Dua Model
Di antara konsekuensi konsep ‘Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat’ adalah adanya keharusan untuk menghargai pendapat orang lain. Maka, terkait ini, kita harus berhati-hati.
Pada dasarnya Islam juga merekomendasi agar kita menghargai pendapat orang lain. Hanya saja ada syaratnya, yaitu pendapat itu harus yang ma’ruf dan bukan yang munkar.
Memang, secara umum ada dua jenis pendapat yaitu yang baik (ma’ruf) dan yang tidak baik (munkar). Untuk jenis yang pertama isinya sesuai dengan ajaran Islam dan dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah Islam pula. Sementara, jenis yang kedua, tentu saja yang tidak masuk kriteria yang pertama.
Untuk yang pertama gambarannya begini: Suatu pendapat yang didasarkan kepada pemikiran yang matang berlandaskan ajaran Islam, maka berhaklah hal itu dipublikasikan. Kemudian, masyarakat berhak pula untuk setuju atau tidak setuju. Untuk itu masing-masing harus menyertakan alasan yang kuat.
Jika terbangun dialektika berpendapat seperti di atas, maka atmosfir keilmuan akan cerah dan menggairahkan. Misal, jika tak setuju maka pendapat itu bisa kita ‘lawan’ dengan pendapat yang lain. Jika pendapat yang tidak kita setujui itu disampaikan lewat tulisan, maka kita jawab pula dengan tulisan. Bila telah terjadi pertukaran pendapat yang sehat untuk mendapatkan sebuah kebenaran, maka kita akan memetik buah yang bernama ‘kemajuan’.
Lihat saja –misalnya- penghargaan Islam atas aktivitas berijtihad. Apa ijtihad? Ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i. Apa ganjarannya? Lewat sebuah hadits disampaikan bahwa, “Barang-siapa yang berijtihad dan lalu benar hasil ijtihadnya, dia mendapat dua pahala. Dan, barang-siapa berijtihad tetapi tidak tepat hasil ijtihadnya, dia mendapat satu pahala”. Hanya saja, ada syarat ketat untuk bisa berijtihad yaitu –antara lain- harus memahami Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.
Siapa Membela?
Belakangan ini konsep ‘Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat’ telah menjadi salah satu ‘jualan’ favorit kaum liberal. Mereka memanfaatkannya untuk ‘membelokkan’ berbagai ajaran Islam dan lalu meminta orang lain untuk menghargainya sebagai sebuah pendapat.
Atas berbagai pendapat nyleneh–nya, kerapkali mereka menyandarkan diri (secara salah) kepada ajaran ini: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk” (QS Al-Maaidah [5]: 105).
Dalam perkembangannya, sayang, sebagian umat Islam ada yang lalu memahami secara salah konsep ‘Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat’ itu. Salah satu indikasinya, jika ada pendapat nyleneh (baca: munkar) maka mereka lebih memilih untuk diam dengan dalih “Menghargai pendapat orang lain”.
Seperti apakah contoh pendapat nyleneh itu? Berikut ini adalah dua contoh pendapat munkar. Pertama, “Tuhan tidak perlu dibela”. Sebab, “Allah itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya”. Kedua, “Islam itu baik sekali, sangat besar dan sangat indah. Kenapa dibela? Islam hadir membela manusia, bukan sebaliknya”.
Benarkah kita harus menghormati dan lalu mendiamkan pendapat-pendapat seperti di atas? Untuk itu marilah kita buka sejumlah prinsip Islam. Pertama, menolong Allah itu wajib. “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolong (untuk menegakkan agama) Allah?’ Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: ‘Kamilah penolong-penolong agama Allah’.” (QS Ash-Shaff [61]: 14).
Kedua, menolong Allah telah diatur caranya, yaitu dengan beramar ma’ruf nahi munkar. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali ‘Imraan [3]: 110).
Ketiga, khusus bernahi munkar, diatur juga caranya. Di saat melihat kemunkaran, tersedia tiga pilihan sikap yang disesuaikan dengan ‘posisi’ kita di ketika itu. “Barang-siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubah (mengingkari) dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah ia mengubah (mengingkari) dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah” (HR Muslim).
Keempat, Allah berjanji bahwa Dia akan menolong kaum beriman yang menolong-Nya. “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad [47]: 7).
Boleh jadi ada yang lalu bertanya: “Bagaimana sikap kami jika tidak punya ilmu yang cukup untuk mengetahui sebuah pendapat itu benar atau salah?” Untuk itu, mintalah pendapat orang-orang yang berilmu. Bertanyalah kepada ulama (yang shalih). “Maka, tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” (QS Al-Anbiyaa’ [21]: 7).
Bagaimana pula cara menghadapi pendapat yang munkar itu? Bisa dengan lisan seperti saat kita memberikan nasihat. Bukankah mendapat nasihat adalah hak sesama Muslim? Bukankah memberi nasihat adalah realisasi dari amar ma’ruf dan nahi munkar? Kecuali dengan lisan, nasihat juga bisa kita sampaikan lewat tulisan.
Katakan, Ungkapkan!
Singkat kata, kita tidak boleh menghargai pendapat orang lain dengan cara mendiamkannya jika pendapat itu merusak agama. Ketahuilah, membantah kesalahan orang bukan berarti merendahkan orang itu. Katakanlah yang sebenarnya! Misal, jika memang sebuah pendapat kita ketahui salah maka jangan ragu-ragu untuk mengatakannya salah. Tirulah Allah! “Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS Al-Ahzab [33]: 4). []