Oleh M. Anwar Djaelani,
Inpasonline.com-Pada 17/12/2020, insya-Allah Dr. Adian Husaini genap berusia 55 tahun. Di antara jejak kehidupannya, anugerah gelar Tokoh Perbukuan Islam terbilang istimewa. Gelar itu didapatnya di pembukaan Islamic Book Fair (IBF) -26/02/2020- di Jakarta Convention Center Jakarta. Siapa dia?
Jejak Istimewa
Adian Husaini lahir di Bojonegoro. Sekarang, menetap di Pesantren At-Taqwa Cilodong Depok, yang didirikannya pada 2014. Kini menjadi Direktur At-Taqwa College Depok, bagian dari pesantren itu. Aktivitas lain, sebagai Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Pendidikan formalnya sampai SMA ditempuh di Bojonegoro. Adapun riwayat pendidikan tinggi Adian Husaini terbilang “penuh warna”. Untuk S1, dia Sarjana Kedokteran Hewan – IPB. Lalu, menyelesaikan S2 di bidang Hubungan Internasional di Universitas Jayabaya – Jakarta. Tesisnya, dibukukan, berjudul “Pragmatisme dalam Politik Zionis Israel”. Sementara, gelar Ph.D. di bidang Peradaban Islam diraih di International Institute of Islamic Thought and Civilization – International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Kuala Lumpur. Disertasinya, “Exclusivism and Evangelism in the Second Vatican Council”: A Critical Reading of The Second Vaticand Council Documents in the Light of the Ad Gentes and the Nostra Aetate” lantas dibukukan oleh almamaternya (2011).
Dalam keagamaan, Adian Husaini pernah belajar ke banyak guru, di ”kampung” dan di ”kota”. Di antara yang menarik, dia mulai membaca karya-karya Hamka sejak di SMP lewat koleksi sang ayah. Belakangan, dia juga berguru kepada pakar pemikiran Islam internasional, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, yang kemudian mengantarkannya untuk mengenal pemikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Kelak, dari ”persentuhan” ini lahir buku: ”Mengenal Sosok dan Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Wan Mohd Nor Wan Daud” (2020).
Berikut ini, sebagian dari sekitar 50 buku-bukunya: ”Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal”. Buku terbitan 2005 ini menjadi Buku Terbaik pertama kategori non-fiksi dewasa di IBF Jakarta – 2006. Sementara, buku ”Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi” yang terbit 2006 menjadi Buku Terbaik kedua di IBF Jakarta – 2007.
Adian Husaini itu kritis. Perhatikan antara lain judul-judul ini: ”Islam Liberal: Konsepsi, Sejarah, Penyimpangan, dan Jawabannya” (2002) . ”Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial” (2005). ”Membendung Arus Liberalisme di Indonesia” (2009). ”Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam” (2009).
Aspek pendidikan, tentu saja menjadi salah satu perhatian utamanya. Bacalah: ”Kiat Menjadi Guru Keluarga” (2019). ”Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab” (2010). ”Pendidikan Islam, Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya” (2018). ”10 Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi” (2015). ”Perguruan Tinggi Ideal di Era Disrupsi” (2019).
Perhatian Adian Husaini luas. Di sosial-keagamaan, dia menulis: ”Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam” (2009). ”Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab” (2015). Bahkan, fiksi dia juga sentuh. Dia terinpirasi dengan HAMKA yang di antara cara berdakwahnya dengan menulis fiksi. Maka, dia-pun menulis trilogi novel ”KEMI – Sebuah Novel Pendidikan” (2010).
Kapan Adian Husaini biasa menulis? “Beliau menulis tidak kenal tempat dan waktu. Bisa di mobil, di pesawat,” kata Dr. Ardiansyah yang sering menemani Adian Husaini pergi. Ini persis kesaksian Megawati -istri Adian Husaini-, “Beliau membaca dan menulis kapan saja, sejauh yang bisa beliau lakukan. Itu, bahkan sering sampai tengah malam”.
Kembali ke panggung IBF 2020. Saat Adian Husaini diminta memberi sambutan, dia memanfaatkannya sebentar. Intinya, dia berharap akan lahir penulis-penulis hebat di masa mendatang. Oleh karena itu, dia mengharapkan dukungan dari semua pihak, untuk bisa mewujudkan hal tersebut.
Bagaimana dengan anak-anak Adian Husaini? Menurut penuturan istri Adian Husaini, dari tujuh putra-putrinya –alhamdulillah- empat di antaranya sudah terlihat minat menulisnya. Mereka adalah: Bana Fatahilah, 23 tahun, kuliah di Jurusan Tafsir Al-Azhar Mesir. Dina Farhana, 21 tahun, kuliah di Pascasarjana UI. Fatih Madini, 17 tahun, mahasantri Atco (At-Taqwa College) Depok. Alima Pia Rasyida, 14 tahun, santri PRISTAC (Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization) – Pesantren At-Taqwa Depok.
Khusus Fatih Madani, sudah punya karya buku dan bahkan di saat usinya masih 16 tahun. Judulnya, “Mewujudkan Insan dan Peradaban Mulia”. Buku itu diluncurkan pada 23/10/2018 dan lalu dipresentasikan di berbagai tempat termasuk di Kuala Lumpur.
Apakah anak-anak itu dilatih secara khusus? Ternyata tidak. “Pak Adian hanya mengingatkan pentingnya menulis,” kata Megawati. Misal, Dina –yang menjalani home schooling- dari usia 9 tahun sudah diminta membuat semacam buku harian. Lalu, “Pak Adian mengokresi dari sisi penulisan dan bahasanya. Alhamdulillah, bisa menjadi kumpulan cerpen,” lanjut Megawati.
Fatih Madini menulis kegiatan-kegiatan, pelajaran-pelajaran, dan nasihat-nasihat dari para Ustadz selama di Pondok. Akhirnya, bisa menjadi buku dengan judul seperti telah disebut di atas. Sementara, si sulung -Bana Fatahilah-, telah terlebih dahulu dari adik-adiknya. Dia menulis lebih serius berdasar bacaan-bacaan yang dia tekuni.
Anak-anak Adian Husaini memang suka membaca. Kebetulan, di PRISTAC At-Taqwa Depok para santri sering diminta membuat makalah dari setiap materi yang diajarkan. Ini yang menambah semangat. “Pak Adian sangat membantu setiap orang yang mau menulis, apalagi terhadap anak-anaknya sendiri. Walau beliau sering ke luar kota dan negara, email dan WhatsApp dijadikan fasilitas untuk mengoreksi tulisan anak-anaknya,” pungkas sang istri.
Adian dan “Adian”
Mari, kita bantu Adian Husaini agar segera lahir banyak “Adian” lainnya, yang hebat dalam menulis. Bismillah, semoga sekilas kisah Tokoh Perbukuan Islam 2020 ini turut menjadi “api” yang membakar ghirah umat. [