Lagi-lagi, setiap peristiwa serupa ini terjadi, umat Islam sering menjadi sasaran fitnah oleh beberapa pihak. Dalam sebuah acara dialog di stasiun TV Swasta, Selasa (8/2), Guntur Romli, aktivis Islam Liberal, dengan lantang menyatakan bahwa bentrok berdarah itu disebabkan oleh kebencian kelompok umat Islam terhadap agama lain. Ia menyalahkan tokoh-tokoh umat Islam yang menghukumi sesat Ahmadiyah padahal belum mengetahui hakikatnya. Ada lagi yang menuduh umat Islam tidak mau berdialog dan selalu bertindak anarkis menghadapi sebuah permasalahan. Bahkan ada pula yang menuduh Fatwa MUI dan pernyataan Menteri Agama, Suryadharma Ali, yang telah memberikan legitimasi kekerasan itu.
Sebenarnya kalau kita mau jujur, tuduhan-tuduhan itu sering tidak terbukti di lapangan. Fakta peristiwa di Pandeglang cukup menjadi bukti hal tersebut. Menurut laporan kepolisian, sebenarnya dua hari sebelum peristiwa, Jum’at (4/2), pihak kepolisian sudah mengamankan pihak Ahmadiyah yang diprotes warga. Tapi ketika hari kejadian, beberapa orang Ahmadiyah berdatangan dari luar Cikeusik memberikan dukungan pada warga Ahmadiyah di tempat. Tidak hanya sampai di situ, orang-orang Ahmadiyah tersebut mengeluarkan statemen yang memancing kemarahan warga. Bahkan menurut pengakuan warga sekitar, di rumah yang menjadi amukan warga ditemukan beberapa perlengkapan senjata yang sengaja dipersiapkan untuk menghadapi warga.
Dari sekian peristiwa bentrokan yang melibatkan warga mayoritas umat Islam dengan kelompok atau agama lain, peristiwa Pandeglang termasuk yang asal-asal usul peristiwanya jelas. Dalam artian, amukan warga sekitar bukan karena ngawur atau didasari kebencian agama sebagaimana Guntur Romli katakan di atas. Tetapi ada beberapa rentetan peristiwa yang membuat ketenangan warga terusik. Urusan perbedaan antaragama, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, sudah terbiasa dan tidak mempermasalahkan itu semua. Tetapi jika terjadi peghinaan/penodaan terhadap sebuah agama siapapun akan memberontak, tergantung masing-masing individu. Karena jelas hal itu menyakiti salah satu identitas atau ikon yang mewakili seseorang.
Setiap orang sudah seharusnya tidak menyinggung atau menyakiti identitas seseorang, baik SARA (suku, agama dan ras) maupun lainnya. Jangankan urusan sara, pendukung sepak bola saja bisa bentrok gara-gara penghinaan tersebut. Bentrok antar geng, antar kampung, antar sekolah/kampus dan lain-lainnya sudah bisa dipastikan penyebabnya adalah adanya penghinaan atau lainnya yang menyakitkan kelompok lain. Oleh karena itu sudah seharusnya setiap individu maupun kelompok mengedepankan sensitivitasnya dan menjalin komunikasi sosial agar tidak menyakiti kelompok lainnya.
Terkait insiden maut di Pandeglang, tentu tidak tepat jika dikaitkan dengan kekerasan atas nama agama, karena Islam tidak pernah memerintahkan umatnya untuk memerangi agama atau kelompok lain. Setiap agama atau kelompok mungkin juga tidak jauh berbeda dengan prinsip Islam tersebut. Oleh karena itu, lebih tepatnya insiden tersebut dinamakan sebagai kekerasan sosial, yang tidak beda dengan bentrokan antar kampus, antar kampung, antar geng dan lainnya, yang penyebabnya kadang-kadang masalah sepele, seperti penghinaan atau perlakuan sewenang-wenang dari salah satu kelompok. Tugas pemerintah untuk membeber kasus ini dengan seterang-terangnya, tanpa perduli apapun.
Hal ini sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh M. Abduh (1849-1905), tokoh ulama pembaharu asal Mesir, yang menegaskan bahwa dalam mengkaji konflik antaragama harus diperhatikan dua hal. Pertama, tidak pernah disebutkan dalam sejarah, bahwa ada agama yang disebarkan dengan cara pemaksaan, dan peperangan. Jika terjadi, maka pada hakikatnya konflik (perang) tersebut erat dengan masalah politik dan lainnya, bukan dengan agama. Kedua, perintah perang (qitâl) dalam Islam bukan termasuk rukun, subtansi, atau tujuan (Abduh: 1993)
Dari sini kita bisa tegaskan bahwa apa yang dituduhkan mereka bahwa Islam mengajarkan kebencian kepada umatnya sangat tidak tepat dan sembrono. Termasuk, bahwa umat Islam cenderung anarkis dan anti berdialog juga tidak tepat, karena kita juga sering disuguhi tontonan tentang semua orang atau kelompok yang juga bentrok jika dihina atau disakiti, termasuk anggota DPR dan mahasiswa. Apalagi mengaitkan dengan fatwa MUI dan pernyataan Menteri Agama, tentu sangat tidak tepat, karena ada atau tidak ada fatwa jika urusan menyinggung sara atau identitas lainnya bentrok tidak bisa dihindari. Sekali lagi, mari kita sama-sama menjaga kehormatan individu atau kelompok agar tidak terjadi bentrok. (mm)