Oleh M. Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Kapanpun, terutama ketika berada di tengah-tengah tekanan penguasa yang zalim, kita perlu membuka riwayat Sufyan Ats-Tsauri. Untuk apa? Penting mencermati nasihat-nasihatnya. Juga, perlu membaca ulang sebagian pengalaman dia berhadapan dengan penguasa zalim.
Lugas dan Tegas
Sufyan Ats-Tsauri lahir di Kufah pada 77 Hijriyah, pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdil Malik. Ayahnya seorang ahli Hadits ternama, Said bin Masruq Ats-Tsauri.
Sufyan Ats-Tsauri adalah ulama besar ahli Hadits generasi tabi’in. Dia ulama Hadits yang menjadi rujukan utama di zamannya.
Dia berpengaruh dan “Merupakan pimpinan dari ulama-ulama yang mau mengamalkan ilmunya, rajin beribadah, dan Guru Besar di Kufah,” tulis Syaikh Ahmad Farid di “60 Biografi Ulama Salaf (2005: 212).
Di sepanjang hidupnya dia dikenal sebagai orang yang luhur dan mulia. Ibnu Mubarak berkesaksian, “Aku tidak mengetahui di atas bumi ini ada orang yang lebih alim dari Sufyan Ats-Tsauri”. Lebih jauh, “Aku telah menulis Hadits dari 1100 guru, namun aku tidak bisa menulis sebaik Sufyan Ats-Tsauri”. Bahkan, ulama-ulama besar lainnya seperti Syu’bah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abu ‘Ashim An-Nabil, Yahya bin Ma’in dan yang lain berkata, “Sufyan Ats-Tsauri adalah Amirul Mukmunin dalam Hadits”.
Mari, kita simak sejumlah nasihat Sufyan Ats-Tsauri yang tetap relevan di sepanjang zaman. Di antara tema yang menjadi pusat perhatian Sufyan Ats-Tsauri adalah keutamaan untuk tak lelah selalu mengritisi kekuasaan.
“Hendaklah kamu jangan mencintai kekuasaan. Barang-siapa mencintai kekuasaan melebihi cintanya kepada emas dan perak, maka dia akan menjadi orang yang rendah,” kata Sufyan Ats-Tsauri.
Terasa di nasihat di atas, bahwa bagi pemujanya, kekuasaan ditempatkan di posisi paling puncak. Maka, terutama ketika dalam meraih kekuasaan dicapai dengan menghalalkan segala cara, dia akan tergolong sebagai orang yang rendah.
Lebih lanjut, peringatan dari Sufyan Ats-Tsauri juga ditujukan kepada ulama. “Seorang ulama tidak akan menghiraukan kekuasaan, kecuali ulama yang telah menjadi makelar. Jika kamu senang dengan kekuasaan, maka akan hilang jatidirimu.”
Atas nasihat-nasihat di atas, mari menoleh ke sekitar. Seperti apa performa kita? Masih banyakkah di antara kita yang benar-benar telah menjalankan nasihat Sufyan Ats-Tsauri itu?
Mari, kita teruskan untuk mendengar nasihatnya. Bahwa, “Melihat wajah orang zalim merupakan sebuah kesalahan,” kata Sufyan Ats-Tsauri. Bahkan, “Barang-siapa mendoakan kebaikan bagi orang yang berbuat zalim, maka dia berarti senang berbuat durhaka kepada Allah,” jelas Sufyan Ats-Tsauri.
Intinya, perilaku zalim (apalagi jika itu dilakukan oleh penguasa) termasuk maksiat. Maka, selalulah menjauh dari orang yang suka berbuat maksiat. “Mendekatlah kalian kepada Allah dengan membenci orang-orang yang berbuat maksiat dan dapatkanlah ridha-Nya dengan menjauhinya,” kata Sufyan Ats-Tsauri.
Lalu, dengan siapa kita perlu berdekat-dekat? Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, “Dengan orang-orang yang senantiasa mengingatkanmu untuk berdzikir kepada Allah, dengan orang-orang yang membuatmu gemar beramal untuk akhirat. Juga, dengan orang-orang yang akan menambah ilmumu ketika kamu berbicara dengannya.”
Sekarang, mari saksikan sebuah fragmen. Sebuah riwayat terkait sikap kritis ulama -Sufyan Ats-Tsauri- kepada penguasa.
Bermula ketika Sang Raja -Al-Mahdi- mendatangi rumah Sufyan Ats-Tsauri. Al-Mahdi memberi Sufyan Ats-Tsauri sebuah cincin yang baru saja ia lepas dari jarinya. Cincin itu sangat bernilai untuk orang kebanyakan.
“Wahai Abu Abdillah, ini adalah cincin kepunyaanku. Ambillah! Aku ingin engkau berkata kepada umat sesuai Qur’an dan Sunnah,” ucap Raja. Cincin itupun lalu dipegang Sufyan Ats-Tsauri.
“Izinkan aku berbicara, wahai Amirul Mukminin,” kata Sufyan Ats-Tsauri.
“Ada apa?”
“Apakah aku akan aman jika berbicara?”
“Ya, kamu akan aman!”
“Wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau datang kepadaku, sehingga aku sendiri yang datang kepadamu. Janganlah pula kamu memberikan sesuatu kepadaku, sehingga aku yang meminta kepadamu,” ucap Sufyan Ats-Tsauri.
Betapa marahnya Al-Mahdi dengan ucapan itu. Hampir saja, ia memukul Sufyan Ats-Tsauri kalau saja tidak diingatkan seseorang dengan ucapan jaminan aman sebelum Ats-Tsauri mengungkapkan ketegasannya.
Orang-orang sudah berkumpul di sekitar rumah Sufyan Ats-Tsauri untuk melihat keadaan sang ulama. Mereka gembira ketika Sufyan Ats-Tsauri selamat.
“Apakah Al-Mahdi mengatakan agar berbicara sesuai Qur’an dan Sunnah,” tanya mereka.
“Jangan anggap serius ucapannya,” jawab Sufyan Ats-Tsauri.
Sejak itulah, Sufyan Ats-Tsauri menjadi pelarian karena diburu Al-Mahdi. Ia melarikan diri ke Mekkah.
Al-Mahdi mengetahui keberadaan Ats-Tsauri dan langsung mengutus seseorang meminta penguasa Mekkah, Muhammad bin Ibrahim, untuk menangkap Sufyan Ats-Tsauri.
Tapi, penguasa Mekkah paham betul kalau Sufyan Ats-Tsauri seorang ulama besar yang tidak mungkin berbuat salah hingga menjadi buronan. Ia mengutus seseorang untuk memberikan pesan khusus kepada Sufyyan Ats-Tsauri. Isinya, “Jika kamu ada kepentingan untuk menemui beberapa orang di Mekkah, hubungilah aku untuk memberikan perlindungan. Jika tidak, sebaiknya sembunyi saja!” Tapi, tetap saja, Sufyan Ats-Tsauri menemui beberapa ulama Mekkah untuk berdiskusi tentang Hadits.
Saat keberadaannya di Mekkah dirasa sudah tidak aman, Sufyan Ats-Tsauri-pun berangkat ke Basrah. Di Basrah, beberapa ulama langsung menemuinya. Mereka mengkaji beberapa Hadits dari Sufyan Ats-Tsauri dan berdiskusi dengannya.
Lalu, ketika keberadaannya di Basrah juga dirasa sudah tidak aman, Sufyan Ats-Tsauri-pun pergi lagi menuju Baghdad. Begitu seterusnya, hingga beliau akhirnya meninggal dunia di Basrah dan masih dalam posisi sebagai pelarian.
Siapa “Iri”
Sufyan Ats-Tsauri meninggal pada 161 H. Hammad bin Zaid yang berkesempatan memandangi jenazahnya, berkata: “Wahai Sufyan Ats-Tsauri, aku tidak merasa iri dengan banyaknya Hadits yang telah kamu hafal. Namun aku iri dengan amal shalih yang telah kamu perbuat”. []
Last modified: 23/02/2018