Tidak Tepat, Tudingan MMI Terhadap Terjemahan Al-Qur’an Kemeneg

Written by | Nasional

Jakarta-Tudingan terhadap Kementerian Agama yang dinilai salah dalam menerjemahkan al-Qur’an sehingga memberikan kontribusi terhadap terorisme, dinilai tidak tepat.  

“Mengaitkan aksi terorisme dengan terjemahan Al-Quran adalah sebuah kesalahan,”jelas Dr H Muchlis Hanafi, Kepala Bidang Pengkajian Al-Quran Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran. Menurut Muhlis selain  tidak tepat, hal itu juga mengingkari karakter terjemahan yang memiliki sejumlah keterbatasan serta mengabaikan fakta bahwa aksi tersebut dilatarbelakangi faktor: sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.

Menurutnya, kesalahpahaman terhadap teks-teks keagamaan (Al-Quran dan Hadist) adalah salah satunya. Penyebabnya bukan terjemahannya, tetapi pemahaman terhadap teks-teks keagamaan secara parsial, sempit dan sikap tidak terbuka terhadap berbagai perbedaan pandangan keagamaan.

Ia melanjutkan, bila benar terjemahan sedemikian rupa yang menjadi pemicu aksi kekerasan dan basis ideologi teroris, maka tentu jumlah teroris akan lebih banyak dari yang ada sekarang. Mayoritas penduduk Indonesia akan menjadi teroris, sebab mereka mengandalkan pemahaman Al-Quran dan terjemahan, dan terjemahan Al-Quran dengan pendekatan seperti ini sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka.

Pemerintah Arab Saudi, kata Muhlis, juga bisa dianggap berkontribusi menyemai bibit terorisme. Sebab, setiap tahun mencetak terjemahan tersebut dalam jumlah besar dan sebagian dibagikan kepada sekitar 210.000 haji Indonesia. Padahal lembaga yang mencetaknya (Mujamma` al-Malik Fahd) dikawal oleh para ulama yang sangat berkompeten dalam masalah Al-Quran.

Faktanya adalah para teroris berjumlah minoritas, bahkan mungkin bisa dihitung jari. Pada umumnya mereka antipemerintah termasuk antiterjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh pemerintah. katanya.

Terkait dengan terjemahan Al-Quran dan terorisme itu, Muchlis juga menjelaskan bahwa Amir Majelis Muhahidin pernah mengirim surat kepada Menteri Agama pada Agustus 2010 lalu. Isinya, terjemahan Al-Quran Kemenag banyak kesalahan. Kesalahan itu sangat fatal dan kontorversial karena terkait masalah akidah, syariah, ekonomi, kesalahan tata bahasa dan lainnya.

Bahasa Al-Quran dikenal memiliki peringkat atau sastera tinggi karena memiliki keunikan tersendiri selain kaya kosa kata. Karena itu tak mungkin dapat menerjemahkannya secara apa adanya, yaitu dengan pengertian “pengalian kalimat/kata dari bahasa pertama kepada kesamaanya dalam bahasa kedua, baik dalam tata bahasanya maupun arti perkata yang lazim disebut terjemah harifiah, atau menurut huruf, kata demi kata.

Terjemahan harfiah tentu akan mengabaikan sekian banyak makna sekunder dalam Al-Quran, baik yang timbul karena karakteristik bahasa Arab yang menggunakan bentuk-bentuk `majaz, musytarak” dan lainnya, atau yang timbul dari hasil “ijtihad” dan “istinbath” hukum di balik lafal yang zahir.

Tetapi, katanya, tidak berarti Al-Quran tidak dapat diterjemahkan.

“Salah jika ada yang beranggapan Al-Quran secara keseluruhan tidak mungkin diterjemahkan karena kemukjizatan yang dimilikinya. Para ulama sepakat bahwa terjemahan harfiah hukumnya haram dan tak mungkin untuk dilakukan. Hal ini tak perlu diperdebatkan. Tetapi yang diharamkan adalah untuk keseluruhan Al-Quran, tidak untuk sebagiannya,”jelas Muhlis.

Muhlis menjelaskan, polemik tentang terjemah yang pernah terjadi di abad 20 bukan semata soal harfiah atau tafsiriah, tetapi juga tentang upaya menjadikan terjemahan itu sebagai pengganti Al-Quran. Fakta menunjukkan, terjemahan yang ada semalanya tidak akan pernah menjadi pengganti Al-Quran.

Hanafi menjelaskan pula bahwa penyusunan Al-Quran dan terjemahannya didasarkan kepada sebuah kesadaran dari para penyusunnya bahwa penerjemahan Al-Quran secara harfiah tak mungkin bisa dilakukan.

Alasannya, bahasa-bahasa di dunia ini terlalu miskin untuk bisa menerjemahkan bahasa Al-Quran. Karenanya, yang dimaksud sebenarnya adalah terjemah makna Al-Quran, bukan terjemah dengan pengertian pengalihbahasaan yang dapat mengganti posisi teks Al-Quran itu sendiri atau menampung semua pesan yang terkandang dalam Al-Quran.

Karenanya, Kementerian Agama tidak akan menarik Al-Quran dan terjemahannya yang sudah tersebar dan beredar menjadi pedoman masyarakat muslim Indoensia sejak tahun 1965. Al-Quran dan Terjemahannya itu dinilai layak untuk terus disebarluaskan guna memberikan pelajaran dan pengajaran serta pencerahan bagi umat muslim Indonesia.

“Terkait adanya masukan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) tentang hasil kajiannya terhadap banyaknya kesalahan fatal pada terjemahan al-Quran yang diterbitkan Kementerian Agama, perlu diklarifikasi. Apalagi disebutkan bahwa Terjemahan al-Quran tersebut dinilai berkontribusi besar dalam menyemai bibit terorisme. Itu jelas tidak tepat,” kata Kepala Litbang dan Diklat, Prof Dr Abdul Djamil kepada wartawan di Kementerian Agama Jalan Thamrin Jakarta Pusat.  Hadir dalam kesempatan itu, Imam Besar Masjid Istiqlal yang juga ketua Tim Revisi Terjemahan Al-Quran Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub, MA; Kapuslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Dr H Hamdar Ar Raiyah; Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran Drs H Muhammad Shohib, MA.

Menurut Abdul Djamil, asumsi adanya kesalahan dalam terjemahan kemenag yang disampaikan Majelis Mujahidin didasari pada logika bahwa terjemahan Kemenag adalah terjemah harfiah yang telah diharamkan oleh para ulama. Olah karenanya, terjemahan itu haram hukumnya. Namun, Al-Quran dan Terjemahan yang diterbitkan Kementerian Agama sudah memenuhi standar. Artinya hasil kajian tim yang terdiri dari para ulama yang berkompeten di bidangnya. Misalnya, al-Quran dan Terjemahnya yang disusun oleh tim tahun (1960-1965) yang kemudian beredar pertama kali tanggal 17 Agustus 1965 dalam tiga jilid. Anggota tim terdiri dari prof M Hasbi Ash Shiddiqi, KH Anwar Musaddad, KH Ali Maksum, Prof Bustami Abdulgani, dan lainnya.

Dia menjelaskan, sejak pertama kali diedarkan hingga sekarang, termemahan al-Quran Kementerian Agama setidaknya sudah mengalami dua laki proses perbaikan dan penyempurnaan, yaitu: Pertama, penyempurnaan redaksional yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan bahasa pada saat itu, yaitu pada tahun 1989, dengan anggota tim antara lain Prof Dr Satria Efendi zain, Prof Dr M Quraish Shihab, MA dan lainnya; dan kedua, penyempurnaan secara menyeluruh yang mencakup aspek bahasa, konsistensi pilihan kata, substansi, dan aspek transliterasi dalam rentang waktu yang cukup lama antara tahun 1998 hingga 2002, dengan ketua tim Dr Ahsin Sakho Muhammad MA, Wakil Ketua Prof Dr KH ali Mustafa Yaqub, MA, dan narasuber Prof Dr M Quraish Shihab. “Proses perbaikan dan penyempurnaan itu dialkukan oleh para ulama, ahli dan akademisi yang memiliki kompetensi di bidangnya,” ujarnya. (an/r)

 

Last modified: 03/05/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *