*Oleh M. Anwar Djaelani – peneliti InPAS, penyuka puisi, dan mahasiswa S3 PAI UMM

Judul buku : Mutiara Taman Adabi dan Dalam Terang
Penulis : Wan Mohd Wan Daud
Terbit : 2021 – cetakan kedua
Tebal : xiv + 277 halaman
Penerbit : NuuN Adabi Nusa Bangsa (Jakarta) dan HAKIM (Selangor – Malaysia)
inpasonline.com – Tak banyak seorang profesor yang menaruh minat di dunia perpuisian. Lebih sedikit lagi guru besar yang menyempatkan diri untuk menulis puisi. Satu di antara pribadi istimewa, yang serius menulis puisi adalah Prof. Wan Mohd Wan Daud. Dia adalah murid sekaligus sahabat Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang cendekiawan Muslim terkemuka di dunia Islam. Kedua tokoh itu tinggal di Malaysia.
Prof. Wan Mohd Wan Daud menulis buku puisi. Di sampulnya, setelah judul ada penjelasan: Himpunan Dua Buah Puisi Falsafi.
Hanya dua puisi? Iya, dan dua puisi yang dimaksud adalah Mutiara Taman Adabi dan Dalam Terang. Hanya saja, kedua puisi itu panjang dan masing-masing terdiri dari beberapa judul yang kandungan pesannya berkaitan.
Dari mana asal puisi-puisi berkarakter khas ini? Berasal dari perenungan batin Prof. Wan, sapaan akrab sang penulis. Meski dia menyebut dirinya bukan seorang sastrawan apatah lagi seorang penyair, tapi buku ini mampu memberikan gizi ruhani lewat potret-potret tajam atas berbagai performa manusia yang kapanpun akan selalu terbagi dua: Barisan yang haq di satu sisi dan golongan bathil di sisi lain.
Sang penulis seorang ilmuwan. Dia, yang lahir pada 23 Desember 1955, sangat berpengalaman sebagai pendidik. Sekadar menyebut, pada 2011 dia mendirikan sekaligus menjadi direktur pertama Pusat Pengajian Tinggi Islam, Sains, dan Peradaban – Universiti Teknologi Malaysia (UTM). Hal lain, dia telah menulis dan menyunting lebih dari 15 buku dan monograf.
Pembuka Penggetar
Sesuai petunjuk sang penulis, saat menikmati karya ini kita diharapkan (untuk tak menyebut harus) membaca semuanya. Dibaca urut, bab demi bab sebab saling berkaitan.
Mari nikmati puisi panjang yang pertama: Mutiara Taman Adabi. Puisi dibuka dengan ungkapan-ungkapan elok. Kita diingatkan untuk sebanyak mungkin mengambil ibrah dari sejarah. Kesadaran bersejarah kita dibangunkan. Untuk itu, banyak berjalanlah!
Aku merayau setiap pelosok sejarah/ Melihat tabiat insan tak berubah/ Bagai roda azali berputar tiada henti/ mencerminkan rencana, iradat, bekas Ilahi/ (h.29).
Merayaulah, mengembaralah (baca QS 6: 11). Bacalah sejarah (QS 12: 111). Gerak kehidupan di dunia ini hanyalah pengulangan demi pengulangan (baca QS 3: 140). Itu semua “mencerminkan rencana, iradat, bekas Ilahi”. Semua, menggambarkan “cetakan” Allah.
Teruslah, lakukan berbagai perjalanan. Lalu ambil kesimpulan dan sikap. Jangan lakukan kesalahan yang sama. Justru itu Dia menyuruh Bani Adam sedar selalu/ Pergilah ke setiap penjuru alam, lihatlah tinggalan dahulu/ “Untuk ke depan kita harus lihat ke belakang,” kata Iqbal/ Tapi malangnya pimpinan umatku, tentang sejarah mereka ajhal/ (h.29).
Siapapun, terutama pemimpin, jangan ajhal atau jahil / bodoh. Sungguh, sejak layar kehidupan dibantangkan, ada banyak kisah sebagai sumber kita meraup ibrah.
Kembali ke puisi awal, lima bait di dalamnya bisa menjadi titik tolak yang sangat baik untuk memahami keseluruhan isi buku ini. Di bait terakhirnya, ada kesimpulan yang sekalipun tidak mengejutkan tapi tetap bisa menggetarkan sanubari kita.
Taman Adabi sebuah Alam Kecil cerminan Alam Besar/ Suasana di sini menggambar Perjuangan Semesta secara kasar/ Antara baik dan jahat, antara cahaya dan gelap semua terpapar/ Bermula dari Taman Restu di Surga hingga Israfil meniup Sangkakala/ Renunglah dengan akal nan sejuk, hati terbuka tanpa prasangka/ Insya Allah kau ‘kan peroleh mutiara nan tak ternilai harga/ (h.30).
Pertarungan Abadi
Di bait di atas, terekam bahwa isi dunia akan selalu sama. Sejak awal sampai akhir nanti, akan selalu bertarung antara kekuatan yang haq dengan penyeru kebathilan. Tentang ini, diperkuat lagi di puisi: Antara Pencuri dan Pewaris Nabi. Prof. Wan menulis: Kuperhatikan pewaris Nabi membina taman/ Beradab budaya indah nyaman/ Sang pencuri mengintai geram/ Mencari helah mencari peluang/ (h.48).
Tergambarkan, pergulatan antara yang haq dengan yang bathil. Hal itu, kapanpun dan di manapun akan selalu terjadi. Di sepanjang zaman “para pencuri” itu, para musuh agama itu, akan selalu merancang helah atau tipu muslihat untuk mengalahkan kaum beriman.
Kita harus selalu bersiaga membela agama. Berdirilah di belakang ulama, Sang Pewaris Nabi. Kepada mereka yang perjuangannya berat itu, para ulama itu, kita menaruh harapan. Wahai temanku pewaris Nabi/ Sumbanganmu pasti kekal abadi/ Tak seberapa ganjaranmu di Sini/ Akan kau rasai keadilan hakiki/ (h.50).
Terus, Tegak!
Kadang, bahkan boleh jadi sering, kita menjadi kurang yakin setelah berhadapan dengan “pihak seberang” yang kuat. Bacalah Aku Bimbang, Khawatir di h.51.
Aku khawatir umat kita tidak akan bangkit lagi,/ karena pemimpin berwibawa di setiap bidang tidak didengarkan suara mereka/ Suara mereka yang berani-benar tentu tidak menyedapkan/ Cadangan mereka mengislahkan perkara mengambil masa/ Bukan untuk cepat mencari untung mengira laba/ Bukan juga untuk menangani pilihan raya ‘kan tiba/ Bukan untuk menagih liputan media massa/ Hanya inginkan kejayaan berkekalan/ Mendapat keredhaan di dua kehidupan/ (h.51).
Puisi di atas mengajak kita introspeksi, untuk tak mudah menyerah. Hal ini, karena perjuangan memperbaiki keadaan itu butuh pengorbanan termasuk perlu waktu yang panjang. Cadangan mereka mengislahkan perkara mengambil masa, ungkap sang penulis. Juga, karena aktivitas islah yang mulia ini ada di hamparan kesunyian. Misal, jauh dari hiruk-pikuk pemberitaan semisal saat pers mengulas mereka yang sedang berkompetesi meraih kedudukan di dunia saat menjelang pilihan raya (pemilu).
Puncak Pencapaian
Setelah kita dibawa menyusuri dunia untuk menyaksikan panggung besar kehidupan, sampailah kita pada khatimah atau penutup (untuk puisi pertama). Di panggung itu, selalu tampil dua aktor utama yaitu pengamal kebaikan dan pelaku keburukan. Keduanya, tetap memperlihatkan kinerjanya masing-masing. Masalahnya, kita memilih posisi di mana?
Umatku kini, macam makanan dalam dulang/ Musuh menjamu selera, habis makan, sisa dibuang/ Keadaan sekarang amat memilukan, ramai hilang pegangan/. …… Yang penting bagi mereka: di keluarga gembira/ Kesehatan terjaga. semua anak bekerja. Bila negara stabil, ekonomi tumbuh tinggi/ Semua kehendak terbeli, mati ditundai/ (h.131).
Bagaimana sebaiknya kita mengambil posisi? Namun, tidak mau mengikut iblis/ Aku harus senantiasa istiqomah optimis/ Iblis begitu karena sikapnya yang ablasa/ Dengan janji dan rahmat Tuhan berputus asa/.
Jangan ablasa, jangan berputus asa! Terus optimislah, raih ridha Allah! Berpeganglah setia kepada Allah Ta’ala/ Kekuasaan dan Kebaikannya mengatasi segala: Yang baik itu akan turun di bumi berguna terus/ Yang palsu akan lebur, bagai buih di atas arus/. ….. Saadah hakki bukan mimpi mengejar pelangi/ Ia hakikat, bila dicapai tidak ‘kan terlepas lagi: Keadaan diri insani nan ikhlas, berilmu maknawi/ Disusuli amalan berhikmah, sederhana, adil, berani/ Tetap berdiri di maqam tertinggi: Keredhaan Rabbi (h.131-133).
Potret Umum
Sekarang, kita nikmati puisi kedua. Judulnya, Dalam Terang. Sang penulis memberi gambaran, inilah Sebuah Puisi Mentafsirkan Tuntutan Amanah yang Diterima Insan serta Peranan Ilmu dan Akhlak dalam Masyarakat.
Sebagaimana puisi pertama yaitu Mutiara Taman Adabi, maka Dalam Terang adalah puisi panjang yang mengandung berbagai bab yang saling berkait. Dia bukan himpunan atau antologi beberapa puisi (h.137). Buku dibuka dengan Sinar Ilahi.
Pascal memang wajar menganjur pendapat/ Hidup bertuhan lebih bermunafaat:/ mudah berlaku baik, sabar dalam musibat/ gentar berlaku jahat, susah bermaksiat/.….. Einstein pintar, dan pemikir agung sepertinya benar berperi:/ Jagat raya ini terlalu teratur dan indah untuk terjadi sendiri/ Pasti wujud Tuhan Bijak Bistari mentadbiri langit dan bumi/ Menerima Tuhan tetapi menolak agama bawaan Nabi/ (h.141).
Ungkapan di atas tergolong klasik. Bahwa, siapapun-terutama intelektual-yang jujur pasti akan terbimbing untuk tahu bahwa Tuhan ada. Tuhan yang mentadbiri atau mengatur langit dan bumi itu, pasti Esa. Tapi, sayang, hal itu hanya berhenti sebagai pengetahuan saja. Berhenti, tak berlanjut sampai kepada pernyataan keimanan mereka.
Hal di atas, diperparah dengan kesalahan kita dalam memilih pemimpin. Ternyata, memilih pemimpin dengan prinsip suara terbanyak mengundang kelam di kehidupan manusia.
Kelirunya insan memilih pemimpin secara demokrasi/ Ke sana ke mari merayu rakyat menagih undi/ Bila terpilih sebagai ketua dan diberikan pelbagai kuasa/ Rakyat pemilihnya diperhamba tanpa rela./ Setiap kata dan laku ketua ciptaan sendiri/ Dikaji setiap hari dan disebarluas ke segenap negeri/ (h.146).
Bait di atas relevan di banyak tempat. Pesannya, kuat menyengat. Saat mereka berburu suara menjelang pemilu, orang-orang itu lakukan apa saja untuk meraih simpati rakyat pemilih. Hanya saja kala kekuasaan sudah di tangan, kepentingan rakyat lalu dibelakangi. Sangat berbeda, antara janji manis saat kampanye dengan yang dikerjakan para pemimpin setelahnya: Setiap kata dan laku ketua ciptaan sendiri. Atas hal tersebut, ada akibat pahit dalam ungkapan yang tepat ini: Rakyat pemilihnya diperhamba tanpa rela.
Menoleh Keluarga
Baiklah, keadaan di sekitar tidak sedang baik-baik saja. Mari perkuat diri dan keluarga. Tapi, astaghfirullah, banyak keluarga yang juga bermasalah. Tentu ini memprihatinkan karena keluarga adalah penopang utama tegaknya sebuah masyarakat.
Keluarga, pokok utama dalam setiap negara/ Seperti engine begitu penting dalam sebuah kereta/ Namun pokok tidak akan tegap berdiri/ Jika akar tunjangnya reput di dalam bumi/ (h.210).
Keluarga adalah engine atau mesin yang vital dalam menggerakkan sebuah negara dalam menggapai amanat konsititusinya: Mensejahterakan rakyat! Tapi, apa yang bisa kita harapkan jika di banyak keluarga performanya tak meyakinkan. Performa mereka, bak akar tunjang yang reput alias kisut/kering (h.210).
Benarkah gambaran di atas? Lihatlah ini! Potret remaja yang “diasuh” oleh pembantu, dididik oleh komputer, dan besar bersama lingkungan pertemanan yang tak terkontrol. Mari menunduk!
Remaja pulang dari sekolah, orang gaji menanti mesra/ Makanan biasa tersaji di meja, berteman radio saja/ Di zaman ini, sendirian di rumah tidak sunyi/ Kawan-kawan senantiasa menelepon, lama sekali/ Komputer membantunya melayari internet ghairah/ Mencipta surga bersama teman melebur marwah/ (h.217).
Menunduklah lagi, lebih dalam! Sungguh mencemaskan saat sebuah keluarga hanyalah sebuah persekutuan meraih kesenangan sesaat dan menunggu masa tua yang gelap. Keluarga kini hanya diikat perjanjian selesa/ dan perkongsian harta dan rasa gembira/ disatukan dengan ngeri kesunyian di senja usia/ (h.217).
Terhadap kenyataan pahit yang mudah kita temui di berbagai belahan bumi itu, dengan getir Prof. Wan menulis: Bolehkah bangsa berdiri menjulang kegemilangan/ Bila keluarga kehilangan arah, berpecah tujuan? (h.217).
Pesan Iqbal
Prof. Wan sadar bahwa semua yang disampaikannya akan ada, bahkan banyak, yang menolaknya. Akan banyak yang memandangnya secara sinis. Renungkanlah khatimah atau penutup di puisi kedua berikut ini.
Kau tentu meragui tafsiranku tentang sejarah manusia/ yang bermula bukan dengan Zaman Batu insan purba/ yang tidak tahu martabat dirinya dan peranannya di dunia/ yang melihat ke belakang penuh kemunduran dan derita/ (h.242).
Teruslah beramal shalih, Walau pandanganku pada zaman kita ini/ Tidak dipahami dan akan disalah-mengerti/ (h.243). Tetaplah menjaga harapan. Lanjutkan gerak kita di jalan yang benar. Jemputlah kejayaan sebagaimana para pendahulu kita, yang berbekal kepada sebuah pegangan yang kuat.
Dulu pegangan ini dimiliki ulama, umara, dan awam/ Pegangan inilah memicu mereka memimpin zaman/ Mengalahkan semua musuh, luaran maupun dalaman/ Mengejar ilmu pengetahuan dari Mekkah, Cina atau Yunan/ (h.243).
Teruslah, pilih barisan atau jamaah yang benar! Jika telah bertapak dalam kebaikan akal dan amalan/ Kau bebas meningkat ke tahap tinggi mencapai ihsan/ mengekal makam sehingga bertemu Tuhan/ Seperti Ali dan sebarisan dalam perjuangan;/ atau seperti anak Nuh di dalam hujan dan kelam/ Menolak tangan ayahnya, memilih jahannam/ (h.245).
Kapanpun, di depan kita selalu ada dua pilihan: Jalan Allah atau jalan setan. Saat memilih jalan, berkaca kepada sejarah sangat penting. Lihat dan senatiasalah ingat: Maulana Iqbal bermata tajam pernah menyaran/ tinjaulah ke belakang jika ingin maju ke depan/ (h.245).
Masih di khatimah. Sang penulis titip pesan: Selalu bermuhasabah-lah, di akhirat akan dekat dengan siapa kita? Senantiasa mengira-girai diri sebelum dihisabi/ Dengan siapakah akan dikumpulkan nanti di Sana? Dengan Firaun, Hammam, ibn Ubay dan sepertinya? Menyesal berkepanjangan, mohon kembali ke Sini/ Atau bersama Mustafa, Sahabat, dan pewarisnya? Bahagia tidak kehabisan, kekal abadi/ (h.247).
Segera tentukan pilihan: Bahagia bersama Nabi Saw Al-Mustafa serta para pewarisnya atau sengsara tak berkesudahan bersama “pihak seberang”? Sungguh, jangan salah memilih keberpihakan.
Setuju dan “Iri”
Buku ini bagus dan bermafaat karena isinya. Juga, karena: Pertama, dilengkapi Glosarium I. Ini diperlukan berkenaan dengan puisi yang kita baca memakai “Bahasa Malaysia” yang untuk beberapa kata atau istilah perlu penjelasan. Misal, apa itu ablasa, berperi, dan dulang?
Ada lagi Glosarium II, yang berisi penjelasan tentang tokoh-tokoh yang disebut seperti Mustafa, Einstein, Pascal, dan lain-lain. Bahkan, ada juga indeks.
Kesemua isi buku ini mampu membuka kesadaran tentang dua wajah manusia. Di satu bagian adalah mereka yang tunduk-taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Di bagian lainnya, mereka yang ingkar terhadap kebenaran agama. Keduanya akan terus ada mewarnai dunia ini.
Buku ini indah karena bertabur ungkapan-ungkapan yang manis dan metafora-metafora yang tepat. Terkait ini, rasanya banyak yang setuju saat penerbit menulis di Kata Pengantar-nya, begini: “Keindahannya harus dipanjat dengan seksama, dinikmati di puncak pencerapan akliah nan penuh pesona” (h.vii).
Selanjutnya, bukan tak mungkin banyak yang “iri” dengan capaian Prof. Wan yaitu bahwa di tengah kesibukannya sebagai pendidik, masih menyempatkan diri berpuisi-puisi. Perhatikan, pengakuan salah satu tokoh berikut ini.
“Penulisnya seorang ilmuwan berbakat tinggi di bidang puisi, yang menayangkan makna yang tinggi, halus, kritis tetapi senantiasa optimis. ….. Dari satu segi, saya agak ‘cemburu’ dengan keupayaan beliau karena saya tidak mempunyai keahlian dalam pelbagai bidang terutama dalam bidang puisi,” ungkap Prof. Dr. Tatiana Denisofa – intelektual asal Moskow yang mengajar di UTM (h.14).
Insya Allah orang seperti Tatiana Denisofa, yang “iri”, banyak di sekitar kita. Mereka adalah orang-orang yang jiwanya tergugah saat membaca Puisi-Kisah atau Puisi-Sejarah Prof. Wan ini. []