Adakah “Mazhab Sebelum Islam Pecah”?

Written by | Opini

Menurut sang ustad ini, adanya mazhablah yang menyebabkan Islam pecah, sehingga kaum Muslimin harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah saja dan menolak mazhab, yang ia anggap bertentangan dengan kedua sumber Islam tersebut.

Pernyataan bahwa kita harus kembali pada Al Qur’an dan Sunnah, seratus persen benar. Namun yang tidak tepat adalah pernyataanya bahwa  mazhab bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah.

Kita  harus menerima kenyataan, meski agama Islam itu satu, namun penafsiran terhadap ajarannya berbeda-beda. Ini karena pemahaman dan penafsiran terhadap sumber-sumber Islam yang pokok yaitu al-Quran dan al-Sunnah tidak sama di kalangan para imam dan ulama mujtahid.

Bahkan hal itu sudah terjadi di kalangan sahabat, setelah Rasulullah wafat. Ketika beliau masih hidup, semua hal yang berkaitan dengan hukum langsung diputuskan oleh Rasulullah, baik melalui wahyu maupun ijtihad beliau yang dibenarkan oleh wahyu.

Namun setelah beliau meninggal, berbagai persoalan yang dihadapi sahabat, berkaitan dengan berbagai permasalahan muncul. Untuk menjawab berbagai persoalan itu, para sahabat mengembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun  jika tidak menemukan di kedua kitab tersebut, mereka kemudian melakukan ijtihad. Dari ijtihad inilah kemudian muncul perbedaaan pendapat di kalangan mereka.

Sebagai contoh, telah terjadi perbedaan pendapat antara sahabat Ibnu Abbas dengan istri Rasulullah, Aisyah soal disiksa atau tidaknya seorang mayit karena tangisan keluarganya.

Perbedaan semacam itu kemudian juga terjadi pada generasi berikutnya. Namun perlu diketahui bahwa perbedaan (khilafiyah) itu terjadi dalam masalah  furuiyah, bukan masalah yang prinsip atau i’tiqodiyah. Dalam masalah-masalah prinsip, tidak ada perbedaan di kalangan ulama Islam.

Ini berbeda dengan agama Yahudi atau Nasrani, yang dalam masalah ketuhanan saja masih terjadi perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwa Yesus adalah bagian dari unsur Tuhan, sedang yang lain menyatakan Yesus hanyalah seorang Rasul sebagaimana keyakinan Saksi Yehofa.

Perkara-perkara khilafiyyah atau fiqiyah yang muncul di kalangan kaum Muslimin, tidak mungkin diselesaikan hari ini, sebab hal itu juga tidak mampu dilakukan oleh para ulama terdahulu yang jauh lebih paham  dibanding ulama-ulama sekarang, sebab mereka lebih dekat dengan Rasulullah dan generasi Salaf.

Imam Malik dan Imam Syafi’i yang sama-sama dikenal ulama yang memahami Al-Qur’an dan Sunnah secara baik, masih terjadi perbedaan pendapat dalam mengambil kesimpulan hukum dalam beberapa hal.

Namun yang perlu kita pahami bahwa hasil ijtihad mereka jauh lebih tepat dibanding ijtihadnya orang yang tidak memiliki kreteria seperti mereka. Karena itulah para ulama setelahnya mengakui mereka sebagai seorang mujtahid yang layak mengeluarkan hukum-hukum (fiqh) berdasar kaedah (metodologi) yang mereka buat. Dari sinilah muncul mazhab yang dinisbatkan kepada mereka berdua. Demikian juga hal yang sama terjadi pada mazhab lainnya.

Yang juga perlu dipahami bahwa yang disebut ‘bermazhab’ bukan berarti ta’asub (fanatik) kepada pandangan atau akal para imam-imam mazhab. Sebab pada dasarnya pandangan mereka didasarkan pada  al-Quran dan al-Sunnah. Bahkan mazhab itu sendiri bukanlah pandangan  seorang individu atau imam mazhab semata.

Dikatakan mengikuti mazhab Hambali, bukan berarti mengikuti pandangan Imam Hambali seorang diri, tetapi melibatkan sekumpulan  alim ulama yang mengikuti kaedah dalam istinbat (mengambil kesimpulan hukum) berdasar kaedah dan kriteria Imam Hambali. Karena itu tidak benar jika dikatakan bahwa mengikuti mazhab seolah-olah tidak mengikut al-Quran dan al-Sunnah.

Memang Imam Syaukani pernah mengatakan bahwa tidak ada keharusan mengikuti mazhab. Namun itu bisa dipahami jika yang mengatakan orang sekaliber beliau yang keilmuannya diakui oleh para ulama. Yang jadi masalah jika yang mengatakan adalah mubaligh yang tidak memiliki ilmu seperti para ulama. Kita tahu bahwa para ulama memiliki  kemampuan bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, ilmu fikh dan ushul fikh, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu manthiq dan lainnya. Ilmu-ilmu itu sangat penting demi menghindari  terjadinya penafsiran yang tidak tepat sebagaimana yang dilakukan oleh pemeluk agama sebelum Islam.

Hindari Ta’asub Golongan

Menyadari perbedaan di kalangan ulama adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan, khususnya masalah cabang yang terperinci dalam ibadah, maka para ulama usul merumuskan sebuah kaidah yang berbunyi “kebenaran dalam perkara ranting (furu’) itu banyak.” Ini menunjukkan bahwa kebenaran dalam perkara yang bersifat furui’yah itu  tidak mampu diseragamkan menjadi satu oleh ribuan ulama yang telah mencobanya sekian lama.

Karena itu sikap terbaik adalah mencontoh para ulama dalam menyikapi perbedaan tersebut. Imam al-Shatibi menulis,”Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi pada zaman sahabat hingga saat ini berlaku dalam masalah-masalah ijtihadiyyah. Pertama kali berlangsung sejak zaman Khulafa’ al-Rasyidin dan sahabat-sahabat yang lain, lalu terus sampai zaman para tabi’in. Namun mereka tidak saling mencela di antara satu sama lain. (al-I’tisom 2/191)

Adapun sikap mereka terhadap kelompok yang menyalahi aqidah Islam, sangat tegas. Misalkan terhadap kaum Syiah, Mu’tazilah, Qodariyah dan lain-lainnya.

Perbedaan pandangan dalam Islam seputar hukum (fiqih) adalah sesuatu yang lumrah yang harus disikapi dengan cara bijak, dengan menanggalkan sikap fanatik. Karena itu masing-masing kita harus memilki adab terhadap ulama yang berbeda pandangan dengan kita, dengan tidak menuduh mereka telah melakukan bid’ah dalalah atas amalan-amalan yang bersifat  khilafiyyah.

Adalah Al-Imam Ahmad rahimahullahu berpendapat keharusan berwudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Maka Al-Imam Ahmad ditanya: “Bagaimana jika seorang imam shalat lalu keluar darinya darah dan tidak berwudhu, apakah anda bermakmum di belakangnya?” Beliau menjawab: “Bagaimana mungkin saya tidak mau shalat di belakang Al-Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!” Yakni bahwa Al-Imam Malik dan Sa’id rahimahumallah berpendapat tidak wajibnya berwudhu karena keluar darah.

Begitulah sikap Imam Ahmad kepada para ulama sebelumnya. Beliau tidak mencela mereka meski berbeda pendapat. Semoga sikap yang ditunjukkan Imam Ahmad ini bisa menjadi ibrah bagi kita. Amin



Last modified: 30/08/2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *