Mungkin bagi kalangan non-Muslim (dan sebagian kalangan Muslim yang membebek dan mengikuti jejak mereka tanpa kritis), prinsip-prinsip dasar Islam tersebut masih menyisakan keraguan dan keambiguan yang merangsang mereka untuk mempertanyakan atau bahkan menyanggahnya. Namun satu hal yang perlu mereka ketahui, bahwa Islam tidak menyuguhkan prinsip-prinsip ini secara dogmatis eksklusif, seperti banyak terjadi pada agama-agama lain. Tapi, meminjam istilah Al-FÉrËqÊ, Islam menyuguhkannya secara rasional dan kritis. Lebih lanjut ia menyatakan:
It comes to us armed with logical and coherent arguments; and expects our acquiescence on rational, and hence necessary, grounds. It is not legitimate for us to disagree on the relativist basis of personal taste, or that of subjective experience.[ii]
Oleh karena masalah hubungan antar agama ini secara teologis sudah tuntas dan final, maka inilah agaknya yang menjadi alasan kenapa perbincangan para ulama klasik kita mengenai masalah ini lebih banyak terdapat di dalam pembahasan-pembahasan fiqhiyyah daripada ilmu kalÉm atau teologi Islam. Sebab, menurut hemat penulis, masalah ini dalam pandangan para ulama adalah merupakan masalah koeksistensi praktis sosiologis antar anak manusia yang memeluk agama, keyakinan, atau tradisi yang berbeda; yakni masalah yang menyangkut bagaimana mengatur individu-individu dan komunitas-komunitas yang hidup dalam sebuah masyarakat yang sama, apa hak-hak dan kuwajiban-kuwajiban mereka, untuk menjamin kedamaian dan ketertiban umum. Jadi, masalah ini lebih banyak merupakan masalah aplikatif, praktis, administratif, daripada masalah ÊmÉniyyah teologis yang mana wahyu telah menuntaskannya secara final dan menyerahkannya kepada kebebasan individu untuk menentukannya sesuai dengan keyakinan masing-masing, “lÉ ikrÉha fÊ al-dÊn, qad tabayyana al-rushdu min al-ghayyi”.[iii]
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial — dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine. Perbedaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam menentukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis – oleh karenanya lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologis.
Sebagaimana yang ditegaskan di atas, Islam memandang perbedaan dan keragaman agama ini sebagai suatu hakikat ontologis (ÍaqÊqah wujËdiyyah/kawniyyah) dan sunnatullÉh, dan oleh karenanya genuine. Termasuk di dalamnya adalah truth-claim (klaim kebenaran) yang absolut dan eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur, tak jelas, atau hilang sama sekali. Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi, distorsi dan manipulasi. Apapun kondisinya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak boleh disimplifikasikan, atau direlatifkan, apalagi dinafikan atau dinegasikan. Sebab dalam pandangan Islam, keimanan secara khusus dan agama secara umum adalah masalah “kepuasan” (iqtinÉÑ) – oleh karenanya tidak boleh ada pemaksaan dalam beragama “lÉ ikrÉha fÊ al-dÊn”, dan “keikhlasan” (ikhlÉs) – oleh karena itu dalam al-QurÉn surat yang menegaskan keimanan Islam tentang Tuhannya (Allah s.w.t.) dinamakan Al-IkhlÉs. Tapi harus segera disusulkan di sini, bahwa kepuasan dan keikhlasan dimaksud tadi sama sekali bukanlah kepuasan dan keikhlasan emosional, uncritical, yang timbul dari hawÉ, melainkan yang rasional dan critical, karena Islam adalah agama rasional par excellence. Dalam hal iqnÉÑ (to convince) dan iqtinÉÑ (to be convinced) ini, Islam menjunjung tinggi dan mengedepankan sebuah prinsip, yang dalam istilah Al-FÉrËqÊ, let the best argument win (biarkan argumen terbaik yang menang).[iv]
Prinsip rasionalitas ini terlihat secara demonstratif dalam al-Qur’Én ketika merespons atau memberikan solusi terhadap klaim-klaim kebenaran yang dibuat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Simak misalnya ayat-ayat al-Qur’Én berikut:
{وقالوا لن يدخل الجنة إلا من كان هودا أو نصارى. تلك أمانيهم. قل هاتوا برهانكم إن كنتم صادقين. بلى من أسلم وجهه لله وهو محسن فله أجره عند ربه ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون}. [v]
{وقالوا كونوا هودا أو نصارى تهتدوا. قل بل ملة إبراهيم حنيفا وما كان من المشركين}. [vi]
{وقالت اليهود والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه. قل فلم يعذبكم بذنوبكم}. [vii]
Dalam kelompok ayat yang pertama, Allah s.w.t. memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w. untuk merespons, pertama dengan meminta mereka untuk menghadirkan “bukti” kebenaran klaim keselamatan mereka “qul hÉtË burhÉnakum in kuntum ÎÉdiqÊn”, dan tidak hanya sekadar “angan-angan kosong” (amÉnÊ), dan kedua dengan membuat counter klaim yang lebih netral “balÉ man aslama wajhahu lillÉh”, dan tidak atas dasar agama tertentu (dalam hal ini Yahudi atau Nasrani). Kemudian dalam ayat yang kedua, Allah s.w.t. memerintahkan Rasulullah s.a.w. untuk merespons dengan mengajak kembali orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk kembali kepada relijiusitas yang netral, yakni ×anÊfiyyah (millah Ibrahim yang diakui bersama sebagai Bapak ketiga agama semitik), yang dalam ayat yang lain disebut kalimah sawÉ’.[viii] Begitu juga dalam ayat yang ketiga, dimana Rasulullah s.a.w. diperintahkan untuk merespons klaim tersebut dengan dasar yang rasional.
Demikian juga Islam mengedepankan prinsip rasionalitas dalam merespons klaim-klaim antar orang-orang Yahudi, Nasrani dan agama-agama lain, bahwasanya klaim-klaim mereka itu tak berdasar pada ilmu (yang adalah rasionalitas) “kaÐÉlika qÉla al-laÐÊna lÉ yaÑlamËna mithla qaulihim” seperti dalam ayat berikut:
{وقالت اليهود ليست النصارى على شيء وقالت النصارى ليست اليهود على شيء، وهم يتلون الكتاب. كذلك قال الذين لا يعلمون مثل قولهم. فالله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه يختلفون}. [ix]
Namun perlu segera ditegaskan bahwa ayat-ayat di atas tidak bermaksud bahwa Islam mereduksi klaim-klaim kebenaran agama tersebut sebagai tidak serius dan tidak riil, atau remeh-temeh. Buktinya, ketika mereka masih tetap bersikeras dengan apa yang mereka yakini benar, Islam mengapresisasi eksistensi mereka, dan membiarkan mereka hidup sesuai dengan keyakinan mereka yang absolut dan eksklusif.[x] Di sinilah toleransi yang sebenarnya, yaitu menghargai hak orang/kelompok lain untuk berbeda.
Lebih dari itu semua, secara teoretis respons Islam terhadap klaim-klaim kebenaran agama bisa dijelaskan dalam dua level:
Pertama, yang berkenaan dengan Yudaisme dan Kristen. Islam memberi status yang spesial kepada kedua agama ini. Pengikut mereka secara kategoris disebut “Ahli Kitab”. Iman kepada nabi-nabi dan kitab-kitab suci mereka (yang asli) merupakan bagian integral dari rukun iman dalam Islam, sehingga mengingkari atau mengkufuri mereka, atau sekadar membeda-bedakan mereka, mengantarkan seseorang kepada status sebagai non-Muslim. Allah s.w.t. mendeskripsikan Rasulullah s.a.w. dan pengikutnya sebagai “mengimani apa-apa yang telah diwahyukan dari Allah”; sebagai “mengimani Allah, para malaikat-Nya, kita-kitabNya, dan para rasul-Nya”; sebagai “tidak membeda-bedakan antara para rasul Allah.”[xi]
Didasarkan pada fondasi keimanan ini, Islam dengan bangga mengidentifikasikan-diri sebagai satu famili dengan mereka, yaitu “Famili Ibrahimi”; dan juga sebagai satu tradisi dengan mereka, yaitu “Tradisi Semitik” yang juga disebut dengan “×anÊfiyyah” atau “Hanifisme”. Di sini, terutama dalam konsep “Hanifisme”, tampak inklusivisme Islam yang sangat jelas, tapi, Al-FÉrËqÊ mengingatkan, hendaknya jangan disamakan dengan konsep “anonymous Christian”-nya Karl Rahner. “Hanif” adalah kategori Qur’ani, bukan bikinan seorang teolog modern yang merasa dipermalukan dengan klaim eksklusif kasih sayang Tuhan. Akan tetapi konsep ini telah ada semenjak turunnya al-Quran itu sendiri.[xii] Di samping itu penghargaan dan respek yang diberikan Islam kepada kedua agama ini, bukanlah karena atas dasar sosio-politis dan kultural, atau belas kasihan (courtesy), tapi karena keimanan aqidati bahwasanya para nabi mereka diutus oleh Tuhan yang sama dengan wahyu dan kitab-kitab suci yang membawa pesan dan agama yang sama, yakni Islam.[xiii] Adapun jika mereka kemudian tetap bersikeras mengklaim yang selainnya, yaitu menolak self-identifikasi famili dan tradisi ini, menolak Nabi Muhammad s.a.w. beserta risalah dan para pengikutnya, dan mengklaim monopoli eksklusif terhadap kebenaran, keterpilihan, dan nabi-nabi terdahulu, maka:
(i) Al-Qur’Én dengan tegas menyatakan bahwa:
{ما كان إبراهيم يهوديا ولا نصرانيا ولكن كان حنيفا مسلما ومـا كان من المشركين} [xiv]
(Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang “Hanif” dan “Muslim” dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik); dan
{إن أولى الناس بإبراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي والذين آمنوا. والله ولي المؤمنين} [xv]
(Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini [Muhammad], serta orang-orang yang beriman [kepada Muhammad], dan Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman); dan
(ii) Al-Qur’Én mengingatkan mereka agar kembali kepada kalimah sawÉ’, yang adalah Hanifisme itu sendiri; yakni
{أن لا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولايتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله. فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون} [xvi]
(bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak [pula] sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim).
Kedua, yang berkenaan dengan agama-agama lain. Sebetulnya terhadap agama-agama yang lain pun Islam memberikan status yang “hampir sama” dengan yang diberikan kepada kedua agama di atas. Hanya saja status ini tidak dinyatakan dalam wording yang secara langsung (straight forward), tapi by implication. Hal ini dapat dicermati dari beberapa teks al-Qur’an dan hadith. Dalam al-Qur’Én, Allah berfirman:
{وإن من أمة إلا خلا فيها نذير} [xvii]
{ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت} [xviii]
{ثم أرسلنا رسلنا تترى} [xix]
{ولكل أمة رسول} [xx]
{ورسلا قد قصصناهم عليك من قبل ورسلا لم نقصصهم عليك…} [xxi]
{ولقد أرسلنا رسلا من قبلك، منهم من قصصنا عليك ومنهم من لم نقصص عليك} [xxii]
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa “fenomena kenabian” adalah universal; yakni terjadi di seluruh ruang dan waktu. Dengan demikian, by extention dapat dikatakan bahwa sesungguhnya seluruh ummat manusia adalah ummat yang satu (ummatun wÉÍidah)[xxiii]; satu dalam arti bahwa:
(i) setiap manusia – individu atau kelompok – pernah menjadi ummat salah satu nabi atau rasul Allah s.w.t. yang membawa risalah yang satu dan sama, Islam, sebagaimana yang ditegaskan salah satu ayat tersebut di atas;
(ii) masih erat berkaitan dengan poin sebelumnya, yaitu setiap manusia – individu atau kelompok – pernah menjadi obyek “komunikasi langit”, meminjam istilah Al-FÉrËqÊ (al-ittiÎÉlÉt al-samÉwiyyah),[xxiv] atau recipien (penerima) wahyu yang diturunkan Tuhan yang sama; dan
(iii) setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fiÏrah, sebagaimana dinyatakan dalam hadith Rasulullah s.a.w. (كل مولود يولد على الفطرة). Dan fiÏrah adalah “agama primordial” seluruh manusia berdasarkan perjanjian primordial (primordial covenant) yang mereka teken dengan Allah s.w.t. ketika masih dalam alam archetypal, yakni hanya menuhankan dan menyembah Allah s.w.t.,[xxv] yang adalah merupakan inti Hanifisme yang mana Islam, seperti disebutkan di atas, bangga mengidentifikasikan diri dengannya.[xxvi] Dengan demikian konsep Hanifisme tidak hanya mencakup Yudaisme dan Kristen, tapi lebih luas lagi sehingga meliputi seluruh ummat manusia tanpa kecuali, seperti yang ditegaskan dalam sebuah hadith qudsi:
(إني خلقت عبادي كلهم حنفاء).[xxvii]
Berangkat dari pembacaan seperti ini, cukup jelas bahwa status yang diberikan Islam kepada agama-agama lain “hampir sama” dengan yang diberikan kepada Yudaisme dan Kristen, hanya berbeda dalam penegasan kategorisasi dan spesifikasi. Kedua agama ini karena secara “nasab” dan geografis lebih dekat dengan Islam, maka penegasannya lebih kategoris dan spesifik, sementara agama-agama lain cukup ditegaskan secara umum, namun hal ini, menurut hemat penulis, sama sekali tidak mengurangi apresiasi dan respek Islam terhadap agama-agama lain secara universal. Kemudian, universalitas fenomena kenabian ini semata-mata adalah wajar dan sejalan belaka dengan tuntutan konsistensi logis dari prinsip keadilan Tuhan yang sempurna, sebagaimana diekspresikan secara demonstratif dalam sebuah ayat (وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا) “dan Kami tidak akan mengÑazab sebelum mengutus seorang rasul”.[xxviii]
Berangkat dari pembacaan seperti ini pula, adalah wajar dan rasional belaka jika kemudian dalam perjalanan sejarahnya manusia mengalami penyimpangan-penyimpangan atau membuat klaim-klaim yang berseberangan, maka mereka diingatkan al-QurÉn secara terus menerus agar kembali kepada Hanifisme atau Islam ini:
{وقل للذين أوتوا الكتاب والأميين أأسلمتم. فإن أسلموا فقد اهتدوا، وإن تولوا فإنما عليك البلاغ. والله بصير بالعباد}. [xxix]
b. Kesimpulan
Klaim kebenaran (truth-claim) bagi agama adalah sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu, ia merupakan esensi jati-diri sebuah agama. Dalam hal ini Profesor IsmÉÑÊl R. al-FÉrËqÊ dengan argumentatif mengatakan “The (truth) claim is essential to religion. For the religious assertion is not merely one among a multitude of propositions, but necessarily unique and exclusive.”[xxx] Oleh karena itu solusi apapun yang dimaksudkan untuk menyelesaikan problem pluralitas klaim kebenaran yang saling berseberangan (conflicting truth-claim) tidak boleh mengganggu gugat keunikan dan eksklusivitas ini, baik dengan cara reduksi, distorsi atau relativisasi, apalagi dengan negasi, sebab hal ini akan membunuh karakter atau jati diri agama itu sendiri.
Islam dengan konsep Hanifisme-nya memberikan solusi teologis yang paling rasional dan humane. Sedangkan secara praktis fiqhiyyah, Islam memberikan solusi yang paling rasional dan humane pula, yaitu dengan konsep “plurality of laws”, di mana setiap pemeluk agama menikmati pemerintahan “otonomi” sesuai dengan keyakinan masing-masing. Dengan demikian, Islam telah memberikan “yang paling maksimal” kepada agama lain yang tidak ada bandingannya dalam sejarah. WallÉhu aÑlam.
[i] Waardenburg, Jacques, ‘World Religions as Seen in the Light of Islam,’ in Welch, Alford T., and Cachia, Pierre (eds.), Islam: Past Influence and Present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), hal. 268.
[ii] Al-FÉrËqÊ, IsmaÑÊl R., ‘Meta-Religion: Towards A Critical World Theology’, dalam The American Journal of Islamic Social Sciences (Vol. 3, No. 1, September 1986), hal. 40.
[iii] Al-Baqarah: 256.
[iv] Lihat: Al-Faruqi, Isma’il R., ‘Islam and Other Faiths: The World’s Need for Humane Universalism,’ in Gauhar, Altaf (ed.), The Challenge of Islam (London: Islamic Council of Europe, 1978), hal. 100.
[v] Al-Baqarah: 111-112.
[vi] Al-Baqarah: 135.
[vii] Al-MÉ’idah: 18.
[viii] Óli ÑImrÉn: 63.
[ix] Al-Baqarah: 113.
[x] Lihat Óli ÑImrÉn: 20 dan 63.
[xi] Al-Baqarah: 285.
[xii] Lihat: Al-FÉrËqÊ, IsmaÑÊl, ‘Meta-Religion: Towards A Critical World Theology’, hal. 43.
[xiii] Lihat al-QurÉn: YËnus:71-72; Al-Baqarah:131-132; Óli ÑimrÉn:67; YËsuf:101; YËnus:84; Al-AÑrÉf:126; Al-Naml:44; Al-MÉ’idah:44; Óli ÑimrÉn:52; Al-MÉ’idah:111.
[xiv] Óli ÑImrÉn: 67.
[xv] Óli ÑImrÉn: 68.
[xvi] Óli ÑImrÉn: 64.
[xvii] FÉÏir:24.
[xviii] Al-NaÍl:36.
[xix] Al-Mu’minËn:44.
[xx] YËnus:47.
[xxi] Al-NisÉ’:164.
[xxii] GhÉfir:78.
[xxiii] Al-Baqarah: 213.
[xxiv] Al-FÉrËqÊ, IsmÉÑÊl, ‘×uqËq Ghair al-MuslimÊn fÊ al-Dawlat al-IslÉmiyyah: Al-awjuh al-IjtimÉÑiyyah wa al-ThaqÉfiyyah,’ dalam Majallat al-Muslim al-MuÑÉÎir, 264, (1981), hal. 23.
[xxv] Allah berfirman dalam surat Al-AÑrÉf:
{وإذ أخذ ربك من بني آدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم، قالوا بلى شهدنا}.
[xxvi] Hal ini dapat dibaca dengan jelas dalam Al-RËm:30-32:
{فأقم وجهك للدين حنيفا، فطرة الله التي فطر الناس عليها، لا تبديل لخلق الله، ذلك الدين القيم، ولكن أكثر الناس لا يعلمون. منيبين إليه واتقوه وأقيموا الصلاة ولا تكونوا من المشركين. من الذين فرقوا دينهم وكانوا شيعا، كل حزب بما لديهم فرحـون}.
[xxvii] HR Muslim.
[xxviii] Al-IsrÉ’:15.
[xxix] Óli ÑImrÉn:20.
[xxx] Al-FÉrËqÊ, IsmaÑÊl, ‘Meta-Religion: Towards A Critical World Theology’, hal. 27. Penekanan dari penulis.