Tantangan Humanisme dan Konsep Maslahat Dalam Islam

Dewasa ini, paham humanisme sudah berkembang seiring trend pemikiran Islam liberal yang mulai menggejala di hampir seluruh belahan dunia Islam. Salah satu argumentasi kaum liberal untuk menolak penerapan syariat Islam adalah berdasarkan pertimbangan maqasid syariah.[3] Kaitannya dengan humanisme, mereka membidik maslahah yang dianggap terlalu tunduk di bawah hegemoni teks, tanpa mempertimbangkan realitas hidup manusia[4]. Maka perlu membendung sentralitas teks dan memperluas gerak nalar untuk memilah kemaslahatan meskipun tidak sesuai dengan teks-teks ilahiyah.[5] Sedangkan nalar dalam Islam geraknya dibatasi.[6] Dan nalar tidak terlalu mendominasi dalam maslahat, karena dalam Islam yang menjadi sandaran dari maslahat itu selalu petunjuk syara’, bukan semata berdasarkan akal manusia.[7] 

Salah satu contoh adalah penerapan teori batasnya Syahrur dalam hukum qishas. Agar islam tidak dikatakan kejam seorang hakim dapat memberikan hukuman lebih rendah dari hukum bunuh, karena itu adalah batas maksimal. Karena landasan normatif surat al Baqoroh ayat 178-179 tidak dipahami secara tekstual tapi kontekstual.[8] Contoh yang lain adalah tentang pembolehan homoseksual, dengan menyatakan bahwa asas fiqh adalah maslahat dan manfaat, kalau menurut dia manfaat ya boleh.[9]

Maslahat dalam Islam landasannya adalah petunjuk syara’, bukan semata berdasarkan akal manusia.[10] Sedangkan dalam Humanisme[11] yang menjadi acuan adalah manusia. Di sisi lain, Humanisme sendiri adalah merupakan kata yang ambivalen.[12] Maka, jika humanisme diterapkan dalam menentukan maslahat, tatanan hukum dalam Islam akan menjadi rusak.  

Melihat deskripsi singkat di atas, maka penting kiranya untuk dibahas tentang konsep maslahat dalam islam dan dalam perpekstif Humanisme serta perbedaan antara keduanya.

 

B.      Konsep Maslahat dalam Islam

1)  Definisi

Kata maslahah berasal dari bentukan tiga huruf sha, la dan ha. Dan darinya terbentuk kata shalaha, shaluha, ashlaha, Shaalaha, Isthalaha, ishtashlaha, Shalahiyah dan ash shulhu.[13] Menurut Al fayumi kata kerja shaluha, antonim dari “fasada” yang bermakna rusak. Kemudian ditambah alif didepannya menjadi ashlaha, yang bermakna mendatangkan kebaikan dan kebenaran. Dan kata maslahah bermakna kebaikan, yang merupakan bentuk tunggal dari mashalih.[14] Sedangkan Fairuz Abadi mengambil dari kata kerja Shalaha-yasluhu, Shalaahan wa suluhan, yang bermakna hilangnya kerusakan; bermanfaat atau cocok. Kemudian ditambah huruf hamzah didepan sehingga menjadi ashlaha-yuslihu-islaahan, yang bermakna berbuat sesuatu yang berfaedah (bermanfaat).[15]

Menurut Ibnu Mandzur kata maslahah berasal dari kata “shalaha” yang berarti baik, antonim dari kata “fasada” (rusak). Ia adalah masdar (bentuk kata benda) dari kata shalaha yang ditambah alif didepannya (ashlaha). Maslahah adalah bentuk tunggal dari kata mashalih, yang bermakna shalah yaitu manfaat atau lawan dari kerusakan, dan istishlah antonim dari istifsad.[16]

Maka sebagaimana dikatakan oleh Al Buthi bahwa kata maslahah sama dengan kata manfaat dari sisi wazan (timbangan) dan makna. Dan setiap apapun yang mengandung manfaat, berupa mendatangkan faedah dan kenikmatan atau berupa perlindungan seperti menjauhkan dari bahaya atau rasa sakit, semua itu pantas disebut dengan maslahah.[17]

Yusuf Hamid mengatakan bahwa kata maslahah mutlak kembali kepada 2 hal. Yang pertama, sebagaimana Al Buthi bahwa kata maslahah sama dengan kata manfaat (dalam bahasa arab), dari sisi wazan (timbangan) dan makna, ini adalah makna hakiki. Yang kedua secara majazi, berarti perbuatan yang mengandung kebaikan dan manfaat, maksudnya dalam konteks kausalitas. Seperti halnya perniagaan yang mengandung manfaat materi dan menuntut ilmu yang mengandung manfaat maknawi.[18]

Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam sendiri menyatakan bahwa kata al mashalih (bentuk plural dari al maslahah) dan al mafasid (bentuk plural dari al fasadu) sering diungkapkan dengan kata khoir (kebaikan) dan asy syarr (keburukan), an naf’u (manfaat) dan adh dhoorr (bahaya), al hasanah (kebaikan) dan as sayi’ah (keburukan). Karena maslahah mencakup semua kebaikan dan manfaat, sedangkan al mafasid mencakup seluruh keburukan dan bahaya. Al qur’an sendiri selalu menggunakan kata al hasanah untuk menunjukan pengertian al maslahah dan kata as sayi’ah untuk menunjukan pengertian al mafsadah.[19]     

Jadi, secara etimologi kata maslahah adalah sinonim dari kata manfaat. Dia digunakan untuk menunjukkan sesuatu atau seseorang yang menjadi baik atau bermanfaat. Dan secara alternatif untuk menunjukkan keadaan yang mengandung kebajikan atau terhindar dari bahaya.

 Selanjutnya pengertian maslahah secara definitif. Dalam mengartikan maslahah secara definitif terdapat perbedaan rumusan dikalangan ulama. Berikut ini kami sebutkan definisi dari beberapa ulama.

Imam Al ghozali menjelaskan bahwa menurut asalnya maslahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudarat (kerusakan), namun hakekat dari maslahah adalah memelihara tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Sedangkan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[20] 

Al Khawarizmi memberikan definisi yang hampir serupa dengan definisi al ghozali di atas, yaitu: ”memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.”[21]

Selanjutnya Izzudin Ibnu Abdil Azis mendefinisikan maslahah dalam 2 bentuk. Yang pertama hakiki, maksudnya berupa ”kesenangan dan kenikmatan”. Dan kedua, bentuk majazi, maksudnya ”sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan” tersebut, dan bisa jadi faktor datangnya maslahah adalah justru mafasid (kerusakan).[22] Definisi ini didasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu kelezatan dan sebab sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.[23]

Menurut Yusuf  Hamid maslahah adalah implikasi dari suatu tindakan atas dasar ketentuan-ketentuan syar’i yang mendorong terwujudnya maksud syari’ dalam pembuatan hukum guna mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.[24] 

Yang terakhir definisi dari Asy syatibi. Beliau mendefinisikan maslahah dari dua sudut pandang, yaitu dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntunan syara’ kepada maslahah. Dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan, berarti: ”sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia serta kesempurnaan hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak, sehingga dia merasakan kenikmatan”.[25]

Sedangkan dari segi tergantungnya tuntunan syara’ kepada maslahah, yaitu kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’. Untuk meraihnya Allah Ta’ala menuntut manusia untuk berbuat, sehingga mencapai kesempurnaan dan lebih mendekati kehendak syara’. Kalaupun dalam pelaksanaannya mengandung kerusakan sebenarnya bukan itu yang diinginkan oleh syara’.[26] Jadi, dari beberapa definisi maslahah para ulama diatas, dapat kita ambil pendapat Imam Asy Syatibi sebagai perwakilan sekaligus kesimpulan. Karena definisi yang beliau utarakan mencakup definisi dari ulama-ulama yang lain.

Dari dua definisi diatas, baik secara etimologi maupun secara terminologi, dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Diantaranya adalah bahwa maslahah terkadang dapat dilihat secara rasional dan terkadang tidak, karena ada beberapa perkara yang bentuknya kerusakan namun ujungnya berbuah maslahah atau sebaliknya. Kemudian ada perbedaan antara definisi maslahah secara umum (etimologi) dan syara’ (terminologi) yang terletak pada tujuan syara’ yang dijadikan rujukan. Secara etimologi maslahah merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat dan hawa nafsu. Sedangkan secara syar’i, ukuran dan rujukannya adalah tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kesenangan dan menghindarkan ketidaksenangan.

 

2)  Macam Macam Maslahah

Telah dijelaskan di atas bahwa maslahah dalam artian syara bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula karena dapat mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan keburukan; tetapi lebih jauh dari itu, bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan. Misalnya larangan meminum minuman keras. Adanya larangan ini menurut akal sehat mengandung kebaikan atau maslahah karena dapat menghindarkan diri dari kerusakan akal dan mental. Hal ini telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan haramnya minum-minuman keras yaitu untuk memelihara akal manusia sebagai salah satu dari lima prinsip pokok kehidupan manusia yang harus dipelihara. Kekuatan maslahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut.[27]

Ada beberapa kategori dalam pembagian macam-macam maslahah. Diantaranya adalah Pertama, dari segi kekuatannya dzatnya. Kedua, berdasarkan cakupannya menurut jumhur ulama. Dan ketiga, maslahah menurut syara’.[28]

Kategori pertama maslahah dari segi kekuatan dzatnya, ia terbagi menjadi tiga macam, yaitu Maslahah Dharuriyah, Maslahah Hajiyah dan Maslahah Tahsiniyah. Pertama Maslahah Dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan demi tegaknya kemaslahatan dien dan dunia; artinya apabila ada yang hilang maka kemaslahatan dien dan dunia tersebut tidak dapat berjalan dengan semestinya, bahkan akan mengalami kerusakan, kegoncangan serta lenyapnya kehidupan; selain itu kenikmatan akan sirna dipenuhi dengan kerugian.[29] Ibnu Asyur berkata bahwa maslahah dharuriyah adalah kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh seluruh manusia, tanpanya aturan tidak dapat berjalan dengan lurus, jika maslahat itu rusak maka keadaan umat akan rusak pula”.[30]

Kemaslahatan tersebut merupakan hasil dari pembacaan (sebagaimana yang dikatakan oleh Syatibi[31]), yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Maslahah dharuriyah mencakup 5 maslahat tersebut; beragama adalah fitroh; menjaga jiwa adalah watak; menjaga keturunan adalah hukum alam; menjaga harta adalah hukum masyarakat dan menjaga akal adalah suatu keharusan, kelima hal tersebut tidak akan terjaga tanpanya.[32]

Ada 2 cara untuk menjaganya, yaitu berupa tindakan langsung dengan menegakkan sendi dan pondasi-pondasinya. Dan kedua tindakan tidak langsung, yaitu mencegah terjadinya sesuatu yang dapat merusaknya. Contoh dari tindakan langsung seperti pokok ibadah berupa iman, syahadat sholat dan sebagainya, ini sebagai tindakan kuratif untuk dien. Sedangkan untuk jiwa dan akal adalah dengan makanan, minuman, tempat tinggal dan lainnya. Untuk tindakan langsung terhadap harta dan keturunan adalah dengan muamalah. Adapun tindakan secara tidak langsung semuanya tercakup dengan upaya amar maruf dan nahi munkar.[33]

Kedua maslahah hajiyat, yaitu kemaslahatan yang tingkat kebutuhannya untuk memberi kemudahan dan tanpa keberadannya akan timbul kesusahan. Jika hal ini tidak dijaga maka manusia akan merasa berat, namun tingkat kerusakannya tidak sebagaimana yang biasa terjadi di tingkat umum.[34] Ibnu Asyur berkata, ”kemaslahatan yang diperlukan oleh manusia agar maslahah dan kebutuhannya tercapai dengan hasil yang baik, dan ketiadaannya tidak menimbulkan kerusakan, hanya saja kurang sempurna, oleh karena itu tidak sampai tingkat dharuri”.[35] Jadi kerusakan yang ditimbulkan tidak sebagaimana yang terjadi pada maslahah dharuriyah.

Maslahah ini tercakup dalam masalah ibadah, adat, muamalah dan jinayat. Contoh dalam ibadah seperti rukhsah yang diperuntukkan bagi orang sakit dan musafir. Dalam adat misalnya boleh berburu atau bersenang-senang dengan sesuatu yang baik (halal). Misal dalam perkara muamalah seperti gadai dan jual beli dengan metode pesanan. Dan contoh dalam perkara jinayat seperti pembebanan diyat bagi keluarga tersangka.[36]      

Ketiga maslahah tahsiniyah, maksudnya adalah melakukan sesuatu yang termasuk kebaikan dalam tradisi dan menjauhi perilaku buruk yang tercela menurut akal yang benar, contohnya terhimpun dalam kategori akhlak terpuji.[37] Ibnu Asyur berkata, ”menurut saya ini adalah kemaslahatan yang memberi kesempurnaan dan keteraturan bagi kondisi manusia, sehingga mereka dapat hidup dengan aman, tentram serta tampak indah dalam pandangan orang lain”.[38]  Jadi, ini adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat hajiyah; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.[39]

Maslahat tahsini juga berlaku dalam perkara yang sama sebagaimana dua maslahah sebelumnya. Contohnya dalam ibadah adalah menghilangkan najis, menutup aurat, berhias dan lainnya. Dalam perkara adat kebiasaan seperti adab makan minum, tidak makan yang najis dan lainnya. Kemudian contoh dalam perkara muamalah adalah larangan jual-beli barang najis. Dan terakhir dalam masalah jinayah, contohnya larangan membunuh anak-anak, wanita dan orang tua dalam perang.[40]

Selanjutnya yang kedua, yaitu berdasarkan cakupannya menurut jumhur ulama. Menurut Husain Hamid sebagaimana dikutip oleh Muhammad Kamaluddin Imam, kategori yang kedua ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu maslahah umum yang berkaitan dengan semua orang, maslahah yang mencakup mayoritas manusia dan maslahah yang jarang dan terkhusus untuk individu serta saat-saat tertentu. Pertama adalah maslahah umum yang berkaitan dengan semua orang, seperti dicontohkan Imam Ghozali dalam perkara menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku bid’ah dan menyerukannya. Hal tersebut dilakukan jika diyakini bahayanya dapat  menimbulkan kemudaratan bagi semua orang.

Kedua maslahah yang mencakup mayoritas manusia, contohnya adalah seperti jaminan perusahaan bagi konsumen terhadap barang yang hilang, selama bukan karena kelalaian konsumen. Maka kemaslahatan tersebut hanya bagi mayoritas konsumen, bukan semua orang.  Menurut Kamaluddin Imam, maslahah yang mencakup mayoritas manusia pada hakikatnya adalah maslahah umum yang mencakup mayoritas manusia dari sisi prakteknya. Ketiga maslahah yang jarang dan terkhusus untuk individu dan saat-saat tertentu, seperti adanya kemaslahatan bagi seorang istri agar hakim menetapkan keputusan fasakh karena suaminya dinyatakan hilang. Menurut Kamaluddin Imam sifat kekhususan dalam maslahah ini bergantung kepada prakteknya, hakikatnya fasakh nikah dalam kondisi seperti ini adalah umum diantara istri yang suaminya hilang.[41]

Kategori maslahah yang ketiga yaitu menurut syara’, ia terbagi menjadi 3 bagian, yaitu Maslahah al Mu’tabarah, Maslahah Mulghah dan Maslahah al Mursalah.[42] Pertama maslahah al mu’tabaroh, maksudnya sebagaimana perkataan Imam Syatibi, ”sesuatu yang diterima oleh syara’, sah dan tidak ada masalah, serta tidak diperselisihkan dalam mengamalkannya, bahkan jika tidak diamalkan termasuk bertentangan dengan syariat. Contohnya adalah hukum qishas sebagai bentuk penjagaan terhadap jiwa”.[43] 

Berkaitan dengan ini Asy Syalabi merumuskan sebagai berikut, ”maslahah yang diperhitungkan oleh syara, contohnya banyak seperti penjagaan jiwa dengan adanya syariat qishas, penjagaan harta dengan adanya larangan memakan harta dengan cara yang batil….’”.[44] Jadi, ini adalah maslahah yang diperhatikan oleh syara’ untuk menjaganya dengan adanya penetapan hukum sebagai sarananya.[45]

Lebih lanjut lagi disebutkan oleh Muhammad kamaluddin, ada 2 macam maslahah Al Mu’tabarah. Pertama, yaitu maslahah yang diperhatikan syara dari sisi macamnya, dan terdapat nash syar’i yang menunjukkan hukum yang pasti ada maslahatnya. Bukan pada perkara yang ditunjukkan, namun pada perkara lain yang semisal. Seperti maslahah yang terdapat dalam pengharaman perasan anggur walaupun tidak ada nash khusus yang menunjukkannya. Maka nash pengharamannya dinisbahkan kepada pengharaman khamr.

Kedua, maslahah yang diperhatikan syara’ dari sisi jenisnya. Maksudnya masuk dalam koridor suatu kaidah atau dasar yang diperkuat oleh nash-nash syar’i. Contohnya adalah kodifikasi Al Quran, ini termasuk maslahah yang diperhatikan diperhatikan syara’ dari sisi jenisnya, karena masuk dalam kategori menjaga dien.[46]   

Kedua maslahah mulghah, Yaitu maslahah ditunjukkan kebatilannya oleh syara’, yaitu dengan adanya penetapan hukum yang menunjukkan hal tersebut. Seperti maslahah bagi seorang peminum khamr yang merasa ringan dari kesusahan dunia, maslahah bagi seorang pengecut ketika absen dari medan perang, maslahah bagi pemakan riba dengan bertambahnya harta, maslahah berupa kesembuhan dengan bunuh diri bagi pasien yang sakit kronis dan sebagainya berupa maslahah individu yang ditolak oleh syara’, para ulama sepakat tidak sah menjadikan maslahah ini sebagai landasan dalam menetapkan hukum.[47]   

Syeikh Muhammad Bin Hasan Al Jaizani memberikan rumusan yang serupa. Yaitu sesuatu yang dipandang hamba (dengan pandangan yang sempit) sebagai maslahat tapi syara’ menolak dan mengecamnya. Bahkan ada dalil yang melarang dari kitab, sunah, ijma’ atau qiyas. Seperti maslahah yang terdapat dalam khamr. Ini termasuk diantara maslahat yang dipandang sebagai kerusakan menurut syara’, dan disisi lain yang lemah dianggap sebagai maslahah oleh hamba.”[48]      

Dan ketiga maslahah al mursalah, yaitu maslahah yang termasuk dalam tujuan syara’, namun tidak ada dalil khusus yang menetapkan atau menolaknya. Dinamakan mursalah karena tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya, berbeda halnya dengan maslahah al mu’tabarah yang ditunjukkan langsung oleh dalil untuk menjaganya.[49]

Senada dengan definisi diatas Al Ghozali dalam kitab al mustashfa mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut:” sesuatu (maslahah) yang tidak ada bukti syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan melegimitasinya.”[50]

Lebih detail lagi Muhammad Bin hasan Al Jaziani merumuskan maslahah mursalah sebagai berikut, ”maslahah yang tidak disertai dalil khusus dari kitab, sunah, ijma’ atau qiyas yang melegimitasi atau menolaknya, namun tidak lepas dari dalil umum. Jadi maslahah ini tidak bersandar pada dalil tertentu, namun bersandar pada maqasid syariah dan keumuman”.[51]

Kaitannya dengan masalah ini, Imam Asy Syaukani tidak menyebutkan definisi istislah atau maslahah mursalah. Namun beliau menyebutkan bahwa ulama ushul menyebutnya dengan istilah al istidlal al mursal. Sementara Imam Al Haramain Al Juwaini dan Ibnu As Sam’ani menyebutya dengan istilah al istidlal.[52] Muhammad Bin Hasan Al Jaizani sendiri menyebutkan bahwa ada sebagian yang menyebutnya dengan maslahah mursalah, qiyas, umum, ijtihad dan beramal dengan maqasid syariah.[53] 

Dalam bukunya, Imam Al Bhuti menyebutkan bahwa perbedaan penyebutan dengan istilah munasib mursal, istislah atau istidlal sebenarnya berdasarkan pada maksud yang sama.[54] Maksud tersebut adalah pada hakekat pembahasannya, yaitu tentang manfaat dalam maqasid syariah yang tidak disertai petunjuk syara’ yang melegimitasi atau menolaknya.[55] Lebih lanjut beliau terangkan bahwa perbedaan tersebut timbul dari perbedaan sudut pandang. Pertama, ada yang melihat dari sisi maslahah yang akan dihasilkan. Kedua, melihat dari sisi keselarasan sifat yang nantinya akan menimbulkan adanya hukum. Dan ketiga, melihat pada proses pembentukan hukum atas maslahah atau sifat yang selaras tadi.[56]

Selain definisi di atas, masih ada definisi lainnya tentang maslahah mursalah, namun karena pengertiannya hampir bersamaan maka tidak perlu dikemukakan semuanya. Sebagaimana yang disebutkan Al Buthi tadi, memang terdapat rumusan yang berbeda, tapi perbedaannya tidak sampai pada perbedaan hakikatnya.

Kesimpulannya, dengan pengklasifikasian maslahah seperti diatas maka dapat menjadi pedoman yang memudahkan dalam menetapkan suatu maslahah bagi hamba. Selain itu kemaslahatan hamba lebih terjaga, karena tidak serampangan dalam penetapannya. Dan lebih dari itu berkat jasa para ulama menunjukkan perhatian Islam terhadap maslahat manusia. Sehingga ajaran Islam tidak hanya berkutat dalam ranah teologi saja, tetapi juga antropologi.  

 

3)  Syarat-syarat Maslahah

Pembahasan ini berkaitan dengan klasifikasi maslahah berdasarkan syara’. Sebagaimana telah disebutkan ada 3 maslahah menurut syara’, yaitu Mu’tabarah, Mulghah dan al Mursalah. Untuk maslahah pertama dan kedua telah jelas tentang kekuatan argumennya sebagaimana yang telah kami terangkan, karena ada keterangan langsung dari nash syar’i, tidak sebagaimana yang ketiga. Sehingga dalam menggunakannya para ulama sangat berhati hati, agar tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan dan nafsu.[57] Selain itu sebagaimana disebutkan oleh al Bhuti, bahwa maslahah bukanlah dalil yang independen seperti halnya al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Namun ia adalah makna universal hasil konklusi dari berbagai hukum parsial yang disarikan dari dalil-dalil syar’i. Dan hukum-hukum parsial itu adalah bagian dari makna universal. Maka dapat dikatakan bahwa maslahah atau makna universal itu dibangun berdasarkan hukum-hukum parsial yang disarikan dari dalil-dalil syar’i. Jadi, dengan adanya syarat-syarat ini dapat membatasi universalitas maslahah serta mengkaitkannya dengan dalil-dalil syar’i yang menjadi dasar hukum-hukum parsial tadi. Sehingga tetap terjaga kesesuaian antara makna universal dengan bagian-bagiannya.[58]   

Diantara ulama yang paling longgar dalam menggunakannya adalah Imam Malik.[59] Namun, dalam berargumen dengannya beliau memberikan tiga syarat. Pertama, ada keselarasan antara maslahah yang dijadikan sebagai dasarnya dengan maqasid syariah, dan tidak menegasikan dasar tersebut serta tidak bertentangan dengan dalil qhat’i. Kedua, dapat diterima akal, terjadi pada sifat-sifat yang selaras dan rasional, serta dapat diterima oleh kelompok yang rasional. Ketiga, dalam penggunaan maslahah tersebut dapat menghilangkan kesusahan, sehingga jika tidak menggunakannya manusia akan merasa kesusahan.[60]

Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa para ulama telah menetapkan 3 syarat dalam menjadikan Al Maslahah Al Mursalah sebagai hujjah:

Pertama: berupa kemaslahatan yang hakiki, bukan kemaslahatan yang semu. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya benar-benar menarik suatu manfaat atau menolak bahaya. Jika hanya didasarkan bahwa penetapan hukum itu mungkin menarik suatu manfaat, tanpa membandingkan dengan yang menarik suatu bahaya, berarti didasarkan atas kemaslahatan yang semu. Seperti dugaan kemaslahatan dalam membatasi hak suami sampai menceraikan istrinya dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu hanya bagi hakim dalam segala keadaan.

Kedua: berupa kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannnya dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak bahaya dari mereka, bukan bagi perorangan atau bagian kecil dari mereka. Hukum tidak ditetapkan demi kemaslahatan khusus pemimpin atau para pembesar saja, dengan tidak melihat mayoritas manusia dan kemaslahatan mereka. Kemaslahatan itu harus untuk mayoritas umat manusia.

Ketiga: penetapan hukum untuk kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan dengan nash atau ijma’. Maka tidak sah menganggap suatu kemaslahatan yang menuntut persamaan hak waris antara anak laki laki dan anak perempuan. Kemaslahatan semacam ini sia-sia karena bertentangan dengan nash alqur’an. Oleh karena itu, fatwa Yahya bin Yahya al laitsi al maliki, ulama fiqih spanyol dan murid Imam Malik bin Anas adalah salah; yaitu ada seorang raja dari negara spanyol berbuka dengan sengaja di siang hari bulan ramadhan. Imam Yahya berfatwa bahwa dia tidak membayar tebusan, tapi dia harus berpuasa dua bulan berturut turut. Imam Yahya mendasarkan fatwanya bahwa kemaslahatan menuntut hal ini, karena tujuan kewajiban membayar tebusan adalah membuat jera dan menahannya sehingga ia tidak kembali berbuat dosa yang seperti itu. Dan tidak ada yang membuat raja itu jera kecuali ini. Kalau ia wajib memerdekakan budak, hal itu sangat ringan baginya dan tidak membuatnya jera.

Fatwa ini didasarkan pada kemaslahatan, tetapi bertentangan dengan nash. Karena nash yang jelas dalam denda orang yang membatalkan puasanya dengan sengaja di bulan ramadhan adalah memerdekakan budak, bila tidak menemukan maka harus berpuasa dua bulan berturut turut, dan bila tidak mampu juga maka harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin, tanpa membedakan apakah yang berbuka itu seorang raja atau seorang fakir. Kemaslahatan yang dianggap seorang mufti dengan menetapkan kewajiban puasa dua bulan berturut turut bagi raja secara khusus, itu tidak termasuk maslahah mursalah tapi maslahah yang sia-sia.[61]

Dalam mengomentari perbedaan diantara ulama yang menjadikan hujjah al maslahah mursalah dan yang tidak mengambilnya, Abdul Wahaf Kholaf berkata, ”saya mengunggulkan penetapan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah. Karena jika kesempatan ini tidak dibuka, syari’at islam akan beku dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman dan lingkungan…”, lebih lanjut beliau katakan bahwa agar terhindar dari kedhaliman, hawa nafsu dan kesia-siaan dalam menerapkan maslahah mursalah, maka tidak boleh menerapkannya kecuali jika memenuhi tiga syarat maslahah yang telah dijelaskan.[62]

Ibnu Qoyyim berkata, ”di antara kaum muslimin ada orang yang berlebih lebihan dalam menjaga kemaslahatan umum. Ia menjadikan syari’at itu sesuatu yang terbatas, tidak dapat memenuhi kemaslahatan hamba yang dibutuhkan untuk lainnya. Mereka menutup diri untuk menempuh jalan yang benar dengan cara yang hak dan adil. Dan di antara mereka juga ada yang berlebih-lebihan, lalu menganggap mudah hukum Allah, menimbulkan kejelekan yang berkepanjangan dan kerusakan yang nyata.[63]

Jadi, ketika tidak ada nash syar’i yang menunjukkan hukum terhadap suatu perkara, para ulama menjadikan maslahah sebagai pertimbangan hukumnya. Namun, dalam menggunakannya mereka tidak serampangan. Terbukti dengan adanya syarat-syarat yang mereka buat. Termasuk Imam Malik sendiri yang terkenal sangat leluasa dalam beragumen dengannya. Beliau pun tetap memberikan syarat-syarat dalam menggunakannya. Sehingga terhindar dari hawa nafsu serta menjaga kesesuaian antara maslahah dengan dalil-dalil hukum yang membentuknya.

Inilah konsep maslahah dalam Islam yang telah paripurna. Dengan begitu, terbukti bahwa Islam tidak hanya mencakup ranah teologi, tapi juga antropologi. Dan syariat Islam tetap shalihun likulli zaman wal makan (cocok di segala tempat dan waktu). Selanjutnya bagaimanakah dengan humanisme?, insya Allah akan kita lihat pada pembahasan berikutnya.

 

C.    Humanisme

1)    Definisi Humanisme

Kata humanisme adalah salah satu istilah dalam sejarah intelektual yang sering digunakan dalam berbagai bidang, khususnya filsafat, pendidikan dan literature. Kenyataan ini menjelaskan berbagai macam makna yang dimiliki oleh, atau diberikan kepada istilah ini. Meskipun berbagai pandangan mengenai humanisme memang memiliki unsur-unsur kesamaan, yang berkaitan dengan konsern dan nilai-nilai kemanusiaan, dan yang biasanya dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, makna-makna yang diberikan istilah ini juga memiliki nuansa yang sangat berbeda, tergantung pada kepentingan dan proyek-proyek yang direncanakan dan diajukan. Contoh dalam bidang tertentu seperti filsafat, konsep “humanisme” mengalami perubahan makna ketika dipakai oleh para filsuf dalam periode historis yang berbeda.[64]

Humanisme sebagai gerakan kemanusiaan telah mengalami proses penafsiran dan penurunan kata yang panjang. Oleh karena itu, disini akan kita telusuri makna tersebut dalam perpekstif etimologi, historis dan terminologi. Secara etimologi kata humanisme sebagaimana disebutkan oleh Tony Davis, “the root word is, quite literally, humble (humilis), from the latin humus, earth or ground; hence homo, earth-being, and humanus, earthy, human. The contrast, from the outset, is with other earth-creatures (animal, plants), and with another order of beings, the sky-dwellers or gods (dues/divus, divinus)”.[65]

Secara terminologi, dalam filsafat istilah humanisme mengacu pada serangkaian konsep-konsep yang saling terkait tentang alam, mendefinisikan karakteristik, pendidikan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam satu arti humanisme adalah suatu sistem filsafat yang koheren dan telah dikenal tentang kemajuan substantif, pendidikan, estetika, etika dan hak politik. Dalam pengertian lain humanisme lebih dipahami sebagai metode dan serangkaian pertanyaan yang bebas terkait dengan sifat dan karakter kemanusiaan seseorang.[66]      

Secara historis, singkatnya humanisme berarti suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke 14 masehi.[67] Ia lahir pada zaman renaissance, yang terinspirasi oleh paideia[68] Yunani klasik. Kata Renaissance berarti kelahiran kembali, maksudnya usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik (Yunani-Romawi).[69] Setelah itu modernisasi pun bergulir, melingkupi segala segi kehidupan, diantaranya adalah dalam ranah intelektual. Sehingga melahirkan pencerahan intelektual dengan semboyan “sapere aude” beranilah memakai nalarmu. Tuntutannya adalah agar manusia berani berpikir dan tidak pernah percaya pada sesuatu yang irasional. Masa ini dipengaruhi oleh empirisisme[70] dan rasionalisme (sikap yang menukur segala kepercayaan kepada nalar).[71]

Ketika rasionalisme diarahkan pada agama, ia menuntut segala hal metafisik harus hilang dan dapat dinalar, akhirnya agama direduksi menjadi ajaran moralitas, untuk membuat manusia menjadi beradab. Maka mulailah timbul benih-benih ateisme. Pada giliran selanjutnya timbul keyakinan khas, yakni “kepercayaan akan kemajuan dan kepercayaan bahwa umat manusia akan maju karena kemajuan ilmu pengetahuan”.[72]

Itulah definisi humanisme, dari ketiga definisi diatas terlihat bahwa manusia menjadi isu sentral dalam humanisme. Dan bahkan pada akhirnya manusia betul-betul menjadi prioritas utama. Sehingga agama pun tereduksi karenanya.

2)    Macam-macam Humanisme

Secara umum berdasarkan historis kita dapat membagi humanisme menjadi 5. Pertama, Humanisme Klasik. Kedua, Humanisme Renaissance. Ketiga, Humanisme Sekular. Keempat, Humanisme Atheis. Dan kelima, Humanisme Teistik.    

Pertama Humanisme Klasik, pada masa ini ada 2 kekuatan besar, yaitu Yunani klasik dan kristiani. Tentang perkembangannya telah kami singgung diatas. Diantara filosof yang berperan dalam Yunani klasik adalah anaximenes[73], heraklitos[74] dan akhirnya dimatangkan pikirannya pada masa sokrates[75]. Pada masa ini terjadi peralihan dari pemikiran kosmologi menuju antrophosentris. Sedangkan dari kristiani diantaranya pelopornya adalah St. Agustinus[76] dan Thomas Aquinas[77]. Mereka membawa ajaran baru yang melihat manusia sebagai makhluk kodrati dan adikodrati, sehingga memicu perseteruan antara kedua kekuatan tersebut. 

Kedua Humanisme Renaissance, Inilah yang disebut zaman renaissance. Kata Renaissance berarti kelahiran kembali, maksudnya usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik (Yunani-Romawi).[78] Ada 3 aliran yang tumbuh, yaitu neoplatonik[79], Kristiani[80] dan Naturalis[81].  

Ketiga Humanisme Sekular, ia lahir sebagai implikasi dari abad pencerahan.[82] Abad ini dikuasai oleh paham rasionalisme dan sentralitas subjek, sehingga Humanisme Sekular meyakini bahwa subjek itu mesti mewujud dan mengembangkan diri. Maka, filsafat pada masa ini justru bersifat anthroposentris. Penyebab utama tidak lagi dicari dalam tuhan atau arche yang alamiah, melainkan dalam diri manusia sendiri. Manusia semakin menemukan kepastian dalam dirinya, bukan lagi dalam kuasa gereja, wahyu, agama atau tradisi. Subjek dan rasio menjadi menjadi sentral, terutama dalam filsafat Hegel[83]. Sedangkan posisi agama dapat dilihat dalam pemikiran Bertand Russell.[84]

Keempat, Humanisme Ateistik. Aliran ini adalah implikasi dari munculnya modernitas di eropa abad 17, yang terwarnai oleh paham rasionalisme dan empirisisme. Ketika paham tersebut diarahkan pada agama maka agama menjadi ajaran moralitas saja, disinilah benih ateistik mulai  muncul. Diantara tokohnya adalah Auguste Comte, Friedrich Nietzsche dan Sigmund Freud .[85]

Kelima, Humanisme Teistik. Aliran ini lebih didominasi oleh aliran eksistensialisme, diantara tokohnya adalah Kierkegaard[86], Gabriel Marcel[87] dan Merleau Ponty.[88]

Jadi, melihat macam-macam humanisme diatas, ternyata paham humanisme mengalami perkembangan dan perubahan. Sehingga terbentuk bermacam-macam aliran dengan tehnik yang beraneka ragam pula. Dari masing-masing klasifikasi yang ada proyek dan sentralnya masih sama, yaitu mengutamakan nilai harkat manusia. 

 

       

3)    Maslahat (manfaat) dalam perpekstif Humanisme

Dalam pembahasan kali ini akan ditelusuri tentang maslahat dalam perpekstif Humanisme, yaitu dengan menelaah beberapa aliran filsafat. Ada 3 aliran yang kami jadikan sebagai acuan dalam pembahasan ini. Yaitu komunisme, pragmatisme dan eksistensialisme. Sebagaimana yang disebutkan oleh Paul Edward dalam Encyclopedia of Philoshopy, bahwa ketiga aliran tersebut terbentuk berdasarkan paham humanisme.[89]

Eksistensialisme

Secara harfiah kata eksistensialisme berasal dari bahasa inggris existence; dari bahasa Latin Existere yang berarti muncul, ada, timbul atau memiliki keberadaan actual; jadi, kata eksistensialisme adalah gabungan dari ex: keluar, dan sistere: tampil, muncul.[90]

Aliran Eksistensialisme dipelopori oleh Kierkegaard, banyak yang sejalan dengannya sampai tahap dia memasukkan unsur Tuhan didalamnya. Dalam Eksistensialisme terdapat dua tradisi, yaitu Eksistensialisme kristiani dan Eksistensialisme humanis.[91] Kita bahas disini dari sosok yang membuat paham Eksistensialisme menjadi terkenal ke seluruh dunia, yaitu Jean Paul Sartre.[92]

Eksistensialisme adalah aliran yang menekankan eksistensia. Sebagaimana pendapat Sartre bahwa Eksistensi mendahului esensi, “Existence Precedes Essence”.[93] Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran tentang eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis yang sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi. Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia bisa menjadi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinan yang dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran seperti itu menurut kaum eksistensialis hidup ini terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi adalah kemerdekaan. Segala yang menghambat kemerdekaan harus dilawan.[94]

Sumbangan pribadi Sartre yang paling penting dan yang menyebabkan filsafatnya sangat terkenal adalah tentang kebebasan individu. Di dunia tak bertuhan katanya, kita tidak mempunyai kemungkinan lain kecuali memilih, dan serentak menciptakan nilai-nilai kita sendiri. Namun, dengan demikian sebenarnya kita menetapkan aturan dasar bagi kehidupan kita. Dan dengan demikian pula kita menentukan ke arah mana kepribadian kita sendiri akan berkembang; kita menciptakan diri kita sendiri. Menurutnya tiap orang memiliki kebebasan penuh untuk memilih hendak menjadi apa dirinya; dan hidup sepenuhnya berarti membuat pilihan tersebut, dan kemudian hidup sesuai pilihan yang dibuatnya, dengan kata lain komitmen.[95]    

Berdasarkan norma kemerdekaan mereka berbuat apa saja yang dianggap mendukung penyelesaian hidup. Tanpa memperdulikan segala peraturan dan hukum. Sebagai ganti mereka bertanggung jawab pribadi dan siap menanggung segala konsekwensi. Satu-satunya hal yang diperhatikan adalah situasi. Dalam menghadapi problem, apa yang baik menurut pertimbangan dan tanggung jawab pribadi seharusnya dilakukan dalam situasi itu. Yang baik adalah menurut pertimbangan norma mereka, bukan berdasarkan perkara dan norma masyarakat, negara atau agama.[96]

Jadi, dengan melihat beberapa pokok pikiran dari aliran eksistensialisme ini, kita dapat simpulkan bahwa maslahat menurut alliran ini adalah kemerdekaan dan kebebasan individu, itulah tujuan yang diperjuangkan dalam hidup. Walaupun harus melanggar norma-norma yang ada.

Pragmatisme

Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “(pragma) phi ro alpha gamma mu alpha“, yang berarti tindakan atau perbuatan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan dalam bidang filsafat oleh Mr. Charles Peirce pada tahun 1878, lewat artikelnya yang berjudul “How to make Our ideas clear“, pada bulan Januari dalam acara “popular science monthly“.[97] Sedangkan -isme adalah Akhiran yang menandakan suatu faham atau ajaran atau kepercayaan[98]. Dengan demikian pragmatisme adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenarannya faedah atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil.[99]  

Bryan magee menyebutkan bahwa Pragmatisme adalah suatu teori yang menyatakan bahwa suatu pernyataan adalah benar bila pernyataan itu memenuhi tugasnya, yakni secara akurat mendeskripsikan situasi, mendorong kita untuk mengantisipasi secara tepat, dan selaras dengan pernyataan-pernyataan lain yang sudah teruji dan sebagainya.[100]   

Paham pragmatisme lahir di Amerika pada awal abad ke 20 di tangan tiga pemikir ulung, Charles Sanders Peirce, William James dan John Dewey yang bersepakat bahwa akal harus diarahkan untuk bekerja, bukan sekedar menganalisa. Mereka menganggap pengetahuan sebagai alat untuk melakukan sesuatu yang produktif. Bagi mereka, kebenaran suatu pemikiran adalah apabila ia berhasil membuktikan kegunaan dan manfaatnya yang diuji melalui pengalaman.[101]

Dalam mengambil tindakan menurut kaum pragmatis ada 2 hal penting. Pertama, ide atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan tertentu. Kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan merupakan metode bertindak yang pragmatis. Selanjutnya untuk merealisasikan ide tersebut akan dilakukan tindakan tertentu sebagai realisasi ide tadi. Jadi tindakan tidak dapat dilepaskan dari tujuan tertentu, dan tujuan adalah konsekwensi praktis dari adanya tindakan itu. Dalam hal ini pragmatisme adalah suatu metode untuk menentukan konsekuensi praktis dari suatu ide atau tindakan.[102]

Aliran pragmatis ini beranggapan bahwa segala kebenaran ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan memperhatikan kegunaannya secara praktis.[103] Peirce berpendapat bahwa langkah untuk menjelaskan makna dari suatu pemikiran dapat dilakukan dengan melihat pengaruhnya dalam tataran praktis pada kehidupan manusia. Ia beranggapan bahwa susunan kalimat dan struktur bahasa yang menjadi dasar dari rencana suatu aksi (plans of action), begitu juga setiap pemikiran yang tidak dapat melahirkan nilai praktisnya di dunia realita maka pemikiran tersebut adalah pemikiran yang keliru atau tidak memiliki makna yang dapat dijadikan pedoman.[104]

William james mengatakan bahwa keyakinan yang benar adalah keyakinan yang berujung pada keberhasilan di dunia. Oleh karena itu pemikiran dan keyakinan kita dimaksudkan sebagai sarana keberhasilan kita di dunia realitas. Menurutnya bukti kebenaran adalah keyakinan kita terhadap kebenaran tersebut lebih banyak daripada yang mengingkarinya di dunia nyata. Atas dasar itu hakekat kebenaran terletak pada kemungkinan pemikiran tersebut untuk dijadikan sarana atau alat bagi langkah praktis dalam kehidupan nyata. Jadi, suatu perilaku manusia dianggap baik jika mampu mewujudkan manfaat bagi kehidupan manusia. Pengertian benar atau salah tergantung pada cash-value dalam kehidupan nyata. Tidak ada kebenaran dalam kebenaran kecuali jika hasil dan manfaatnya terlihat jelas dalam dunia realita.[105] 

Selanjutnya datang Dewey yang secara tegas mengatakan bahwa pemikiran tidak lain hanyalah perantara atau sarana yang mengabdi pada realitas kehidupan. Suatu keyakinan dianggap benar jika ia mampu membawa pengaruh praksis pada kehidupan nyata. Pada kondisi itu maka suatu keyakinan akan memiliki cash-value seperti yang dikatakan james.[106] Demikian tadi pemikiran dari ketiga tokoh pragmatis yang sepakat bahwa sesuatu dikatakan kebenaran jika terbukti pengaruhnya dapat disaksikan dalam tataran aplikatif. Dalam memberi patokan kebenaran Dewey mencantumkan ukuran yang sama dengan Peirce, yaitu bahwa suatu hipotesis itu benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan menurut tujuan kita. Dengan hati-hati dan teliti, ia menekankan sesuatu itu benar bila berguna.[107]

Jadi, menurut aliran pragmatisme sesuatu dikatakan maslahah apabila bernilai praktis. Dan itulah yang benar menurut mereka. Kalau sesuatu tidak dapat dibuktikan secara praktis berarti tidak benar dan bukan maslahat.

Komunisme

Kata komunisme dalam bahasa inggris adalah Communism, dan bahasa latinnya adalah Communis, yang berarti umum, sama, dan universal. Maksudnya adalah suatu struktur sosial dimana semuanya diurus bersama.[108] Ketika membahas komunisme maka tidak akan lepas dari marxisme yang merupakan ide-ide dasar dari komunisme.[109]

Perlu diketahui bahwa istilah marxisme tidak sama dengan komunisme. Komunisme yang juga disebut dengan komunisme internasional adalah nama gerakan kaum komunis. Komunisme adalah gerakan dan kekuatan politik partai-partai yang sejak Revolusi Oktober 1917 di bawah pimpinan W.I. Lenin. Istilah komunisme juga dipakai untuk ajaran komunisme atau Marxisme-Leninisme yang merupakan ajaran atau ideologi resmi komunisme. Jadi Marxisme menjadi salah satu komponen dalam sistem ideologis komunisme. Kaum komunis memang selalu mengklaim monopoli atas interprestasi ajaran Marx, tentu dengan maksud untuk memperlihatkan diri sebagai pewaris sah ajaran Marx tersebut. Sebelum dimonopoli oleh Lenin, istilah komunisme dipakai untuk cita-cita utopis masyarakat, dimana segala hak milik pribadi dihapus dan semuanya dimiliki bersama.[110]

 Konsep perjuangan kelas Marx dapat dengan mudah ditelusuri dalam karyanya yang  ditulis bersama Engels dengan judul Manifesto Of Communist Party. Marx berkata,

 

“The history of all hitherto existing society is the history of class struggles. Freeman and slave, patrician and plebeian, lord and serf, guild-master and journeyman, in a word, oppressor and oppressed, stood in constant opposition to one another, carried on an uninterrupted”[111]

 

Dari pernyataan tersebut, tersirat beberapa pemikiran penting Marx dan Engels. Pertama, bahwa gagasan sentral dan yang ada dibalik pernyataan itu adalah fakta, bahwa sejarah umat manusia diwarnai oleh perjuangan atau pertarungan diantara kelompok-kelompok manusia. Dan dalam bentuknya yang transparan, perjuangan itu berbentuk perjuangan kelas. Menurut Marx bersifat permanen dan merupakan bagian inheren dalam kehidupan sosial. Kedua, pernyataan ini juga mengandung preposisi bahwa dalam sejarah perkembangan masyarakat selalu terdapat polarisasi. Suatu kelas selalu berada dalam posisi bertentangan dengan kelas-kelas lainnya. Dan kelas yang saling bertentangan ialah kaum penindas dan kaum yang tertindas. Marx berpendapat bahwa dalam proses perkembangannya, masyarakat akan mengalami perpecahan dan kemudian akan terbentuk dua blok kelas yang saling bertarung, kelas borjuis kapitalis dan kelas proletariat.[112]

Terlepas dari otoritarianisme serta bentuk-bentuk kekerasan lain dalam praktek pemerintahan dihampir semua Negara marxisme /komunisme, tujuan utama ajaran marxisme itu sendiri pada prinsipnya adalah mendudukkan manusia (masyarakat atau kaum buruh) pada pusat kehidupan. Paling tidak secara teoritis (masyarakat) manusia dijunjung tinggi martabat dan kemanusiaannya. Untuk mencapai tujuan itu, maka perlu diadakan perombakan sistem sosial secara besar-besaran (revolusi). Marxisme atau komunisme menghendaki pemilikan bersama atas alat-alat produksi. Pemilikan bersama menurut paham ini mencegah timbulnya penindasan, ketidakadilan, alienasi, dan dehumanisasi, khususnya pada kelas buruh. Hanya dengan pemilikan bersama atas alat-alat produksi, keadilan dan kesejahteraan sosial akan tercapai. Pada gilirannya nanti segenap umat manusia “dimanusiakan”.[113]

Lebih dalam lagi, Marx berpendapat bahwa “Religion is opium” yang berarti agama adalah candu. Terlepas dari perbedaan pendapat diantara pengikut marxisme dalam menafsirkan perkataannya ini, yang penting adalah bahwa kata-kata Marx itu merupakan kritiknya terhadap agama. Istilah candu “opium” menunjukkan sinisme dan antipati Marx yang akut terhadap agama. Menyebut agama dengan candu mengandung arti bahwa agama tidak mendatangkan kebaikan dan hanya membawa petaka. Tuhan yang diajarkan agama hanya sebagai tempat pelarian, padahal semua persoalan harus bertolak dari dan untuk manusia. Agama tidak menjadikan manusia menjadi dirinya, tetapi sebaliknya menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri.[114]

Sedangkan kaitan antara agama dan revolusi adalah bahwa agama dihasilkan dari adanya perbedaan kelas. Jadi selama perbedaan kelas itu ada, maka agama masih saja ada. Padahal agama menurut Marx adalah perangkap yang digunakan oleh penguasa untuk menjerat kaum proletar yang tertindas. Inilah hakekat pentingnya revolusi proletar, yaitu untuk menghilangkan perbedaan kelas. Dan seiring hilangnya perbedaan kelas maka akan hilang perangkapnya yaitu agama.[115]

Melihat konsep marxisme yang menjadi ide dasar dari komunisme, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai maslahat bagi mereka adalah keadilan dan kesejahteraan sosial. Yaitu keadilan dan kesejahteraan sosial yang dibangun diatas persamaan kelas dan penegasian agama. Dan dari ketiga aliran ini kita dapat tarik kesimpulan bahwa standar dalam menentukan maslahat dalam humanisme adalah dengan pertimbangan akal dan realitas yang berbeda dan berubah. Selanjutnya kita lihat pengaruh konsep maslahat humanisme ini terhadap konsep maslahat orang-orang liberal. 

 

D.      Pengaruh Humanisme terhadap konsep maslahat

Berikut kami paparkan beberapa pendapat pemikir liberal tentang maslahat yang telah terkontaminasi oleh paham humanisme. Sehingga mengubah cara pandang mereka terhadap hukum-hukum islam. Dan akhirnya melahirkan pendapat-pendapat yang menyebabkan rusaknya hukum islam.       

Abdullah An Naim

Pengaruh humanisme dalam konsep maslahat An Naim dapat kita lihat ketika dia berbicara tentang syariah yang bertentangan dengan HAM. An Naim berkata,

“Sementara menurut saya Syariahlah yang direvisi, dari sudut pandang islam, untuk memelihara hak-hak asasi manusia universal tersebut”.[116]

 

Dari sini nampak pengaruh humanisme dalam diri An Naim, maslahat bagi dirinya adalah kemanusiaan, terbukti dengan lebih mengutamakan HAM daripada syariat. Sebagai contoh tuduhan An Naim bahwa syariat telah melakukan diskriminasi terhadap wanita, yaitu dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian lebih sedikit dari bagian laki-laki muslim, ketika keduanya berada pada tingkatan yang sama dalam hubungannya dengan seseorang yang meninggal. Kemudian laki-laki muslim dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan muslim hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki dalam waktu yang bersamaan.[117]

Selanjutnya tawaran dalam merevisi syariat dengan sudut pandang islam tersebut ia hadirkan dalam sebuah pendekatan baru yang disebutnya dengan Evolutionary Approach, sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembangkan oleh gurunya Mahmud Muhammad. Essensi pendekatan ini adalah “in other word, the evolutionary principle of interpretation is nothing more than reversing the process of naskh or abrogation so that those texts which were abrogated in the past can be enacted into law now, with the consequent abrogation of text taht used to be enacted as Shari’a”.[118]

Menurut An Naim pendekatan ini perlu dilakukan karena dia yakin bahwa norma-norma politik dan hukum politik spesifik dari al Quran dan Sunnah periode madinah tidak selalu mencerminkan makna dan implikasi pesan yang pasti sebagaimana yang diwahyukan di Makkah.[119] Dengan kata lain pesan-pesan fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyah bukan madaniyyah.

 

Muhammad Syahrur.

Pengaruh Humanisme terhadap konsep maslahat syahrur tercermin dalam perkataannya,

“Sesungguhnya ayat-ayat hukum yang memiliki eksistensi mutlak (yaitu apa yang kami sebut dengan “Syariat Islam”/Ash Shariah Al Islamiyah) adalah satu hal, sedangkan fiqih islam yang mencerminkan interaksi manusia dan pemahaman mereka terhadap syariat islam pada penggal waktu historis tertentu adalah sesuatu hal yang lain. Syariat Islam bersifat Ilahiyah, sedangkan fiqih islam bersifat humanis-historis. Tanpa kesadaran adanya perbedaan ini dan tanpa adanya pemahaman terhadapnya dengan sepenuh hati, maka tidak ada harapan bagi kita untuk dapat keluar dari kebuntuan problematika bahwa aislam bersifat ilahi sedangkan fiqih islam dan tafsir bersifat manusiawi”.

 

Dari pernyataan ini nampak pengaruh humanisme pada diri Syahrur. Ia melakukan dikotomi antara syariah islam dan fiqih islam, dengan mengatakan bahwa Syariat Islam bersifat Ilahiyah, sedangkan fiqih islam bersifat humanis-historis. Padahal, keduanya adalah satu-kesatuan. Berarti maslahat bagi Syahrur adalah kemanusiaan, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit.

 Lebih nampak lagi pengaruh humanisme dalam pendapat dia tentang ijtihad, dia menyatakan bahwa,

“أنّ الإجتهاد يكون في النص المقدس حصرا. أمّا القول بقاعدة لا اجتهاد فيما ورد فيه النص, فهو ليس عندنا بشيء. فإن قال قائل: اجتهد خارج النص, أقول: و لماذا أجتهد إن كان لا يوحد فيه نص؟ فمع عدم وجود النص يستطيع المشرع أن يشرع ما شاء.”[120]

 

Bahkan lebih lanjut dia menyatakan bahwa ketepatan ijtihad ditentukan oleh kesesuaiannya dengan realitas.

فالاجتهاد صحيح و مقبول ما يتجاوب مع الواقع الموضوعي, معيار الفهم و المصاداقية هذا هو الذي يحدد صحة القراءة أو خطأها. [121]

Buah dari pemikirannya tersebut, lahirlah sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Contoh penerapan dari teorinya ini adalah dalam masalah potong tangan. Dengan mengatakan bahwa penetapan hukum islam itu beradab dan manusiawi, maka dia menyatakan bahwa hukum potong tangan termasuk bersifat hududiyah, maka tidak harus dengan memotong pergelangan tangan, tetapi bisa juga dengan penjara.[122]

Dari kedua pendapat tersebut tampak adanya pengaruh dari humanisme, tidak hanya dalam konsep maslahatnya, Bahkan dalam perkara yang sangat krusial dalam ranah hukum islam, yaitu yang berkaitan dengan metode penetapan hukum. Dan giliran selanjutnya akan merombak tatanan hukum islam yang sudah paripurna.

E.      Kesimpulan

Dari kedua pembahasan di atas dapat kita ambil beberapa poin, terutama yang terkait dengan perbedaan antara konsep maslahat dalam islam, liberal dan dalam perpekstif humanisme. Konsep maslahat dalam Islam ditetapkan dengan akal atas bimbingan wahyu, sehingga akal tidak berdiri sendiri dan maslahat tersebut mencakup 5 hal  yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Sedangkan dalam perpekstif liberal maslahat disepadankan dengan humanisme dengan lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga dalam menetapkannya masih menggunakan wahyu dengan standar akal dan realitas. Dan dalam perpekstif humanisme Sesuatu dianggap maslahat berdasarkan pada kepentingan manusia diantaranya adalah demi kesejahteraan sosial, kemerdekaan atau kebebasan individu dan segala yang bernilai praktis, sehingga manusia menjadi tujuan sentralnya. Kemudian dalam menetapkan maslahat tersebut mereka menggunakan akal dan standar realitas yang ada.

Melihat perbedaan-perbedaan yang ada, apabila standarisasi maslahat dikembalikan pada al Quran dan Sunnah, maka kelurusan hukum-hukum islam akan terus terjaga. Sebaliknya jika dikembalikan pada selainnya, bahkan menegasikan norma serta aturan-aturan yang ada, selain hukum-hukum islam yang akan rusak, maka justru akan mendatangkan kerusakan. Pembaharuan dalam islam akan terus berjalan istiqomah dengan tetap menggunakan kaidah yang berlaku dalam islam, tanpa meminjam kaidah dari yang lain. Karena kaidah dalam islam bersumber dari sesuatu yang tidak pernah berubah dari awal, kini, dan begitupun seterusnya, yaitu berpijak pada sesuatu yang absolut dan tetap, yakni wahyu –al-Qur’an dan al-Hadits-. Wallohu a’lam bis showab.

Daftar pustaka

 

Abdullah, Amin, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press dan Forum Studi Hukum Islam, cet-1, 2004)

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia; Memahami Manusia melalui Filsafat, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet 1, oktober 2000)

Abu Zahrah, Muhammad, ushul fiqh, (Darul Fikr Al Araby, tt)

Ahmad Suhelmi, Pemikiran politik Barat: kajian sejarah perkembangan pemikiran Negara, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet-3, September 2007)

Al Buthi, Muhammad Said Romdhon, Dhowabitul Maslahah fis Syariah Al Islamiyah, (Muassasah Risalah)

Al Fayumi, Al Misbah Al Munir, (Al Mostafa.com.pdf)

Alim, Yusuf Hamid, Al Maqosid Al ‘Ammah Lissyariah Al Islamiyah, (Riyadh: Ma’had Ali Al Fikri Al Islami, Cet-2, 1994 M/1415 H)

Al Jaizani, Muhammad Bin Hasan, Ma’alim fi Ushulil Fiqh ‘Inda Ahlis sunnah wal Jama’ah, (Riyadh: Darul Ibnul jauzi, cet 1, 1996 M/1416H)

Al Ghozali, Abu Hamid, Al Mustashfa bi tahqiqi Abdullah Mahmud Muhammad Umar, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, cet 1, 2008)

Amir Syarifudien, Ushul Fikih, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, Cet 5, 2009 M) Vol. 2.

An-Na’im, Abdullah Ahmad, Dekonstruksi syariah: wacana kebebasan sipil, HAM, dan hubungan internasional dalam islam, Alih bahasa: Ahmad Suaedy dan Amirudin Ar Rany, (Yogyakarta: LKis, Cet-4, April 2004)

An-Na’im, Abdullah Ahmad, Toward an Islamic Reformation; civil libertes, Human Rights and international law, (New York: Syracuse University Press, 1990)

 Asy Syarafa, Ismail, Ensiklopedi Filsafat, Alih bahasa: Shofiyullah Mukhlas (Jakarta Timur: Khalifa (Pustaka Al Kautsar Grup), Cet-1, April 2005)

Asy Syatibi, Abu Ishaq, Al I’tisham, (Beirut-Libanon; Darul Kutub Al Ilmiyah, Cet 1, 1988 M/1408 H ) Vol. 2.

Asy Syatibi, Abu Ishaq, Al Muwafaqat fi Ushul Asy Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, Cet 1, 1997 M/1417 H) Vol. 2.

Asy Syaukani, Muhammad Bin ‘Ali, Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min ‘Ilmil Ushul tahqiq Abu Hafs Saami Al Asary, (Riyadh: Darul Fadhilah, cet 1, 2000 M/1421 H) Vol. 2

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, Cet-4, September 2005)

Barnes, Wesley, The philosophy and literature of existentialism, (New York: Barron Educational Series, 1968)

Bertens, K, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet-4, 2006)

Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, Cet-15, 1998)

Craig, Edward, Concise Routledge encyclopedia of philosophy, (Routledge)

Davies, Tony, Humanism, (London: Routledge, 1997 M) 

Fadhilah, Iman, Potret Homoseksual dalam Wacana Fiqh Klasik. (Justisia, 2004) edisi 25 th XI.

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, Cet 24, 2011)

Ibnu Abdil Azis, Izzudin, Qowaidul Ahkam fi islahil Anam, (Damaskus: Darul Qolam, tt)

Ibnu Asyur, Muhammad Bin Thohir, Maqasid Asy Syariah Al Islamiyah, (Kairo: Darus Salam, 2006 M/1427 H)

Ibrohim, Abu Ishaq Bin Musa Asy Syatibi, Al I’thisom, (Riyadh: Darul Fikr) Vol. 2.

Imam, Muhammad Kamaludin, Ushulul Fiqh Al Islamy, (Iskandariyah: Darul Matnu’at Al Jami’ah)

James, William, Pragmatism, (The Echo Library, 2009)

J. Aspell, Patrick, Medieval Western Philoshopy: The European Emergence, (Washington DC: The Council fro Research in Values and Philosophy, 1999)

Kholaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Iskandariyah: Maktab dakwah islamiyah, cet 8, 2002 M)

Lacks, John dan Talisse, Roberts B, American philosophy: An Encyclopedia, (New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2008)

Magee, Bryan, The story of Philosophy, Alih bahasa: Marcus Widodo dan Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius, Cet-5, 2008)

Maksum, Ali, Pengantar filsafat, (Yogyakarta: Ar-ruzzmedia, Cet-2, Oktober 2009)

Mandzur, Ibnu, Lisanul Arab, (Kairo: Darul Ma’arif )

Marx, Karl dan Engels, Friedrich, Manifesto of The Communist Party, (New York: Cosimo Classis, 2009)

McLean, George F. dan Aspell, Patrick J, Ancient Western Philosophy: The Hellenic Emergence, (Washington D.C: The Council for Research in Values and philosophy, 1997

Musthofa, Ibrohim DKK, Al Mu’jam Al Wasith, (Kairo: Maktabah Asy Syuruq Ad dauliyah, cet-4, 2004 M/1425 H)

Nirwan Syafrin, Syariat Islam antara ketetapan nash dan maqosid syariah, (Islamia, Muharram 1425/Maret 2004)  No. 1

Raysuni, Ahmad, Nadzhariyatul Maqasid indal Imam Asy Syatiby, (Virginia: Al ma’had Al ‘Aly lil fikri al islamy, cet 4, 1995 M/1416 H)

Sartre, Jean-Paul, Being and Nothingness,(New York: Routledge Routledge Taylor and Francis Group, Cet-7, 2000)

Sugiharto, Bambang, Humanisme dan Humaniora: relevansinya bagi pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra, cet 1, September 2008)

Suseno, Franz Magnis, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, Cet-7,2006)

 

Suseno, Franz Magnis-, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet-7, September 2005)

 

Syafrin, Nirwan, Kritik terhadap Paham Liberalisai Syariat Islam, (Jurnal Tsaqofah, R. Tsani 1429 H) Vol. 4. No. 2.

Syahrur, Muhammad, Dirasah Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Al-Ahali, 2000)

Syahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Alih Bahasa: Sahiron Syamsudin, MA. Dan Burhanudin, (Yogyakarta: Elsaqpress, Cet-5, 2008)

 

Syalabi, Muhammad Musthofa, Al madkhal Fil Fiqh Al Islamy, (Beirut: Darul Jamiah, cet 10, 1985 M/1405 H)

Syarifudin, Amir, Ushul Fikih, (Jakarta: Kencana, mei 2009) Vol. II.

Tjaya, Thomas Hidya, Humanisme dan Skolastisime; sebuah debat,  (Yogyakarta: Kanisius, Cet 5, 2008 M)

Masduqi, Irwan, Rekonstruksi Paradigma Hukum Islam, (http://www.scribd.com/doc/27965052-E-Book-Rekonstruksi-Paradigma Fikih Islam/27.03.2010/10:00

Musa Musawir Humanisme, (PDF, http://islamalternatif.net/iph/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=55/15.04.2010/17:30

http://id.wikipedia.org/wiki/-isme/18.04.2010/00:19 WIB)

Internet Encyclopedia of philosophy, http://www.iep.utm.edu/aquinas/#H3/12.06. 2010/13.30WIB.

Internet Encyclopedia of philosophy, http://www.iep.utm.edu/faithre/#SH5b/12.06. 2010/17.00WIB.

   

 

 

 

 


[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah No. 2331 dan Ahmad No. 2719.

[2] Muhammad Said Romdhon Al Buthi, Dhowabitul Maslahah fis Syariah Al Islamiyah, (Muassasah Risalah) Hal. 79.

[3] Lihat Nirwan Syafrin, Kritik terhadap Paham Liberalisai Syariat Islam, (Jurnal Tsaqofah, R. Tsani 1429 H) Vol. 4. No. 2. Hal. 290.

[4] Pernyataan Irwan Masduqi dalam bukunya mengetuk pintu syariah; sebuah telaah diskursus maqasid syariah, metode utilitarianistik, (KSW, 2006) cet-1. Hal 28. (dikutip dari Irwan Masduqi, Rekonstruksi Paradigma Hukum Islam, (http://www.scribd.com/doc/27965052-E-Book-Rekonstruksi-Paradigma-Fikih-Islam/27.03.2010/10:00 wib) Hal. 18)

[5] Ibid, hal 19.

[6] Lihat Imam Abu Ishaq Ibrohim Bin Musa Asy Syatibi, Al I’thisom, (Riyadh: Darul Fikr) Vol. 2. Hal. 318

[7] Amir syarifudin, Ushul Fikih, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, Cet 5, 2009 M) Vol. 2.. Hal. 326

[8] Lihat Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press dan Forum Studi Hukum Islam, Cet 1, 2004). Hal. 252-253.

[9] Lihat Iman Fadhilah, Potret Homoseksual dalam Wacana Fiqh Klasik. (Justisia, 2004) edisi 25 th XI. Hal. 23-32.

[10] Amir syarifudin, Ushul…, Hal. 326.

[11] Paham Humanisme menunjuk kepada proyek pembangun kehidupan manusia dan masyarakat menurut tatanan dan aturan akal budi. (Thomas Hijda Tjaya, Humanisme dan skolastisisme, (Kanisius; 2004) Hal 17.

[12] Franz-Magnis suseno, Humanisme Religius Vs Humanisme Sekuler: Islam dan Humanisme…, Hal. 208.

[13] Lihat Ibrohim Musthofa DKK, Al Mu’jam Al Wasith, (Kairo: Maktabah Asy Syuruq Ad dauliyah, cet-4, 2004 M/1425 H). Hal. 520

[14]  Al Fayumi, Al Misbah Al Munir, (Al Mostafa.com.pdf) Hal. 332-333.

[15]  Ibrohim Musthofa DKK, Al Mu’jam…., Hal. 520

[16]  Lihat Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Kairo: Darul Ma’arif ) Hal. 2479-2480.

[17] Lihat Muhammad Said Romdhon Al Buthi, Dhowabitul Maslahah…., Hal. 23

[18] Lihat Yusuf Hamid Alim, Al Maqosid Al ‘Ammah Lissyariah Al Islamiyah, (Riyadh: Ma’had Ali Al Fikri Al Islami, Cet-2, 1994 M/1415 H) Hal. 133-134.

[19] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qowaidul Ahkam fi islahil Anam, (Damaskus: Darul Qolam, tt) Hal. 7

[20] Imam Abu Hamid Al Ghozali, Al Mustashfa bi tahqiqi Abdullah Mahmud Muhammad Umar, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, cet 1, 2008)  Hal. 275

[21] Imam Muhammad Bin ‘Ali Asy Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min ‘Ilmil Ushul tahqiq Abu Hafs Saami Al Asary, (Riyadh: Darul Fadhilah, cet 1, 2000 M/1421 H) Vol. 2 Hal 990

[22] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qowaidul Ahkam…., Hal. 18

[23] Lihat Ibid, Hal 15.

[24] Yusuf Hamid Alim, Al Maqosid Al ‘Ammah….., Hal. 140

[25] Asy syatibi, Al Muwafaqat fi Ushul Asy Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, Cet 1, 1997 M/1417 H) Vol. 2. Hal. 44

[26] Ibid, Hal…, Vol. 2. Hal. 45

[27] Amir Syarifudien, Ushul Fikih…, Vol. 2. Hal. 348 

[28] Lihat Muhammad Kamaludin Imam, Ushulul Fiqh Al Islamy, (Iskandariyah: Darul Matnu’at Al Jami’ah) Hal. 199-202.

[29] Asy syatibi, Al Muwafaqat …., Vol. 2. Hal. 17-18

[30] Muhammad Bin Thohir Bin Asyur, Maqasid Asy Syariah Al Islamiyah, (Kairo: Darus Salam, 2006 M/1427 H) Hal. 76

[31] Lihat Asy syatibi, Al Muwafaqat …., Vol. 2. Hal. 20

[32] Muhammad Kamaludin Imam, Ushulul Fiqh…, Hal 200-201.

[33] Asy syatibi, Al Muwafaqat …., Vol. 2. Hal. 18-20

[34] Ibid, Hal. 21.

[35] Muhammad Bin Thohir Bin Asyur, Maqasid Asy Syariah…., Hal 80.

[36] Asy syatibi, Al Muwafaqat …., Vol. 2. Hal. 22

[37] Ibid, Hal. 22

[38] Muhammad Bin Thohir Bin Asyur, Maqasid Asy Syariah…., Hal. 81.

[39] Amir syarifuddien, Ushul fikih…, Vol. 2. Hal. 350.

[40] Asy syatibi, Al Muwafaqat …., Vol. 2. Hal. 22-23

[41] Muhammad Kamaluddin Imam, Ushulul Fiqh…., Hal 201-202

[42] Imam Abu Hamid Al Ghozali, Al Mustashfa bi tahqiqi Abdullah Mahmud Muhammad Umar, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, cet 1, 2008)  Hal. 274-275, Ahmad Raysuni, Nadzhariyatul Maqasid indal Imam Asy Syatiby, (Virginia: Al ma’had Al ‘Aly lil fikri al islamy, cet 4, 1995 M/1416 H) Hal 260, Muhammad Musthofa syalabi, Al madkhal Fil Fiqh Al Islamy, (Beirut: Darul Jamiah, cet 10, 1985 M/1405 H) Hal 254-255.

[43] Abu Ishaq Asy Syatibi, Al I’tisham, (Beirut-Libanon; Darul Kutub Al Ilmiyah, Cet 1, 1988 M/1408 H ) Vol. 2. Hal. 352.

[44] Muhammad Musthofa Syalabi, Al madkhal Fil Fiqh…., Hal. 254.

[45] Muhammad Kamaluddin Imam, Ushulul Fiqh…., Hal. 199.

[46] Ibid, Hal. 199

[47] Ibid, Hal. 199-200

[48] Muhammad Bin Hasan Al Jaizani, Ma’alim fi Ushulil Fiqh ‘Inda Ahlis sunnah wal Jama’ah, (Riyadh: Darul Ibnul jauzi, cet 1, 1996 M/1416H) Hal. 243.

[49] Muhammad Kamaluddin Imam, Ushulul Fiqh…., Hal. 200.

[50] Imam Abu Hamid Al Ghozali, Al Mustashfa …., hal. 275.

[51] Muhammad Bin Hasan Al Jaizani, Ma’alim Ushul Fiqh…., Hal. 243.

[52] Imam Muhammad Bin ‘Ali Asy Syaukani, Irsyadul Fuhul…., Hal. 989.

[53] Muhammad Bin Hasan Al Jaizani, Ma’alim Ushul Fiqh…., Hal.246

[54] Muhammad Said Romdhon Al Buthi, Dhowabitul Maslahah…, Hal. 329.

[55] Ibid, Hal. 330.

[56] Ibid, Hal. 329.

[57] Abdul wahab kholaf, ‘Ilmu ushul al fiqh, (Iskandariyah; Maktabah Dakwah Al Islamiyah, 2002 M) Hal. 86.

[58] Muhammad Said Romdhon Al Buthi, Dhowabitul Maslahah…,, Hal. 115-116.

[59] Muhammad Musthofa syalabi, Al madkhal Fil Fiqh…, hal 256.

[60] Ibid, Hal 270.

[61] Abdul wahab kholaf, ‘Ilmu ushul al fiqh…, hal. 86-87.

[62] Ibid, hal 88.

[63] Ibid, hal 88.

[64] Thomas Hidya Tjaya, Humanisme dan Skolastisime; sebuah debat,  (Yogyakarta: Kanisius, Cet 5, 2008) Hal. 17.

[65]Akar kata ini, secara harfiah senada dengan kata “humilis” yang berarti kesederhanaan dan kerendahan hati (kesahajaan), dari bahasa latin “humus” yang berarti tanah atau bumi. Dari situ muncul kata homo yang berarti manusia (makhluk bumi) dan humanus yang lebih menunjukkan sifat “membumi” dan “manusiawi”. Lawan dari pemaknaan istilah itu, pada awalnya adalah makhluk ciptaan lainnya yang bukan manusia (binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan) dan termasuk pula tatanan segala yang ada, makhluk luar angkasa dan dewa-dewa”. (Tony Davies, Humanism, (London: Routledge, 1997 M) Hal. 125-126.)  

[66] “The philosopichal term humanism refers to a series of interrelated concepts about the nature, defining characteristics, powers educations and values of human persons. In one sense humanism is a coherent and recognizable philosophical system that advances substantive, educational, esthetic, ethical and political claims. In another sense humanism is understood more as method and series of loosely connected questions about the nature and character of human persons”. (Edward Craig, Concise Routledge encyclopedia of philosophy, Routledge, Hal. 365)

[67] Zainal Abidin, Filsafat Manusia; Memahami Manusia melalui Filsafat, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet 1, oktober 2000) Hal. 25.

[68] Suatu sistem pendidikan Yunani klasik yang dimaksudkan untuk menerjemahkan visi tentang manusia ideal yang bertolak dari pandangan yang semata kodrati tentang manusia. Pada abad pertengahan, perpekstif tersebut mendapat pembaruan dari paham Kristiani, terutama sejak St. Agustinus yang memandang manusia tidak sekedar makhluk kodrati, tetapi juga makhluk adikrodati, imanen, dan transenden. Dengan demikian, gagasan humanisme klasik tidak ditinggalkan, tapi diusung ke tataran transenden. Manusia pun dipandang tidak sekedar faber mundi (pekerja atau pencipta dunianya sendiri), tetapi lebih merupakan the image of god (citra tuhan atau makhluk ilahi). (Patrick J.Aspell, Medieval Western Philoshopy: The European Emergence, (Washington DC: The Council fro Research in Values and Philosophy, 1999) Hal. 31)

[69]  Prof. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, Cet-15, 1998) Hal. 44.

[70] “suatu doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman” (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, Cet-4, September 2005) Hal. 197.)

[71] Lihat  Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, Cet-7,2006) Hal. 51-52. 

[72]  Ibid, Hal. 53.

[73] Menurutnya, tubuh adalah mikrokosmos (dunia kecil) dan seakan-akan mencerminkan jagat raya yang adalah makrokosmos. Ia memandang jiwa manusia bagaikan udara. Kata anaximenes, “seperti jiwa menjamin tubuh kita, demikian pun udara melingkupi segala-galanya”. (George F. McLean dan Patrick J. Aspell, Ancient Western Philosophy: The Hellenic Emergence, (Washington D.C: The Council for Research in Values and philosophy, 1997), Hal. 28)

[74] Menurut heraklitos, alam semesta ini diatur oleh logos (rasio), yajni hukum yang menguasai segala-galanya. Manusia sebagai pribadi, terutama jiwanya, mengambil bagian dalam logos. Logos menurut dia sebagi yang bersifat ilahi, tapi bukan Allah, baginya ia harus disamakan dengan api, yang melebihi sifat material, karena ia mampu  mengubah dan menghadirkan relitas yang berubah-ubah. Dalam kosmologinya ia menyatakan  bahwa kosmos selalu berubah dari api menjadi air, lalu menjadi tanah kemudian menjadi api dan air lagi. Berdasarkan perpekstif ini heraklitos memandang bahwa jiwa manusia tetap dalam keadaan perubahan. Maka hidup dan mati menurutnya sama saja, yaitu berubah dengan esensi yang tetap. (Lihat Ibid, Hal. 51-54)

[75] Pendapatnya tentang manusia “tubuh dan jiwa sebagai dua sisi yang berbeda dari sifat manusia. Namun, ia menganggap jiwa sebagai unsur ilahi yang membuat manusia seperti dewa, dan sebagai kekuatan intelektual dan moral yang dapat mengatur dan tahu apa yang benar. Oleh karena itu, menurut Socrates, pelayanan jiwa terhadap tuhan adalah nilai-nilai manusia yang paling tinggi. Dan Socrates juga berkeyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang terus menerus mencari dirinya, pencarian itu akan terjadi dalam konteks social, maka dia harus hidup dengan orang lain untuk berdialog, ini terinspirasi dari tesisnya “The uneamined life is the not worth living” (hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak dihidupi) (lihat Ibid, Hal 106-107.)

[76] Menurutnya, manusia adalah citra tuhan, seprti tampak dalam ungkapannya yang terkenal tentang Allah dalam Confessionessnya, “telah kau ciptakan kami bagai diri-Mu sendiri, dan hati kami gelisah sampai ia beristirahat di dalam-Mu” (Cor meum inquietus est donec requiscat in ate). (lihat Ibid, Hal.9)

[77] Dia merumuskan 5 argumen tentang eksistensi Tuhan. Yaitu, 1. Penggerak yang tidak digerakkan yaitu Tuhan. 2. Tidak ada sesuatu “disebabkan oleh dirinya sendiri”, sehingga harus ada sebab pertama, yaituTuhan. 3. tentang ketergantungan yang mengharuskan adanya satu wujud wajib, yaitu Tuhan. 4. Argumen bahwa ada kesempurnaan diatas segalanya, yaitu Tuhan. 5. Argumen teleologis (rancangan alam). Jadi, harus ada yang mengarahkan segala sesuatu di dunia ini, yaitu Allah. (lihat Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Alih bahasa: Zainul Am, (Bandung: Mizan, Cet-11, Shafar 1428/Maret 2007), Hal. 277.)  Dalam Tsumma Teologia dia menyatakan bahwa daya rasio manusia menjadi tidak mungkin digunakan secara benar jika tanpa bimbingan dan diterangi oleh rhmat ilahi (daya iman). (lihat Internet Encyclopedia of philosophy, http://www.iep.utm.edu/aquinas/#H3/12.06.2010/13.30 WIB) 

[78]  Prof. K. Bertens, Ringkasan Sejarah …, Hal. 44.

[79] Herschel Baker menyatakan bahwa Ini adalah hasil prakarsa Marsilio Ficino dan Giovani Pico Della Mirandola. Ficino menyatakan bahwa manusia dengan kemampuan intelektualnya menempatkan dirinya pada martabat pertengahan antara Tuhan dan hewan, posisi ini menjadikan dia sebagai pusat semesta. Lebih jauh lagi dalam Theologia Platonica dia menyatakan bahwa manusia adalah wakil tuhan. Sedangkan Pico dengan keyakinannya bahwa dengan jiwa rasional ditambah dengan kodrat ruhaniahnya manusia selalu dapat memilih. Sehingga menurutnya kita bebas memilih untuk naik jenjang ke tahap ilahi, yaitu tahap malaikat, dengan merenugkan tentang tuhan. Humanisme ini memneri tekanan pada pemahaman atas fisik untuk memahami wilayah ruhaniyah. Kesempurnaan fisik mencerminkan keluhuran budi dan ruhnya “men sana in corpore sano”. (Dikutip dari Stefanus Junatan, Humanisme Renaissance: Humanisme dan Humaniora: relevansinya bagi pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra, cet 1, September 2008), Hal. 51-53.)     

[80] Istilah ini berhasil diwujudkan dengan baik oleh filsafat erasmus, yaitu dengan mengkombinasikan antara ajaran kristiani dan tradisi klasik, Erasmus menempatkan penekanan yang kuat tentang otonomi akal manusia dan pentingnya ajaran moral. (Edward Craig, Concise Routledge…, Hal.252.) dan (Internet Encyclopedia …., http://www.iep.utm.edu/faith-re/#SH5b/12.06.2010/17.00 WIB)

[81]  Aliran ini berpandangan bahwa rasionalitas alamiah manusia dapat menghasilkan perkembangan peradabandan lepas dari pernjara dan dogma agama. Salah satu tokohnya adalah Francis Bacon, menurutnya tujuan ilmu adalah penguasaan manusia terhadap alam, ilmu harus mempunyai kegunaan praktis dan menambah superioritas manusia terhadap alam semesta. Semboyannya yang terkenal adalah “knowledge is power”. Dengan ilmu, manusia akan menundukkan alam. (Stefanus Djunatan, Humanisme dan Humaniora…, Hal.72) dan (Ali maksum, Pengantar filsafat, (Yogyakarta: Ar-ruzzmedia, Cet-2, Oktober 2009) Hal.121.) 

[82]  Lihat dalam makalah ini, hal.

[83] Hegel tidak menganggap jiwa atau roh muncul dari alam yang tidak berjiwa, melainkan eksistensi terutama terdiri dari diri mereka sendiri, dan karenanya mereka sendiri merupakan subjek dari proses historis yang membentuk realitas. Ia berkata, “yang terbatas tidak memiliki keberadaan yang sejati”, dan berkata, “yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata”. (Bryan Magee, The story of Philosophy…,Hal.159 dan 163).  

[84] Menurut Russell agama pada awalnya disdasarkan pada perasaan ketakutan, sebagian ajaran agama adalah teroro yang tidak diketahui sumbernya dan sebagiannya lagi adalah harapan agar manusia selalu merasa memiliki pelindung. Konsep tuhan adalah konsep tirani yang dianut orang-orang timur. Dan ini tidak berharga bagi orang-orang bebas yang mampu berpikir bebas. Manusia memiliki akal yang melahirkan pengetahuan, dan penngetahuan itu dapat mengajar manusia dengan bimbingan hati nurani. Jadi tidak perlu mencari teman dari langit. (Johanes P.Wisok, Humanisme sekular: Hal 97.)  

[85] Comte telah menciptakan agama tanpa percaya pada tuhan. Manusia dapat sepenuhnya memuaskan selera religiusnya dengan mengarahkan pikiran, perasaan, dan perbuatannya menuju humanitasnya sendiri. Berkaitan dengan agama humanitas ini, comte berkata, “sementara protestan dan mereka yang percaya kepada tuhan selalu menyerang agama dengan nama Tuhan, kita harus membuang Tuhan, sekali dan selamanya, demi nama agama”. Dan Nietzsche menyatakan bahwa Tuhan sudah mati, dengan pernyataannya, “si orang sinting, saya mencari tuhan!, saya mencari tuhan!,…dimana tuhan?, teruaknya. Aku akan mengatakan kita telah membunuhnya kalian dan saya. Kita semua adalah pembunuh-pembunuhnya,..tuhan telah mati! Tuhan telah mati! Dan kitalah yang telah membunuhnya”. Sedangkan menurut Freud, agama tidak lebih dari suatu produk imajinasi. Realitas religius tidak lebih dari sesuatu yang berifat psikologis yang diproyeksikan ke dunia luar. Baginya, Tuhan merupakan ciptaan kekuatan psike yang terdapat dalam diri manusia. (Dikutip dari Darius Djehaneh, Humanisme Ateistik: …., Hal. 113, 129 dan 132.)

[86] Menurutnya eksistensi manusia memiliki 3 tahap, yaitu estetis, etis dan religius. Pada tahap estetis manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Manusia estetis adalah manusia yang hidup tanpa jiwa, tidak punya aktor dan isi dalam jiwanya. Tahap kedua adalah etis, disini semacam ada pertobatan, disini individu mulai menerima kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan dirinya serta menhayati nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Tahap ketiga adalah religius, pada tahap ini manusia meleburkan diri dalam realitas Tuhan, ia membuang nilai-nilai kemanusiaan dan berjalan mengikuti jalan Tuhan. (lihat Ali maksum, Pengantar filsafat, …., Hal. 151-153.) 

[87] Ia mengaitkan antara mempunyai dan ada dengan tubuh. Saya mempunyai tubuhku atau sayada adalah tubuh? Kalu saya katakan bahwa saya mempunyai tubuhku, saya terbentur pada pelbagai kesulitan. Tubuhku bagi saya bukan objek. Bukan salah satu atau sembarang tubuh. Demikian arti tubuh bagi ilmu pengetahuan, sebagai sistem fisis kimiawi yang ditentukjan oleh sejumlah hukum alam. (Kees Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet-4, 2006), Hal.80.) 

[88] Dia terkenal dengan ciri khas filsafat ambiguitas. Salah satu tema filsafatnya adalah tentang persepsi, menurut dia persepsi adalah jalan masuk ke dalam kebenaran, karena itu persepsi mempunyai prioritas terhadap rasio. Adanya persepsi membuktikna bahwa kita berakar dalam dunia, manusia sebagai benda berada di dunia dan persepsi sebagai relasi kita dengan dunia. Kaitannya dengan tubuh, persepsi berlangsung dalam dan melalui tubuh. Ponty berkata, “tubuh yang mengetahui lebih banyak tentang dunia daripada kita sendiri”. Tubuh bagi ponty adalah subjek persepsi, inilah pandangan yang terkenal dari Merleau Ponty tentang “tubuh-subjek”. (Lihat Ibid, Hal. 152-153)   

[89] Dikutip dari Musa Musawir (Alumnus Hauzah Ilmiah Qom, Republik Islam Iran, saat ini (tahun 2007) aktif di IRIB Islamic Rep. of Iran Broadcasting), Humanisme, (PDF, http://islamalternatif.net/iph/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=55/15.04.2010/17:30 WIB)

[90] Lorens Bagus, Kamus Filsafat…., Hal. 183.

[91] Bryan Magee, The story of Philosophy, Alih bahasa: Marcus Widodo dan Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius, Cet-5, 2008), Hal. 209.

[92] Ibid, Hal. 213.

[93] Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,(New York: Routledge Routledge Taylor and Francis Group, Cet-7, 2000) Hal. 631.  

[94] Ali maksum, pengantar filsafat…, Hal. 364.

[95] Bryan Magee, The story of Philosophy…,Hal. 217.

[96] Ali maksum, pengantar filsafat…, Hal. 365.

[97] William James, Pragmatism, (The Echo Library, 2009) Hal. 23, lihat juga John Lacks dan Roberts B Talisse, American philosophy: An Encyclopedia, (New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2008)Hal 9.

[99] Ali maksum, pengantar filsafat…, Hal. 370.

[100] Bryan Magee, The story of Philosophy…, Hal. 230.

[101] Ismail Asy Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Alih bahasa: Shofiyullah Mukhlas (Jakarta Timur: Khalifa (Pustaka Al Kautsar Grup), Cet-1, April 2005) Hal. 184.

[102] Ali maksum, pengantar filsafat…, Hal. 372.

[103] Ibid, Hal. 372.

[104] Ismail Asy Syarafa , Ensiklopedi filsafat…, hal 184

[105] Ismail Asy Syarafa, Ensiklopedi filsafat…, hal 185

[106] Ismail Asy Syarafa, Ensiklopedi filsafat…, hal 185

[107] Dikutip dari Ali Maksum, Pengantar filsafat…., Hal. 375. 

[108] Lorens Bagus, Kamus Filsafat…, Hal. 472.

[109] Bryan Magee, The story of Philosophy…, Hal.164.

[110] Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet-7, September 2005) Hal. 5.

[111] “sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas. Kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, kepala serikat kerja dan para tukang, dengan kata lain, penekan dan yang ditekan, selalu berada pada posisi yang bertentangan satu dengan lainnya, dan berlangsung tanpa terputus” Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto of The Communist Party, (New York: Cosimo Classis, 2009) Hal. 39-40. 

[112] Ahmad Suhelmi, Pemikiran politik Barat: kajian sejarah perkembangan pemikiran Negara, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet-3, September 2007) Hal.270.

[113] Lihat Zainal Abidin, Filsafat Manusia….., Hal. 29.

[114] Lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran politik Barat…, Hal. 291-292

[115] Ibid, Hal 292

[116] Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi syariah: wacana kebebasan sipil, hak asasi manusia dan hubungan internasional, Alih Bahasa: Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar Ramy, (Yogyakarta: LKiS, Cet-4, 2004) Hal. 284-285.  

[117] Ibid, Hal. 292-293.  

[118] “Dengan kata lain, prinsip evolusioner tidak lain adalah membalikkan proses naskh (penghapusan suatu teks) sehingga teks-teks yang dihapus pada masa lalu dapat digunakan dalam hukum sekarang, dengan konsekwensi penghapusan teks yang dulu digunakan sebagai basis syariah”. Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation; civil libertes, Human Rights and international law, (New York: Syracuse University Press, 1990)56.

[119] Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi syariah…., Hal. 22.  

[120] ijtihad hanya terdapat pada teks suci”. Adapun kaidah yang mengatakan, tidak (diperkenankan) berijtihad tentang sesuatu yang telah disebutkan dalam teks, tidak kami terima. Seandainya ada seseorang yang mengatakan: ‘Berijtihadlah (tentang sesuatu) yang berada di luar teks al-Qur’an (atau hadits)!’, maka saya akan mengatakan: Mengapa saya harus berijtihad ketika tidak didapati satu teks (ayat) pun dalam al-Qur’an (atau hadits)? Ketika tidak adanya teks, seorang penetap hukum diperkenankan menetapkan hukum sesukanya.”. (Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Al-Ahali, 2000), Hal. 56.)

[121] “Jadi hasil sebuah ijtihad bisa dipandang benar dan diterima jika seiring dengan realitas objektif pada saat melakukan pembacaan historis. Pemahaman dan keserasian dengan realitas objektif merupakan tolak ukur seberapa jauh penafsiran atau pembacaan hermeneutika itu benar atau salah” Ibid, Hal. 56.

[122] Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Alih Bahasa: Sahiron Syamsudin, MA. Dan Burhanudin, (Yogyakarta: Elsaqpress, Cet-5, 2008), Hal. 161

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *