Pluralisme Agama dan Fatwa MUI

 

inpasonline.com, 9 Agustus 2010

Karena kerancuan pengertian ini tidaklah mengherankan ketika Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang keharaman faham pluralisme agama, banyak fihak yang mencibir fatwa MUI. Banyaknya kalangan yang turut mencibir fatwa MUI tidak berarti semua setuju dengan faham tersebut, tetapi banyak juga yang mencibir lantaran mereka memahami pluralisme agama berbeda dengan pemahaman yang ada dalam fatwa MUI, atau mereka belum membaca secara utuh fatwa MUI. Bahkan banyak fihak yang menuduh MUI membuat definisi asal-asalan.

KH Musthafa Bisri misalnya termasuk orang yang mempertanyakan definisi MUI. Beliau mengatakan:

 “MUI itu nakalan atau khilal. Kata Pluralisme, Liberalisme, dan sekularisme didefinisikan dulu oleh MUI baru definisi MUI yang dihukumi” (Majalah Justisia edisi 28 tahun XIII 2005, h. 12)

Menurut fatwa MUI, istilah pluralisme agama didefiniskan sebagai berikut:

Faham yang mengajarkan bahwa semua agama sama dan karenanya kebenaran setiap agama relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. (Keputusan Munas VII MUI tahun  2005)

Istilah pluralisme agama merupakan terjemahan dari istilah asing religious pluralism. Untuk memahami istilah tersebut, dapat dicermati uraian John Hick sebagai berikut:

“…pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different respones to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways of being human…” 

(pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Yang real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi;)” (John Hick, 1991: 36)

Dalam tulisan lainya yang dimuat dalam  The Encyclopedia of Religion John Hick menjelaskan sebagai berikut:

 “Secara filosofis terminologi pluralisme agama merujuk pada suatu teori hubungan antara agama-agama dengan segala perbedan dan pertentangan klaim-klaim mereka. Teori ini menyatakan bahwa agama-agama besar di dunia mengandung konsep-konsep, persepsi-persepsi varian dari dan merupakan respon terhadap Yang Asal yaitu realita ketuhanan yang misterius.  Pluralisme eksplisit menerima posisi yang lebih radikal yang diaplikasikan oleh inklisivisme; yaitu suatu pandangan bahwa agama-agama  besar mewujudkan persepsi dan konsepsi yang berbeda-beda tentang, dan secara bersama memiliki respon yang berbeda terhadap The Real (Yang Ada) atau The Ultimate, dan bahwa di dalam masing-masing agama itu sendiri secara terpisah merupakan trasnsformasi eksistensi manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan realitas sedang terjadi. Dengan demikian tradisi agama–agama besar dianggap sebagai tempat alternatif menuju zat Yang Wujud di mana manusia dapat menemukan keselamatan, pembebasan, dan pemenuhan”(dikutip dari Adian Husaini, 2005; h. 334-335) 

           

            Berdasarkan uraian tersebut, jelas sekali menurut Hick bahwa pluralisme  agama adalah faham yang memandang agama-agama yang ada pada dasarnya sama, yakni sama-sama merupakan menifestasi dari realitas yang satu, sehingga masing-masing agama tidak ada yang lebih baik. Karena itulah kaum pluralis menolak adanya klaim kebenaran yang dilakukan oleh agama tertentu. Dalam pandangan kaum pluralis, ajaran agama mempersepsikan Tuhan adalah analog dengan beberapa orang buta mempersepsikan gajah. Zat Tuhan yang terlampau transendental dipersepsikan secara parsial oleh ajaran dari agama-agama. Teori persepsi ini juga melahirkan pandangan relativisme agama yaitu bahwasanya kebenaran Tuhan adalah kebenaran besar dan merupakan kebenaran yang sesungguhnya  yang tidak bisa ditangkap secara utuh oleh manusia. Sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran kecil yang sifatnya relatif yaitu bagian dari kebenaran Tuhan yang bisa ditangkap oleh manusia.

            Senada dengan John Hick, Josh McDowell menuliskan:

            “religious pluralism teaches that multiple religions, often contradicting religions are equally true” (pluralisme agama mengajarkan bahwa agama-agama yang banyak, yang sering kontradiksi adalah sama benarnya)

(J. McDowell, 2009: h. 39)

  1. McDowell juga menyebut pluralisme agama sebagai positive tolerance, yang diartikan sebagai:

 “every single individuals’ beliefs, values, lifestyle, and truth claims are all equal, (pandangan yang menyatakan bahwa setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu, adalah sama) (Robert L. Shelby Jr, 2001)

Kebalikan dari positive tolerance adalah negative tolerance  atau toleransi klasik yaitu sikap menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta  bersama mereka.

            Pernyataan bernada menyamakan agama-agama juga disampaikan oleh beberapa kalangan Islam di Indonesia antara lain seperti pernyataan Ulil Abshar Abdalla sebagai berikut:

            Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. (Gatra 21 Desember 2002)

 

Dalam tulisannya yang lain Ulil menyatakan:

Agama adalah baju, perbedaan agama sama dengan perbedaan baju (Kompas, 18 Nop 2002)

 

Senada dengan Ulil, Abdul Munir Mulkan mantan wakil sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah menulis sebagai berikut:

“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap-tiap pintu adalah jalan bagi pemeluk tiap-tiap agama memasuki kamar surganya”. (Abdul Munir Mulkan, 2002: h. 44)

 

            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi yang dibuat MUI tidak salah. Definisi MUI adalah definisi empirik. Artinya secara empirik pluralisme agama adalah faham yang menyamakan agama-agama serta menolak klaim kebenaran oleh suatu agama.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *