Konsep Ta’wil Dalam Islam
inpasonline.com, 8 Oktober 2010
Di samping itu, lafazh Al-Qur’an terkadang diungkapkan secara tersirat (implisit) dan tidak tersurat (eksplisit), atau diisyaratkan terutama dalam ayat-ayat Mutasyabihat,[1] sehingga maknanya tersembunyi di bawah permukaan lafazh. Makna tersebut dapat ditemukan dengan menggunakan metode lain yaitu ta’wil, sebuah metode untuk menemukan makna batin (esoteris) dalam pengungkapan teks. Jadi, ta’wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir. Seperti firman Allah “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati” (Al-An’am: 95), jika yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir. Tetapi jika yang dimaksud adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta’wil.[2]
Dewasa ini, muncul anggapan bahwa ta’wil adalah hermeneutika Islam,[3] seiring dengan maraknya upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai metode baru dalam kajian Al-Qur’an menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh para ulama. Terbukti dengan banyaknya para pemikir muslim kontemporer yang mengusung metode hermeneutika dalam kajian Al-Qur’an, seperti Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun, Mohammed Shahrour, Hassan Hanafi, Farid Esack, dan Fazlur Rahman.
Salah satu contoh hasil dari metode penafsiran hermeneutika ini adalah kesimpulan Shahrour tentang ayat hijab dalam QS. Al-Ahzab: 59. Menurut Shahrour, ayat yang turun di Madinah ini harus dipahami dengan pemahaman temporal, karena terkait dengan tujuan keamanan dari gangguan terhadap para wanita ketika tengah bepergian untuk suatu keperluan. Gangguan alam (thabi’i) maupun sosial (ijtima’i); gangguan alam terkait dengan cuaca seperti suhu panas dan dingin, sedangkan gangguan sosial terkait dengan kondisi dan adat istiadat suatu masyarakat. Namun, alasan keamanan ini sekarang telah hilang semuanya. Maka, hendaknya wanita mukminah (dianjurkan bukan diwajibkan) menutup bagian-bagian tubuhnya yang bila terlihat menyebabkannya adanya gangguan, yaitu dengan berpakaian menurut kondisi cuaca sehingga terhindar dari gangguan alam dan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar sehingga tidak mengundang gangguan masyarakat.[4]
Ta’wil berbeda dengan hermeneutika, karena ta’wil harus berdasarkan dengan tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafazh harfiah Al-Qur’an. Perbedaan yang lain, orientasi ta’wil adalah penetapan makna, sedangkan orientasi hermeneutika adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya.[5] Selain itu, dari latar belakang historisnya, metode hermeneutika lahir dari rahim tradisi Barat yang memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka.[6]
Dari pemaparan di atas, kiranya sangat urgen untuk mengkaji lebih dalam tentang metode ta’wil yang merupakan warisan kekayaan khazanah tradisi Islam yang dianggap identik dengan hermeneutika. Tulisan ini akan membahas tentang konsep ta’wil; definisinya, kaitannya dengan makna, ruang lingkup ta’wil, dan kaidah-kaidah dalam ta’wil.
B. DEFINISI TA’WIL
1. Menurut Bahasa
Secara etimologi, ta’wil berasal dari kata آلَ يَؤُوْلُ أَوْلٌ ((الأَوْلُ yang artinya الرجوع (kembali)[7] dan العاقبة (akibat atau pahala),[8] seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 59[9] dan hadith من صام الدهر فلا صام ولا آل (Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada balasannya).[10] Sedangkan isim makan dan zamannya adalah موئلا atau الموئل yang berarti المرجع tempat kembali, seperti dalam QS. Al-Kahfi: 58.[11] Ada juga yang mengatakan bahwa kata ” أَوَّلَ ” yang berarti الرجوع إليه و يعتمد عليه(kembali dan bersandar kepadanya), juga memberi pengertian unggul dan memiliki pengikut, seperti dalam firman Allah QS. At-Taubah:108 dan Al-An’am: 163.[12] Kata أَوَّلَ digunakan karena sesudahnya kembali dan bersandar kepadanya.[13]
2. Menurut Istilah
Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian ta’wil secara istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama, ta’wil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir. Kedua, ta’wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.[14]
Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta’rifat, menyatakan “Ta’wil secara bahasa bermakna kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah”.[15]
Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah mengatakan bahwa, “Ta’wil adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah”.[16]
Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh berkata, “Ta’wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan penta’wil”.[17]
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan, “Ta’wil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir”.[18]
Abu Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama ushul dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam mengatakan, “Ta’wil adalah mengalihkan lafazh yang muhtamal dari makna zhahirnya berdasarkan dalil yang menguatkannya”.[19]
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta’wil menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa ta’wil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Ayat Al-Qur’an; ta’wil dari ayat ini adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta’wil ayat ini. Kata ta’wil yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir. Sedangkan ta’wil menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.[20]
Lebih terperinci lagi, Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa menegaskan bahwa istilah ta’wil memiliki tiga pengertian; pertama, berarti maksud dari sebuah perkataan baik sesuai dengan zhahir lafazh maupun bertentangan (makna esoteris). Makna inilah yang sering digunakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti QS. Al-A’raf: 53.[21] Contoh lain, riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallah ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca, سبحنك اللهم ربنا و بحمدك اللهم اغفر لي (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku)[22] sebagai ta’wil dari firman Al-Qur’an QS. An-Nashr: 3.[23] Kedua, berarti tafsir sebagaimana yang digunakan oleh kebanyakan para ulama ahli tafsir. Seperti perkataan Mujahid (imam al-mufassirin), “Sesungguhnya orang-orang yang mendalam ilmunya (rasikhun) mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabihat“. Kata ta’wil yang beliau maksudkan adalah tafsir dan penjelasan maknanya. Ketiga, berarti mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya karena adanya dalil yang menunjukkan hal itu. Pengertian istilah ini belum ada pada zaman salaf, baru dikenal pada zaman mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ahli fiqih, kalam, dan tashawwuf.[24]
Jadi, ta’wil dalam istilah salaf adalah sinonim dari tafsir. Kemudian pada masa khalaf mengalami perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil.
3. Ta’wil dalam Al-Qur’an
Kata ta’wil dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 17 kali. Dari penggunaan kata ta’wil dalam ayat-ayat tersebut, dapat klasifikasikan menjadi tiga macam pengertian;
a. Ta’wil li al-qaul (ta’wil perkataan)
Berarti makna sebuah perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa Arab, perkataan terbagi menjadi dua; yaitu insya’ dan khabar, bagian utama dari insya’ adalah amr (perintah). Oleh karenanya, ta’wil dalam hal ini memiliki dua pengertian;
- Ta’wil Amr yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintahkan, contohnya hadith riwayat Aisyah Radhiyallah ‘anha seperti yang telah disebutkan di atas.
- Ta’wil Ikhbar yaitu terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan, seperti firman Allah QS. Al-A’raf : 53.[25] Allah mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta’wil (terjadinya) yang dikabarkan Al-Qur’an.
b. Ta’wil li al-fi’l (ta’wil perbuatan)
Seperti apa yang dikatakan oleh sahabat Nabi Musa ‘Alaihissalam setelah melubangi perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan kembali bangunan roboh, dalam QS. Al-Kahfi: 82.[26]
c. Ta’wil li ar-ru’ya (ta’wil mimpi)
Ta’wil li ar-ru’ya atau ta’wil al-ahadith (ta’wil mimpi), seperti perkatan Nabi Ya’qub kepada putranya Nabi Yusuf ‘Alaihimassalam dalam QS. Yusuf : 6,[27] dan sebaliknya pada ayat: 100.[28]
C. ANTARA TAFSIR DAN TA’WIL
Dari difinisi ta’wil di atas, dapat diambil persamaan dan perbedaan serta keterkaitan antara keduanya. Tafsir dalam terminologi Islam adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wasallam, memahami maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya berdasarkan pada ilmu bahasa, nahwu, sharaf, ilmu bayan (balaghah), ushul fiqh, ilmu qira’at, asbab nuzul, dan nasikh dan mansukh.[29]
Ibnu Faris menyatakan bahwa maksud sebuah ungkapan tidak lepas dari tiga hal; makna, tafsir, dan ta’wil. Meskipun berbeda dari segi istilah, namun maksud dari ketiganya saling berdekatan dan terkait. Makna adalah maksud dan tujuan dari sebuah perkataan. Sedangkan tafsir, menyingkap maksud yang tersembunyi dari sebuah ayat. Adapun ta’wil, mengalihkan lafazh dari suatu makna kepada makna lain yang dikandungnya. [30]
Ar-Raghib Al-Isfahani mengatakan, “Tafsir lebih umum dari pada ta’wil. Tafsir lebih banyak digunakan kepada lafazh-lafazh, sedangkan ta’wil lebih banyak digunakan kepada makna-makna, seperti ta’wil mimpi. Ta’wil juga lebih banyak digunakan dalam kitab-kitab suci, sedangkan tafsir banyak digunakan untuk menemukan makna kata-kata dalam sebuah ucapan”.[31]
Az-Zarkasyi menambahkan bahwa, tafsir dalam istilah para ulama adalah menyingkap atau menemukan makna-makna Al-Qur’an dan menjelaskan maksudnya, ia lebih umum dari ta’wil yang hanya sekedar membahas lafazh-lafazh yang ambigu atau makna yang zhahir atau permasalah lafazh lainnya. Tafsir lebih banyak digunakan dalam kalimat-kalimat.
Selain itu, tafsir juga membahas lafazh-lafazh yang asing, seperti البحيرة السائبة، dan الوصيلة atau memberi penjelasan singkat tentang maksud sebuah ayat وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ baik perkataan yang mengandung sebuah kisah yang sulit digambarkan kecuali orang yang mengetahui sebenarnya, seperti ayatإِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ atau وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا. Sedangkan ta’wil, terkadang menggunakan lafazh umum dan terkadang lafazh khusus. Seperti kata kufur yang terkadang diartikan ingkar dalam arti yang umum, terkadang juga digunakan untuk pengingkaran terhadap Allah Azza wa Jalla dalam arti yang khusus, dan kata iman yang terkadang diartikan mempercayai (tashdiq) dalam arti yang umum, terkadang juga digunakan untuk membenarkan kebenaran, baik dalam lafazh ambigu yang memiliki beberapa makna.
Al-Bajili mengatakan bahwa tafsir berkaitan dengan riwayah (riwayat) sedangkan ta’wil berkaitan dengan dirayah (ilmu pengetahuan).[32] Hal serupa dinyatakan oleh Abu Nasr Al-Qushairy, “Tafsir terbatas hanya pada mengikuti dan mendengar (riwayat), sedangkan istimbath (kesimpulan) merupakan bagian dari ta’wil.[33] Ini juga pendapat Abu Manshur Al-Maturidi, sehingga ia menyimpulkan bahwa tafsir berlaku untuk para sahabat sedangkan ta’wil untuk para fuqaha’ (ulama). Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu dan mendengar langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam serta mereka tidak akan berbicara tanpa ilmu.[34]
Ta’wil adalah hakekat luar (haqiqah kharijiyah) dari sebuah ayat, sedangkan mengetahui tafsir dan maknanya adalah mengetahui gambaran sebuah ayat secara ilmiah, karena Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur’an agar dipahami, dimengerti, direnungkan, dan dipikirkan baik ayat yang muhkamat maupun yang mutasyabihat meskipun tidak diketahui ta’wilnya.[35]
Ta’wil merupakan bagian dari tafsir, jika tafsir menyingkap tabir makna dari sebuah lafazh, maka ta’wil menemukan makna dari lafazh yang ambigu setelah tabir tersingkap. Jadi, ta’wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir. Tafsir menyingkap tabir makna dari lafazh yang tersirat (implisit) sedangkan ta’wil menemukan makna batin (esoteris) dari lafazh yang eksplisit (tersurat) atau ambigu (mutasyabih).[36]
Ada pula yang mengatakan bahwa ta’wil adalah merajihkan suatu makna dari makna-makna yang terkandung dalam sebuah lafazh, sedangkan tafsir adalah menjelaskan makna lafazh yang hanya mengandung satu makna.[37]
Ada juga yang mengatakan bahwa tafsir hanya untuk mengetahui makna dan kosa-kata sebuah ayat, sedangkan ta’wil mengetahui hakekat dari yang dimaksudkan oleh ayat. Seperti tentang melihat Allah ta’ala pada hari kiamat kelak, tafsirnya adalah mengetahui bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat kelak, sedangkan ta’wilnya adalah hakekat dari peristiwa itu tatkala terjadi.[38]
Ringkasnya, ta’wil adalah pendalaman dari tafsir dalam mengungkap sebuah makna. Jika tafsir merupakan sebuah usaha untuk mengungkapkan suatu makna yang tersembunyi dari sebuah ayat, maka ta’wil lebih dari itu yaitu memilih makna sebuah lafazh yang ambigu yang memiliki banyak makna. Oleh karena itu, tafsir menggunakan riwayat dalam mengungkap makna sebuah ayat, sedangkan ta’wil menggunakan beberapa disiplin ilmu yang dimiliki oleh seorang mujtahid. Selain itu, tafsir biasanya hanya membahas lafazh-lafazh sedangkan ta’wil membahas makna-makna.
Jika definisi ta’wil adalah mengungkap dan memilih makna dari lafazh ambigu yang memiliki pluralitas makna, maka hermeneutika Paul Ricour merupakan hermeneutika yang paling dekat dengan difinisi ta’wil ini. Karena filsafat Ricour terarah pada hermeneutika, terutama pada interpretasi.[39] Hal ini ditegaskan sendiri oleh Ricour bahwa pada dasarnya, filsafat adalah hermeneutik yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna.[40]
Menurut Ricour, setiap kata merupakan sebuah simbol sehingga kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Ia menambahkan, setiap apa yang diucapkan atau dituliskan memiliki makna lebih dari satu jika dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Ricour menyebut ini dengan istilah polisemi, yaitu kata yang memiliki makna lebih dari satu bila digunakan pada konteks yang berbeda.[41]
Dengan demikian, interpretasi sangat dibutuhkan ketika terjadi pluralitas makna. Sedangkan interpretasi adalah sebuah usaha untuk mengungkap makna-makna yang masih terselubung dari multi lapisan makna yang terkandung dalam suatu kata.[42] Oleh karena itulah, Ricour menyatakan bahwa hermeneutika bertujuan untuk menyingkap misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol tersebut.[43]
Barangkali dari sisi inilah, sebagian orang mengidentikkan hermeneutika dengan ta’wil. Karena ta’wil merupakan usaha untuk memilih dan menetapkan makna dari lafazh yang ambigu, sedangkan hermeneutika juga merupakan usaha mengungkap makna yang masih terselubung dari lapisan makna yang terkandung dalam suatu kata. Padahal, hal ini berbeda dengan konsep ta’wil dalam Islam. Ta’wil dilakukan jika ada dalil yang mengalihkan makna lafazh dari yang eksoteris (zhahir) kepada makna esoteris (batin). Sedangkan hermeneutika tidak memperhatikan makna eksoteris (zhahir) dan langsung kepada makna esoteris (batin). Hal itu karena hermeneutika merupakan metode tafsir bible yang tidak memperhatikan zhahir teks karena bible memiliki masalah dalam otentisitas teksnya. Berbeda dengan ta’wil yang harus memperhatikan zhahir nash karena Al-Qur’an tidak memiliki masalah otentisitas teks sebagaimana bible.
D. DALIL-DALIL TA’WIL
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ta’wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya (makna rajih) kepada makna esoteris (makna marjuh) berdasarkan dalil (qarinah). Para ulama menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan ta’wil. Adanya dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri ta’wil yang shahih, sedangkan tanpa dalil adalah ta’wil yang batil dan mengikuti hawa nafsu.[44] Menurut para ulama, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna esoteris (makna marjuh) dari pada makna zhahir.
- Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah; seperti firman Allah tentang keharaman bangkai (hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah) dalam QS. Al-Maidah: 3). Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada hadith bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat tentang kambing milik Maimunah Radhiyallah ‘anha yang mati yang akan dibuang, “Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?”, para sahabat menjawab, “Tapi ini bangkai?”, beliau menjawab, “Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya”.[45] Dalil dari hadith ini mengalihkan sebuah lafazh dari makna zhahirnya.
- Ijma’; seperti firman Allah dalam QS.Al-Jumu’ah: 9,[46] secara zhahir ayat ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki, perempuan, orang yang merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma’ mengecualikan anak-anak yang belum baligh.
- Qiyas; diantara para ulama ada yang mensyaratkan harus dengan qiyas jaliy, seperti qiyas budak laki-laki pada budak perempuan dalam hal pembebasannya, sedangkan qiyas fariq tidak berlaku.
- Hikmah Tasyri’ dan kaidah-kaidah dasar syari’at; seperti kewajiban zakat dari empat puluh ekor kambing dengan satu ekor (فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ).[47] Menurut ulama Syafi’iyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan zhahir lafazh hadith dan tidak boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena lafazhnya jelas, khusus, dan qath’i. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena hikmah dari mengeluarkan zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala kebutuhan mereka serta lebih sesuai dengan keinginan syari’at.[48]
E. TA’WIL DAN MAKNA
Dalam kaitannya dengan masalah makna, seorang mujtahid ketika akan mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah harus memperhatikan hal-hal berikut;
- Makna lughawi bahasa Arab, seperti kata shalat yang berarti do’a, zakat yang berarti penyucian, dan shaum yang berarti menahan.
- Istilah-istilah syar’i; kata yang memiliki pengertian khusus dalam syar’i, sehingga makna kata tersebut harus dikembalikan kepada makna syar’i bukan kepada makna lughawi (bahasa).
- Istilah dalam urf (kebiasaan), baik urf yang bersifat umum seperti kata الدابة untuk makhluk yang berkaki empat (melata) atau kata الغائط untuk kotoran, maupun urf yang bersifat khusus seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya.[49]
Dalam hal pemilihan dan penetapan makna dari suatu kata yang memiliki pluralitas makna, ta’wil berbeda dengan hermeneutika. Dalam ta’wil, pemilihan dan penetapan makna harus mempertimbangkan tiga hal; makna bahasa, makna adat dan kebiasaan (urf), dan makna syar’i. Sedangkan dalam hermeneutika makna menjadi lepas (otonom) dan mengikuti kondisi tiga hal; intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan kepada siapa teks ditujukan.[50]
Dengan demikian, makna dalam ta’wil menjadi baku dan tetap karena mengikuti kaidah yang baku. Sedangkan makna dalam hermeneutika menjadi bias dan relatif karena mengikuti sesuatu yang selalu berubah-rubah. Jika hal ini terjadi pada Al-Qur’an, maka ayat-ayat akan menjadi rancu dan rusak.
Selain memperhatikan tiga hal di atas, dalam mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah juga harus mengembalikan kepada makna yang dekat atau berdasarkan dalil. Dalam hal ini, ada tiga macam pengalihan lafazh dari makna zhahirnya;
- Mengalihkan kepada yang terdekat. Seperti lafazh إذا قمتم إلى الصلاة dalam QS. Al-Maidah: 6,[51] kata القيام dalam ayat ini dita’wilkan (diartikan) ketika hendak dan ingin melaksanakan shalat.
- Mengalihkan kepada yang jauh, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil shahih yang menguatkan bahwa yang dimaksud dari lafazh tersebut adalah makna yang jauh. Seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ghailan Ath-Thaqafi ketika masuk Islam dan masih memiliki sepuluh orang istri, ” “أمسك أربعًا و فارق سائرهن(Pilihlah empat dari mereka dan ceraikanlah sisanya).[52] Ulama Hanafiah menta’wilkan hadith ini dengan perintah untuk menikahi empat orang wanita tersebut dengan akad baru karena mereka membedakan pernikahan kafir dan Islam. Pendapat ini ditentang oleh ulama lain yang berpendapat bahwa tidak perlu mengulangi akad nikahnya dengan alasan Ghailan masih baru masuk Islam dan belum mengetahui hukum-hukum Islam dan seandainya pendapat pertama benar, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjelaskan hal itu kepada Ghailan.
- Ta’wil batil yaitu mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung dalam lafazh. Seperti ta’wil yang dilakukan oleh kelompok Rafidhah terhadap firman Allah أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ (…atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu…).[53] Mereka menta’wilkan lafazh ini dengan selain kabilah kalian, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam.[54]
F. BENTUK-BENTUK TA’WIL
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur’an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.[55]
- Mengalihkan lafazh dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul disebut takhshish al-umum (تخصيص العموم). Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 228,[56] yang menerangkan bahwa wanita yang dithalaq oleh suaminya harus menjalani iddah (masa tunggu) selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah quru’). Ayat ini berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haidh, monopouse, atau dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang lain dalam QS.Al-Ahzab:49,[57] yang menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah (masa tunggu).
- Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad), dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (تقييد المطلق). Seperti firman Allah tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3,[58] menggunakan lafazh mutlak (muthlaq) kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata “mengalir” (masfuhan) dalam ayat yang lain yaitu QS.Al-An’am: 145,[59] sehingga yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
- Mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah dalam QS.An-Nisa’: 2[60] yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa’: 6[61] yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan dewasa. Dengan ayat kedua ini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafazh yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah baligh dan dewasa.[62]
- Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti perintah untuk mencatat hutang piutang dalam QS. Al-Baqarah: 282 yang bermakna wajib, kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283.
G. RUANG LINGKUP TA’WIL
Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur’an dengan dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat merupakan objek kajian ta’wil (majaal al-ta’wil).
Lebih spesifik lagi Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, mantuq memiliki lima macam; nash,[63] zhahir,[64] muawwal,[65] dalalah iqtidha’,[66] dan dalalah isharah.[67] Maka nash dan zhahir adalah bagian dari pembahasan tafsir, sedangkan muawwal, dalalah iqtidha’, dan dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan ta’wil.[68]
Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta’wil (majaal al-ta’wil); Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu’, yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Ta’wil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua, dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha’ah di permulaan surat-surat.[69]
1. Ta’wil dalam masalah furu’
Nash-nash hukum syariat (taklifi) merupakan lahan yang subur bagi ta’wil, karena banyak mengandung lafazh ambigu (muhtamal) yang juga menjadi lahan untuk berijtihad. Selain itu, keinginan untuk memahami nash syar’i memicu para ulama untuk melakukan ta’wil. Kendati demikian, ta’wil tidak berlaku pada nash-nash qath’i dan muhkam yang hanya memiliki satu makna dan makna yang dimaksud oleh syari’ah sudah jelas. Sebagaimana dalam kaidah disebutkan tidak ada ijtihad jika ada nash yang qath’i, mufassar, dan muhkam. Seperti bagian-bagian dalam warisan dan hukuman (had) yang disebutkan dalam nash-nash syar’i terhadap pelaku perbuatan dosa-dosa besar.[70]
Menurut ulama Hanifiyah, yang menjadi objek ta’wil adalah an-nash dan azh-zhahir.[71] Meskipun jelas, namun tidak menutup adanya kemungkinan (ihtimal) makna lain, sehingga menuntut adanya tarjih di antara makna-makna yang ada oleh seorang mujtahid dengan berlandaskan pada dalil. Selain an-nash dan azh-zhahir, termasuk juga lafazh yang mujmal (global) jika belum diperjelas (ditafsir). Seperti hukum mengusap kepala yang kadarnya masih mujmal, meskipun maknanya jelas akan tetapi hal ini membuka ruang untuk ta’wil dalam hal kadarnya. Oleh karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang huruf ba’ dalam firman Allah (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ).[72] Jika nash ayat yang mujmal ini diperjelas (ditafsir) niscaya tidak akan ada ta’wil di dalamnya.[73]
Ta’wil tidak dapat dilakukan pada lafazh yang khafi karena meskipun tersembunyi tapi maknanya jelas. Begitu juga pada lafazh musytarak, meskipun memiliki banyak makna, namun maknanya dapat diketahui dengan adanya indikasi (qarinah) di luar lafazh dan bukan mengalihkan lafazh dari maknanya yang kuat (rajih) kepada yang lemah (marjuh), bukan dengan pendekatan ushul fiqh tapi pendekatan bahasa.[74]
Jadi, nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memiliki derajat qath’i ad-dilalah tidak bisa dita’wil karena lafazhnya jelas dan hanya memiliki satu makna, seperti nash tentang masalah ushul, perkara-perkara yang merupakan aksioma keagamaan (ma’lum min ad-din bi adh-dharurah), atau lafazh yang mujmal tapi diperjelas (ditafsir) seperti shalat, zakat, shiyam, haji yang dijelaskan oleh As-Sunnah.[75]
Sedangkan dalam hermeneutika tidak ada klasifikasi teks, semua teks sama dan semua teks dapat ditafsirkan dengan metode hermeneutika. Jika hermeneutika diterapkan kepada Al-Qur’an, maka yang muhkamat menjadi mutasyabihat, ushul menjadi furu’, thawabit menjadi mutaghayyirat, qath’i dilalah menjadi zhanniy dilalah, dan yang ma’lum menjadi majhul.[76]
2. Takwil dalam masalah ushul
Objek kajian ta’wil (majaal al-ta’wil) dalam masalah ushul kebanyakan dalam masalah asma’ dan sifat Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Asy-Syaukani menyebutkan tiga madzhab; Madzhab Pertama, berpendapat nash tidak boleh dita’wil dan harus dipahami secara zhahirnya. Inilah pendapat Musyabbihah (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). Madzhab Kedua, berpendapat nash aqidah ada ta’wilnya, tetapi yang tahu ta’wilnya hanya Allah saja (QS Ali ’Imran :7).[77] Jadi, nash tidak boleh dita’wilkan untuk tetap memurnikan aqidah dari tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dan ta’thil (meniadakan sifat-sifat Allah). Madzhab Ketiga, berpendapat nash aqidah boleh dita’wilkan.[78]
Ibnu Burhan memandang bahwa madzhab pertama adalah batil, sedang madzhab kedua dan ketiga diriwayatkan dari para shahabat. Madzhab kedua adalah madzhab Salafush Shaleh. Sedang madzhab ketiga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas (dalam satu riwayat), dan Ummu Salamah.[79]
Akar masalah dari perbedaan pendapat di atas adalah pembacaan dan pemahaman terhadap firman Allah QS Ali ’Imran :7. Ada yang berpendapat bahwa pembacaan ayat tersebut berhenti (waqaf) pada lafazh Jalalah (وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ), Sehingga maknanya, tidak ada yang mengetahui ta’wil ayat mutasyabihat kecuali Allah. Inilah pendapat ‘Aisyah, ‘Urwah, Abu Asy-Sha’tsa, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Malik bin Anas, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan lain-lain. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut berhenti (waqaf) pada kata ar-rasihkhun fi al-ilm (وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ), sehingga maknanya tidak ada yang mengetahui ta’wil ayat mutasyabihat kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasihkhun fi al-ilm). Inilah pemahaman Ibnu Abbas, Mujahid, Rabi’ bin Anas, Muhammad bin Ja’far, dan diikuti mayoritas para mufassir dan ulama ushul.[80]
Dari dua pendapat di atas, Ibnu Taimiyah berusaha mengkompromikan dengan menyatakan bahwa keduanya adalah pendapat ulama salaf. Pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabihat kecuali Allah, maka yang dimaksud adalah hakikat dari ayat tersebut. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa yang mengetahui ayat-ayat mutasyabihat Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasikhun fi al-ilm), maka yang dimaksud adalah makna dari ayat tersebut.[81]
Pendapat Ibnu Taimiyah di atas dikuatkan oleh beberapa dalil, diantaranya pernyataan Ibnu Abbas bahwa tafsir ada empat macam; tafsir yang diketahui oleh orang-orang arab dengan bahasa mereka, tafsir yang diketahui oleh semua orang, tafsir yang diketahui hanya oleh para ulama, dan tafsir yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla.[82] Di sisi lain, Ibnu Abbas juga menyatakan, “Saya termasuk ar-rasikhun fi al-ilm yang mengetahui ta’wil Al-Qur’an (ayat-ayat mutasyabihat)”,[83] hal itu berkat do’a Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibnu Abbas, “Ya Allah pahamkanlah ia tentang agama dan ajarilah ia ta’wil“.[84] Kedua pernyataan Ibnu Abbas ini tidak akan kontradiksi jika dipahami dengan pendapat Ibnu Taimiyah di atas.
Dalam masalah ta’wil ayat-ayat yang berkenaan dengan asma’ dan sifat Allah, para ulama salaf berbeda pandangan dengan ulama khalaf, termasuk Asy-Syaukani. para ulama salaf menetapkan asma’ dan sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri dalam al-Qur’an dan sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam As-Sunnah tanpa ta’thil (meniadakan sifat), tasybih (menyerupakan dengan makhluk), dan takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya), karena tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang serupa dengan Allah Azza wa Jalla.[85] Sebagaimana yang Allah tegaskan sendiri dalam QS. Asy-Syura: 11.[86]
Para ulama salaf juga tidak melakukan ta’wil terhadap asma’ dan sifat Allah, seperti jawaban Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa’, “Istiwa’ dapat dipahami, bagaimana hakikatnya tidak dapat diketahui, beriman dengan sifat tersebut hukumnya wajib, dan menanyakan tentang hal itu adalah bid’ah”.[87] Begitu juga dengan pernyataan Abu Hanifah dalam bukunya Al-Fiqh Al-Akbar, “Dia memiliki tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana Allah Ta’ala sendiri sebutkan dalam Al-Qur’an. Dia memiliki sifat tanpa boleh ditanya bagaimana hakikatnya, dan tidak boleh dikatakan (dita’wil) bahwa tangan-Nya adalah kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena itu adalah peniadaan (ta’thil) sifat-Nya, perkataan itu adalah pendapat Qadariah dan Mu’tazilah, akan tetapi tangan-Nya adalah sifat-Nya tanpa boleh ditanya bagaimana hakikatnya”.[88]
Sedangkan tentang ta’wil pada huruf-huruf muqattha’ah di permulaan surat-surat, para ulama juga berbeda pendapat dan terbagi menjadi dua;
pertama, pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf terputus (al-huruf al-muqattha’ah) pada permulaan-permulaan surat Al-Qur’an termasuk ayat-ayat mutasyabihat, yang makna dan maksudnya hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla. Inilah pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallah ‘anhum, Amir Ash-Sha’bi, Sufyan Ath-Thawri, Rabi’ bin Khuthaim, Abu Hatim bin Hibban, dan ulama-ulama salaf lainnya.[89]
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah memiliki makna dan ta’wil, baik ta’wil yang jauh maupun dekat. Pendapat kedua ini memiliki dua puluh macam ta’wil, diantaranya adalah pendapat yang berdasarkan pada riwayat Ibnu Abbas Radhiyallah ‘anhuma yang menyatakan bahwa setiap huruf dalam huruf-huruf muqattha’ah merupakan nama dari asma’ dan sifat Allah Azza wa Jalla; alif adalah Allah, lam adalah Al-Lathif (Maha Lemah Lembut), mim adalah Al-Majid (Maha Agung), atau sifat lemah lembut-Nya dan sifat agung-Nya. Dalam riwayat yang lain Ibnu Abbas Radhiyallah ‘anhuma menyatakan bahwa alim laf mim berarti ana Allah a’lam (Aku Allah mengetahui), alif lam mim shad adalah ana Allah afshil (Aku Allah memberikan keputusan), dan alif lam ra’ adalah ana Allah ara (Aku Allah melihat).[90]
Fakhruddin Ar-Razi mendukung pendapat kedua dan menolak pendapat pertama dengan alasan bahwa tidak boleh dalam Al-Qur’an ada satu ayat pun yang tidak dimengerti maksud dan maknanya, karena Allah memerintahkan untuk metadabburi firman-firman-Nya.[91] Sedangkan menurut Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi yang mendukung pendapat pertama, orang-orang Arab dahulu dengan ketinggian pemahaman mereka terhadap bahasanya sendiri mengakui keunggulan bahasa (balaghah dan fashahah) Al-Qur’an. Seandainya bahasa Al-Qur’an bertentangan dengan kaidah bahasa Arab niscaya mereka orang yang pertama kali menentangnya.[92]
As-Suyuthi memandang bahwa pendapat pertama sebagai pendapat yang kuat (rajih).[93] Selanjutnya, As-Suyuthi dalam Al-Itqan menyebutkan pendapat tentang kegunaan huruf-huruf muqattha’ah yaitu untuk menarik perhatian (tanbih) orang-orang yang mendengarnya, dan huruf-huruf muqattha’ah merupakan ungkapan untuk menarik perhatian (tanbih) yang efektif bagi orang-orang Arab terutama pada masa Islam di Makkah yang mengagungkan syair.[94] Bahkan huruf-huruf muqattha’ah bisa menjadi mukjizat Al-Qur’an karena belum ada syair Arab yang menggunakannya sebagai ungkapan untuk menarik perhatian (tanbih).
H. KAIDAH-KAIDAH DALAM TA’WIL
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa ta’wil harus berdasarkan dengan dalil (qarinah) yang kuat, karena merupakan syarat utama sebagai ta’wil yang shahih, jika tidak berdasarkan pada dalil yang shahih maka ta’wil tersebut adalah ta’wil batil dan mengikuti hawa nafsu. Selain itu, sebelum melakukan ta’wil seorang muawwil juga harus memperhatikan makna zhahir lafazh terlebih dahulu atau tafsir terlebih dahulu. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Az-Zarkasyi bahwa “Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir”, tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zhahirnya.[95]
Dalam masalah ini, para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah ta’wil selain yang disebutkan di atas, di antaranya sebagai berikut;
- Adanya pertentangan antara dua dalil yang shahih, jika salah satunya lemah maka yang diambil adalah yang shahih dan tidak ada ta’wil. Seperti antara QS.An-Nisa’: 2 dan ayat 6. Pada ayat yang pertama, Allah memerintahkan untuk memberikan harta anak yatim (mutlak), yaitu orang yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum usia baligh. Akan tetapi makna ayat ini bertentangan dengan ayat yang kedua yang bermakna perintah untuk memberikan harta anak yatim ketika sudah usia baligh. Maka, kata yatim pada ayat pertama harus dita’wil dengan mengalihkan maknanya dari makna hakiki kepada makna majazi.[96]
- Ta’wil tidak boleh menggugurkan nash syar’i lainnya, karena ta’wil merupakan salah satu metode ijtihad yang bersifat zhanni sedangkan nash yang bersifat zhanni tidak bisa mengalahkan nash yang bersifat qath’iy. Seperti QS. Al-Maidah: 6 (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ) kemudian dibaca kasrah (أَرْجُلِكُمْ) oleh kalangan Syi’ah, mereka memilih kasrah bukan fathah dengan alasan athaf. Hal ini akan berimplikasi kepada pemahaman ayat, bolehnya (cukupnya) mengusap kaki dalam wudhu. Pemahaman ini akan berdampak negatif kepada dua hal; pertama, menggugurkan hadith-hadith shahih yang memerintahkan untuk membasuh kaki. Kedua, lazimnya mengusap kaki hanya sebatas mata kaki. Sehingga pembatasan (qaid) pada mata kaki menjadi tidak berguna. Padahal kerancuan makna dalam kalamullah mustahil terjadi.[97]
- Lafazh yang ingin dita’wil adalah lafazh ambigu dan bisa dita’wil.[98] Menurut kalangan Hanafiyah, lafazh yang ingin dita’wil harus lafazh nash dan zhahir. Misalkan, lafazhnya adalah lafazh umum yang dapat dikhususkan (ditakhshish), atau lafazh mutlak yang dapat diberi batasan (taqyid), atau lafazh bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna metaforis (majazi), dan sebagainya. Maka, jika ta’wil dilakukan pada nash khusus (bukan nash umum), tidak diterima.[99]
- Ta’wil (mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna batin) harus berdasarkan pada dalil yang shahih dan dalil makna batin harus lebih kuat dari pada makna zhahir.[100] Misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus (takhshish), atau memberikan batasan (taqyid) pada nash mutlak berdasarkan dalil yang memberikan batasan (mentaqyid). Maka, ta’wil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tapi dalilnya lemah (marjuh), atau sederajat kekuatannya (musawi) dengan lafazh yang dita’wil, tidak diterima.[101]
- Orang yang hendak melakukan ta’wil, haruslah berkualifikasi mujtahid yang memiliki bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syar’i.[102] Orang yang tidak memiliki kualifikasi tersebut dilarang melakukannya karena akan terjatuh pada perbuatan yang dilarang yaitu mengucapkan sesuatu tanpa ilmu.[103]
- Ta’wil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syar’i, atau makna urf (kebiasaan orang Arab). Misalnya, menakwil quru` (QS. Al-Baqarah: 228) dengan arti haid atau suci adalah ta’wil sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk quru`. Ta’wil yang tidak sesuai makna bahasa, syar’i, atau urf, tidak diterima.[104]
- Jika ta’wil dengan qiyas maka, hendaknya menggunakan qiyas jaliy menurut ulama Syafi’iyah.[105] Bagi mereka, dalam qiyas jaliy telah diketahui secara pasti bahwa tidak ada sisi perbedaan (i’tibar al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara hamba sahaya laki-laki (al-‘abd) dengan hamba sahaya perempuan (al-amah) dalam hukum perbudakan. Sedangkan qiyas khafiy, masih dugaan bukan keyakinan dalam hal tidak adanya sisi perbedaan (i’tibar al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara anggur dengan khamr ketika diminum dalam jumlah yang sedikit. Karena mungkin khamr memiliki kelebihan (lebih keras) bila dibandingkan dengan anggur.[106]
Selain menetapkan aturan dalam menta’wil, para ulama juga menetapkan beberapa persyaratan bagi orang yang ingin melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga merupakan kriteria bagi seorang mujtahid dan mufassir;
- Memiliki ilmu tentang Al-Qur’an; mengetahui dan mengusai ayat-ayat Al-Qur’an terutama ayat-ayat hukum dan tidak disyaratkan harus menghafalnya.
- Memiliki ilmu tentang As-Sunnah; mengetahui dan mengusai hadith-hadith hukum dan mampu menyebutkannya, serta membedakannya mana yang shahih dan mana yang dhaif, mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui ijma’, dan perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
- Mengusai ilmu ushul fiqh sebagai modal ijtihad.
- Mengusai bahasa Arab dengan baik dan mengetahui makna-makna dari setiap katanya, karena ta’wil–ta’wil batil kebanyakan berasal dari orang ajam yang tidak mengusai bahasa Arab.
- Mengetahui maqashid shari’ah dengan baik.
- Beraqidah yang lurus, terpercaya, dan wara’.[107]
I. KESIMPULAN
Beberapa poin yang perlu diperhatikan dari uraian di atas adalah bahwa ta’wil pada masa salaf merupakan sinonim dari tafsir, kemudian istilah ta’wil mengalami perubahan definisi pada masa khalaf yaitu mengalihkan lafazh dari maknanya yang kuat kepada makna yang lemah karena ada indikasi (qarinah) kuat yang menunjukkan hal itu. Indikasi (qarinah) dalam pengalihan makna lafazh tersebut berupa dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan kaidah-kaidah dasar syari’ah.
Ta’wil memiliki kaitan yang cukup erat dengan tafsir. Ta’wil merupakan pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir. Ruang lingkup ta’wil lebih dalam dari pada tafsir; tafsir mengungkap makna suatu lafazh yang tersembunyi dan hanya memiliki satu makna, sedangkan ta’wil memilih makna dari sebuah lafazh yang ambigu yang memiliki beberapa makna berdasarkan qarinah. Terkadang ta’wil juga mengungkap makna yang tidak bisa diungkap tafsir. Para ulama juga telah membagi ruang lingkup tafsir dan ta’wil, ruang lingkup ta’wil lebih dalam dan lebih sulit dari pada ruang lingkup tafsir. Dalam kajian ilmu tafsir, nash dan zhahir adalah bagian dari pembahasan tafsir, sedangkan yang terdalam; muawwal, dalalah iqtidha’, dan dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan ta’wil. Sedangkan dalam kajian ushul fiqh, yang menjadi objek ta’wil adalah an-nash dan azh-zhahir. Sedangkan mufassar dan muhkam adalah bagian tafsir.
Dalam kaitannya dengan masalah makna, pengalihan makna suatu lafazh dari yang kuat kepada makna yang lemah harus memperhatikan; makna lughawi, makna istilah-istilah syar’i, dan makna istilah dalam urf tertentu seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya. Setiap lafazh harus dikembalikan maknanya kepada tiga macam makna tersebut sesuai dengan qarinah lafazhnya. Jika menunjukkan kepada makna lughawi maka harus dikembalikan kepada makna lughawi, jika menunjukkan kepada makna syar’i maka harus dikembalikan kepada makna syar’i, dan jika menunjukkan kepada makna urf maka harus dikembalikan kepada makna ufr. Terkadang dalam ketiga makna tersebut masih memiliki bagian, seperti makna syar’i terkadang terbagi menjadi hakiki dan majazi.
Ta’wil memiliki tiga macam; pertama, ta’wil yang dekat seperti lafazh idza kuntum ila ash-shalah yang dita’wilkan dengan ketika hendak melaksanakan shalat. Kedua, ta’wil yang jauh seperti hadith Ghailan Ath-Thaqafi yang dita’wilkan oleh ulama Hanafiyah dengan perintah untuk menikahi empat orang wanita tersebut dengan akad baru karena mereka membedakan pernikahan kafir dan Islam. Ketiga, Ta’wil batil yaitu mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung dalam lafazh. Seperti firman Allah aw aakharaani min ghairikum (atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu) dita’wilkan oleh Rafidhah dengan selain kabilah kalian.
Dalam masalah ta’wil, para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur’an untuk kepentingan istimbath al-ahkam. Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang bersifat umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Para ulama ushul juga yang membuat kaidah-kaidah ta’wil di antaranya; orang yang melakukan ta’wil harus memiliki kriteria seorang mujtahid, harus berdasarkan pada dalil yang shahih, dan tidak bertentangan dengan nash yang lain.
Kaidah-kaidah ta’wil yang dibuat oleh para ulama dan konsep pengalihan makna dalam ta’wil ini merupakan perbedaan yang sangat mendasar antara ta’wil dan hermeneutika. Dalam hermeneutika seseorang tidak terikat dengan makna istilah-istilah syar’i, tidak perlu menggunakan dalil-dalil syar’i, tidak memperhatikan apakah hasil penafsiran tersebut sesuai dengan nash-nash syar’i yang lain atau bertentangan, dan tidak memperhatikan orang yang melakukannya apakah memiliki kemampuan atau tidak. Dengan demikian, hasil penafsiran dalam hermeneutika menjadi bias dan relatif tergantung kepada orang yang melakukan penafsiran.
Daftar Pustaka
Al-Amidi, Abu Al-Hasan. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt).
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, 2008).
Al-Ghunaimi, Abdul Akhir Hammad. Al-Minhah Al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, (Beirut: Dar Ash-Shahabah, 1995).
Al-Haidari, As-Sayyid Kamal Ushul At-Tafsir wa At-Ta’wil; Muqaranah Manhajiyah Baina Ara’ At-Thabathaba’i wa Abraz Al-Mufassirin, (Iran: Dar Faraqid, 2006).
Al-Isfahani, Ar-Raghib. Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, (Maktabah Nizar Musthafa Al-Baz, tt).
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad. Kitab At-Ta’rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1988).
Al-Juwaini, Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf. Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, tahqiq; Abdul Azhim Diyb (Fakultas Syari’ah Universitas Qatar, 1399 H).
Al-Kattani, Muhammad Al-Hasan bin Ali. At-Ta’wil ‘Inda Ahl Al-Ilmi, dalam www.saaid.net/book/7/1253.doc.
Al-Maturidi, Abu Manshur. Ta’wilat Ahli As-Sunnah, (Baghdad: Al-Irshad, 1983).
Al-Qari, Ali bin Sulthan Muhammad. Minah Ar-Raudh Al-Azhar fi Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, (Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiah, 1998).
Ash-Shuyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008).
As-Sarkhasi, Ahmad bin Abu Sahl. Ushul As-Sarkhasi, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1993).
As-Subki, Abdul Wahhab bin Ali. Jam’u Al-Jawami’ fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2003).
Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat, (Khubar: Dar Ibnu Affan, 1997).
Asy-Syaukani, Muhammad ‘Ali. Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000).
Azzam, Abdullah Yusuf Mushthafa. Dilalah Al-Kitab wa As-Sunnah min Haith Al-Bayan wa Al-Ijmal Aw Azh-Zhuhur wa Al-Khafa’, Disertasi Doktoral, (Universitas Al-Azhar: Fakultas Syari’ah dan Hukum, Program Pasca Sarjana, 1993).
Az-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah. Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Hadith, 2006).
Az-Zuhaili, Wahbah. Ushul Al-Fiqih Al-Islami, (Dar Al-Fikr, 1986).
Bazmul, Muhammad bin Umar bin Salim. Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, (Universitas Islam Madinah Munawwarah, 1424 H).
Fahmi Salim, “Beda Ta’wil dengan Hermeneutika”, dalam http://www.ikadi.or.id
Ibnu Al-Jawzi, Yusuf bin Abdurrahman. Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, (Kairo: Maktabah Matbuli, 1995). cet 1 tahqiq Mahmud bin Muhammad As-Sayyid Ad-Dugim.
Ibnu Hazm, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Dar Al-Afaq Al-Jadidah, tt).
Ibnu Kathir, Abu Al-Fida’ Isma’il bin Umar. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, (Beirut: Dar Thayyibah, 1999).
Ibnu Manzhur, Muhammad bin Mukrim. Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt).
Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta’wil, (Iskandariyah: Dar Al-Iman, tt).
————————————. Majmu’ Al-Fatawa, (Riyadh: Dar Al-Wafa’, 2005).
Ma’rifah, Muhammad Hadi (Muhaqqiq). At-Ta’wil fi Mukhtalaf Al-Madzahib wa Al-Ara’, (Teheran: Majma’ Al-‘Alami li At-Taqrib Baina Madzahib Al-Islamiah, 2006).
Sharour, Muhammad. Nahwa Ushulin Jadidatin li l-Fiqh Al-Islami: Fiqh al-Mar’ah (Al-Washiyah – Al-‘Irdh – Al-Qawamah – Al-Ta’addudiyah – Al- Libas), (Damaskus: Al-Ahali, 2000).
Shatat, Kan’an Musthafa Sa’id. At-Ta’wil ‘Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister, (Palestina: Jami’ah An-Najah Al-Wathaniyah, 2007).
Sumaryono, E. Hermeneutika; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
[1] Dalam Al-Qur’an ada dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan dapat ditentukan arti yang dimaksud dengan kajian yang mendalam (ta’wil) atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya diketahui oleh Allah, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Termasuk juga huruf -huruf yang terputus (huruf muqattha’ah) dalam permulaan-permulaan surat Al-Qur’an. Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008). hlm.425
[2] Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, (Beirut: Dar Thayyibah, 1999). vol.III. hlm.304.
[3] Pernyataan Nasr Hamid Abu Zaid dalam wawancara dengan wartawan tempo di Hotel Grand Hyatt Jakarta yang dimuat dalam majalah tempo edisi edisi 42/XXXVI/10-16 Desember 2007, “Hermeneutik dalam bahasa Arab adalah ta’wil“. Begitu juga dengan pernyataan Aksin Wijaya mengutip Fakhruddin Faiz, “Pendekatan itu (hermeneutika) sudah lama diteorikan di kalangan pemikir Islam klasik, tetapi istilah dan penggunaannya saja yang berbeda”, dalam bukunya Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). hlm.176.
[4] Lihat Muhammad Sharour, Nahwa Ushulin Jadidatin li l-Fiqh Al-Islami: Fiqh al-Mar’ah (Al-Washiyah – Al-‘Irdh – Al-Qawamah – Al-Ta’addudiyah – Al- Libas), (Damaskus: Al-Ahali, 2000). hlm. 372-373.
[5] Kebenaran yang diperoleh dalam hermeneutika tergantung pada orang yang melakukan interpretasi, dan “dogma” hermeneutika bersifat luwes sesuai dengan perkembangan zaman dan sifat open-mindedness-nya. Lihat E.Sumaryono, Hermeneutika; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993). hlm.136.
[6] Lihat Fahmi Salim, “Beda Ta’wil dengan Hermeneutika”, dalam http://www.ikadi.or.id /index.php?option=com_content&view=article&id=58:beda-ta’wil-dan hermenetika & catid=43: kajian & Itemid=68 /9.53 a.m /14.03.2010.
[7] Lihat Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt). vol.xi hlm. 32
[8] Lihat Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis Al-Lughah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979). vol.I hlm.162 dan Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Hadith, 2006). hlm.416.
[9] ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS.An-Nisa’ :59
[10] Ibnu Manzhur, Lisan…hlm. 32. Teks yang mirip dengan hadith di atas adalah;
مَنْ صَامَ الْأَبَدَ فَلَا صَامَ وَلَا أَفْطَرَ
“Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada berbuka” (HR.Nasa’i, kitab Shiyam, bab larangan puasa sepanjang masa, no.2374 dan Ibnu Majah, kitab Shiyam, bab tentang puasa sepanjang masa no.1705. hadith ini dishahihkan oleh Al-Albani).
[11] Ibnu Taimiyah, Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta’wil, (Iskandariyah: Dar Al-Iman, tt). hlm.30.
…..لَنْ يَجِدُوا مِنْ دُونِهِ مَوْئِلًا
…yang mereka sekali-kali tidak akan menemukan tempat berlindung dari padanya. (QS. Al-Kahfi: 58).
[12] …لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه…
Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba’) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS At-Taubah: 108).
لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). (QS. Al-An’am: 163).
[13] Ar-Raghib Al-Isfahani, Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, (Maktabah Nizar Musthafa Al-Baz, tt). vol I hlm 40 dan Ibnu Taimiyah, Al-Iklil…..hlm.31 dan
[14] Lihat Ibnu Manzhur, Lisan…..hlm. 32
[15] Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab At-Ta’rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1988). hlm. 50
[16] Ibnu Al-Jawzi, Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, tahqiq; Mahmud bin Muhammad As-Sayyid Ad-Dugim (Kairo: Maktabah Matbuli, 1995). hlm 111, cet 1
[17] Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, tahqiq; Abdul Azhim Diyb (Fakultas Syari’ah Universitas Qatar, 1399 H). vol I hlm. 511
[18] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, 2008). hlm. 312
[19] Abu Al-Hasan Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt). vol.III hlm.53
[20] Ibnu Taimiyah, Al-Iklil…..hlm. 27-28
[21] هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَلْ لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوا لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ قَدْ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُونَ .
Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali terlaksananya kebenaran berita (ta’wil) Al-Qur’an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Qur’an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu, “Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang haq, maka adakah bagi kami pemberi syafa’at yang akan memberi syafa’at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?.” Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan. (QS. Al-A’raf: 53).
[22] HR. Bukhari, kitab Adzan, bab tasbih dan do’a dalam sujud, no. 871 dan Muslim, kitab shalat, bab bacaan dalam ruku’ dan sujud, no.746
[23] فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat). QS. An-Nasr: 3
[24] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, (Riyadh: Dar Al-Wafa’, 2005). vol. iv hlm.68-69
[25] هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَلْ لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوا لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ…
Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Qur’an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Qur’an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannyasebelum itu, “Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang haq, maka adakah bagi kami pemberi syafa’at yang akan memberi syafa’at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?.” (QS. Al-A’raf : 53).
[26] وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan (ta’wil) perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.(QS. Al-Kahfi: 82).
[27] وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ
Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta’bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu. (QS. Yusuf : 6).
[28] يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا
Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu, sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. (QS. Yusuf : 100).
Pembagian ini diambil dari Ibnu Taimiyah, Al-Iklil…..hlm. 28-30, dan As-Sayyid Kamal Al-Haidari, Ushul At-Tafsir wa At-Ta’wil; Muqaranah Manhajiyah Baina Ara’ At-Thabathaba’i wa Abraz Al-Mufassirin, (Iran: Dar Faraqid, 2006). hlm.295.
[29] Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan….hlm.22
[30] Ibid. hlm.415-416
[31] Ibid. hlm 416
[32] Ibid
[33] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008). hlm.759
[34] Abu Manshur Al-Maturidi, Ta’wilat Ahli As-Sunnah, (Baghdad: Al-Irshad, 1983). hlm.5
[35] Ibnu Taimiyah, Al-Iklil….hlm. 21
[36] Muhammad Hadi Ma’rifah (Muhaqqiq), At-Ta’wil fi Mukhtalaf Al-Madzahib wa Al-Ara’, (Teheran: Majma’ Al-‘Alami li At-Taqrib Baina Madzahib Al-Islamiah, 2006). hlm.14
[37] Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan……..hlm.758 dan Abdullah Yusuf Mushthafa Azzam, Dilalah Al-Kitab wa As-Sunnah min Haith Al-Bayan wa Al-Ijmal Aw Azh-Zhuhur wa Al-Khafa’, Disertasi Doktoral, (Universitas Al-Azhar: Fakultas Syari’ah dan Hukum, Program Pasca Sarjana, 1993). hlm.447
[38] Abdullah Yusuf Mushthafa Azzam, Dilalah Al-Kitab…..hlm.447
[39] Lihat E.Sumaryono, Hermeneutika……..hlm.97
[40] Ibid
[41] Ibid.100
[42] Ibid. hlm.97-98
[43] Ibid.hlm.98
[44] Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, 2008). hlm. 312 dan Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Jam’u Al-Jawami’ fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2003). hlm.54
[45] عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تُصُدِّقَ عَلَى مَوْلَاةٍ لِمَيْمُونَةَ بِشَاةٍ فَمَاتَتْ فَمَرَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ فَقَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
Dari Ibnu Abbas Radhiyallah ‘anhuma, ia berkata: seorang budak perempuan milik Maimunah mendapatkan seekor kambing lalu mati, (hendak dibuang) kemudian Rasulullah Shallallah ‘alaihi wasallam lewat lalu bersabda, “Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?”, para sahabat menjawab, “Tapi ini bangkai?”, beliau menjawab, “Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya”. (HR. Muslim dalam kitab shahihnya; kitab haidh, bab sucinya kulit bangkai dengan disamak, no.542).
[46] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS.Al-Jumu’ah: 9).
[47] HR.Bukhari dalam Shahihnya, kitab zakat bab zakat kambing, no.1362 dan Abu Dawud dalam sunannya, kitab kitab zakat bab zakat hewan gembala, no.1340, lafazh hadith di atas milik Abu Dawud dengan matan yang panjang.
[48] Lihat Kan’an Musthafa Sa’id Shatat, At-Ta’wil ‘Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister, (Palestina: Jami’ah An-Najah Al-Wathaniyah, 2007). hlm. 30-33 dan Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ……. hlm. 12-13
[49] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ‘Inda Ahl Al-Ilmi, dalam www.saaid.net/book/7/1253.doc. hlm.11-12
[50] Lihat E.Sumaryono, Hermeneutika…..hlm.101
[51] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْن…ِ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki….(QS.Al-Maidah: 6).
[52] Teks hadith tersebut:
عن ابن عمر قال : أسلم غيلان الثقفي وعنده عشر نسوة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أمسك أربعا ، وفارق سائرهن
Dari Ibnu Umar Radhiyallah ‘anhu berkata: Ghailan Ath-Thaqafi masuk Islam dan ia masih memiliki sepuluh orang istri, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, ” pilihlah empat dari mereka dan ceraikanlah sisanya”. (HR. Ibnu Hibban, dalam Shahihnya kitab haji bab hidayah, no.4231).
[53] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُم ْ أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ…..
Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu….(QS.Al-Maidah: 106).
[54] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ……. hlm.11-12 dan Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Dar Al-Afaq Al-Jadidah, tt). vol.3 hlm. 41
[55] Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih Al-Islami, (Dar Al-Fikr, 1986). vol.1 hlm. 314 dan Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ……. hlm.10
[56] وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوء….ٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…..(QS.Al-Baqarah: 228).
[57] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah (pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum digauli) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS.Al-Ahzab: 49).
[58]حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ….
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala….(QS.Al-Maidah: 3), begitu juga dalam QS.Al-Baqaqrah:173 dan An-Nahl:115.
[59] قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِير فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ…ٍ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…(QS.Al-An’am:145).
[60] …..وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka…(QS.An-Nisa’:2).
[61] وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُم…ْ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya….. (QS.An-Nisa’:6).
[62] Makna hakiki dari yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum usia baligh.
[63] Nash adalah lafazh yang memiliki makna yang jelas dan tidak memiliki makna yang lain.
[64] Zhahir adalah adalah lafazh yang memiliki makna lain tapi lemah, seperti kata al-baghi yang memiliki dua arti yaitu ungkapan untuk orang yang bodoh dan orang yang zhalim, akan tetapi kata al-baghi kebanyakan diungkapkan untuk orang yang zhalim.
[65] Muawwal adalah lafazh yang dipalingkan dari maknanya yang kuat kepada makna yang lemah karena ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan hal itu.
[66] Dalalah iqtidha’ adalah kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tergantung kepada sesuatu yang tidak disebutkan, seperti firman Allah QS.Al-Barah:184, “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau musafir, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain“, ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu lalu ia berbuka (…sakit atau musafir lalu ia berbuka, maka…). Karena kewajiban qadha’ hanya berlaku bagi musafir jika ia berbuka dalam perjalanan.
[67] Dalalah isharah adalah kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tidak tergantung kepada sesuatu yang tidak disebutkan, tapi lafazh menunjukkan kepada suatu makna yang tidak dimaksud pada mulanya, seperti firman Allah dalam QS.Al-Baqarah: 187 yang menunjukkan sahnya puasa orang yang di waktu fajar masih dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan jima’ hingga fajar berarti membolehkan junub pada waktu fajar.
[68] Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, (Universitas Islam Madinah Munawwarah, 1424 H). hlm.88
[69] Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000). vol. II hlm. 756 dan Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh…….. vol.1 hlm. 314
[70] Lihat Kan’an Musthafa Sa’id Shatat, At-Ta’wil …….. hlm.40-42.
[71] Definisi zhahir dan nash menurut ulama ushul berbeda dengan ulama tafsir, begitu pula dengan urutannya. Menurut ulama ushul, zhahir adalah lafazh yang maknanya terkandung dalam susunan katanya tanpa ada indikasi makna dari luar, dan maksud maknanya tidak terdapat di dalamnya. Seperti firman Allah, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”, maksud dari makna lafazh ini tidak terdapat di dalam maknanya yang menyatakan bahwa jual beli hukumnya halal dan riba hukumnya haram, tetapi maksud ayat ini adalah untuk membantah orang yang mengatakan bahwa riba itu sama dengan jual beli. Sedangkan nash adalah lafazh yang maknanya dapat diketahui dengan jelas. Seperti firman Allah, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”, ayat ini menunjukkan perintah untuk memotong tangan pencuri. Lihat Ahmad bin Abu Sahl As-Sarkhasi, Ushul As-Sarkhasi, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1993). vol.I hlm. 164
[72]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ…..
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…..(QS.Al-Maidah: 6).
[73] Lihat Kan’an Musthafa Sa’id Shatat, At-Ta’wil …….. hlm. 42.
[74] Ibid
[75] Ibid.hlm.49
[76] Ugi Suharto, “Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika”, dalam Islamia, vol. I no.1 Maret 2004. p.52
[77] …..وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS.Ali Imran: 7).
[78] Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul …….. hlm. 756
[79] Ibid, hlm. 757
[80] Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur’an.………… vol. II. hlm.11.
[81] Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’ ………….. vol. v hlm.234-235
[82] Ibid. vol. xvii. hlm.400
[83] Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur’an.………… vol.II. hlm.11.
[84] HR. Ahmad dalam musnadnya, musnad Ibnu Abbas, no.2274, diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam Mustadraknya, kitab sahabat, bab Abdullah bin Abbas, no.6340, hadith ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.2589.
[85] Lihat Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Al-Minhah Al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, (Beirut: Dar Ash-Shahabah, 1995). hlm.78
[86] لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ…. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat (QS. Asy-Syura: 11)
[87] Peryataan Imam Malik (الِاسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُولٌ وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ). Seperti pernyataan orang sebelumnya Ummu Salamah dan Rabi’ah bin Abu Abdurrahman (الاستواء معلوم، و الكيف مجهول، و من الله البيان، و على الرسول البلاغ، و علينا الإيمان). Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’ …….. vol. xxxiii hlm.178
[88] Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari, Minah Ar-Raudh Al-Azhar fi Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, (Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiah, 1998). hlm.121-123
[89] Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur’an.………… vol.I. hlm.156
[90] Lihat Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan……… hlm.123
[91] Ibid
[92] Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan……..hlm.758
[93] Ibid. hlm. 436
[94] Ibid. hlm. 440
[95] Ibid. hlm.420
[96] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ……. hlm.9 dan Kan’an Musthafa Sa’id Shatat, At-Ta’wil …….. hlm. 39
[97] Ibid
[98] Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, (Khubar: Dar Ibnu Affan, 1997). vol.III hlm. 330
[99] Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih…….vol.1 hlm. 314 dan Kan’an Musthafa Sa’id Shatat, At-Ta’wil …….. hlm. 36
[100] Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat…..vol.III hlm. 331, Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan…….vol I hlm. 537, dan Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ……… vol II hlm. 759
[101] Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Riyadh: Dar Ash-Shami’i, 2003). vol.III hlm.67
[102] Ibid, dan Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih…….vol.1 hlm. 315
[103] وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isra’: 36).
[104] Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul .….. vol II hlm. 759
[105] Ibid
[106] Kan’an Musthafa Sa’id Shatat, At-Ta’wil …….. hlm. 39
[107] Lihat Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul .….. vol II hlm. 1027-1032 dan Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil…..hlm.11-12