Meski Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat ditengarai ada kaitan dengan NII KW IX, namun Menteri Agama, Suryadharma Ali (SDA), menepis tudingan tentang adanya penyimpangan ajaran Islam di lembaga tersebut.
Menurutnya, kurikulum yang diajarkan di sana tidak menyimpang dari ajaran Islam. “Pondok pesantren itu sudah sangat baik, jangan sampai ada keraguan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di ponpes itu,” kata Suryadharma Ali.
Berkaitan dengan hal ini, Kementerian Agama sangat berhati-hati dalam menyikapi isu tentang adanya keterkaitan Al-Zaytun dengan pemikiran maupun gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Kerena itu, dalam waktu dekat, Suryadahrma akan datang ke Al-Zaytun untuk mengetahui lebih dekat, seperti apa sesungguhnya aktivitas di sana.
Bahkan dia akan berdialog langsung dengan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang. Karena dugaan adanya keterkaitan pimpinan Al-Zaytun dengan NII saat ini belum tentu benar. “Banyak kemungkinan. Misalnya saja, ada keterkaitan dengan pimpinan dengan masa lalu, tapi sekarang sudah tidak lagi,” kata SDA.
Meskipun secara pribadi pimpinan Al-Zaytun ada yang terlibat NII, belum tentu secara kelembagaan dipergunakan untuk aktivitas NII. “Jadi memang harus hati-hati menyikapi Ponpes Al-Zaytun. Saya akan ajak wartawan untuk berdialog lebih tajam dengan Panji Gumilang,” tandas SDA.
Sementara itu Kementerian Agama Kabupaten Lebak, Banten, untuk mengantisipasi masuknya NII ke pesantren, pihaknya senantiasa mengoptimalkan pembinaan ke berbagai pondok pesantren.
“Selama ini kami belum menemukan pondok pesantren salafi terjadi penyimpangan mengajarkan kekerasan atau dimasuki gerakan Negara Islam Indonesia,” kata Kepala Pendidikan Keagamaan Pondok Pesantren Kementerian Agama Kabupaten Lebak, Suaidi, di Rangkasbitung, Minggu.
Suaidi mengatakan, sistem kurikulum Ponpes salafi yang ada di Kabupaten Lebak menyampaikan pendidikan agama Islam dan akhlak mulia.
Pendidikan agama Islam dan umum yang dipadukan pondok pesantren sebagai jati diri warga Kabupaten Lebak dalam mencapai kehidupan bahagia dunia dan akhirat nanti.
“Karena itu, tidak heran hampir setiap desa/kelurahan di Lebak memiliki pondok pesantren salafi,” katanya.
Dia mengatakan, pendidikan Islam Ponpes salafi untuk meningkatkan pengetahuan di bidang ilmu keagamaan, seperti tafsir Al Quran, hadits, fiqih, bahasa Arab, akhlak, akidah dan sejarah Islam.
Kementerian Agama, ujarnya, hingga kini menjamin sistem pendidikan pondok pesantren tidak mengajarkan kekerasan atau dimasuki gerakan NII.
Oleh karena, ia menjelaskan, pola yang diajarkan dengan menggunakan sistem kurikulum bidang pengetahuan keagamaan Islam.
Menurut dia, keberadaan pondok pesantren di Kabupaten Lebak memberikan kontribusi besar bagi perjalanan bangsa dan negara.
Peran pondok pesantren sejak dulu kala tercatat sangat besar dalam mengusir penjajahan Belanda untuk merebut kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan lahirnya Laskar Islam.
Selain itu, juga kini ponpes melahirkan sumberdaya manusia (SDM) juga indeks pembangunan manusia (IPM) khususnya di Kabupaten Lebak.
Bahkan, banyak lulusan ponpes mereka menjadi pegawai negeri sipil (PNS), Polisi, TNI, jurnalis, pedagang dan pendakwah.
“Saya kira pondok pesantren salafi di sini hanya membangun pendidikan untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Dia menyebutkan, saat ini jumlah pondok pesantren salafi tercatat 687 tersebar di 28 kecamatan dan mereka dikelola oleh masyarakat.
Selama ini, kata dia, pihaknya terus mengoptimalkan pembinaan kepada pengurus pondok pesantren, selain untuk meningkatkan mutu pendidikan juga mencegah masuknya NII maupun ajaran radikalisme.
Namun demikian, ia mengemukakan, saat ini sebagian besar pondok pesantren yang dikelola masyarakat dalam kondisi memprihatinkan, karena banyak kekurangan ruangan maupun sarana dan prasarana pembelajaran.
“Kami berharap pemerintah memberikan bantuan kepada pondok pesantren salafi itu untuk meningkatkan mutu pendidikan,” katanya.
Sementara itu, seorang pengelola pondok pesantren di Kecamatan Rangkasbitung, KH Badrudin mengaku dirinya mendirikan lembaga pendidikan keagamaan karena panggilan sebagai anak bangsa dengan memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakat.
“Seluruh siswa di sini kebanyakan orangtua mereka dari keluarga tidak mampu ekonomi. Kami tidak memungut biaya pendidikan dan hanya dikenakan sistem suka rela,” katanya (rep/dtk/r)