Tidjani, Ulama Madura Berkelas Internasional

Oleh M. Anwar Djaelani

kha-tidjani-maduraInpasonline.com-KH Mohammad Tidjani Djauhari adalah ulama asal Madura. “Ghirah perjuangan beliau untuk menegakkan Islam melalui pendidikan sangat kuat,” kata Abu Bakar Ba’asyir. Senada, Prof Dr Achmad Satori menyebutkan bahwa komitmen Tidjani dalam jihad ta’limi sangat mengagumkan. Tak berlebihankah penilaian atas tokoh yang telah berpulang pada 2007 itu?

Jejak Panjang

Profil Tidjani –antara lain- bisa kita dapatkan dari www.al-amien.ac.id. Pada 30/11/2008, situs itu menurunkan judul KH Mohammad Tidjani Djauhari: Ulama, Cendekiawan, dan Mujahid Tarbiyah.

Tidjani lahir pada 23/10/1945 di Prenduan, Sumenep-Madura. Dia putera KH Djauhari Chotib, ulama besar dan tokoh Masyumi serta pendiri Pesantren Al-Amien Prenduan-Sumenep. Dari garis ayahnya, bertemu dengan KH As’ad Syamsul Arifin sebab ulama kharismatik pendiri PP Salafiyah Syafi’iyah Situbondo itu adalah sepupu dari nenek Tidjani. Sementara, dari garis ibunya -Nyai Maryam-, Tidjani adalah keturunan Syaikh Abdullah Mandurah (salah satu muthawif di Mekkah asal Sampang-Madura yang banyak melayani jamaah haji Indonesia).

Tidjani tumbuh-kembang dalam atmosfir pendidikan Islam yang sangat kental. Tahun 1953, Tidjani belajar di Sekolah Rakyat dan Madrasah Ulum Al-Washiliyah. Pada 1958 Tidjani nyantri di KMI(Kulliyatu-l-Mu’allimin Al-Islamiyah)Pondok Modern Darussalam Gontor (untuk selanjutnya -di tulisan ini- akan ditulis Gontor saja).

Di Gontor, kecuali belajar ilmu-ilmu keagamaan, Tidjani juga mendapatkan keterampilan dasar kepemimpinan dan manajemen. Tidjani-pun dikenal sebagai santri yang cerdas dan meraih prestasi akademik tertinggi.

Pada 1964, Tidjani tamat dari KMI Gontor dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Darussalam atau PTD (kini bernama UNIDA Gontor) sekaligus menjadi guru KMI Gontor. Waktu itu, Tidjani dipercaya sebagai sekretaris Pondok dan staf Tata Usaha PTD. Posisi itu dia manfaatkan secara maksimal dengan melakukan interaksi secara luas ke berbagai pihak, tak terkecuali dengan salah satu pendiri Gontor yaitu (almarhum) KH Imam Zarkasyi. Kelak, nama yang disebut terakhir itu malah menjadi mertuanya, yaitu saat Tidjani menikahi Anisah Fathimah Zarkasyi.

Setelah mengabdi setahun di Gontor, pada 1965 Tidjani melanjutkan studi ke Universitas Islam Madinah, di Fakultas Syariah. Pada 1969 Tidjani tamat dari Fakultas Syariah dengan predikat mumtaz. Tak puas, pada 1970 Tidjani melanjutkan studi magister di Jamiah Malik Abdul Aziz –Mekkah- hingga lulus pada 1973. Tesis dia berjudul “Tahqiq Manuskrip Fadhail Al-Qur’an wa Adaabuhu wa Muallimuhu li-Abi Ubaid Al-Qosim” (Keistimewaan Al-Qur’an: Etika dan Rambu-rambunya dalam Perspektif Abu Ubaid Al-Qosim). Untuk tesisnya ini, Tidjani menjelajahi perpustakaan-perpustakaan di Mesir, Turki, Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Spanyol. Itu semua mengantarkannya meraih predikat mumtaz (cum laude).

Fragmen lain yang menarik, saat M. Natsir –ulama, ketua Partai Masyumi, dan mantan Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia (1950-1951)— datang di Saudi Arabia. Itu dimanfaatkan Tidjani untuk berkenalan.

Dalam kunjungan berikutnya, M. Natsir mendengar ada putra Indonesia yang meraih predikat terbaik di Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah. M. Natsir takjub dan segera mencari informasi siapa putra Indonesia itu, yang tak lain adalah Tidjani. Atas prestasi yang dicapainya, pada 1974 M. Natsir merokemendasi Tidjani untuk diterima bekerja di Rabithah Alam Islami.

Karir Tidjani di ‘Rabithah’ melesat. Beberapa jabatan penting pernah dipegangnya, antara lain: Anggota Bidang Riset (1974-1977), Sekretaris Departemen Konferensi dan Dewan Konstitusi (1977-1979), Direktur Bagian Penelitian Kristenisasi dan Aliran-aliran Modern yang Menyimpang (1979-1981), Direktur Bagian Keagamaan dan Aliran-aliran yang Menyimpang (1983-1987), dan Direktur Bagian Riset dan Studi (1987-1988). Keaktifannya di ‘Rabithah’ inilah yang mengantarkan Tidjani menjelajahi berbagai negara di Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia.

Ketika karirnya di ‘Rabithah’ berada di puncak dan setelah sekitar 23 tahun tinggal di Tanah Suci, Tidjani pulang kampung yaitu pada 1989. Inilah babak baru perjalanan dakwahnya, khususnya di bidang pendidikan. Misinya, menyempurnakan Pesantren Al-Amien yang telah berdiri sejak 1971.

Bersama kedua adiknya -Idris Djauhari dan Maktum Djauhari- serta unsur pimpinan yang lain, Tidjani bergerak cepat melakukan penyempurnaan. Hasilnya, antara lain, adalah pembangunan Masjid Jami’ Al-Amien (1989), membuka Ma’had Tahfidzil Qur’an (1991), dan mengembangkan Sekolah Tinggi Agama Islam menjadi Institut Dirosah Islamiyah Al-Amien (IDIA) serta pendirian Pusat Studi Islam (Pusdilam) pada 2003.Dalam waktu 18 tahun (1989-2007), Al-Amien menjelma menjadi pesantren yang berwibawa.

Ketokohan Tidjani mengantarkannya untuk menjabat berbagai posisi penting seperti Ketua Forum Silaturrahmi Pimpinan Pondok Pesantren Alumni Pondok Modern Gontor (1992-2007), Dewan Pakar ICMI Jatim (1995-2000), salah seorang pendiri Badan Silaturrahmi Pondok Pesantren – BSPP (1998), dan Ketua II Majelis Ma’had Aly Indonesia (2002).

Tidjani meninggal pada 27/09/2007. Setelah itu, setidaknya telah terbit dua buku yang menghimpun karya-karya tulisnya. Pertama, Menebar Islam, Meretas Aral Dakwah”. Di buku itu, Abu Bakar Ba’asyir -pengasuh Pesantren Al-Mu’min Nguki–Solo dan teman seangkatan Tidjani di Gontor- memberi kata pengantar yang sebagian telah dikutip di paragraf pertama di atas.

Kedua,“Pendidikan untuk Kebangkitan Islam”. Buku ini berisi kumpulan pemikiran Tidjani yang disampaikan di berbagai seminar nasional dan internasional. “Dari berbagai tulisan tersebut, kita bisa membaca betapa membaranya semangat beliau untuk membangkitkan umat Islam dengan berbagai cara. Mulai dari nasyr al-fikrah (penyebaran ide dan pemikiran) dalam berbagai seminar, dakwah fardhiyah, hingga pengkaderan ulama lewat pendidikan,” tulis Prof Dr Achmad Satori –Ketua Umum IKADI (Ikatan Dai Indonesia)- di Kata Pengantar buku tersebut.

Siapa Penerus

Tidjani Djauhari adalah ulama besar dan pejuang Islam. Maka, menjadi tugas para kaderlah yang harus melanjutkan perjuangannya. Siapa kader itu? Semua umat Islam adalah kader dakwah. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *