Inpasonline.com-Ada yang istimewa dalam Kajian Malam Rabu (30/01/2018) di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS). Salah satu karya dari Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi berjudul “Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan Membaca Pemikiran Religio-Saintifik al-Ghazali” dibedah oleh Dr. Adian Husaini dan Dr. Budi Handriato.
Dalam pembukaannya, Gus Hamid bercerita mengenai sejarah buku ini. Pertama, buku ini adalah disertasinya saat menempuh S3 ISTAC Malaysia yang dikonsultasikan langsung dengan Prof. Dr Naquib Al-Attas.
Hamid memaparkan enam kesimpulan penting buku ini. Pertama, ilmu pengetahuan berkesesuaian pikiran dengan realita. Kedua, indera sebagai satu-satunya supplier materi pada otak manusia, tapi otak bisa mendeduksinya di dunia nyata yang tidak dilakukan indera. Ketiga, otak manusia adalah instrumen yang didesain untuk memahami dunia nyata tapi akal bukan sebab utama ilmu pengetahuan, Tuhan adalah sebab utama ilmu pengetahuan. Keempat, penolakan Ghazali terhadap kausalitas di alam nyata bukan penolakan terhadap ilmu pengetahuan seperti yang dituduhkan Ibnu Rusyd. Kelima, Ibnu Rusyd salah paham terhadap Ghazali. Sebab Ghazali mengubah kausalitas menjadi sunnatullah. Keenam, teori kausalitas Ghazali dan ilmu pengetahuan sejalan dengan argumen teologis dan epistemologisnya. Wahyu dan susunan alam ini dapat dijelaskan. Tidak melulu empiristis.
Gus Hamid juga menjelaskan tuduhan miring terhadap Imam Ghazali yang dianggap menyebabkan mundurnya sains umat Islam.
Menurutnya, justru Ghazali mampu mengembalikan peran Tuhan dalam sains yang sebelumnya tersekularkan sebagaimana dipisahkannya peran Tuhan oleh ilmuan Barat saat ini.
Setelah pemaparan singkat, pembasan dilanjutkan oleh Dr. Budi Handriato.
“Buku ini ibarat steak. Makanan enak lezat tapi tidak bisa dimakan cepat-cepat.”
Menurut catatannya –menukil tulisan Cemil- Al-Ghazali adalah intelektual Islam luar biasa karena karyanya setara dengan apa yang dicapai orang Barat selama lima abad. Ghazali belajar filsafat secara otodidak selama dua tahun di sela-sela kesibukannya mengajar. Kemudian diendapkan selama satu tahun hingga paham betul.
Menurut pakar pendidikan ini, yang menarik dari buku Hamid adalah pembahasan kausalitas dalam sudut pandang worldview. Meski ini istilah ini baru, tapi sudah diaplikasikan oleh Al-Attas, Alph Arslan dan lain-lain.
Dalam realita, teori kausalitas ini menjadi satu bahan yang dituduhkan kepada Imam Ghazali bahwa yang membuat umat Islam mundur karena Ghazali menolak teori kausalitas. Orientalisme seperti Goldzhier menuduh Ghazali konservatif religius yang membuat mundur ilmu pengetahuan.
Namun, sejarawan Muslim seperti George Saliba menangkisnya: jika Imam Ghazali penyebab saintis mundur bagaimana menjelaskan lahirnya banyak saintis muncul bahkan kualitas lebih baik dari sebelumnya?
Pada kesempatan hangat ini ia juga meluruskan bahwa Imam Ghazali tidak memusuhi sains. Mengutip Camil Erdogan, bagaimana mungkin Ghazali sendirian mampu menolak sains. Kemudian setelahnya banyak juga lahir sains. Faktanya, Ghazali juga menyumbang perkembangan sains. Yang ditolak Imam Ghazali adalah para filsuf bukan kausalitasnya.
“Sebab-akibat pada realitas fisik adalah bagian metafisik. Bahasa lain, hukum sebab-akibat adalah bagian dari kekuasaan Allah. Sebab-akibat itu diciptakan Allah, tapi Allah tetap berperan. Salah satu ilmuan Barat yang terpengaruh dengan teori kausalitas Ghazali di antaranya David Hume. Dari framework Ustadz Hamid ini mengakhiri perdebatan antara Ghazali dan Ibnu Rusyd. Kita tidak mengatakan Ibnu Rusyd salah, tapi salah paham,” ujar Budi.
Konsep sebab-akibat al-Ghazzali menjadi popular karena ia merupakan bahagian (masalah ke-17) dalam Tahafut al-Falasifah. Di situ ia menyatakan bahwa “Apa yang selama ini dianggap hubungan sebab dan akibat bagi kami adalah tidak pasti (ghayr dharuri).” Karena penolakannya terhadap kepastian hukum sebab-akibat itu maka Ibn Rushd menuduhnya telah menolak ilmu pengetahuan, sebab katanya sumber ilmu pengetahuan adalah daripada konsep sebab-akibat.
Kritikan Ibn Rusyd terhadap Tahafut al-Falasifah dalam Tahafut al-Tahafut khususnya dalam soal sebab-akibat dipersetujui oleh beberapa cendekiawan Muslim kontemporer. Makanya al-Ghazzali pun dituduh sebagai pembawa kemunduran sains dan falsafah dalam Islam. Padahal disertasi kedoktoran Michael Marmura telah membuktikan bahwa Ibn Rushd salah faham terhadap al-Ghazzali. Malangnya kesalah fahaman ini dipakai lagi untuk menyimpulkan bahwa pemikiran Ibn Rushd di ambil Barat sehingga Barat menjadi maju, sedangkan pemikiran al-Ghazzali diambil oleh umat Islam sehingga mundur.
Kenyataannya, pemikiran al-Ghazzali yang menyatakan bahwa hukum sebab-akibat itu tidak pasti, justeru diambil dan dikembangkan oleh Malebranche dan David Hume di Barat. Sedangkan metod skeptiknya serta prinsip-prinsip epistemologinya diubah suai oleh Descartes. Sementara itu pemikiran Ibn Rushd yang diambil Barat adalah teori kebenaran gandanya. Teorinya itu menurut teolog neo-Thomist, Etienne Gilson, menjadi akar rasionalisme di Barat. Tapi pada saat yang sama dipakai para deis untuk menentang wahyu, dan memberi sumbangan kepada lahirnya sekularisme.
Imam al-Ghazali membawa konsep integrasi fisika dan metafisika, sains dan teologi atau agama dan sains. Ini jika konsep al-Ghazzali itu difahami dengan ‘paradigma’ yang berbeda dari Ibn Rushd, tapi bukan dengan teori paradigma Thomas Kuhn. Paradigma atau framework untuk memahami konsep sebab-akibat al-Ghazzali teori worldview (pandangan hidup atau pandangan alam).
Framework ini telah diaplikasikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam konsep Islamisasinya atau oleh Prof. Alparslan Acikgenc dalam memahami konsep sains Islam. Di Barat, konsep ini digunakan Thomas F Wall untuk kajian falsafah, dan Ninian Smart untuk perbandingan agama. Iaitu dengan mengkaji suatu konsep dalam kaitannya dengan keseluruhan konsep yang terstruktur.
Dengan framework ini posisi al-Ghazzali menjadi jelas, bahawa ia melihat sebab-akibat pada realiti fisik sebagai sebahagian daripada realiti metafizik. Bahkan realiti makhluk yang relatif itu tergantung kepada realiti metafisik yang mutlak. Al-Ghazzali membela konsep Tuhan Maha Pencipta. Proses penciptaan-Nya tertuang dalam Asma al-Husna, iaitu al-Khaliq, al-Bari, al-Musawwir. Kerana itu sebab-akibat pada alam semesta ini, meskipun telah ditentukan sejak awal penciptaannya, ia tetap tergantung pada Kehendak Tuhan dan tidak berjalan sendiri secara alami. Ini berseberangan dengan para failasuf yang membela konsep limpahan, di mana hubungan Tuhan-makhluk bukan dengan perantaraan aksi (fi’il) Tuhan tapi melalui proses limpahan (emanation) yang pasti (necessary) dan hukum sebab-akibat pada fenomena alam inipun akhirnya berjalan sendiri secara pasti.
Dalam penutupnya ia menyatakan, “Kalau kita menerapkan teori islamisasi pengetahuan maka pakailah worldview Ghazali.”
Sementara itu, Adian Husaini menanggapi buku ini dengan mengatakan, jika pendapat kausalitas dibiarkan sebagaimana para filsuf, pada gilirannya akan menafikan peran Tuhan dalam kausalitas.
Dengan kata lain, dimensi ilahianya dibuang. Nah, karya Gus Hamid, kata penulis buku Wajah Peradaban Barat ini, mampu mengembalikan peran Tuhan dalam kausalitas. Karena itu, kata Adian, dari segi konteks peradaban, peran Ghazali juga sangat signifikan.
“Orang Islam ini bukan karena pengaruh Ghazali dan Ibnu Rusyd. Karena memang kedua-duanya tidak dipelajari, tutup Adian Husaini.
Buku ini sendiri merupakan terjemahan disertasi penulis di ISTAC yang berhasil dipertahankan di depan penguji pada Pada 6 Ramadhan 1427 (29 September 2006).
Alparslan Acikgenc sebagai penguji luar, memuji disertasi Hamid bertajuk Al-Ghazzali’s Concept of Causality sebagai kajian yang memberi sumbangan penting pada sejarah pemikiran Islam. Sebab, pendekatan Hamid terhadap konsep sebab-akibat (causality) al-Ghazzali telah menjelaskan sesuatu yang selama ini dilewatkan oleh kebanyakan cendekiawan pengkaji al-Ghazzali.
Buku ini seperti harapan penulisnya, dimaksudkan untuk memberi sumbangan awal bagi proses Islamisasi sains kontemporar*/dari berbagai sumber