AL-INSIHAB DAN AL-‘AUDAH, Kontribusi Imam al-Ghazali dalam Kebangkitan Islam

Oleh: Kholili Hasib

 

sultan-muhammad-al-fatihInpasonline.com-Hujjatul Islam imam al-Ghazali hidup antara tahun 1058 M-1111 M. Ketika Kekhalifahan Abbasiyah mengalami kekacauan, baik politik maupun akhlak, dan di saat yang sama Islam sedang menghadapi serangan tentara Salib. Ia seorang pemikir besar, teolog terkemuka, filosof, faqih, dan sufi

Krisis yang dihadapi umat Islam pada zaman imam al-Ghazali seputar politik, aliran pemikiran, militer, sosial dan keilmuan. Berpijak dari pengamatan terhadap titik-titik problema umat itu, imam al-Ghazali melakukan evaluasi, analisis dan menawarkan solusi.

Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan; “Beliau hidup pada zaman pergolakan agama dan pemikiran. Pergolakan ini dicetuskan oleh tantangan pandangan alam asing yang disebarkan secara halus ke dalam pemikiran dan kepercayaan kaum Muslim oleh para filosof dan pengikut mereka. Termasuk oleh berbagai golongan sesat[2]”.

Di masa beliau hidup, pasukan Salib menginvasi Palestina dan sebagian wilayah Syam. Umat Islam tidak berdaya menghadapi serangan besar-besaran secara tiba-tiba ini. Ketika perang Salib I masih berkobar, di mana pasukan Salib masih menguasai Baitul Maqdis, Kesultanan Bani Saljuk, kesultanan yang menopang kekhalifahan Abbasiyah, mengalami perpecahan dan perang saudara.

Di saat itu, pemikiran mu’tazilah berkembang dan gerakan radikal Syiah Isma’iliyyah cukup pesat. Pada tahun 1092, setahun setelah Imam al-Ghazali menjadi rektor Nidzamiyah, Nizam al-Muluk, seorang sultan Bani Saljuk, dibunuh oleh seorang anggota Assassin, kelompok radikal dari sayap Syiah Bathiniyyah[3].

Runtuhnya akhlak dan kecintaan masyarakat pada dunia (hubbu dunya) mengakibatkan perpecahan dan pertikaian antar umat Islam sendiri. Antar madzhab fikih menyerang ajaran-ajarannya. Seperti dicatat oleh Ibnu Asakir: ”Dulu dalam waktu yang panjang, para pengikut madzhab Hambali memperkuat dirinya dengan ide-ide kalam Asy’ari ketika berhadapan dengan ahlu bid’ah (mu’tazilah). Karena Asyariyah dikenal piawai dalam ilmu Kalam. Jika seorang Hambali membantah ahli bid’ah, maka ia menggunakan argumen Asyari’”[4]. Kondisi inilah yang melanda umat Islam sebelum serbuan tentara Salib ke Palestina.

Perpecahan dan pertikaian tersebut salah satu diantara faktornya adalah ta’ashub (fanatisme). Hal ini dijelaskan oleh imam al-Ghazali, bahwa seorang ahli fikih menampakkan kehebatan pribadinya sehingga mengabaikan ilmu-ilmu lainnya. Belum lagi antar pengikut madzhab fikih ada perasaan paling berhak mendakwahkan fatwanya. Seorang ahl kalam (mutakallimun) timbul perasaan paling ahli berdebat dan mematahkan ahli bid’ah. Para filosof merasa sombong dengan ilmu logikanya. Perasaan hebat secara berlebihan tersebut menghantarkan sombong dan hasud.

Berbagai krisis di dunia Islam pada zaman itu, oleh imam al-Ghazali dilihat dari perspektif lebih luas dan dalam. Hujjatul Islam tidak memulainya dari sisi politik atupun militer. Akan tetapi, imam al-Ghazali memulai dengan mengajar umat untuk melakukan kritik diri (naqdu al-dzat). Kemunduran dan kelemahan demi kelemahan yang memuncak terjadi karena ada ‘penyakit’ di dalam umat Islam sendiri yang menghalangi untuk bangkit. Karena itu, beliau memulai dengan perbaikan pemikiran dan keilmuan.

Sikap imam al-Ghazali dalam merespon situasi krisis ini tanpa membahas panjang bab khusus tentang jihad (dengan makna qital) dalam kitab besarnya Ihya’ Ulumuddin disalah pahami beberapa penulis, seperti Zaki Mubarak[5].

Mengenai jihad dengan makna qital, adalah tidak benar imam al-Ghazali tidak paham jihad. Dalam kitab Ihya Ulumuddin bab al Amru bil Ma’ruf wa Nahy anil Munkar disinggung tugas Muslim dalam jihad. Seperti dikutip oleh Adian Husaini, seorang ulama Damaskus yang pernah menjadi murid imam al-Ghazali di Masjid Umawiy, Syekh Ali al-Sulami menjelaskan pandangan fikih jihad imam al-Ghazali. : “Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negara terdekat”. Dalam kitab Minhajul ‘Abidin, Imam al-Ghazali menyatakan bahwa jihad merupakan kewajiban secara umum. Bila seorang Muslim dibebani jihad maka dia wajib belajar fikih jihad[6].

Naqdu al-Dzat dan Jihad Nafsu

Perbaikan besar-besaran dilakukan oleh imam al-Ghazali setelah dia ber’uzlah selama sebelas tahun. Perbaikan secara umum itu dapat disebut proyek jihad nafsu. Majid Irsan al-Kilani mengatakan pengaruh signifikan imam al-Ghazali dalam kebangkitan dilihat dari sebuah prinsip yang bernama insihab dan audah. Al-Insihab artinya menarik diri untuk memperbaiki keadaan internal dan membangun komunitas yang tangguh. Al-‘Udah artinya terjun kembali ke kancah masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan dengan nilai-nilai baru. Prinsip ini mengandung makna, umat Islam meninggalkan pertikaian cabang lalu memfokuskan perhatian untuk mendidik komunitas dengan membersihkan penyakit-penyakit dalam diri kemundian terjun ke kancah masyarakat[7]. Secara umum prinsip ini masuk dalam medan jihad nafsu.

Salah satu  model prinsip ini bisa diamati dalam autobiografi kitab al-Munkidz min al-Dhalal. Richard Joseph Mc Carthy, peneliti Barat, berpendapat bahwa kitab al-Munkidz menurut para ahli merupakan pengakuan imam al-Ghazali tentang petualang keilmuannya[8]. Sesuai dengan namanya kitab ini berisi perjalanan intelektual imam al-Ghazali menemukan solusi-solusi keilmuan dan membebaskan dari kesesatan. Dalam autobriografi itu akhirnya jalan tasawwuf yang disimpulkan sebagai jalan punjak menuju kebenaran.

Jihad nafsu dimulai dengan perbaikan ilmu pengetahuan. Lahirnya ulama-ulama yang jahil, yang tidak kapabel keilmuannya, yang korupsi ilmu agama, yang berfatwa tanpa ilmu yang memadai, yang akhlaknya rusak, yang cinta dunia, dan sebagainya, adalah bencana terbesar yang dihadapi oleh umat Islam. Hal itu dikiritik oleh imam al-Ghazali dalam karyanya, khususnya Ihya Ulumuddin.

Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, beliau berpesan: Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala hal[9].

Kitab Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk adalah karya utama tentang politik al-Ghazali yang menjelaskan perbaikan-perbaikan politik dan nasihat-nasihat untuk penguasa. Karya itu adalah kumpulan tulisan beliau yang dihadiahkan kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik dari dinasti Saljuk. Menurut Imam al-Ghazali, khalifah adalah pelindung pelaksanaan syari’at. Perjalanan hukum ilahi menjadi tanggung jawab seorang penguasa. Maka, menurut beliau keberadaan negara adalah sangat urgen. ”Keteraturan agama tidak bisa dihasilkan kecuali dengan seorang Imam (pemimpin negara) yang ditaati”[10].

Menurut imam al-Ghazali, seorang “ulama” yang fasik lebih berbahaya daripada seorang awam yang maksiat. “Ulama” yang fasik disebut dengan “ulama jahat” (ulama suu’). Cirinya, menjual ilmu dengan harta. Parameternya bukan ilmu, tapi duniawi – kedudukan (jaah), harta (maal), dan kebanggaan diri. Jika ada kemungkaran, dibiarkan – demi kepentingan sesaat. Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan, mencerai-beraikan masyarakat, dan bangsa.

Peran utama al-Ghazali adalah dalam mengokohkan kembali pilar penting peradaban dan masyarakatnya, yaitu ilmu pengetahuan serta otoritas yang mengembannya (ulama). Dalam kapasitasnya sebagai ulama, ia berusaha mengungkapkan kebenaran dan membersihkannya dari kesalahan, serta menunjukkan mana jalan yang perlu ditempuh dan mana yang perlu dihindari.

Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa runtuhnya peradaban dikarenakan penyakit materialisme dan menurunnya pengembangan ilmu pengetahuan. Ibnu Khaldun mengatakan: “Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi hewan”[11] .

Dalam hal ini, ciri khas imam al-Ghazali adalah melakukan kritik-kritik terhadap ilmuan yang telah termakan budaya madiyyah (materialism) dan lebih cinta dunia daripada akhirat. Baik filosof, mutakallimun, fuqaha’ dan sufi.

Dalam perkara para sufi, imam al-Ghazali memiliki perhatian terhadap fenomena guru sufi pada zamannya. Dalam Kitabnya “Khulashah al-Tashanif fi al-Tasawwuf Imam al-Ghazali berpendapat pada zamannya beliau menemui guru sufi yang tidak memenuhi syarat. Bahkan tidak taat pada syariat.

Beliau mengatakan: ‘Apalagi di zaman ini. Sebab, banyak orang yang mengaku sebagai guru sufi. Tetapi, pada dasarnya dia hanya mengajak manusia kepada permainan dan perbuatan tidak berguna. Bahkan, ada orang zindiq yang mengaku sebagai mursyid yang menyimpang dari syariah[12].

Karena itu, seorang mursyid wajib secara dzahir dan batin taat kepada syariah. Jika seorang menemui mursyid yang menyimpang ini, maka ia wajib menolaknya.[13]

Kritik terhadap saintis, ahli kalam, ahli fikih dan lain-lain diungkapkan oleh imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin dan al-Kasyf wa Tabyiin fi Ghururi al-Khalq Ajmain.

Seorang yang tertipu dengan ilmunya ada beberapa kelompok. Di antaranya adalah mereka yang menekuni ilmu-ilmu syariat dan ilmu rasional. Terhadap dua ilmu ini mereka sangat disiplin. Namun di sisi lain mereka mengabaikan anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat. Ilmu syariat dan rasional dikuasai, namun tidak diamalkannya.

Ketertipuannya terletak pada perasaan diri bahwa dengan eksisnya ilmu syariat dalam dirinya, ia merasa sudah aman dari murka Allah Swt. Prasangka yang berlebihan bahwa ilmu yang ia pelajari langsung menaikkan derajatnya di sisi Allah Swt. Padahal, untuk mendapatkan derajat tinggi, ilmunya harus diamalkan.

Mereka juga berperasangka bahwa ilmu yang dimiliki tidak mungkin menyebabkannya masuk neraka. Lebih dari itu, mereka berperasangka bahwa dirinya – yang telah meraih ilmu itu – bisa memberi syafaat kepada orang lain pada hari kiamat. Padahal, ilmunya saja belum menjamin ia masuk surga.

Mereka inilah yang tertipu dengan ilmu yang dimiliki. Padahal, ilmu yang bermanfaat adalah apabila diamalkan dan membawa kepada rasa khasyyah (takut) kepada Allah Swt.

Kelompok lain orang yang ghurur adalah golongan yang menguasai ilmu dan amalan-amalan lahir. Meninggalkan maksiat lahir, namun mereka lupa terhadap amalan hati. Seorang ahli ilmu syariat namun mengabaikan ilmu adab hati. Tidak sedikit orang yang mengetahui cara membersihkan hati, menulis buku-buku tentangnya dan mengajarkannya kepada orang lain namun lupa sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa yang semakin bertambah ilmu namun tidak bertambah petunjuknya, maka ia tidak akan mendekat pada Allah Swt kecuali malah semakih jauh”.

Di antarnya ada ilmuan yang hanya mencukupkan diri dengan ilmu fikih, tetapi abai  terhadap ilmu-ilmu yang lain. Siang-malam dihabiskan untuk meneliti persoalan khilafiyah, namun lupa penyakit yang menempel dalam hatinya sendiri.  Berprasangka bahwa tidak ada ilmu lain yang menarik perhatiannya, kecuali ilmu perdebatan (munadzarah), membela diri, mengalahkan lawan-lawannya demi eksistensinya sebagai ilmuan yang ‘ahli’ fikih.

Akibatnya, tipe orang seperti itu mengabaikan sifat-sifat yang tercela seperti sombong, riya, hasud, cinta kehormatan, pangkat dan mencari popularitas. Semua ini adalah bentuk ketertipuan terhadap ilmunya. Kesibukannya hanya bertumpu pada amaliah lahir saja.

Kelompok ghurur berikutnya adalah mereka yang mengetahui dan menyadari akhlak-akhlak tercela. Hanya mereka ujub (bangga diri), menyangka bahwa akhlak yang tercela tersebut telah lepas darinya. Mereka memang memiliki ilmu. Secara lahir terlihat beradab kepada lainnya, namun dalam batinnya menyimpan sifat sombong, gila hormat, jabatan dan gila popularitas. Perasaan batin ini tidak Nampak secara fisik, namun tersimpan rapat dalam hati. Inilah ghurur yang berbahaya.

Lebih berbahaya lagi ketika ghurur tersebut semakin samar. Di antaranya seperti prasangka hati bahwa perbuatan orang yang ujub tadi dianggapnya bukanlah kesombongan namun upaya untuk memulyakan agama. Bersikap sombong namun disangka itu memperjuangkan dan mensyiarkan agama. Mereka inilah agamawan yang mencari kemulyaan dan kebanggaan diri melalui agama dengan hartanya yang mewah[14].

Imam al-Ghazali telah mengingatkan, penyakit orang berilmu itu ada tiga: hasud, riya dan sombong. Kesombongan yang paling besar adalah menolak kebenaran dan otoritas. Tatkala seseorang merasa dirinya telah menjadi ulama besar, telah mencapai derajat mujtahid yang berhak memberi pandangan tertentu dalam hukum agama, maka ia akan merendahkan ulama lainnya yang bertentangan dengannya.

Tasawuf dan Perang Salib

Jihad dengan makna qital (perang fisik) tidaklah dihalangi oleh tasawuf. Karena tidak ada doktrin dalam tasawuf yang menghalangi apalagi menolak qital. Justru sangat banyak ulama-ulama sufi yang terlibat dalam peperangan.

Praktik kehidupan kaum sufi yang eksklusfi sering kali menjadi titik penolakan orang terhadap tasawuf. Padahal, di luar kehidupan eksklusif itu kaum sufi peduli terhadap jihad qital. Prof. Dr. As’ad al-Khatib menunjukkan bagaimana peran para sufi melawan penjajahan dalam bukunya bertajuk ‘al-Buthulah wa al-Fida` Inda Shufiyah’. Secara apik, buku ini menjelasakan perjuangan dalam medan laga mulai dari sufi-sufi salaf abad pertengahan. Keberhasilan para pasukan menaklukkan hingga mengelola pemerintahan tidak lepas dari peran mereka. Tidak hanya dulu tetapi hingga pegiat-pegiat tarekat di zaman modern.

Tercatat nama-nama sufi seperti Hatim al-Ashom, syahid di medan jihad. Abu Yazid al-Busthomi, yang ditujulu, sultan kaum al-Arif, adalah seorang prajurit di medan jihad. Dan masih ada beberapa tokoh sufi yang juga mujahid[15].

Di tengah-tengah medan laga Perang Salib terdapat energi dari kaum sufi. Nuruddin Zanki membangun sekolah-sekolah di kota Harran Suriah dan menyerahkannya kepada Syekh As’ad bin al-Manja (w/1221M), dan Syekh Hamid bin Mahmud (w.1174M), guru sufi murid Syekh Abdul Qadir al-Jailani[16].

Ibnu Kastir juga mencatat bahwa Najmuddin Yusuf Ayyub (ayah Shalahuddin al-Ayyubi) membangun sebuah pemondokan sufi di Mesir, sebuah masjid dan parit di luar gerbang daerah al-Nashr di Kairo. Sedangkan di Damaskus, beliau membukan pondok sufi yang dikenal dengan nama al-Najmiyyah.[17]

Kepedulian Sultan Shalahuddin al-Ayyubi tidak kalah. Ia membangun sejumlah madrasah di Kairo, Iskandariyah, Damaskus dan lain-lain. Madrasah-madrasah itu untuk para pengikut madzhab Syafi’i, Hanafi dan Maliki.

Model-model madrasah yang dibangun baik oleh Nuruddin Zanki maupun Shalahuddin al-Ayyubi mengadopsi madrasah al-Qadiriyah dan Nidzamiyah. Madrasah al-Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Madrasah Nidzamiyah adalah sekolah dimana imam al-Ghazali membangun karir.

Muhammad Ali As-Syalabi mencatat, Nuruddin Zanki yang bermadzhab Hanafi sebagian besar pejabatnya menganut madzhab Syafii, dan kebanyakan mereka alumni madrasah Nizamiyah, seperti Qadhi Kamal as-Syahrazuri, dan Ibnu Abi Ashrun.[18]Bahkan selama masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi di Mesir telah dibangun 300 ribath (pemondokan) untuk kaum sufi yang datang dari berbagai negara.

Sultan Shalahuddin al-Ayyubi sendiri merupakan amir yang sangat peduli dengan amaliyah tasawuf. Seperti diceritakan oleh Ali Muhammad al-Syalabi, Shalahuddin  al-Ayyubi menyuruh tentaranya mendirikan shalat malam dan berdzikir yang banyak kepada Allah. Dia memeriksa kemah tentara, jika di sana dia temukan tentaranya lalai dari berdzikir, dia bangunkan tenara itu dan mengingatkan mereka akan pentingnya memperbanyak dzikir kepada Allah, beribadah dan taat kepada –Nya[19].

Pengaruh pendidikan tasawuf imam al-Ghazali sangat terasa pada masa syekh Abdul Qadir al-Jailani. Metode madrasah al-Ghazali diadopsi oleh madrasah setelahnya, seperti al-Qadiriyah, madrasah al-Adawiyah, madrasah as-Suhrawardiyah, madrasah al-Bayaniyah, madrasah al-Ja’bari, Madrasah Hayat bin Qais al Harrani, madrasah Aqil al-Manbaji.

Secara umum, madrasah pemikiran tasawuf imam al-Ghazali memiliki dua tujuan pokok. Pertama, Melahirkan generasi baru ulama dan elit pemimpin yang mau berbuat dengan pemikiran yang bersatu dan tidak terpecah-pecah. Kedua, Mengatasi penyakit-penyakit krusial yang menggerogoti umat dari dalam.

Reformasi moral dengan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) melalu jalan tasawuf imam al-Ghazali melahirkan pejuang-pejuang yang lebih mencitai akhirat daripada cinta dunia. Ia mengatakan, orang zuhud yang cinta pada Allah, mereka beperang di jalan Allah seperti bangunan yang sangat kokoh, menunggu dua keindahan (ed: syahid atau menang). Ketika ada perintah berjihad, harumnya surga masuk menyerbak ke dalam rongga hidung. Mereka bergegas  dengan cepat seperti orang kehausan menemuan air es. Inilah sikap golongan shadiqin (orang-orang yang tulus)[20].

Dari model reformasi nya, tasawuf imam al-Ghazali bertujuan melahirkan orang mujahid yang zuhud. Sebab orang yang zuhud tidak takut mati, bahkan mencintai kematian karena menginginkan bertemu dengan Allah Swt dengan cara yang mulya.

Dari sini dapat dipahami, tasawuf yang esensinya tazkiyatun nafs dan kehidupan zuhud justru melahirkan manusia-manusia kuat yang tidak cinta duniawi. Kelemahan dan kelesuhan jihad disebabkan kaum Muslimin takut mati dan cinta dunia (hubbub dunya wa karahiyatul maut). Karena seorang yang ma’rifah (mengenal dengan sempurna) Allah Swt, maka yang ada dalam hatinya hanya Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada harta, kedudukan, dan kemulyaan matari. Sifat inilah merupakan sifat idel dari para mujahid. Untuk membentuk pribadi-pribadi berjiwa pejuang (mujahid) dan hati yang bersih, maka diperlukan pendidikan ideal. Dalam hal ini Imam al-Ghazali memulainya dari memperbaharui (tajdid) pemahaman tentang ilmu dan pendidikan.

Megaproyek Menghidupkan Ilmu

Karya monumental Imam al-Ghazali adalah kitab Ihya’ Ulumuddin. Kitab ini sepertinya dipersiapkan sangat matang untuk perbaikan masyarakat. Ciri khas reformasi yang dilakukan adalah memadukan ilmu pengetahuan dengan tasawuf. Hal ini digambarkannya dalam kitab Al-Munkidz min al-Dhalal. Ilmu falsafah, kalam dan sains menemukan esensi kebenarannya jika bersentuhan dengan tasawuf.

Hal ini dijelaskan dalam Al-Risalah al-Ladunniyah, bahwa seseorang menjadi bodoh lantaran menemani jasad dan tinggal di ‘rumah’ (jiwa) yang kotor dan gelap. Sesorang akan mudah menerima kebenaran ilmu apabila jiwa dikembalikan pada posisi awal fitrahnya dan melenyapkan penyakit-penyakit yang mengotori jasadnya.[21]

Kitab Ihya’ Ulumuddin dibuka dengan bab Ilmu. Metode ini mengisyaratkan bahwa pemahaman ilmu yang benar akan membuka esensi kebenaran cabang-cabang ilmu yang lain. Proyek menghidupkan Islam (ihya’ al-‘ulumi) merupakan proyek besar imam al-Ghazali. Imam al-Ghazali mejelaskan bahwa pembahasan dalam Ihya’ berdasarkan pemahaman para imama terdahulu dan para salaf shalihin[22]. Bab di dalamnya sebetulnya telah diuraikan para alim terdahulu, hanya imam al-Ghazali mensistemasi kembali dengan kemasan pembaharuan ditambah pemahaman hasil kontemplasi selama beberapa tahun.

Kitab Ihya’ Ulumuddin dibagi dalam empat bagian besar. Yaitu Rub’ul Ibadat, Rub’ul ‘Adat, Rub’ul Muhlikat dan Rub’ul Munjiyat. Rub’ul Ibadat terdiri dari; Kitabul ilmu, Kitabu Qowa’idul ‘Aqaid, Kitab Asraru al-Thaharah, Kitab Asrar al-Shalat, Kitab Asrar al-Zakat, Kitab Asrar al-Shiyam, Kitab Asrar al-Haj, Kitab Adabu Tilawatil Qur’an, Kitab al-Adzkar, Kitab al-Da’awat, Kitab Tartib al-Auwrad fil Auqat.

Penggalan pertama kitab Ihya’ Ulumuddin banyak membahas kajian fikih (hukum Islam) dan hal-hal terkait dengan ibadah selain kitab ibadah. Adapun Kitabul Ilmu merupakan pembukan untuk empat penggalan kitab tersebut. Sulit untuk mengkatorikan secara tunggal tipe kitab ini. Ciri khas imam al-Ghazali secara keseluruhan adalah mensepadukan ilmu-ilmu. Maka dalam penggalan pertama tersebut terdapat bab ilmu, akidah dan fikih

Kemudian di penggalan kedua, Rub’ul ‘Adat berisi; Kitab al-Akl, kitab Adab al-Nikah, kitab Ahkam al-Kasb, kitab al-Halal wal Haram, kitab Adab al-Suhbah wa al-Mu’asyarah ma’a Ashnaf al-Khalq, kitab al-Uzlah, kitab Adab al-Safar, Kitab al-Sama’, Kitab al-Amru bil Ma’ruf wa Nahy ‘anil Munkar, Kitab Adab al-Ma’isyah wa Akhlak al-Nubuwah.

Jika di penggalan pertama mengkaji masalah teologis dan yuridis, maka di penggalan kedua membahas etika-etika sosiologis. Pemikiran sosiologis nya selalu didasarkan atas basis-basis teologis.Salah satu karateristik Islam adalah menjaga adab kepada Allah SWT sekaligus adab kepada sesama manusia. Adab kepada-Nya dengan percaya dan beribadah. Sedang adab kepada manusia adalah memenuhi hak-hak yang mesti diberikan kepada mereka. Dua-duanya adalah kewajiban yang sifatnya hierarkis.

Berbuat baik kepada manusia, akan tetapi meninggalkan shalat misalnya bukan karakter seorang Muslim. Begitu pula, menyembah kepada Allah akan tetapi berbuat buruk kepada tetangga, adalah bukan karakter muslim bertauhid.

Artinya, seseorang yang bertauhid, mesti berbuat baik kepada manusia.  Jika pun akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi muslim bertahid yang ideal. Sebaliknya, berbuat baik kepada sesama juga mesti didasari dengan tauhid, keimanan, bukan yang lainnya. Inilah yang disebut muslim yang baik.

Penggalan ketiga,Rub’ul Muhlikat, berisi; ‘Ajaib al-Qalb, kitab Riadh al-Nafs, kitab Afat Syahwatain, kitab Afatul Lisan, kitab Afatul Ghadab wal Hiqd wal Hasad, kitab Damm al-Dunya, kitab Dzamm al-Mal wal Bukhl, kitab Dammu al-Jah wa al-Riya’, kitab Dzamm al-Kibr wal ‘Ujub, kitab Dzamm al-Ghurur.

Penggalan Rub’ul Muhlikat merupakan penjalasan tentang penyakit jiwa yang wajib dipelajari secara umum oleh setiap Muslim. Di antaranya cara membersihkan penyakit-penyakit hati dan sebab-sebanya. Juga diuraikan bahaya serta kerusakan penyakit hati tersebut[23].

Baik pada penggalan pertama atau ketiga, imam al-Ghazali termasuk melontarkan kritik dan kritik secara lugas. Seperti bahaya ulama su’, ulama yang menjual agama dengan akhirat, ilmuan-ilmuan tertipu, akidah-akidah yang menyimpang. Semuanya dijelaskan argumentasinya kemudian dianalisis dan dikritik.

Menurut imam al-Ghazali, sebelum melakukan kritik seseorang perlu menguasai secara total masalah itu. Beliau mengatakan: “…aku yakin bahwa seseorang tidak akan mengetahui kesalahan suatu ajaran sebelum dia mendalami seluk-beluk ajaran tersebut, sehingga dia setara dengan orang yang ahli dalam dasar-dasar ilmu tersebut. Bahkan dia harus unggul dan mencapai tingkat yang tinggi, sehingga dia menguasai kedalaman yang rumit yang masih berada di luar jangkauan pengetahuan dari pakar yang diakui dalam ilmu tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa hanya dengan cara inilah sebuah kesalahan yang dia tunjukkan tersebut bisa dilihat apa adanya”.[24]

Penggalan terakhir adalah Rub’ul Munjiyat, yang terdiri dari; kitab Taubah, kitab al-Shabr wa al-Syukr, kitab al-Khouf wa al-Raja’, kitab al-Faqr wa al-Zuhd, kitab Tauhid wa Tawakkal, kitab al-Mahabbah wa al-Syauq wal Uns wa al-Ridha, kitab al-Niyyah wa al-Shidq wa al-Ikhlas, kitab al-Muraqabah wa al-Muhasabah, kitab al-Tafakkur, kitab Dzikri al-Maut.

Rub’ul Munjiyat adalah kitab tentang akhlak yang baik dan terpuji yang bisa menyelamatkan seorang Muslim dari kerusakan (muhlikat). Merupakan ‘obat’ dari penggalan ketiga (rub’ul muhlikat).

Bab ilmu menjadi bab pertama dan paling fenomenal karena pada zaman itu kerusakan serius tardapa dalam masalah ini. Seperti dijelaskan di atas, akibat penyakit muhlikat itu terjadi Dengki antar ilmuan, kekejaman penguasa, kehancuran moral, kerusakan pendidikan, dan lain-lain yang semuanya wabah ini disebabkan oleh penyakit al-wahn; cinta dunia (hubbu dunya) dan takut mati (karahiyatul maut).

Kitab Ihya’ Ulumuddin disipakan untuk menjadi ‘obat’ bagi penyakit-penyakit yang dilanda masyarakat. Obat te            rsebut tak lain adalah hikmah. Seperti diungkapkan dalam Ihya Ulumuddin bahwa apabila hati tidak bertemu ilmu dan hikmah selama tiga hari, maka hati itu akan mati. Karena makanan hati itu adalah ilmu dan hikmah. Dengan keduanya ini hati menjadi hidup. Sebagaimana jasad yang membutuhkan hidangan makanan. Akan tetapi, persoalannya bila hati sedang mati atau kesakitan, manusia tidak merasakan apa-apa[25]. Sehingga banyak yang sakit jiwa tetapi tidak merasa.

Konsep dan prinsip keilmuan imam al-Ghazali kemudian sangat berpengaruh di dunia Islam bagian Timur pada waktu itu. Menurut analisis Majid Irsan Kailani, pengaruh kurikulum Ihya’ Ulumuddin tampak dalam sosok Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang menginisiasi madrasah al-Qadiriyah. Madrasah ini dan Nidzamiyah menjadi model madrasah-madrasah yang jumlahnya puluhan, mulai dari Mesir, Syam, Iraq dan lain-lain. Alumni madrasah-madrasah inilah yang menduduki jabatan-jabatan penting di kesultanan Bani Saljuk, Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.

Kesimpulan

Dalam karya-karya imam al-Ghazali, reformasi yang dialakukan memiliki kekhasan. Pertama, tulisan-tulisan imam al-Ghazali tidak memuat ajakan kepada kaum Muslimin untuk berjihad (qital) melawan kaum Salib dan bangsa Mongol. Kedua, beliau lebih cenderung melakukan kritik atas diri sendiri (al-naqd al-dzati).

Dalam sejarah, ternyata minimnya kekuatan militar dan jumlah manusia tidak menjadi faktor keruntuhan peradaban. Bangsa yang memiliki kekuatan militer tetapi lemah dalam ilmu pengetahuan akan dikalahkan oleh bangsa yang berilmu pengetahuan meski lemah kekuatan militernya.

Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan: “Telah berlaku beberapa kali dalam sejarah, bagaimana sesuatu bangsa yang kuat tenaga manusianya tetapi tidak ditunjang oleh budaya ilmu yang baik, akan menganut dan tunduk terhadap peradaban yang ditaklukannya”. Contoh ketika bangsa Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan dan Kublai Khan menaklukkan Cina, ternyata dalam perjalanan waktu bangsa Mongol ‘dicinakan’ oleh rakyat Cina. Karena bangsa Cina berpengetahuan sedangkan bangsa Mongol hanya mengandalkan kekuatan manusia.

Begitu pula ketika bangsa Mongol menyerang Baghdad secara membabi buta, membantai penduduknya dan membakar perpustakannya. Namun, ternyata bangsa ini terislamkan dalam beberapa tahun kemudian[26].

 

 

 

[1]Dosen Institut Agama Islam DALWA Bangil, Peneliti InPAS Surabaya

[2] Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Pengantar International Conference on al-Ghazali’s Legacy: Its Contemporary Relevance (24-27 Oktober 2001): Kuala Lumpur, ISTAC, hal. 1

[3] Gerakan Assasin dipimpin oleh Hasan al-Shabah muncul pada abad ke-5 H. Mengatasnamakan membela Ahlul Bait. Mereka merencanakan gerakan teror membunuh pemimpin politik dan ulama.Assasin berasal dari al-Hasyasyi. Dari kata hasyisy (obat terlarang). Para sejarawan mengatakan bahwa kelompok ini mempengaruhi pengikutnya dengan obat terlarang sampai mabuk. Sehingga disebut kelompok al-Hasyasyin. (Lihat Majid Irsan al-Kailani,Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib,terj. (Bekasi:Kalam Aulia Mediatama, 2007), hal. 41

[4]Ibnu Asakir, Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 163

[5]Baca artikel Adian Husaini Memahami Konsep dan Kiprah Jihad imam al-Ghazali dalam jurnal Insani. Adian menjawab kritikan posisi imam al-Ghazali dan menjelaskan alasan kenapa al-Ghazali yang banyak menulis jihad nafsu, sebagai jihad akbar dalam tulisan-tulisannya khususnya Ihya Ulumuddin.

[6] Imam al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin, hal. 17

[7] Majid Irsan al-Kailani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib,terj. (Bekasi:Kalam Aulia Mediatama, 2007), hal. 41

[8]Richard Joseph Mc Carthy, Al-Ghazali dan Jalan Baru Intelektualisme pengantar terjemahan al-Munkidz min al-Dhalal,(Surabaya: Pustaka Progresif, 2001), hal. 55

[9] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin juz II ,(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah), hal.381

[10] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad fii al-‘Itiqad, (Beirut: Dar al-Qutaibah, 2003, cet. 1  ) hal. 69

[11] Ibnu Khaldun, al-Mukaddimah, hal.289

[12] Imam al-Ghazali, Khulashah al-Tashanif fi al-Tasawwuf, dalam Majmu’ Rasail al-Imam al-Ghazali, hal. 335

[13] Ibid

[14] Imam al-Ghazali, Al-Kasyfu wa al-Tabyin fi Ghururi al-Khalqi Ajmain, dalam Majmu Rasail al-Imam al-Ghazali, (Beirut-Libanon: Dar al Kutub al-Ilmiyah, 2006), hal. 163-170

[15] Moh Isho Mudin,Pedang Para Sufi,dalam https://inpasonline.com/pedang-para-sufi/

[16] Majid Irsan al-Kailani, hal. 253

[17] Ibnu Kastir,Al-Bidayah wa al-Nihayah hal.

[18]Muhammad Ali al-Syalabi,Shalahuddin al-Ayyubi,Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis,terj. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), hal. 362

[19]Ibid, hal. 617

[20] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin 4, hal. 242

[21] Imam al-Ghazali,Al-Risalah al-Laduniyah, dalam Majmu’ Rasail al-Imam al-Ghazali, hal. 465

[22]Pembukaan Ihya’ Ulumuddin 1,(Beirut-Lebanon: Darul Fikr, 1991), hal. 10

[23]Ibid, hal. 11

[24] Abu Hamid Imam al-Ghazali,Al-Munkidz min al-Dhalal, hal. 133

[25] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin 1, hal. 18

[26] Wan Mohd Nor Wan Daud,Budaya Ilmu, (Pustaka Nasional: Singapura,2007), hal. 12

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *