Kabar gembira mengenai perkembangan kehidupan keilmuan Islam yang mengesankan tersebut disampaikan oleh M. Habib Chirzin, koordinator South East Asia Regional Forum on Islamic Epistemology and Education Reform ketika berbicara dalam seminar “Epistemologi Islam” di Aula Jasman Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jumat, 29 Januari 2010. Seminar internasional ini juga dihadiri oleh Prof. Dr. Sidek Baba dari International Islamic University Malaysia, M. Abdul Fattah Santoso seorang pakar pendidikan dan Dr. H. Muinudinillah Basri, MA Ketua Program Magister Studi Islam UMS.
Habib Chirzin lebih lanjut menjelaskan, tajdid pendidikan hendaknya tidak hanya menyentuh segi-segi teknis dari praktek kegiatan pendidikan dan reproduksi ilmu pengetahuan; melainkan lebih menyentuh segi-segi yang sangat substansial dan fundamental, termasuk di dalamnya tajdid dalam filsafat ilmu, metodologi, kurikulum text book, dan sebagainya.
Untuk itulah, maka berbagai seminar dan konferensi bertema reformasi pendidikan dan keilmuan diselenggarakan oleh berbagai lembaga, di antaranya adalah IIIT (International Institute of Islamic Thought), ISTAC, Institute for Objective Studies, Inter Islamic Network on Space Sciences & Technology, Center for Epistemology Studies, dll. Hasil konferensi terakhir pada tahun 2009 yang diadakan IIIT menghasilkan keputusan perlunya pengembangan jejaring kajian Epistemologi Islam dalam skup nasional, regional, maupun internasional.
Di sesi kedua, Prof. Dr. Sidiek Baba menjelaskan, bahwa jika kita bicara ‘Islamisasi’, maka nama Prof. M. Naquib Al-Attas tidak bisa kita abaikan. Pendiri ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) ini adalah ilmuan Islam pertama yang memperkenalkan dan mendefinisikan istilah ‘Islamisasi’. Terlebih lagi, Prof. Al-Attas berhasil mengaplikasikan Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini dalam bentuk lembaga pendidikan tinggi, hal yang dianggap utopia oleh Ismail Faruqi.
Islamisasi, diartikan Prof. Al-Attas sebagai ‘liberation of man first come from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition, and then from secular control over his reason and his language’, sehingga – menurut Prof. Sidiek Baba – Islamisasi selalu melibatkan proses-proses seperti correcting or reforming the un-Islamic concept and conception of curriculum, revealing the existing deviation and printing out the right concept and conception dan placing the concepts and conception to Islamic worldview.
Adapun ‘Integrasi’ yang menjadi konsep ilmu dalam Islam, diperlukan untuk menyatukan kembali dualisme ilmu akibat kolonialisasi. Dualisme dalam pendidikan, pemikiran dan tuntunan hidup, yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum, sudah tidak bisa dipertahankan lagi.
Aplikasi Islamisasi ilmu pengetahuan semakin meluas dengan upaya pembangunan ilmu-ilmu sosial dari perspektif Epistemologi Islam. M. Abdul Fattah Santoso, pemakalah ketiga melontarkan hipotesa mengenai keniscayaan wahyu sebagai sumber fakta ilmu sosial. Hal ini sebagai kritik terhadap tradisi Barat yang senantiasa mempertentangkan wahyu dengan pengetahuan ilmiah. Jadi, titik tolak Epistemologi Islam dalam membangun ilmu-ilmu sosial adalah wahyu. Paradigma keilmuan Barat sekuler yang kini dominan di perguruan-perguruan tinggi, sudah saatnya harus diganti dengan paradigma keilmuan Islam yang berbasis wahyu.
Kemudian merangkum serta mempertegas apa yang disampaikan oleh M. Abdul Fattah, Dr. H. Muinudinillah Basri, MA memaparkan bahwa konsep serta tradisi keilmuan yang telah dikembangkan oleh Al-Ghazali layak dipertimbangkan sebagai bentuk aplikasi Islamisasi ilmu pengetahuan, sebab Al- Ghazali – dengan pesantren-pesantren yang dibangunnya – berhasil melahirkan generasi Shalahuddin Al-Ayyubi. (Kar)