Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Pada pembukaan acara Hijrah Fest Mei 2019 tahun lalu, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyampaikan sambutan dukungan kaum milenial bersemangat belajar agama. Acara yang diselenggarakan para komunitas anak muda Hijrah itu, Gubernur DKI menyambut positif derasnya arus anak milenial (pemuda yang lahir pada tahun 90-an) yang mempelajari agama. Anies menyampaikan, acara Hijrah Fest yang bertema “perubahan menjadi lebih baik” adalah tanda kebangkitan umat Islam di Indonesia (Republikaonline 21 Juli 2019).
Beberapa tahun belakangan, semangat untuk belajar dan mengamalkan agama relatif naik. Dengan ditandai munculnya anak-anak muda yang disebut komunitas Hijrah. Arus kaum Hijrah yang deras ini jika tidak disambut dengan strategis, maka bisa salah arah. Di sebuah kota, ada anggota komunitas hijrah yang tidak tertangani dengan baik. Ada yang bosan, bahkan balik lebih esktrim. Menentang takdir Tuhan. Ada juga tetapi istiqomah, namun belajarnya zig-zag. Sehingga harapan yang ia impikan dalam belajar, sekedar angan-angan. Tapi masih untung. Tidak meninggalkan ibadah. Tetap berakhlak baik.
Sejatinya, mempelajari ilmu-ilmu agama itu tidak gampang. Tidak boleh digampangkan, atau dianggap gampang, apalagi remeh. Selain itu, tantangan belajar ulumuddin (ilmu agama) itu lebih berat dan besar. Pelajar yang sudah sampai tinggi pun, bisa jatuh. Tantangan itu bisa datang dari dalam jiwa kita atau dari luar. Makanya, sampai Nabi Saw menjelaskan menekuni ilmu-ilmu agama itu tidak ada batas waktunya. Dari bayi hingga mati (minal mahdi ilal lahdi). Tidak dibatasi di sekolah, madrasah, pondok, universitas.
Imam al-Ghazali menyebut ilmu-ilmu agama itu dengan ulum syar’iyyah (ilmu syariah). Sumbernya dari Nabi melalui wahyu (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin 1, hal. 30). Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan ilmu yang disebut “ilmu pengenalan” itu utama, paling penting. Berfungsi mengenal diri dan mengenal Allah Swt. Sumber utamanya dari petunjuk Allah (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, hal. 52).
Jadi, sebelum mendalami belajar ilmu-ilmu agama, seseorang harus berkenalan terlebih dahulu dengan sifat dan karakter ilmu itu sendiri. Karena itulah, imam al-Ghazali membuka kitab Ihya’ Ulumuddin dengan kitab ilmu. Dalam mukaddimah kitab Ihya Ulumudin, imam al-Ghazali menerangkan alasannya. Karena beribadah kepada Allah dengan benar itu melalui ilmu. Selain itu, kelompok-kelompok yang amalnya keliru karena salah ilmunya.
Karena itu, dalam tradisi para ulama salaf dahulu usaha yang dilakukan agar sukese menuntut ilmu agama dengan cara usaha dzahir dan usaha batin. Kedua hal ini menjadi metode belajar dalam Islam. Syekh Az-Zarnuji menceritakan tentang gurunya perihal keberhasilan seorang anak dalam belajar. Ia mengutip ucapan gurunya: “Bagi orang yang ingin putranya berilmu, hendaklah suka memelihara, memulyakan, mengagungkan, dan menghaturkan hadiah kepada kaum ahli agama yang tengah dalam pengembaraan ilmiahnya. Jika bukan putranya yang berilmu, maka cucunya nanti yang berhasil menjadi alim” (Syekh Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim). Ketika menemui suatu kesulitan, imam Syafi’i dinasihati gurunya untuk menempuh jalan batin. Ia diperintah meninggalkan maksiat. Karena ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.
Metode batin terkadang terbaikan. Padahal, metode ini sangat penting. Cara guru Syekh Az-Zarnuji memulyakan dan khidmah kepada ulama mungkin tidak langsung terkait dengan belajar sang anak. Tetapi, metode ini sangat lumrah dan menjadi tradisi para ulama dahulu. Tentu saja, bila menjadi tradisi turun-temurun, metode ini telah terlihat banyak bukti dan kenyataannya.
Syekh Zarnuji dalam mukaddimah kitab Ta’lim al-Muta’allim mencatat, banyak pelajar yang sesungguhnya bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Tetapi menemui pengalaman kegagalan demi kegagalan. Kata Syekh Az-Zarnuji, hal itu disebabkan cara mereka menuntut ilmu salah dan syarat-syarat mencari ilmu agama ditinggalkan.
Umumnya para ulama menulis, metode pertama orang belajar agama adalah membersihkan hati dan membiasakan secara disiplin pelajar untuk meninggalkan pelanggaran. Imam al-Ghazali menjelaskan ini dalam kitab Ihya Ulumuddin, dan Fatihatul Ulum, Syekh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim, Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad (imam al-Haddad) dalam Nashaih ad-Diniyyah dan Fushulul Ilm, Habib Zein bin Sumatih menjelaskan dalam Al-Manhaj as-Sawiy bab Kitabul Adab, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menulis Adabul Alim wal Muta’allim, dan lain-lain. Referensi-referensi ini dapat menjadi rekomendasi untuk dipelajari bagi para pemula belajar agama.
Ada keterangan sangat penting dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari tentang orang yang baru belajar agama. Kata beliau, hendaknya memurnikan niat. Kemurnian niat kata beliau dapat diukur dengan tiga aspek; semata-mata mencari ridha Allah Swt, niat menghidupkan ajaran agama, dan niat memperbaiki diri. Selain tiga hal ini bisa dianggap niatnya melenceng, seperti niat mencari kekayaan, pengaruh dan mengalahkan lawannya berdebat. Seperti dijelaskan imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah bahwa, niat demikian itu sama saja dengan menghancurkan pilar agama Islam.
Imam al-Haddaad memberi petunjuk tak kalah penting. Dahulukan ilmu-ilmu yang paling bermanfaat untuk masa depan akhirat (Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam Fushulul Ilmiyah). Penjelasan cukup rinci dan komprehensif ada dalam kitab Ihya Ulumuddin. Di sini imam al-Ghazali mendaftar 10 tugas bagi pelajar. Yaitu, terlebih dahulu membersihkan jiwa dari kotoran dan sifat-sifat tercela, meminimalisir berhubungan dengan urusan dunia pergi jauh dari negeri meninggalkan keluarganya, tidak takabbur dengan ilmu yang sedang dipelajari, bagi pelajar pemula meninggalkan perdebatan baik perdebatan tentan ilmu dunia atau ilmu akhirat, tidak beralih belajar ilmu lain sebelum khatam ilmu yang sedang dipelajari, tidak mendalami satu ilmu sekaligus akan tetapi harus tertib dari paling mudah, hendaknya ketika mempelajari satu ilmu pelajar memahami maksud dari ilmu tersebut, mengetahui keutamaan ilmu-ilmu, hendaknya niat belajarnya untuk memperbaiki batin menghiasinya dengan sifat-sifat utama, hendaknya mengetahui nisbah ilmu kepada tujuan-tujuan tinggi (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin jilid 1).
Berdisiplin di permulaan belajar itu sangat menentukan hasil akhirnya. Imam Ibnu Athoillah al-Sakandari menasihati dalam kata untaian Al-Hikam bahwa salah satu tanda sukses di akhir perjalanan adalah kembali kepada Allah sejak di awal perjalanan.
Lalu apa yang dipelajari pertama? Para ulama kita memberi panduan yang telah menjadi tradisi ratusan tahun di Nusantara. Kitab Ta’lim al-Muta’allim, Kitab Sullamu at-Taufiq dan kitab Aqidatul Awam biasanya menjadi kitab wajib dipelajari untuk pemula. Kitab Ta’lim Muta’allim untuk mengenal ilmu dan metode sukses belajar, Sullamu at-Taufiq tentang akidah dan fiqih. Di sini dijelaskan kewajiban menjaga iman dari kekufuran, hukum-hukum fiqih yang pertama diketahui. Kitab Aqidatul Awam adalah kitab tauhid, fase awal menuju mengenal Allah Swt. Jika tiga kitab tersebut dipelajari dengan mengaitkan pada tantangan-tantangan baru di zaman sekarang tentu kitab turats tersebut akan terasa hidup dan menambah nilai manfaat serta kepentingannya. []