Wacana Kebenaran Agama Dalam Perspektif Islam (1)

 

Agama, yang semenjak era reformasi gereja abad ke-15 wilayah jurisdiksinya telah diredusir, dimarjinalkan dan didomestikasikan sedemikian rupa, yang hanya boleh beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling privat, ternyata masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan dan pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general adalah musuh demokrasi, kemanusiaan dan HAM. Sehingga agama harus mendekonstruksikan-diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumËd serta sudah tak sesuai lagi dengan zeitgeist atau semangat zaman.

Jika proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan suatu tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”, maka liberalisasi agama yang dimaksudkan untuk memfasilitasinya harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, “sama benarnya dan sama relatifnya” atau yang sekarang lebih dikenal dengan “pluralisme agama”.

Oleh karena paham “liberalisme” pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidaklah aneh jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan “pluralisme politik”[i] (political pluralism), yang adalah produk dari “liberalisme politik” (political liberalism).[ii] Jelas, faham “liberalisme” tidak lebih merupakan respons politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacan ini masih senantiasa terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.

Meskipun hembusan angin pluralisme telah mulai merebak dan mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara umum, pada saat itu, namun masih belum secara kuat mengakar dalam kultur masyarakatnya. Beberapa sekte Kristen ternyata masih mengalami perlakuan dikriminatif dari gereja, sebagaimana yang dialami sekte Mormon, misalnya, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodox, sampai akhir abad kesembilan belas ketika muncul protes keras dari presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908). Begitu juga, doktrin “di luar gereja tidak ada keselamatan” (Extra ecclesiam nulla salus) juga tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik, hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II (Vatican Council II) pada awal-awal enampuluhan abad kedua puluh yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain Kristen.[iii]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pada dataran ini, gagasan pluralisme agama bisa dilihat sebagai salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad kesembilan belas, dalam gerakan yang kemudian dikenal dengan “Liberal Protestantism” yang dipelopori Friedrich Schleiermacher.[iv]

Ketika memasuki abad kedua puluh, gagasan pluralisme agama telah semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Tokoh yang tercatat pada barisan pemula muncul dengan gigih mengedepankan gagasan ini adalah seorang teolog Kristen liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalahnya yang berjudul ‘The Place of Christianity among the World Religions’ (Posisi Agama Kristen diantara Agama-agama Dunia) yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Universitas Oxford menjelang wafatnya pada tahun 1923,[v] Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif bahwa dalam semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak,[vi] konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal.[vii]

Mengikuti jejak Troeltsch, William E. Hocking dalam bukunya Re-thinking Mission pada tahun 1932, dan yang berikutnya Living Religions and A World Faith, dengan tanpa ragu-ragu telah memprediksi munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global.[viii] Sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), juga menyusul kemudian dengan gagasan yang kurang lebih sama dengan pemikiran Troeltsch, dalam karyanya An Historian’s Approach to Religion (1956) dan Cristianity and World Religions (1957).[ix]

Karya-karya tersebut di atas mencerminkan suatu fase pemikiran pluralisme agama yang masih dalam tahap fermentasi dan pembentukan wacana. Gagasan tersebut kemudian nampak semakin berkembang dalam pemikiran teolog dan sejarawan agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith.[x] Dalam karyanya Towards A World Theology (1981) Smith mencoba meyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama (common ground) bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis. Nampaknya karya tersebut memuat saripati pergolakan pemikiran dan penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya The Meaning and End of Religion (1962) dan Questions of Religious Truth (1967).

Selama dua dekade terakhir abad kedua puluh yang lalu, gagasan pluralisme agama telah mencapai fase kematangannya, dan pada gilirannya, menjadi sebuah diskursus pemikiran tersendiri pada dataran teologi dan filsafat agama modern. Fenomena sosial politik akhir abad dua puluh ini juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran kalau bukan dampak dari (atau bahkan suatu proses sinergi) gagasan pluralisme agama ini. Dalam kerangka teoritis, pluralisme agama, pada masa ini telah dimatangkan oleh beberapa teolog dan filosuf agama modern dengan konsepsi yang lebih sophisticated agar dapat diterima oleh kalangan antar agama. John Hick[xi] telah merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer yang sangat kental melekat dengan namanya.[xii] Dalam bukunya An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent yang diangkat dari serial kuliyahnya, yaitu Gifford Lecture pada tahun 1986-1987 merupakan rangkuman dari pemikiran-pemikirannya yang ia tuangkan dalam karya-karya sebelumnya.[xiii]

Yang sangat mengherankan, sementara kita tengah menelusuri serta mengkaji muncul dan perkembangannya wacana pluralisme agama, adalah bahwa fenomena ini murni Protestantistik, dalam arti, terjadi dalam kerangka gerakan reformasi Protestan secara khusus, meskipun doktrin “extra Christos nulla salus” or “no salvation outside Christianity” (di luar Kristen tidak ada keselamatan) ternyata masih mendominasi pemikiran orang-orang Protestan hingga akhir abad kesembilan belas. Sedangkan Kristen Katolik lebih cenderung tidak menerima gagasan pluralisme agama, dan tetap berpegang teguh pada doktrin “extra ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan), hingga akhirnya Konsili Vatikan kedua berlangsung.[xiv]

                Sementara itu, dalam diskursus pemikiran Islam, wacana pluralisme agama, masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa paska perang dunia kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.

Kemudian di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya)[xv] dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad).[xvi] Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religions, sangat sarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama.

Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi’ah moderat, adalah merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan “Islam tradisional” –suatu prestasi yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergengsi bersama-sama dalam deretan nama-nama besar seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimmel.

Nasr mencoba menuangkan tesisnya tentang pluralisme agama dalam kemasan sophia perennis atau perennial wisdom (al-Íikmat al-khÉlidah, atau “kebenaran abadi”), yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali “kesatuan metafisikal” (metaphysical unity) yang tersembunyi dibalik ajaran-ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam a.s. sampai masa kini. Dengan demikian, menurut Nasr, memeluk atau meyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi.[xvii] Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada sombol-simbol dan kulit luar saja, sedangkan inti dari agama tetap satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya, suatu hal yang membuat kita bertanya-tanya apakah tesis Nasr ini mempunyai justifikasi yang solid dalam tradisi pemikiran Islam yang diklaimnya sebagai basis dari bangunan pemikirannya.

Akhirnya, sampai batas tertentu bisa disimpulkan, bahwa munculnya wacana pluralisme agama modern dengan berbagai tren dan bentuknya, menggambarkan sebuah fakta secara telanjang, yaitu betapa dominan dan hegemoniknya Barat baik dari segi politik, ekonomi, peradaban maupun kultur. Sebuah fakta yang untuk menjamin eksistensi dan kelestariannya, meniscayakan adanya semacam “legitimasi relijius”, atau apa yang disebut Peter L. Berger sebagai “sacred canopy”, yang sejalan dengan logika kemanusiaan modern yang berlandaskan pada asas toleransi dan kebebasan, atau lebih tepatnya, liberalisme. Obsesi Barat ini sangat kentara sekali dan sulit untuk ditutup-tutupi, sebagaimana nampak dari upaya-upaya serius yang dilakukannya untuk mensosialisasikan gagasan ini, bahkan dengan tekanan-tekanan baik politik, ekonomi maupun militer terhadap negara-negara lain yang enggan menerapkan gagasan pluralisme ini, di bawah sebuah jargon baru “New World Order” yang dicanangkan Amerika Serikat pada awal sembilan puluhan dari abad yang lalu.

 

b.      Agama dan Klaim Kebenaran

Jika dicermati secara seksama, semua agama, tanpa kecuali (baik yang mati maupun yang hidup, yang kuna maupun yang modern, yang teistik maupun non-teistik), lahir dan hadir lengkap dengan “klaim kebenaran” (truth-claim)nya, baik secara explisit ataupun implisit. Masalah apakah klaim-klaim kebenaran ini valid atau tidak, rasional atau irrasional, that’s another issue. Dengan kata lain, tidak ada agama yang tidak membuat klaim kebenaran. Hanya saja diantara agama-agama memang terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam memandang klaim kebenaran ini. Setidaknya perbedaan ini dapat diklasifikasikan dalam tiga macam; pertama eksklusivisme, kedua inklusivisme, dan ketiga pluralisme.[xviii]

 

1.          Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak memberikan alternatif lain apapun. Ia tidak memberikan konsesi sedikitpun dan tidak mengenal kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih.

Klaim kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia terrepresentasikan secara demonstratif oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen dan Islam, yang mana masing-masing saling mengklaim diri yang paling benar. Dan klaim eksklusivitas dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep juridis tentang “keselamatan” (juridical concept of salvation), dimana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai satu-satunya “ruang” soteriologis (soteriological space) yang hanya di dalamnya, atau “jalan” soteriologis (soteriological way) yang hanya melaluinya, manusia dapat mendapatkan keselamatan (salvation)/kebebasan (liberation)/pencerahan (enlightenment) – suatu hal yang semakin menambah mantap dan kuatnya klaim kebenaran absolut dan eksklusif tersebut. Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja; Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla salus”-nya dan Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan (original sin); sementara Islam dengan statemen Allah s.w.t. dalam al-Qur’an: “inna al-dÊna Ñinda allÉhi al-islÉm[xix] meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (berislam) kepada Allah s.wt. sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan (wa man yabtaghi ghaira al-islÉmi dÊnan fa lan yuqbala minhu wa huwa fÊ al-Ékhirati min al-khÉsirÊn).[xx]

 

2.          Inklusivisme merupakan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu fihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar (the truth) secara absolut, tapi, di fihak lain, ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan transformasinya untuk mencakup seluruh pengikut agama lain, bukan karena agama mereka benar, tapi justru karena “limpahan berkah dan rahmat” dari kebenaran absolut yang ia miliki. Inklusivisme ini mendapatkan ekspresinya yang begitu artikulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para teolog semisal Karl Rahner dengan teori “anonymous Christian” (Kristen anonim)-nya,[xxi] yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa,[xxii] dan Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown Christ of Hinduism’.[xxiii]

Sejauh yang bisa dilacak, teologi inklusif ini secara artikulatif hanya muncul di lingkungan Kristen dan dalam waktu yang relatif belakangan, sebagai respons, di satu fihak, terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada pertengahan kedua dari abad ke-20 yang lalu, dan di lain fihak, terhadap klaim eksklusif yang menurut mereka sudah ketinggalan zaman. Dengan kata lain inklusivisme ingin mengambil sikap tengah-tengah, antara eksklusivisme dan pluralisme. Ia ingin tetap memelihara dan mempertahankan doktrin utama Kristen tentang Penebusan Dosa (Atonement) yang dilakukan Yesus Kristus namun dengan interpretasi baru yang lebih segar dan seirama dengan nilai-nilai humanisme modern. Yakni, selama atonement tersebut adalah dimaksudkan untuk menebus seluruh dosa warisan anak Adam, maka dengan demikian semua umat manusia sekarang setatusnya terbuka untuk rahmat (ampunan) Tuhan, meskipun mereka mungkin tak pernah mendengar tentang Yesus dan kenapa ia mati di tiang salib, dan meskipun mereka pengikut resmi agama-agama yang lain. Teologi inilah yang kemudian diadopsi secara resmi oleh Vatikan dan dideklarasikan dalam Konsili Vatikan II tahun 1962-1965.[xxiv]

Tapi klaim kebenaran model ini, tak lepas dari permasalah logis, atau bisa dikatakan mengidap logical inconsistency, sehingga pertanyaan yang segera muncul adalah jika keselamatan dapat dicapai tanpa adanya koneksi apapun dengan gereja, Injil, dan doktrin-doktrin Kristen, lantas apa artinya bersikeras memberikan label Kristen kepada mereka? Lebih dari itu, kenapa berbagai macam cara dan praktik Kristenisasi masih saja terus dilakukan untuk mengkristenkan seluruh manusia di dunia? Sekali dinyatakan bahwa keselamatan tidak bergantung pada keimanan Kristen, maka kegiatan pengkonversian adalah tindakan yang sia-sia dan buang-buang energi. Ataukah inklusivisme hanyalah slogan kosong dan dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu?

Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Paling tidak dalam konteks Islam Indonesia pada awal tahun sembilan puluhan dari abad yang lalu, beberapa intelektual muslim kita mulai gemar mengusung jargon “Islam inklusif” dalam berbagai kesempatan. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata lebih dekat, kalau tidak malah serupa, dengan model pluralisme yang akan dibentangkan berikut ini.

 

3.          Pluralisme. Wacana ini, sebagaimana telah jelas dari kesimpulan terdahulu, muncul dan berkembang dalam konfigurasi dan setting sosial-politik tertentu, yakni humanisme sekular Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal yang mana salah satu konstituen dan struktur pembentuk utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sementara sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion).[xxv] Sebagai konsekwensi logisnya, dapat dipastikan bahwa setiap negara atau pemerintahan yang mentaqlidi model tatanan sosio-politis seperti ini, cepat atau lambat akan melahirkan pluralisme agama atau civil religion, meskipun mungkin dengan wujud formal (bukan hakikat dan esensi!) yang berbeda dan bervariasi sesuai dengan corak muatan lokal (local content)-nya.[xxvi]

Sebagaimana yang diidealkan oleh para advokat dan penganjurnya, pluralisme ini ingin ditampilkan sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran, cerdas, mencerahkan, demokratis dan promising. Hal ini dapat dilihat dari definisi yang diberikan John Hick, seorang tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, dalam bukunya Problems of Religious Pluralism:

Stated philosophically… pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness is manifestly taking place – and taking place, so far as human observation can tell, to much the same extent.”[xxvii]

Dengan kata lain, klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soteriological spaces) yang di dalamnya, atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang melaluinya, manusia bisa mendapatkan keselamatan/kebebasan/pencerahan.[xxviii] Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respons otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakikat ketuhanan (the Real) yang sama dan transenden,[xxix] yang oleh karenanya semuanya adalah manifestasi-manifestasi otentik dari the Real.[xxx]

Namun jika dicermati secara seksama, obyektif dan kritis, klaim pluralisme ini pada hakikatnya tidak lebih baik, kalau tidak lebih buruk, dari klaim-klaim sebelumnya. Ia bisa didefinisikan sebagai klaim “kebenaran relatif” yang absolut. Absolutisme di sini dalam arti, klaim ini tidak saja ingin merelatifkan klaim-klaim kebenaran agama yang ada – sehingga semua agama secara relatif sama, tapi juga sebetulnya ingin mengungguli atau mengatasi klaim-klaim tersebut – sehingga hanya klaim pluralisme saja yang mutlak benar.[xxxi] Sebab, pertama, secara teoretis epistemologis dengan merelatifkan klaim-klaim kebenaran yang ada tersebut berarti secara implisit (dan ini jarang disadari oleh kaum pluralis) klaim pluralisme telah menafikan, atau paling tidak mendegradasikan, kebenaran hakiki klaim-klaim tersebut. Kedua, dalam tataran praktis empiris klaim pluralisme ibaratnya telah bertindak sebagai wasit dalam sebuah gelanggang permainan bola yang mengontrol dan mengarahkan para pemain, serta menjaga ketertiban jalannya permainan, termasuk mengeluarkan kartu kuning atau merah kepada pemain yang melanggar rule of the game.

Oleh karena itu, klaim pluralisme ini sangat “problematik” dan membawa implikasi-implikasi yang luar biasa berbahaya bagi manusia dan kehidupan relijius dan spiritualnya. Sebagian implikasi dari klaim ini erat menyangkut isu-isu yang bersifat teoretis, epistemologis dan metodologis, dan sebagian lagi erat menyangkut isu-isu yang bersifat ideologis dan teologis, dan sebagian yang lain lagi erat berhubungan dengan isu yang lebih praktis, yaitu HAM (hak-hak asasi manusia) – khususnya kebebasan beragama (religious freedom). Kenyataan ini pada akhirnya telah mengantarkan gagasan pluralisme agama pada sebuah posisi yang sangat sulit untuk bisa menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan penganjurnya, atau malah sejatinya lebih merupakan problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?

Secara ringkas,[xxxii] ummu al-masÉ’il atau problem utama yang merupakan akar dan asal semua masalah adalah bahwa istilah “pluralisme agama” selama ini telah difahami dan didesain dalam bingkai sekular, liberal, dan logical positivism Barat yang menampik hal-hal yang berbau metafisis dengan alasan tidak mungkin dibuktikannya secara empiris. Maka “agama” kemudian dianggap sebagai “human response” (respon manusia), atau apa yang lazim dikenal dewasa ini di kalangan para ahli perbandingan agama (religionswissenschaft), filsafat agama, sosiologi, anthropologi, dan psikologi, sebagai “religious experience” (pengalaman keagamaan),[xxxiii] dengan menafikan mentah-mentah kemungkinan datangnya agama dari Tuhan atau Zat yang Maha Agung. Hakikat ini terlihat secara gamblang dalam empat karakteristik yang disampaikan Joachim Wach untuk mendefinisikan konsep religious experience yang menurutnya adalah “agama” itu sendiri.[xxxiv] Fakta ini pun yang ditegaskan oleh Proudfoot dalam sebuah bukunya Religious Experience ketika berkata:

The turn to religious experience was motivated in large measure by an interest in freeing religious doctrine and practice from dependence on metaphysical beliefs and ecclesiastical institutions and grounding it in human experience.[xxxv]

Maka, dengan demikian, tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian pemahaman ini, di satu fihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru mengantarkan para penggagas dan penganjur paham ini, khususnya yang beragama Kristen, pada posisi yang amat dilemmatis ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan pagan yang kanibalistik?.

Dan di fihak lain, klaim ini telah melakukan pereduksian yang demikian dahsyat sehingga mengkerangkeng agama hanya boleh beroperasi di wilayah spiritual manusia yang sangat sempit dan private – hubungan manusia dengan tuhannya atau the ultimate. Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera menyusul adalah apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia baik dalam kehidupan individual maupun sosialnya atau tidak? Pertanyaan yang tentu saja tak mungkin bisa dijawab mereka kecuali mengiyakan atau mengukuhkannya.

Sebab kajian-kajian modern yang dilakukan oleh para ahli dari berbagai disiplin justru cenderung menguatkan adanya pengaruh tersebut. Filusuf modern George Santayana, misalnya, mengatakan dalam sebuah bukunya Reason in Religion, “True religion is entirely human and political, as was that of the ancient Hebrews, Romans, and Greeks.”[xxxvi] Prof. Joachim Wach, seorang ahli ilmu perbandingan agama kontemporer, juga berkesimpulan bahwa manusia kapan saja dan di mana saja selalu merasa perlu untuk mengekspresikan pengalaman keagamannya dalam tiga cara: pertama secara konseptual atau intelektual; kedua secara praktis; dan ketiga secara sosiologis. Lebih lanjut, fenomena ini menurutnya adalah universal.[xxxvii] Begitu juga, Prof. Ninian Smart yang ahli ilmu perbandingan agama juga,[xxxviii] dan anthropolog Clifford Geertz,[xxxix] menegaskan akan komprehensivitas agama yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia.

Fakta-fakta ini tidak saja menguatkan komprehensivitas, inklusivitas dan “totalitas” agama, tapi juga memperluas cakupan maknanya sehingga tidak hanya terbatas pada apa yang dikenal dengan institutionalized religions, melainkan juga mencakup seluruh falsafah hidup (weltanschauung atau worldview) yang dikenal manusia, seperti ideologi-ideologi sekular modern. Hal ini secara otomatis semakin menegaskan  bahwa konsep dikotomisasi realitas: agama-negara, sakral-profan, individu-publik menjadi tak tepat dan akurat, atau bahkan misleading. Di Barat sendiri, sekarang ini mulai ada kajian-kajian ilmiah yang mengkritisi akurasi konsep atau teori ini seraya menyatakan bahwa “dikotomisasi” ini tidak mungkin bisa dipertahankan di depan bukti-bukti dan fakta-fakta obyektif dari perkembangan sosio-politis kontemporer.[xl]

Di sisi lain, terminologi “pluralisme” di Barat dewasa ini, artinya telah mengalami perkembangan, atau tepatnya: perubahan, yang sangat fundamental sehingga hampir sama persis, atau sama dan sebangun dengan “demokrasi”, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan (equality) dan koeksistensi. Namun, konsep Barat modern yang secara teoretis sangat aggun dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjukkan perilaku sebaliknya, yakni intoleran, menyatroni dan memberangus karakter dan HAM orang/kelompok lain. Sebab realitasnya, kata Prof Muhammad Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur dan referensi keagamaan dan intelektual mereka masing-masing.”[xli] Dengan kata lain, Barat tidak ingin “to let the others to be really other” (membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri).

Melihat kenyataan timpang seperti ini, beberapa intelektual Barat akhir-akhir ini mulai menyadari kembali bahwa konsep “pluralisme” seharusnya tidak boleh hanya tunduk pada interpretasi tunggal (baca: Barat). John O. Voll, misalnya, dalam meresensi sebuah buku yang berjudul Pluralism and Religions: The Theological and Political Dimensions, menyatakan bahwa “terdapat kesadaran yang semakin meningkat bahwa konsep ‘pluralisme’, yang merupakan fokus wacana-wacana masa kini, adalah tunduk pada pemahaman yang beragam.”[xlii] John D’Arcy May, editor buku tersebut, dalam mengawali tulisannya melontarkan pertanyaan-pertanyan seputar perlunya keragaman dalam membaca dan memaknai konsep ini seraya berkata:

It is beginning to dawn on Western theologians that there may be alternative models of pluralism with roots in other cultures and religions. Must we reckon not only with varieties of religions but also with those of pluralism? …Must we now get used to asking ‘whose pluralism’ as well as ‘which religion?’[xliii]

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sudah sepantasnya akan muncul secara otomatis dengan hanya melihat arti terminologis (bukan teknis) “pluralisme”. Sebab pada dasarnya, menurut Prof. ÑImÉrah, pluralisme adalah “tanawwuÑun mu’assasun ÑalÉ tamayyuzin wa khuÎËÎiyyah” (keragaman yang didasarkan atas karakteristik dan kekhususan).[xliv] Oleh karena itu, salah seorang peneliti mengatakan bahwa suatu masyarakat tidak cukup dikatakan “masyarakat pluralistik” hanya karena terdiri dari satuan-satuan atau kelompok-kelompok yang beragam, melainkan:

Pluralistic society is one in which: (i) there co-exist more than one religion, philosophy or weltanschauung, which are in a relationship of conflict (in Galtung’s sense), (ii) there is some degree of recognition by all the parties concerned that a fundamental incompatibility between them exists, and (iii) there is nevertheless some degree of awareness that this co-existence of incompatibilities is of positive value, both to the community as a whole, and to each of the included organisms in themselves.[xlv]

Pendapat-peandapat dan fakta-fakta di atas semakin meneguhkan kembali bahwa “pluralisme agama” dengan konsep yang dikembangkan oleh kaum pluralis, bahwa semua agama sama saja, tak mungkin bisa dipertahankan (untenable) lagi, dan tak mungkin bisa dipraktekkan dalam kehidupan nyata sebuah masyarakat secara sempurna dengan tanpa memberangus HAM kelompok-kelompok yang tergabung di dalamnya.

Berdasarkan analisis kritis di atas dapat disimpulkan bahwa klaim kebenaran pluralis tidak saja secara logis inkonsisten, tapi juga reduksionistik, dan secara praktis inapplicable, yang jika dipaksakan maka akan membawa malapetaka kemanusiaan yang sangat dahsyat.


[i] Pluralisme dalam terminologi sosiologis lebih merupakan permasalahan politik dari pada sebagai permasalahan agama. Lihat Coker, Francis W., ‘Pluralism’, dalam Edwin R. A. Seligman (ed.), Encyclopedia of the Social Sciences, (New York: The Macmillan Company, [1933] 14th printing, 1969), Vol. XII, h. 170-4; dan Henry S. Kariel, ‘Pluralism’, dalam David L. Sills (ed.), International Encyclopedia of Social Sciences (New York: The Macmillan Company & The Free Press, [1968] reprinted 1972), Vol. 12, h. 164-9

[ii] Muhammad Legenhausen, seorang pemikir keislaman, juga berpendapat bahwa munculnya faham “liberalisme politik” di Eropa pada abad ke-18, sebagian besarnya didorong oleh kondisi masyarakat yang carut-marut akibat memuncaknya sikap-sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sektarian yang pada akhirnya menyeret kepada pertumpahan darah antar ras, sekte dan mazhab pada masa reformasi keagamaan. (Muhammad Legenhausen, ‘Islam and Religious Pluralism,’ in Al-Tawhid, Vol. 14, No. 3, Fall 1997, h. 115.)

[iii] Teks doktrin yang mengatur hubungan antara Gereja dan agama-agama lain ini dapat dilihat: ‘Vatican II: Declaration on the Relation of the Church to non-Christian Religions’, dalam John Hick and Brian Hebblethwaite (eds.), Christianity and Other Religions (Glasgow: Fount Paperbacks, 1980), h. 80-6.

[iv] Muhammad Legenhausen, op. cit., h. 116.

[v] Makalah ‘The Place of Christianity among the World Religions’ diterbitkan bersama dengan makalah-makalah lain dalam sebuah buku yang diedit oleh John Hick dan Brian Hebblethwaite, Christianity and Other Religions. Lihat Hick, John, and Hebblethwaite, Brian, (eds.), Christianity and Other Religions (Glasgow: Fount Paperbacks, 1980), h. 11-31.

[vi] Ibid. h. 18.

[vii] Ibid. h. 31.

[viii] Lihat: Geoffrey Parrinder, Comparative Religion (London: Sheldon Press, [1962] 2nd ed. 1977), h. 50.

[ix] Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy: The Thought of John Hick and Seyyed Hossein Nasr (Surrey: Curzon Press, 1998), h. xii

[x] Lahir di Toronto tahun 1919, pernah melakukan muhibah ke negari-negeri Islam, seperti Mesir dan Lahore.

[xi] John Hick lahir di Yorkshire tahun 1922, pernah melakukan muhibah ke negari-negeri Islam, seperti Mesir.

[xii] Nampaknya John Hick merupakan satu-satunya teolog modern yang memberikan perhatian terhadap masalah pluralisme agama sedemikian mendalam. Ia telah menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang masalah pluralisme agama ini ke dalam karya-karyanya yang mencapai lebih dari 30 buah karangan, baik berupa buku atau makalah yang kesemuanya mengupas masalah ini secara teliti.

[xiii] Karya terakhir John Hick yang sempat saya ketahui adalah The Fifth Dimension: An Exploration of the Spiritual Realm (Oxford: Oneworld, 1999).

[xiv] Meskpun gagasan pluralisme agama ini lebih tampak sebagai fenomena yang dominan dalam masyarakat Kristen, namun pada dasarnya pemikiran ini juga banyak ditemukan dalam faham-faham humanisme sekular, gerakan Hindu “Brahma Samaj”, komunitas Teosofis (Theosophical Society), dan pemikiran “kebenaran abadi” (perennial wisdom atau sophia perennis atau al-Íikmah al-khÉlidah). Untuk detailnya, lihat disertasi Ph.D penulis: Thoha, Anis Malik, IttijÉhÉt al-taÑaddudiyyah al-dÊniyyah wa al-mawqif al-IslÉmÊ minhÉ (Islamabad, 2001).

[xv] Rene Guenon di Blois, Perancis tahun 1883. Mulai mempalajari agama-agama Timur, khususnya Hindu dan Islam di Perancis pada umur delapan belas tahun. Masuk Islam paa tahun 1912 dan menggunakan nama Islam : Abdul Wahid Yahya. Pada tahun 1930 Rene mengunjungi Masir selama tiga bulan, dan meninggal dunia di sana pada tahun 1951. karya-karyanya banyak dalam bahasa Perancis dan sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, di antaranya : The Symbolism of the Cross, The Crisis of the Modern World dan The Multiple States of Being.

[xvi] Schuon lahir di Basle, Jerman 1907, belajar bahasa Arab di Perancis. Dari kunjungan-kunjungannya ke Afrika Utara dan ke Timur dan India dan Amerika. Schoun berhasil bertemu dengan tokoh-tokoh agama dunia dari kalangan sufi Islam , Hindu dan Budha dan berhasil menjalin hubungan yang baik dengan berbagai kalangan agama yang berbeda-beda. Karya-karyanya antar lain: The Transcendent Unity of Religions; Esoterism as Principle and as Way; Sufism: Veil and Quintessence dan Understanding Islam.

[xvii] Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam (Lahore: Suhail Academy, 1994), h. 16.

[xviii] Penulis di sini mengikuti pola klasifikasi yang dikembangkan John Hick dalam bukunya Problems of Religious Pluralism (Houndmills, Basingstoke: The Macmillan Press, 1985), hal. 31-37. John Hick di sini hanya memfokuskan analisis pada tradisi yang berkembang dalam agama Kristen yang ia peluk. Tapi kemudian penulis mencoba mengembangkan (atau menyederhanakan) pola tersebut dengan data-data yang relevan sehingga mencakup agama-agama yang lain, khususnya agama-agama semitik.

[xix] Óli ÑImrÉn: 19.

[xx] Óli ÑImrÉn: 85.

[xxi] Lihat Hick, John, op. cit., hal. 33; juga Wiles, Maurice, ‘The Meaning of Christ,’ dalam Sharma, Arvind, (ed.), God, Truth and Reality: Essays in Honour of John Hick (Basingstoke, London: The Macmillan Press, 1993), hal. 229.

[xxii] D’Costa, Gavin, ‘John Hick and Religious Pluralism: Yet Another Revolution,’ dalam Hewitt, Harold, Jr. (Ed.), Problems in the Philosophy of Religion: Critical Studies of the Work of John Hick (London: Macmillan Press Ltd, 1991), hal. 15; juga makalahnya: ‘Karl Rahner’s Anonymous Christian – A Reappraisal,’ dalam Modern Theology, 1:2 (January 1985), hal. 139.

[xxiii] Panikkar, Raimundo, The Unknown Christ of Hinduism (London: Darton, Longman and Todd, [1964] rev. ed. 1981).

[xxiv] Teks deklarasi Konsili Vatikan II dapat dibaca: ‘Vatican II: Declaration on the Relation of the Church to non-Christian Religions’, dalam John Hick and Brian Hebblethwaite (eds.), Christianity and Other Religions (Glasgow: Fount Paperbacks, 1980), hal. 80-6.

[xxv] Robert N. Bellah, seorang sosiolog Amerika modern, mengidentifikasi model pengalaman keagamaan modern ini dalam sebuah artikelnya yang berjudul ‘Civil Religion in America’, berdasarkan penelitian yang ia lakukan terhadap pengalaman kehidupan bangsa Amerika modern. Artikel ini dipublikasikan dalam jurnal Daedalus, Vol. 96, No. 1 (Winter 1967), kemudian diterbitkan ulang, bersama dengan artikel-artikelnya yang lain, dalam Robert N. Bellah Bellah, Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World (Berkeley, Los Ageles, Oxford: University of California Press, 1970), hal. 168-189.

[xxvi] Agama sipil yang lahir dan berkembang di Amerika Serikat hanyalah satu contoh soal. Agama model ini dapat lahir di belahan dunia mana pun yang mentaqlidi Amerika Serikat serta mengimani sistem demokrasi, seperti Indonesia. Dengan demikian, agama sipil bisa mewujud dalam bentuk yang bervariasi, seperti yang diteorikan Bellah dan Hammond [Bellah, Robert N., and Hammond, Phillip E., Varieties of Civil Religion (San Fransisco: 1980)], tapi hakikat dan esensinya tetap sama, khususnya dalam menuhankan kehidupan politik kebangsaan dan menganggapnya di atas segala-galanya.

[xxvii] Hick, John, op. Cit., hal. 36. Definisi yang kurang lebih sama juga dapat dilihat dalam karya Hick yang lain, seperti berikut:

…the term refers to a particular theory of the relation between these traditions, with their different and competing claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to, the one ultimate, mysterious divine reality. [Hick, John, ‘Religious Pluralism,’ in Eliade, Mircea (ed.), The Encyclopedia of Religion (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), Vol. 12, p. 331].

[xxviii] Hick, John, Problems, hal. 36-37.

[xxix] Lihat: ——, The Fifth Dimension, hal. 10, 77-79.

[xxx] ——-, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (London: Macmillan, [1989] reprinted 1991), hal. 247.

[xxxi] Pernyataan Bellah dan Hammond menguatkan hal ini, lebih jauh mereka berkata: “American civil religion with its tradition of openness, tolerance, and ethical commitment might make a contribution to a world civil religion that would transcend and include it.” [Bellah, Robert N., and Hammond, Phillip E., op. cit., hal. xiv].

[xxxii] Untuk lebih detailnya, silakan lihat dissertasi Ph.D penulis, op. cit., hal. 119-188.

[xxxiii] Menganggap agama sebagai religious experience adalah hal yang jamak di Barat. Istilah ini banyak dipakai dalam tulisan-tulisan dan karya-karya para ahli dari berbagai disiplin ilmu semenjak permulaan abad ke-20, dan juga digunakan sebagai judul buku-buku mereka, sebagai contoh: James, William, The Varieties of Religious Experience: A Study of Human Nature (Harmondsworth: Penguin Books, [1961] 1982); Wach, Joachim, Types of Religious Experience: Christian and Non-Christian (Chicago: The University of Chicago Press, [1951] Third Impression 1965); Hook, Sidney (ed.), Religious Experience and Truth: A Symposium (New York: New York University Press, 1961); Smart, Ninian, Religious Experience of Mankind (New York: Charles Scribner’s Sons, [1969] Twelfth Impression 1982); Proudfoot, Wayne,  Religious Experience (Berkley, Los Angeles and London: University of California Press, 1985).

[xxxiv] Lihat: Wach, Joachim, op. cit., pp. 32-3, 35.

[xxxv] Proudfoot, Wayne, op. cit., p. xiii

[xxxvi] Santayana, George, Reason in Religion (New York: Collier Books, 1962), p. 188.

[xxxvii] Wach, Joachim, op. cit., p. 34.

[xxxviii] Lihat  secara detail: Smart, Ninian, Dimensions of the Sacred: An Anatomy of the World’s Beliefs (London: HarperCollins Publishers, 1996). Bahkan pembacaan agama melalui dimensi-dimensinya yang fenomenal ini bagi Smart telah menjadi pendekatannya yang tipikal dalam mengkaji agama-agama. Fakta ini bisa dilihat dalam karya-karya Smart yang lain, seperti: The Religiuos Experience of Mankind (New Jersey: Prentice-Hall, 1996); dan buku yang dia edit bersama Richard D. Hecht, Sacred Texts of the World: A Universal Anthology (Macmillan Publishers Ltd., 1982).

[xxxix]  Hal ini bisa dilihat dari definisi Geertz tentang agama. Lebih lanjut ia mengatakan:

. . . (A) religion is: (1) a system of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions of general order of existence and (4) clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem uniquely realistic. [Geertz, Clifford, ‘Religion as a Cultural System,’ in Lessa, William A., and Vogt, Evon Z. (eds.), Reader in Comparative Religion: An Anthropological Approach (New York, Philadelphia, San Fransisco, London: Harper & Row Publishers, Fourth Edition 1979), pp. 79-80; and in Hicks, David (ed.), Ritual & Belief: Readings in the Anthropology of Religion (Boston, Bangkok, London, New Delhi, Singapore, Toronto: McGraw-Hill College, 1999), p. 13.]

[xl]  Lihat misalnya: Crapsey, Algernon Sidney, Religion and Politics (New York: Thomas Whittaker, 1905), passim; and Cochran, Clarke E., Religion in Public and Private Life (New York and London: Routledge, 1990), passim.

[xli] ÑImÉrah, Dr. Muhammad, ‘Al-TaÑaddudiyyah … al-Ru´yah al-´IslÉmiyyah wa al-TaÍaddiyyÉt al-Gharbiyyah,’ dalam Majallah al-JÉmiÑatu al-´IslÉmiyyah, London, Vol. 2, Th. I (Shawwal-Dzul-×ijjah 1414H.), hal. 67.

[xlii] Lihat resensi John O. Voll dalam jurnal Islam and Christian-Muslim Relations, Vol. 10, No. 2, July 1999, pp. 237-9.

[xliii] May, John D’Arcy (ed.), Pluralism and Religions: The Theological and Political Dimensions (London: Cassell, 1998), p. 1.

[xliv] ÑImÉrah, Dr. Muhammad, op. cit., hal. 67.

[xlv] Nickles, A., ‘A Religion in A Pluralist Society,’ in Pobee, J. S. (ed.), Religion in A Pluralistic Society (Leiden: E. J. Brill, 1976), p. 157.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *