Toleransi Tak Memerlukan Pluralisme

 

Keras Menolak

Sejak awal, film “?” panen kecaman dari berbagai arah seperti dari MUI, cendekiawan, fungsionaris Ormas Islam, sutradara senior, dan lain-lain. Dr. Adian Husaini, setelah menontonnya, menyatakan film itu sebagai sebuah kampanye pluralime yang vulgar. Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) itu mengatakan: “Film ini sangat merusak, berlebihan, dan melampaui batas.” Misal, semua agama digambarkan menuju Tuhan yang sama. Atau, orang murtad dari Islam digambarkan sebagai hal yang wajar.    

KH A. Cholil Ridwan, Ketua MUI Bidang Budaya menyebut film ini dapat mendukung orang murtad (keluar Islam). Padahal, murtad adalah perbuatan yang sangat terlarang dalam Islam.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Yunahar Ilyas mengatakan bahwa film “?” tidak layak ditonton karena mengandung kampanye pluralisme. Guru Besar Ulumul Qur’an di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jogjakarta itu tidak merekomendasikan umat Islam menontonnya. Pendapat Yunahar identik dengan Chaerul Umam (sutradara senior yang kerap menggarap film bertema dakwah). Dia meminta kita untuk tak menonton film “?” karena berbahaya bagi yang memiliki ideologi lemah.

Saya belum menonton film itu, tapi trailernya di Youtube sudah saya simak. Di detik pertama penayangan, siapapun akan segera merasakan aroma kampanye pluralisme, sebab langsung ada narasi: ”Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini. Tapi, di jalan setapaknya masing-masing. Semua jalan setapak itu berbeda-beda. Namun, menuju ke arah yang sama. Mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan”.

Substansi narasi di atas, persis seperti pengertian pluralisme yang didiskripsikan MUI. Menurut MUI, pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

 

Pluralitas Vs Pluralisme

Tapi aneh, Nafi’ Muthohirin –aktivis IMM Surabaya- terkesan melawan arus saat menulis artikel “Menggagas Pendidikan Pluralis” di Radar Surabaya 18/4/2011. Bagi dia, film itu “Sangat penting dalam membangun pondasi perdamaian agama-agama”. Oleh karena itu, lanjut dia, penolakan MUI atas film itu adalah salah satu contoh bagaimana lemahnya pemahaman para penganjur agama dalam mengambil pesan-pesan positif di dalamnya.

Di artikelnya, Nafi’ tampak tak bisa membedakan antara pluralitas dengan pluralisme. Saat Nafi’ bilang bahwa keragaman itu sunnatullah yang harus dihadapi dengan sikap toleran dan terbuka, maka itu pernyataan yang benar. Tapi, dia terpeleset saat secara gagah menyatakan bahwa berbagai konflik berbaju agama selama ini membuktikan kegagalan masyarakat –termasuk para elit agama- dalam memahami dan memaknai pluralisme.

Mari cermati perbedaan pluralitas dan pluralisme. Keduanya berasal dari akar kata yang sama, plural, yang artinya majemuk atau beragam. Namun, pluralitas sangat berbeda dengan pluralisme.

Pluralitas berarti kemajemukan. Pluralitas (semisal suku, bangsa, bahasa, warna kulit, dan lain-lainnya) memang kehendak Allah. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal (QS Al-Hujuraat [49] : 13). Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui(QS Ar-Ruum [30] : 22).

Ketika Nabi Muhammad SAW memimpin di Madinah, negeri itu jelas tak homogen. Di Madinah ada beragam kelompok suku bangsa dan agama. Di masa itu, umat Islam sangat biasa berinteraksi dengan orang-orang Yahudi. Mereka hidup berdampingan dengan damai.

Ada riwayat, Nabi Muhammad SAW datang menjenguk seorang Yahudi yang sedang sakit. Pernah pula Nabi SAW yang semula duduk, lalu segera berdiri (tanda menghormati seseorang) ketika jenazah seorang Yahudi lewat di depannya. Dan, banyak contoh lainnya. Itulah makna pluralitas. Intinya, dalam berinteraksi sosial, umat Islam akan bersikap inklusif. 

Sedangkan pluralisme, maknanya berbeda sangat jauh dengan pluralitas. Sebab, pluralisme adalah gagasan yang berujung kepada ajakan untuk mengompromikan aqidah. Modusnya adalah memberi pembenaran kepada ajaran agama lain.

Pluralisme berpandangan bahwa semua agama sama tujuannya dan yang berbeda hanya cara atau jalan menuju Tuhan. ”Agama-agama lain itu adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama. Satu Tuhan, banyak jalan,“ kata para ‘pemeluk’ pluralisme.

Dari perspektif Islam, pluralisme adalah semacam proyek perusakan di bidang aqidah. Tetapi, yang luar biasa, mereka yang sepaham dengan ide itu justru tak segan-segan mengecam orang-orang yang meyakini bahwa hanya ada satu jalan keselamatan -yaitu agama mereka sendiri- sebagai suatu sikap yang fanatik.

 

 Bisa Toleran

Dalam berinteraksi sosial, Islam sangat memahami pluralitas manusia. Untuk itu, umatnya bisa hidup rukun dengan semua kalangan. Tetapi, Islam sama sekali menolak ajakan berkompromi dalam aqidah dan ibadah. Islam menolak keras pluralisme.

Sungguh, toleransi dapat kita bangun tanpa harus mengorbankan keyakinan kita masing-masing. Toleransi sama sekali tak memerlukan pluralisme. Jadi, masih adakah yang ingin menonton film “?” []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *