Oleh : Kholili Hasib
inpasonline.com – Dibanding dengan ilmu tafsir, ilmu musthalah hadis, ilmu nahwu, ilmu fikih dan disiplin ilmu lainnya, ilmu tasawuf masih ada yang menyikapi berbeda dari sebagian kaum Muslimin. Semua kelompok Islam, bahkan Syi’ah pun misalnya, telah sepakat bahwa dalam Islam ada disiplin ilmu nahwu dan ilmu fikih. Tetapi tidak demikian dengan posisi ilmu tasawuf. Sebagiannya masih menganggap tasawuf bukan bagian dari Islam. Bahkan, lebih dari itu dinilai barang ‘impor’ yang masuk dengan baju Islam.
Ada dua sisi yang biasanya dikaji; pertama dari aspek terminologi, kedua, dari aspek pengamal ilmu tasawuf. Dari aspek istilah, sebetulnya term nahwu, sharf, musthalah hadis, tajwid dan lain-lain sebagai disiplin ilmu (subjek) tidak ada pada masa Nabi Saw. Tetapi isinya sudah ada mada zaman awal Islam. Maka, di sini tasawuf juga sama dengan disiplin-disiplin ilmu tersebut.
Bagaiamana jika dianggap dari bahasa atau istilah asing non-Islam? Jika itu masalahnya, maka falsafah pun banyak yang menilai dari bahasa Yunani. Sebenarnya, dalam Islam ada proses ‘Islamisasi’. ‘Kulitnya’ disucikan dari kotoran, tidak dibuang, isinya yang tidak Islami dikeluarkan lalu masukkan nilai-nilai Islam. Namun persoalan ini sudah dijawab tuntas oleh para ulama. Salah satunya al-Sarraj dalam al-Luma fi al-Tasawwuf al-Islamiy. Bahwa tasawuf memiliki akar dalam tradisi awal Islam, sebagaiamana disiplin ilmu hadis dan fikih.
Bagaiamana dari aspek isi ajaran dan praktik pelaku ajaran tasawuf? Maka, di sinilah harus teliti dan adil. Anggapan keliru yang beredar, kaum sufi tidak taat pada syariah. Sedangkan, jika merujuk pada kitab-kitab induk tasawuf, syariah pada taraf sempurna itulah merupakan intisari tasawuf. Maka, tasawuf yang sebenar merupakan praktik dari syariah itu pada tingkat yang sempurna (ihsan), dzahir dan batin. Antara syariah dan tasawuf memiliki kaiatan erat yang tiada dapat dipisah. Jika dipisah, maka Islam menjadi tidak sempurna.
Karena itu, Prof. Syed Naquib al-Attas memberi pengertian bahwa tasawuf merupakan pengamalan syariah dalam bentuk yang sempurna dan berasaskan ilmu; ilmu tentang syariah yang hendak diamalkan dan ilmu tentang kepada siapa dan karena siapa amal ibadah diamalkan (Wan Suhami Wan Abdullah,Beberapa Wajah dan Faham Dasar Tasawuf Menurut al-Attas Berdasarkan Karyanya ‘The Positive Aspects of Tasawuf’, hal. 204). Di dalamnya terdapat aspek ilmu dan amal yang berkualitas ihsan.
Dengan demikian, syariah sejatinya pintu masuk menujua hakikat tasawuf. Tanpa pengamalan syariah, apalagi anti-syariah, jelas tidak akan bisa masuk pada ruang tasawuf. Tasawuf dapat dikaitkan dengan ibadah yang berasaskan akidah benar. Maka, di kalangan ulama sufi, pengamalan syariah diutamakan. Maka, jika ada seorang yang mamakai baju sufi dan mengaku pengamal tasawuf, tetapi tidak menjalan syariat, maka dia dikatakan sufi palsu. Orang nya tersebut yang keliru, bukan disiplin ilmu tasawuf yang digeneralisir dinilai sebagai ilmu tidak Islami.
Relasi Tasawuf dan Syariah
Suatu kali Imam al-Ghazali pernah bercerita kepada muridnya, “Seandainya ada orang mengaku telah mendapat derajat tinggi dari Allah Swt, ahli tasawuf kemudian menggugurkan kewajiban shalat, maka tidak ada keraguan untuk memerangi orang tersebut”. Cerita Imam al-Ghazali tersebut dicatat oleh ulama’ sufi Zakaria al-Anshari dalam kitabnya al-Mathalib Syarh Raudh al-Thalib, I/338.
Sekte Bathiniyah ini mengajarkan bahwa melaksanakan aturan-aturan syariat adalah tugas orang-orang awam, sedangkan orang-orang khusus (khowash) kewajiban syariatnya gugur karena ibadah mereka bersifat batin.
Syekh al-Junaid al-Baghdadi, guru besar para sufi, memperingatkan kemunculan orang-orang jahil yang memakai ‘baju tasawuf’ yang palsu dengan menggugurkan kewajiban syariat ini. Menurutnya, orang yang merasa telah wushul (sampai) kepada tingkat tertentu kemudian meninggalkan aktivitas ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan berzina (Abu Nu’aim,Hilyatu al-‘Awliya’, hal. 386).
Syaikh al-Junaid menasihati sahabat-sahabatnya agar tidak mudah tertipu dengan kemampuan manusia di luar batas kenormalan. Ia mengatakan: ‘Jika kamu melihat seseorang yang bisa berjalan di atas air, maka jangan kamu ikuti dia sampai kamu dapat memastikan perilakunya menjalankan perintah syariat dan menjauhi larangannya. Jika kamu menjumpainya dia mentaati seluruh perintah Allah Swt meninggalkan seluruh larangannya maka ikutilah dia. Jika tidak, maka jauhilah’ (Abdul Wahhab al-Sya’rani,Tanbih al-Mughtarin, hal. 19).
Kaidah utama kaum sufi justru taat kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Seperti dijelaskan oleh imam al-Junaid: ‘Tariqah kami, yakni tariqah ahli tasawuf itu selalu terikat dengan aturan al-Qur’an dan al-Sunnah. Barangsiapa yang tidak mengamalkan al-Qur’an dan tidak menjaga al-Sunnah dengan memahami isinya maka tariqahnya tidak sah untuk diikuti’(Abdul Wahhab al-Sya’rani,Tanbih al-Mughtarin, hal. 19).
Syaikh Ali al-Khawwas, pembesar sufi dan guru imam al-Sya’rani, mengatakan: ‘Sesungguhnya tariqah kaum sufi merupakan tariqah yang berhias al-Qur’an dan al-Hadis. sebagaimana hiasan emas dan mutiara. Karena, dalam setiap gerak, diam dan nafas mereka, mengandung niat yang benar demi mengikuti syariat. Tida diketahui di antara mereka kecuali mereka sangat mendalam dalam ilmu-ilmu syariat’.
Bahkan terdapat kaidah umum di kalangan ulama tasawuf, bahwa perkara makruh itu bagaikan sesuatu yang haram. Sedangkan amalan sunnah seperti menjadi kewajiban (fardhu). Yakni ulama tasawuf jangankan meninggalkan perkara haram, amalan yang dihukumi makruh ditinggalkan jauh oleh para sufi. Mereka sangat membenci sesuatu yang dimakruhkan. Lebih-lebih perkara yang haram. Inilah bentuk kecintaan ulama tasawuf terhadap syariah Allah Swt.
Syekh Hasyim ‘Asy’ari mengatakan bahwa siapapun ditaklif (dibebani menjalankan) syari’at. Tidak ada perbedaan antara santri, kiai, awam dan wali. Ia mengatakan, “Tidak ada namanya wali yang meninggalkan kewajiban syari’at. Apabila ada yang mengingkari syari’at maka ia sesungguhnya mengikuti hawa nafsunya saja dan tertipu oleh setan”. Orang seperti itu menurutnya tidak perlu dipercaya. Orang yang mengenal Allah Swt wajib menjalankan seluruh amal dzahir dan batin (Hasyim ‘Asy’ari, al-Duror al-Muntastiro fi Masa’il al-Tis’u al-‘Asyara, hal. 6).
Ketaatan sempurna kaum sufi melaksanakan kewajiban syariah tersebut dimaksudkan ketaatan secara dzahir dan batin. Aspek lahiriyah meliputi seperti shalat, puasa, haji, zakat, jihad di jalan Allah Swt dan lain-lain. Dua aspek ini dipadu menjadi ibadah yang berkualitas ihsan.
Islam memang mengandung dua unsur dzahir dan batin. Jika dzahir saja yang diamalkan, akan menjadi fasik. Dan jika hanya mengamalkan batin saja tanpa dzahir akan menjadi zindiq. Islam menjadi tidak sempurna jika salah satu diabaikan atau dibuang. Sedangkan kita diperintah untuk memasuki Islam secara sempurna (Udkhulu fi al-silmi kaafah). Dan tasawuf yang oleh imam Ghazali disebut palsu adalah yang menghilangkan sisi dzahir itu. Sehingga melahirkan unsur-unsur kebatilan.
Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki mengklarifikasi bahwa tasawwuf yang sebenar bukanlah yang mengandung tahayyul, kebatilan, kebohongan dan tipuan. Beliau menjelaskan bahwa ulama tidak mengenal tasawuf dengan teori spekulasi atau akidah-akidah musyrik seperti politeisme (Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki,Pemahaman yang Harus Diluruskan, hal. 67). Para ulama berlepas tangan dari keyakinan-keyakinan tersebut.
Kesalah Fahaman
Sekte Bathiniyah atau kebatinan, merupakan ideologi makar yang dalam sejarah kerap bersentuhan dengan Syiah Isma’iliyah dan berhasil merusak konsep-konsep tasawuf ulama’. Mereka ini sekte sesat, tetapi memaki baju tasawuf sebagai media promosi ajarannya. Sekte ini mengajarkan bahwa melaksanakan aturan-aturan syariat adalah tugas orang-orang awam, sedangkan orang-orang khusus (khowash) kewajiban syariatnya gugur karena ibadah mereka bersifat batin. Lantas doktrin ini diakui sebagai ajaran sufi.
Imam Qadhi Abu al-Fadhl Iyadh dalam al-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Musthofa menjelaskan bahwa Bathinyah adalah mereka yang berkeyakinan syariah dan sebagaian besar berita yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul tidak sesuai dengan makna batinnya. Artinya, dalam ibadah aliran ini berparadigma dualisme. Ada syariah dzahir dan ada syariah batin. Syariah batin khusus untuk orang-orang tertentu. Sedangkan kalangan awam menjalani syariah dzahir. Syariah dzahir seperti shalat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. Di kalangan kebatinan Indonesia dikenal orang-orang tertentu yang berpandangan bahwa ibadah cukup dengan eling (ingat pada Allah), tidak perlu menunaikan ibadah dzahir.
Kalangan ahli kalam dan sejarawan Muslim berbeda pendapat tentang asal-muasal aliran Bathiniyah. Ada yang berpendapat bahwa Bathinyah berasal dari agama Majusi ada pula yang mengatakan bersumber dari agama saba’iyah. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa Bathiniyah dan aliran-aliran lain yang semisalnya bersumber dari pemikiran Yunani kuno yang mengintilfrasi ke dalam berbagai golongan Bathiniyah. Pendapat terakhir ini mengatakan, bahwasannya, unsur-unsur ajaran Bathiniyah bersumber dari filsafat Plato, Yahudi, Kristen dan Hindu kemudian masuk ke dalam para pemikir Syiah Isma’iliyah pada abad ke-9 M (Muhammad Ahmad al-Khatib, Al-Harakat al-Bathiniyah fi al-‘Alami al-Islami,hal. 20).
Pendapat terakhir ini cukup popular. Imam al-Ghazali dan Qadli Iyadh cenderung kepada pendapat ini. Makar ideologis itu bermula dari tradisi orang-orang Yahudi kabbalis yang sejak semula berparadigma dualisme dalam melihat realita. Persentuhan Yahudi kabbalis dengan orang-orang Syiah pada era Abbasiyah ini melahirkan pandangan-pandangan kebatinan dalam sekte Syiah Ismailiyah.
Sebagai sebuah sekte, Batihiniyah mulanya didirikan oleh Maimun bin Daishan al-Qaddah, mantan budak Ja’far al-Shadiq. Dialah yang memasukkan ajaran-ajaran kebatinan ke dalam Syiah, pasca wafatnya Ja’far al-Shadiq. Maimun sengaja membidik aliran Syiah sebagai kendaraan untuk memasukkan ajaran-ajarannya. Sebab dalam pikirannya, aliran Syiah memiliki kecenderungan memuja Ali dan Ahlul Bait secara ekstrim. Apalagi pondasi ajarannya telah dibangun oleh Abdullah bin Saba’, tokoh yang juga disebut-sebut cenderung kepada aliran kebatinan Yahudi (Abdul Qohir al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq,16 dan Fadha’ih al-Bathiniyyah, 11).
Ciri kaum ini gemar melakukan isqathu al-syari’ah (pengguguran syariat). KH. Hasyim Asyari dalam Risalah ahlussunnah wal Jamaah menamai kelompok sufi jahil ini (pseudo sufi) ini dengan sebutan kaum Ibahiyyah. Mereka memiliki pandangan dualisme syariat. Syekh Hasyim Asy’ari menyebut kelompok Ibahiyyah yang menggugurkan syariat ini adalah zindiq.
Kelompok Bathiniyah dari Ibahiyyah juga membuat fitnah di kalangan sufi. Imam al-Ghazali menyebut kelompok sufi yang terinfiltrasi ajaran asing itu sebagai sufi jahil, yang sesungguhnya bukan tasawwuf. Syekh al-Junaid al-Baghdadi memperingatkan kemunculan sufi jahil yang menggugurkan kewajiban syariat. Menurutnya, orang yang merasa telah wushul (sampai) kepada tingkat tertentu kemudian meninggalkan aktivitas ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan berzina (Abu Nu’aim,Hilyatu al-‘Awliya’, hal. 386).
Guru Sufi Taat Syariah
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam kitabnya “Khulashah al-Tashanif fi al-Tasawwuf” menerangkan bahwa seorang mursyid (guru kaum Sufi) harus melakukan beberapa riyadhah (latihan akhlak batin). Seperti makan yang sedikit, bicara, dan tidur, banyak melakukan shalat sunnah, sedekah dan puasa secara ikhlas. Akhlaknya terpuji, terhindar dari sifat fanatis, tidak sombong dan tidak boleh ada perasaan tidak butuh ilmu.
Imam al-Ghazali berpendapat pada zamannya beliau menemui mursyid yang tidak memenuhi syarat. Bahkan tidak taat pada syariat.
Beliau mengatakan: ‘Apalagi di zaman ini. Sebab, banyak orang yang mengaku sebagai mursyid. Tetapi, pada dasarnya dia hanya mengajak manusia kepada permainan dan perbuatan tidak berguna. Bahkan, ada orang zindiq yang mengaku sebagai mursyid yang menyimpang dari syariah.
Karena itu, seorang mursyid wajib secara dzahir dan batin taat kepada syariah. Jika seorang menemui mursyid yang menyimpang ini, maka ia wajib menolaknya.
Imam al-Junaid mengatakan: ‘Tariqah kami, yakni tariqah ahli tasawuf itu selalu terikat dengan aturan al-Qur’an dan al-Sunnah. Barangsiapa yang tidak mengamalkan al-Qur’an dan tidak menjaga al-Sunnah dengan memahami isinya maka tariqahnya tidak sah untuk diikuti’(Abdul Wahhab al-Sya’rani,Tanbih al-Mughtarin, hal. 19).
Bahkan terdapat kaidah umum di kalangan ulama tasawuf — lebih-lebih seorang mursyid– bahwa perkara makruh itu bagaikan sesuatu yang haram. Sedangkan amalan sunnah seperti menjadi kewajiban (fardhu). Bagi mereka, jangankan meninggalkan perkara haram, amalan yang dihukumi makruh ditinggalkan jauh oleh para sufi. Mereka sangat membenci sesuatu yang dimakruhkan. Lebih-lebih perkara yang haram. Inilah bentuk kecintaan ulama tasawuf terhadap syariah Allah Subhahu Wata’ala.
Pada zaman imam al-Ghazali itu sudah banyak ditemui mursyid yang menyimpang sehingga seolah-olah mursyid yang sesungguhnya menjadi tidak dikenal. Sebaliknya mursyid yang menyimpang jadi dikenal. Seorang mursyid wajib memiliki ilmu. Karena ilmu itu yang akan menjaganya. Adapun mursyid yang benar harus ditaati. Bersikap sopan-santun di hadapannya. Melaksanakan perintahnya selama perintah itu tidak bertentangan dengan syariat. Tidak mendebat secara lancang di hadapannya. Karena mursyid merupakan guru lahir dan batin.
Dengan demikian, tasawuf itu diamalakan oleh para ulama salaf. Ada pun kekeliruan yang dilakukan sekte tertentu atau oknum maka itu tidak mewakili para imam tasawuf seperti imam al-Junaid, Hasan Bashri, Imam al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani, imam Qusyairi dan lain-lain. Harus dibedakan antara penyimpangan dan kaidah orisinil sebuah ilmu. Ilmu fikih bisa saja dikelirukan oleh oknum, tetapi tidak bisa serta merta kita nilai ilmu fikih adalah ‘haram’. Tasawuf adalah disiplin ilmu sebagaimana disiplin musthalah hadis, fikih, tafsir dan lain-lain, yang memiliki kaidah, aturan dan sejarahnya. (diolah dari berbagai sumber).