Oleh: Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Islam adalah agama yang diridhai Allah. Kita diminta untuk aktif mendakwahkannya. Oleh karena dakwah memiliki posisi kunci di dalam Islam, maka ada pertanyaan yang menggugah: “Dari mana sebaiknya gerakan dakwah harus dimulai?”
Dakwah dan Masjid
Cukup banyak pijakan kita dalam berdakwah, antara lain: 1).“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali ‘Imraan [3]: 110). 2).“Sampaikanlah ajaranku (kepada orang lain) walaupun satu ayat” (HR Bukhari).
Jika begitu, dari mana memulai amar ma’ruf dan nahi munkar? Dari mana mengawali dakwah? Lihatlah teladan Nabi Saw. Ketika atas titah Allah Nabi Muhammad Saw harus hijrah dari Mekkah ke Madinah, maka yang pertama didirikannya adalah masjid. Tentu saja ini bukan sesuatu yang tanpa strategi.
Seperti yang lalu kita ketahui, masjid, di samping fungsi utamanya sebagai pusat tempat ibadah, ia pun merupakan pusat aktivitas dakwah. Dari masjid semua kegiatan yang berdimensi ibadah, dakwah, pendidikan, kesejahteraan, dan aspek-aspek kehidupan lainnya didesain dan dilaksanakan.
Apa masjid? “Dari segi bahasa, kata masjid terambil dari akar kata sajada-yasjudu-sujuudan (patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat serta ta’dhim). Adapun ismul makaan (nama tempat) adalah masjid (tempat bersujud), yakni bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat” (Ahmad Thoha – www.masjidalakbar.com 03/04/12).
Cermatilah! “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah” (QS Al-Jin [72]: 18). Maka, segala aktivitas di dalam masjid harus mencerminkan kepatuhan kita kepada Allah. Dengan demikian, masjid harus menjadi pangkal tempat Muslim ‘berangkat’ melaksanakan semua aktivitas kehidupannya dan sekaligus ujung tempat Muslim ‘berlabuh’.
Di Muktamar Risalatul Masjid di Mekkah pada 1975, disepakati bahwa masjid dikatakan berperan baik jika memiliki: 1).Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. 2).Ruang(-ruang) khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria, baik digunakan untuk shalat maupun untuk membina ketrampilan mereka. 3).Ruang pertemuan dan perpustakaan. 4).Ruang poliklinik dan ruang untuk ‘merawat’ jenazah. 5).Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.
Jadi, masjid bukan saja tempat sujud (dalam arti sempit), tetapi juga tempat menujukan keseluruhan hidup dan kehidupan kita kepada Allah. Keseluruhan hidup artinya tidak hanya terbatas pada peribadatan sehari-hari, tetapi juga pada persoalan di luar shalat.
Tampak bahwa masjid menjadi tempat berhimpunnya umat yang beraqidah sama dan harus dikelola secara ‘profesional’ melalui wadah organisasi. Untuk itu, sebuah masjid membutuhkan pemimpin agar tujuan dan fungsi masjid dapat direalisasikan. Mengingat vitalnya peran dan fungsi masjid, maka sangat beralasan jika pengelolanya harus memiliki kecakapan yang memadai dalam ilmu agama dan mempunyai kemampuan managerial yang handal.
Takmir masjid adalah nama yang lazim diberikan kepada orang-orang atau lembaga yang mengelola usaha-usaha pemakmuran masjid. Dari sejumlah ayat dan hadits, berikut ini kriteria pokok yang antara lain harus dimiliki seorang takmir masjid:
1).Beriman kepada Allah dan hari Hari Kemudian, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah, ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS At-Taubah [9]: 18).
2).Istiqomah hadir di masjid untuk terutama menegakkan shalat dan turut secara aktif memakmurkan aktifitas–aktifitas lainnya. “Sesungguhnya rumah-rumah-Ku di bumi adalah masjid-masjid dan para pengunjungnya adalah orang-orang yang memakmurkannya (Hadits Qudsi / HR Abu Nu’ain). “Sesungguhnya yang meramaikan rumah-rumah (masjid-masjid) Allah, mereka itu adalah Ahli Allah ‘Azza wa Jalla” (HR Thabrani).
3).Mempunyai kemampuan ilmu agama yang memadai serta memiliki kecakapan managerial yang handal. Oleh karena itu, latar belakang pendidikan serta pengalaman keorganisasian yang matang lebih diutamakan untuk dipilih. Pilihlah yang paling ahli. “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Lalu, Sahabat bertanya; “Bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (HR Bukhari).
Hal yang pasti, Allah mencintai orang yang mencintai masjid. Terlebih lagi, Allah sangat mencintai orang / jama’ah yang menjadikan masjid sebagai alat perjuangan dalam menegakkan Islam.
Kepedulian kita dan dukungan kita (bisa dalam bentuk pikiran, tenaga, atau dana) kepada masjid adalah bukti kecintaan kita kepada masjid. Hal itu berbanding lurus dengan kecintaan kita kepada Allah. Kesemuanya itu adalah bukti paling nyata bagi keterlibatan kita dalam usaha-usaha nyata menuju cita-cita mulia yaitu Izzul Islam wal Muslimin.
Marilah, kita jadikan masjid sebagai tempat ‘berangkat’ dan ‘berlabuh’. Artinya, semua aktifitas kita harus ‘dimulai’ dari masjid dan ‘dikembalikan’ ke masjid. Jika kita berekonomi, mulailah dari masjid dan untuk masjid. Maksudnya, berekonomi itu sebagai bagian dari ‘sujud’ kita kepada Allah dan untuk kemuliaan Islam serta kejayaan umat Islam. Jika berpolitik mulailah dari masjid dan untuk masjid. Artinya, aktivitas politik itu harus digerakkan oleh semangat bahwa yang kita kerjakan adalah bagian dari ‘sujud’ kita kepada Allah. Demikianlah, semangat yang sama harus juga berlaku untuk aktivitas hidup yang lainnya.
Bergerak dan Berubah
Jika spirit ‘sujud’ sudah kita dapatkan karena kecintaan kita kepada masjid, maka hal itu –insyaAllah- bisa menjadi daya dorong yang luar biasa untuk menggerakkan suatu perubahan sosial ke arah yang lebih baik, lebih Islami. Jadi, mari aktif berdakwah dan jadikan masjid sebagai pusat gerakan dakwah! []