyyah menurutnya yang penting adalah seperti kedokteran, matematika, astronomi, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lain.[Abū Ḥamīd al-Ghazālī, Iḥyāʾ ʿUlumiddīn (Semarang: Toha Putra, tanpa tahun), juz 1, hlm 17.]
Jadi jelaslah bahwa Imām al-Ghazali tidak menolak sains dan matematika sebagai disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh umat Islām.
Lebih jauh Imām al-Ghazālī bukan hanya menerima ilmu rasional seperti matematika, ia sendiri menulis beberapa karya logika seperti Miʿyār al-ʿIlm dan Miḥakk al-Naẓar, bahkan Imām al-Ghazālī adalah tergolong sarjana pertama yang menerima logika dan menggunakannya dalam ilmu uṣūl al-fiqh. Bahkan dalam Miʿyār al-ʿIlm, ia sendiri mengulas prinsip-prinsip ilmu geometri Euclid seperti definisi titik, garis, bidang dan luas permukaan benda.[ Lihat: Abū Ḥamīd al-Ghazālī (ed. Sulayman Dunya), Mi’yar al-‘Ilm, (Kairo: Dāru’l Maʿārif 1961), hlm. 307-308].
Filsafat
Dalam Tahāfut yang sering dianggap sebagai pukulan telak Imām al-Ghazali terhadap filsafat dan dianggap sebagai penyebab kemunduran filsafat dan sains di dunia Islām, ia menegaskan bahwa dirinya tidak berkepentingan untuk menyerang ilmu-ilmu yang sudah jelas dapat diterima kebenarannya seperti astronomi, karena ilmu ini tidak kontradiktif dengan prinsip agama.
Justru kaum agamawan yang menyerang ilmu tersebut akan membahayakan agama itu sendiri, sebab akan menimbulkan keraguan-raguan orang awam terhadap agama dengan menyerang ilmu yang dapat dibuktikan kebenarannya secara empirik. Bahkan pembelaan dari kaum agamawan dengan cara yang salah seperti itu lebih besar bahayanya dibanding dengan mereka yang nyata-nyata memang ingin menyerang agama. Beliau mengatakan: “ʿaduwwun ʿāqil khayrun min ṣadīqin jāhil” (musuh yang cerdas lebih baik dari teman yang bodoh),[ Tahāfut al-Falāsifah (Mesir: Dāruʿl-Maʿārif, 1972), hlm. 80].
Hal ini menunjukkan bagaimana keadilan yang ditampilkan Imām al-Ghazālī ketika mengkritik filsafat, yang secara konsisten ia tegaskan lagi pada al-Munqidh min al-Ḍalāl.[ Abū Ḥamīd al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Libanon: Dāruʿl-Andalus), hlm. 100-102.]
Tetapi di sisi lain ia juga mengkritik para filsuf yang membeo dalam segala hal pada filsuf Yunani terutama pada pandangan metafisika mereka karena takjub pada kehebatan mereka dalam bidang-bidang yang sebetulnya tidak berkaitan langsung seperti matematik, logika dan sains.[ Abū Ḥamīd al-Ghazālī (ed. Sulayman Dunya), Tahāfut al-Falāsifah (Mesir: Dāruʿl-Maʿārif, 1972), hlm. 74.]
Ia kemudian mengkritik para filsuf yang menggunakan ilmu-ilmu rasional seperti aritmetika dan logika sebagai tameng untuk berbicara masalah-masalah metafisika yang bertentangan dengan prinsip agama. Dalam hal ini justru Imām al-Ghazālī telah menempatkan ilmu rasional pada tempatnya sebagaimana seharusnya.
Ia bahkan juga mengakui dan menggunakan logika untuk mengkritik cara berpikir para filsuf dalam menyimpulkan beberapa aspek metafisika yang jelas-jelas bertentangan dengan agama. Ia mengatakan bahwa logika bukan hanya milik para filsuf dan tidak ada yang perlu diingkari pada ilmu ini.[ Abū Ḥamīd al-Ghazālī (ed. Sulayman Dunya), Tahāfut al-Falāsifah (Mesir: Dāruʿl-Maʿārif, 1972), hlm. 84-85].
Ia melanjutkan bahwa ilmu astronomi yang membahas benda-benda langit, gugusan bintang dan (ilmu tentang) apa saja yang ada di bawah bumi seperti air, udara, tanah, serta makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan, juga kajian kedokteran bukanlah syarat untuk beragama sehingga tidak ada yang harus diingkari kecuali yang telah disebutkan dalam Tahāfut.[ Abū Ḥamīd al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Libanon: Dāruʿl-Andalus), hlm. 105]
Dalam Iḥyā ditegaskannya bahwa filsafat dibagi dalam empat bagian yaitu: pertama, geometri dan aritmetika (handasah dan ḥisāb), dibolehkan untuk mempelajarinya kecuali ketika ia sudah melangkah menuju ilmu-ilmu tercela sebagaimana dijelaskannya dalam Tahāfut; kedua, ilmu logika (manṭiq) yang boleh dipelajari bahkan menjadi bagian dari ilmu kalam dan digunakan dalam uṣūl al-fiqḥ; ketiga, metafisika (ilāhiyāt) yang merupakan juga bagian dari ilmu kalam tetapi sebagiannya menyimpang dan harus ditolak; keempat, ilmu alam (ṭabiʿiyyāt) sebagiannya menyimpang tetapi kajian terhadap sifat-sifat materi (kajian terhadap sifat-sifat khas fisik benda-benda) dapat diterima.[ Abū Ḥamīd al-Ghazālī, Iḥyāʾ ʿUlumiddīn (Semarang: Toha Putra, tanpa tahun), juz 1, hlm 23]
Karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum pandangan Imām al-Ghazālī adalah menerima ilmu-ilmu rasional seperti matematika, logika dan sains selama ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, dan kadar untuk mempelajari ilmu-ilmu ini disesuaikan dengan keperluan masyarakat saat itu.
Kausalitas
Ada pula anggapan bahwa Imām al-Ghazālī menolak sains karena tidak mempercayai hukum kausalitas. Anggapan berlebihan ini perlu ditempatkan pada tempatnya, sebab hukum ʿādah dan hukum kausalitas yang merupakan prinsip sains, bukanlah dua hal yang kontradiktif, tetapi relasi hukum ʿādah dengan “hukum alam” lebih menyerupai umum dan khusus (nisbah bayna al-umūm wa al-khuṣūs), di mana hukum ʿādah adalah lebih umum dan lebih luas dari kausalitas. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh Imām al- Ghazālī adalah kemestian hukum kausalitas. Lenn Evan Goodman misalnya, dalam penelitiannya tentang, “Apakah al-Ghazālī menolak kausalitas?”, ia menyimpulkan, “Dia (al-Ghazālī) tidak menolak”.[ Lenn Evan Goodman,“Did al-Ghazālī Deny Causality?”, dalam Studia Islamica, vol. 47, (Paris: G.-P. Maisonneuve-Larose, 1978), hlm. 120.]
Sebenarnya penolakan terhadap kemestian kausalitas melalui paradigma yang lain juga datang dari masa pencerahan Barat sendiri seperti David Hume (1711-1776), menurutnya meski kausalitas itu penting namun ia sebenarnya merupakan konstruksi pikiran yang menghubungkan “sebab” dan “akibat” dikarenakan manusia memiliki kesan (impression) terhadap “kebiasaan” kedekatan hubungan “sebab” dan “akibat”, di mana yang pertama mendahului yang kedua. Hume memberi istilah “custom” atau “habit” yang berarti “kebiasaan”, sementara imām al-Ghazālī memberi istilah ʿādah, yang memiliki arti sama. Karena itulah tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa David Hume sangat terpengaruh pemikiran imām al-Ghazālī.
Bukti lainnya yang terang benderang adalah pada karya beliau tentang ilmu logika Miʿyar al-ʿIlm, sebagaimana para ahli mantiq pada umumnya, ia mengakui “mujarrabāt” sebagai bahan premis yang meyakinkan dalam silogisme, di mana mujarrabāt tidak lain dari kebenaran yang diperoleh dari serangkaian bukti empiris yang berulang sebagaimana yang dilakukan dalam sains ketika mengambil data melalui eksperimen. Ia mencontohkan yang termasuk mujarrabāt misalnya: “scammony (saqmūniya) dapat melancarkan masalah sakit perut” atau “api itu membakar” adalah proposisi-proposisi yang benar, dan tidak dinafikan karena ia tidak meyakini kemestian hubungan kausalitas.
Imām al-Ghazali juga menerima metode induksi (istiqrā‘) yang biasa dipakai untuk memperoleh kebenaran yang tidak lain merupakan metode yang digunakan dalam sains saat ini, yang juga beliau gunakan dalam masalah fiqh.[ Abū Ḥamīd al-Ghazālī (ed. Sulayman Dunya), Mi’yar al-‘Ilm,]
Beliau mendefinisikan induksi sebagai penelitian terhadap partikular-partikular yang banyak di bawah suatu konsep (maʿnā) universal, sehingga jika telah disimpulkan partikular-partikular tersebut maka dapat tersimpulkan juga pada universalnya.[ Abū Ḥamīd al-Ghazālī (ed. Sulayman Dunya), Mi’yar al-‘Ilm, (Kairo: Dāru’l Maʿārif 1961), hlm. 160.]
Dengan kata lain dengan bukti-bukti yang bersifat kasuistik (partikular) jika tercukupi jumlahnya maka ia dapat digeneralisasi menjadi hukum universal. Meskipun demikian, ia menyatakan bahwa derajat kehandalan induksi dalam meraih kepastian lebih rendah dari silogisme (deduksi) tetapi lebih kuat dari analogi [Abū Ḥamīd al-Ghazālī (ed. Sulayman Dunya), Mi’yar al-‘Ilm, (Kairo: Dāru’l Maʿārif 1961), hlm. 161.]
Bertrand Russel melihat masalah yang sama, induksi memiliki kelemahan, tetapi ia dapat diterima dengan syarat ia memenuhi prinsip-prinsip induksi.[ “On Induction” dalam The Basic Writings of Bertrand Russell, (London: George Allen & Unwin Ltd, 1961), hlm. 152-153. Al-Ghazālī dan Kemunduran Sains]
Penutup
Dari pemaparan di atas, maka jelaslah bahwa Imām al-Ghazālī tidak menolak ilmu-ilmu rasional, ia juga tidak menentang metode induksi yang merupakan metode yang digunakan sains saat ini, ia juga menerima jenis proposisi yang berasal dari bukti empirik yang berulang. Dengan demikian, pandangan yang menyatakan bahwa Imām al-Ghazālī menolak sains dan sebagai penyebab kemunduran sains di dunia Islām merupakan pandangan terburu-buru, kurang hati-hati,yang semestinya sudah harus ditinggalkan. Allāhu aʿlam.*
Penulis peneliti PIMPIN Bandung, alumnus Jurusan Fisika ITB, mahasiswa program PhD di Centre for Advanced Studies on Islām, Science and Civilisation (CASIS)-UTM