Secara lebih sederhana dan konkrit, pemikiran ekonomi Islam tidak terlepas dari faktor berkembangnya wacana ekonomi Islam modern, yang mulai semarak dibicarakan pada beberapa dekade terakhir ini. Nama-nama seperti M. Nejatullah Siddiqi, M. Umer Capra, M. Abd. Manan, Ahmad Khan, Monzer Kahf adalah nama-nama yang tidak asing lagi dalam wacana ekonomi Islam. Namun jauh sebelum nama-nama tersebut, nama-nama seperti Abu Yusuf (731-798), Ibn Taimiyyah, Ibn Rusyd (meninggal 595), Ibn Khaldun (meninggal 808), al-Magrizi, dan al-Ghazali juga memberikan kontribusi besar bagi perkembangan wacana ekonomi Islam. Telah menjadi kesepakatan para peneliti, bahwa al-Ghazali termasuk salah satu tokoh yang relatif banyak memberikan kontribusi ajaran ekonomi di sejumlah karyanya seperti Ihya’ Ulum al-Din, Mizan al-Amal, al-Tafakkur fi Makhluqatillah, al-Wajiz dan lain-lain.
Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam bukunya yang berjudul Reading in Islamic Thought memasukkan nama al-Ghazali ke dalam deretan tokoh pemikir ekonomi Islam fase kedua bersama-sama dengan Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun dan tokoh yang lain. Pada fase kedua ini pemikiran wacana ekonomi Islam telah berkembang secara intensif serta ditandai dengan perubahan dalam struktur kekuasaan Islam yang semakin luas.
Umer Chapra adalah ekonom Muslim yang pertama kali memperkenalkan pemikiran ekonomi al-Ghazali melalui beberapa karya tulis dan seminar-seminarnya. Di antara karya tulis yang memperkenalkan pemikiran ekonomi al-Ghazali adalah Towards a Just Monetary System, Islam and the Economic Challenger, The Future of Economic : an Islamic Perspenctive. Hampir semua buku yang ditulis oleh Umer Chapra menyebutkan pemikiran ekonomi al-Ghazali yang berkaitan dengan maqashid al-syari’ah.
Selanjutnya pemikiran ekonomi al-Ghazali dikembangkan oleh Dr. Yusuf Qardhawi dalam karya tulisnya berjudul Daur al-Qiyam fi al-Iqtishad al-Islami yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Norma dan Etika Ekonomi Islam. Yusuf Qardhawi secara tegas mengutip pendapat al-Ghazali, terutama pada bab “Adab al-Kasbi wa al-Ma’isy” sebagai salah satu acuan etika dalam berbisnis. Pada buku yang lain Al-Imam Al-Ghazali Baina Madhihi wa Naqidhihi, Yusuf Qardhawi menganjurkan untuk mendalami pemikiran al-Ghazali di bidang ekonomi dan akan lebih baik kalau diangkat menjadi program penelitian doktor.
Di Indonesia, pemikiran ekonomi al-Ghazali direspon oleh beberapa ekonom Muslim diantaranya Adi Warman Karim. Dalam beberapa bukunya, ia selalu menyebut al-Ghazali, terutama dalam pemikiran ekonomi Islam yang berkaitan dengan kebijakan moneter dan mekanisme pasar. Bermula dari Adi Warman, akhirya direspon oleh ekonom Muslim lainnya dan dikembangkan melalui seminar-seminar dan buku-buku Perguruan Tinggi Islam.
Dasar-Dasar Ekonomi al-Ghazali
Gelar Hujjah al-Islam yang disandang al-Ghazali sebenarnya dinisbatkan kepada keberhasilannya dalam mengawinkan hukum Islam (fiqh) dengan ajaran moral (al-Tashawwuf). Di sisi lain beliau juga sebagai tokoh filsafat dan teolog. Ternyata dalam beberapa tulisannya, al-Ghazali juga banyak memunculkan konsep-konsep ekonomi (iqtishadi) khususnya dalam Ihya’ Ulum al-Din. Dalam buku ini al-Ghazali memaparkan konsep ekonomi yang berwawasan etika dan moral (syari’ah), bahkan banyak pemikirannya yang masih relevan serta tak kalah istimewanya dengan konsep ekonomi kontemporer dewasa ini.
Persepsi al-Ghazali tentang ekonomi tidak terpilah-pilah. Artinya, al-Ghazali meletakkan satu pemahaman tentang definisi ilmu ekonomi dalam bentuk kesatuan teoritik yang menjurus kepada pemahaman bahwa ilmu ekonomi (al-Iqtishad) adalah ilmu yang mempelajari tentang upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan (al-Iktisab) yang wajib dituntut (fardhu kifayah) berlandaskan etika (syari’ah) dalam upaya membawa dunia ke gerbang kemaslahatan menuju akhirat. Di sini nampak jelas bahwa ilmu ekonomi yang dibangun oleh al-Ghazali adalah ekonomi bercirikan :
1. Dimensi Ilahiah yaitu ekonomi yang berasaskan ketuhanan (Ilahiah) , bertolak dari Allah, bertujuan akhirkepada Allah (akhirat) dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari norma dan etika syari’ah.
2. Dimensi Insaniah artinya ekonomi al-Ghazali berupaya menciptakan kesejahteraan umat (maslahah).
Definisi ilmu ekonomi menurut al-Ghazali tersebut didasarkan pada empat konsep, yakni : pertama, al-Ghazali menyatakan bahwa salah satu sarana untuk mencapai tujuan akhirat adalah dengan mencari nafkah (harta yang halal) serta melalui sarana yang didasarkan pada syari’ah dalam menjalankan aktivitas ekonomi (dunia). Kedua, ketika al-Ghazali menyatakan tentang pentingnya mencari nafkah (al-Iktisab) maka bagi pelaku ekonomi hal ini adalah suatu keharusan karena merupakan sarana menuju akhirat. Ketiga, ketika al-Ghazali mengklarifikasi ilmu yang berkembang pesat pada masanya, al-Ghazali menegaskan bahwa semua ilmu itu bermanfaat dan dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu wajib dituntut secara fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Al-Ghazali memasukkan pentingnya belajar ilmu ekonomi termasuk wajib (fardhu kifayah) . keempat, ketika al-Ghazali menjelaskan tentang tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kemaslahatan/kesejahteraan hidup (maslahah).
Dengan demikian, model ekonomi Islam yang diinginkan oleh al-Ghazali adalah model ekonomi Ilahiah dan Insaniah, yakni model ekonomi yang tidak pernah lepas dari nilai-nilai moral, yang sarat nilai (value loaded), bukan sekadar memberi nilai tambah (added value) apalagi bebas nilai (value neutral). Bagi paham ekonomi naturalistik, sumber daya alam adalah faktor paling penting. Sedangkan bagi aliran monetaris yang terpenting adalah modal finansial. Tapi bagi ekonomi Islam, model al-Ghazali, sumber daya manusialah (human capital) yang menjadi kuncinya. Al-Qur’an memposisikan manusia sebagai pusat sirkulasi manfaat ekonomi dari berbagai sumber daya yang ada.
Sejarah Mekanisme Pasar Menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam magnum opus-nya Ihya’ Ulum al-Din menerangkan secara rinci tentang peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang di dalamnya harga barang dapat bergerak sesuai dengan permintaan dan penawaran. Pendapat al-Ghazali ini cukup mengejutkan bagi sejumlah pakar ekonomi terutama ekonom muslim. Bagi al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari keteraturan alami (natural order). Al-Ghazali menjelaskan bagaimana evolusi pasar tercipta :
Dapat saja petani hidup di tempat alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi para petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan itu menimbulkan masalah. Oleh karena itu secara alami juga orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan penyimpanan tempat hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah kemudian didatangi oleh para pembeli sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pandai besi yang tidak melakuka barter, juga terdorong untuk pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah, untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjual dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku pada setiap jenis barang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa al-Ghazali telah mengasumsikan, bahwa aktor ekonomi adalah penjual dan pembeli. Sedang manusia memiliki kecenderungan untuk memindahkan, menukar, dan memperjualbelikan suatu barang kepada orang lain.
Sebagai akibat dari mekanisme pasar terbuka yang telah digambarkan al-Ghazali di atas, masyarakat luas mendapat kesempatan untuk ambil bagian dalam menentukan harga. Dalam konsep ekonomi Islam, wujud pasar merupakan refleksi dari kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Meski al-Ghazali tidak menjelaskan konsep permintaan dan penawaran (demand and suply) dalam terminologi modern, namun beberapa paragraf tulisannya menunjukkan konsep permintaan dan penawaran.
Berdasarkan pandangan al-Ghazali, untuk kurva penawaran “naik dari kiri bawah ke kanan atas” dinyatakan sebagai “jika petani tidak mendapatkan pembeli barangnya, maka ia akan menjualnya dengan harga murah”. Sementara untuk kurva permintaan yang “turun dari kiri atas ke kanan bawah” dijelaskan olehnya sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”.
Dalam literatur ekonomi konvensional sebenarnya konsep permintaan (demand) dan penawaran (suply) masih sangat baru, kira-kira ditulis pada abad 19 bahkan permulaan abad 20. Para ekonom praklasikal seperti William Petty (1623-1687), Richard Cantillon (1680-1734), James Stewart (1712-1780) bahkan Adam Smith (1723-1790) belum berbicara konsep demand and suply dalam memnentukan harga. Umumnya mereka berbicara tentang ongkos produksi terutama tenaga kerja dalam menentukan nilai suatu barang.
Suatu hal yang mengejutkan bahwa al-Ghazali juga memahami konsep elastisitas permintaan “mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan”.
Al-Ghazali dan Kebijakan Moneter
Menurut Yusuf Qardhawi, kedalaman pengetahuan al-Ghazali tentang ekonomi yang paling berharga adalah mengenai keuangan dan fungsinya di abad pertengahan. Pada Ihya’ Ulum al-Din pada bab as-Syukru membicarakan masalah uang yang dipergunakan manusia dan sekaligus merupakan nikmat dari Allah. Al-Ghazali berpendapat bahwa uang adalah sesuatu yang amat penting dalam aktivitas bisnis, karena uang merupakan salah satu nikmat Allah. Keduanya (dinar dan dirham) merupakan penegak dunia, dan manusia akan selalu membutuhkannya sehingga harus ditempatkan sesuai dengan aturan-aturan Allah. Al-Ghazali menghimbau bahwa dalam penggunaannya, uang jangan sampai disalahgunakan.
Penyebab utama runtuhnya tata moneter secara makro harus disadari, karena uang bukan lagi sebagai alat tukar (medium of change), akan tetapi sudah menjadi komoditas. Padahal dalam tata aturan syari’ah, uang hanya boleh dipergunakan sebagai alat tukar barang dan jasa. Apabila uang dikembalikan pada posisinya sebagai alat tukar, maka dapat dipastikan tidak akan terjadi krisis moneter.
Uang bukan komoditi dan oleh karenanya tidak dapat diperjualbelikan dengan harga tertentu. Al-Ghazali juga mengatakan bahwa memperjualbelikan uang ibarat memenjarakan fungsi uang. Jika banyak uang yang diperjualbelikan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.
Ekonomi Islam hanya mengenal uang dalam fungsinya sebagai alat pertukaran (medium of change), yakni uang sebagai media untuk mengubah barang dari satu bentuk ke bentuk lain dan uang sebagai satuan unit (unit of account) yaitu kebiasaan menyatakan harga dalam satuan uang untuk menyederhanakan berbagai kalkulasi ekonomi. Hal itu memudahkan perbandingan harga aneka komoditi. Bayangkan saja apa yang terjadi seumpama setiap kali kita harus menghitung harga berbagai barang dan jasa yang kita konsumsi dalam nilai satuan barang dan jasa lainnya.
Teori ekonomi konvensional memasukkan alat penyimpan nilai (store of value) sebagai salah satu fungsi uang; di dalamnya termasuk motif uang yaitu demand for speculation. Namun hal semacam ini tidak diperbolehkan dalam Islam. Islam hanya memperbolehkan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga. Islam sama sekali menolak penggunaan uang untuk spekulasi. Al-Ghazali pun mengingatkan, “memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang. Jika banyak uang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang”. Bila hal ini terjadi, maka dapat mengakibatkan deflasi dan kehancuran ekonomi secara menyeluruh.
Sebagai kesimpulan akhir, upaya al-Ghazali dalam mengedepankan norma dan etika (syari’ah) untuk mewujudkan kesejahteraan umat sebagai visi ekonomi al-Ghazali, merupakan bagian esensial dalam mengarahkan ekonomi yang lebih etis, manusiawi dan berkeadilan. Visi ekonomi al-Ghazali masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan di masa sekarang dan mendatang.
Disarikan dari buku Ekonomi al-Ghazali : Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya’ Ulum al-Din, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2010) karya Abdur Rohman, M.E.I.
*Penulis adalah Peneliti InPAS
Last modified: 23/07/2011