Sopir Taksi dan Makna Kerudung

Written by | Opini

Kesan Baik

Saya warga Bojonegoro, Jawa Timur. Saat SMA saya bersekolah di salah satu –kata sebagian orang- sekolah unggulan di Tangerang, Jawa Barat. Selama itu saya tinggal bersama tante di Jakarta Timur.

Di momentum mengambil ijazah pada 2008, saya dan teman-teman SMA akan jalan-jalan di sebuah mall di Bekasi. Oleh karena saya sangat mungkin akan pulang malam, saya bertanya ke tante tentang rute pulang. Di soal itu, saya memang ‘buta’. Tante lalu menggambar semacam peta, yaitu rute jalan dari mall di Bekasi sampai ke rumah tante, yang bisa ditempuh dengan taksi.

Sesuai skenario, saat acara jalan-jalan dengan teman-teman selesai, saya-pun lalu menyetop sebuah taksi di depan mall. Saya bersyukur karena ‘merk’ taksi tersebut dikenal sebagai taksi yang aman dan profesional. Di sinilah kisah dimulai.

“Selamat malam, Kak. Tujuan ke mana?” Tanya si sopir.

“Ke Klender, Pak,” jawab saya.

“Mohon maaf, Kak. Saya sopir baru, jadi belum kenal daerah sini. Apa Kakak hafal jalan ke sana?”

Hm …, saya mulai panik. Sopir taksi mengaku tak hafal jalan, seperti saya juga. Sementara, hari sudah malam dan saya hanya berbekal peta. “Saya juga nggak hafal, Pak. Cuma dikasih peta sama tante, yaitu dari mall ke rumah,”
kata saya membuka harapan.

“Ya. Kalau begitu kita cari jalan bersama-sama, Kak. InsyaAllah ketemu,” kata Pak Sopir.

Bagi saya, apa yang diutarakan si sopir sangat bisa mendamaikan hati. Saya sedikit tenang.

Dalam perjalanan itu, Pak Sopir aktif membuka dialog. “Kak, maaf. Saya ingin ngomong. Tadi waktu Kakak masuk taksi, saya langsung bersyukur soalnya diberi penumpang orang baik-baik.”

Saya bingung. Baru pertama bertemu, langsung dibilang baik. Sayapun menukas: “Dari mana Bapak bisa menganggap saya orang baik? ‘Kan baru sekali bertemu, Pak?”

“Soalnya, Kakak pakai kerudung. Jadi pasti orang baik,” Pak Sopir memberi alasan.

Saya kaget, baik dari sisi mana? “Belum tentu juga, Pak. Saya ini masih banyak kekurangannya,” kata saya.

“Saya itu suka sekali kalau melihat wanita berkerudung, Kak. Rasanya mendamaikan hati. Saya ‘kan sering mendapat penumpang wanita yang tidak berkerudung. Tingkahnya berbeda dengan yang berkerudung. Makanya, saya bilang, kalau yang memakai kerudung itu pasti orang baik. Istri dan anak-anak saya yang perempuan juga saya minta memakai kerudung,” terang Pak Sopir.

“Saya juga selalu berdoa, Pak. Semoga apa yang ada di dalam diri saya benar-benar mencerminkan kerudung yang saya kenakan ini,” timpal saya.

Pak Sopir bertanya lagi: “Kakak masih sekolah? Atau sudah kuliah?”

“Baru lulus SMA, Pak.”

“Rencana mau kuliah di mana, Kak?”

Saya agak tertohok mendengar pertanyaannya, karena sejauh ini sudah ditolak dua kali di universitas yang berbeda. “Saya ingin di fakultas kedokteran, Pak. Tapi, kemarin sudah tes di dua tempat dan tidak diterima. Maka, saya ingin mencoba lagi nanti di SNMPTN.”

“Orang baik seperti Kakak pasti diterima. Percaya sama saya, Kak,” kata Pak Sopir sambil tersenyum.

MasyaAllah! Pak Sopir ini benar-benar bagus dalam memberi motivasi. “Aamiin, aamiin,” sayapun segera mengamininya. Saya bersyukur sekali ada yang mendoakan.

Setelah itu, Pak Sopir bercerita tentang dirinya yang baru tiga bulan menjadi sopir taksi. Sebelumnya, dia bekerja di sebuah perusahaan. Maka, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan yang baru, dia ‘nyambi‘ menjadi sopir taksi. Dia pernah sampai tahap wawancara di sebuah perusahaan. Namun, karena merasa kurang cocok dengan perusahaan itu, proses itu tidak dilanjutkannya. Ketika dia meminta doa agar segera diberi pekerjaan yang sesuai, saya hanya bisa berkata sambil tersenyum, “InsyaAllah, kalau memang sudah rezeki Bapak, maka Bapak pasti diterima kerja. Bapak ‘kan orang baik, yang sudah mau membantu saya pulang”.

Tanpa terasa –alhamdulillah-, akhirnya saya sampai di rumah tante dengan selamat.

Pelajaran Bagus

Di rumah, saya merenung. Subhanallah! Sebegitu indah gambaran tentang wanita yang berkerudung di mata Pak Sopir tadi. Padahal –faktanya- banyak ‘cerita lain’ di seputar kerudung yang layak kita cermati.

Misal, ada wanita yang berkerudung tapi hanya sekadar ber-‘penutup kepala’. Dia memang berkerudung, tapi makna kerudung tak dihayatinya dengan baik. Berkerudung, tapi tidak bertingkah-laku sesuai dengan spirit dari kerudung itu.

Ada juga wanita yang berkerudung, tapi –sayang- auratnya yang lain tetap dibiarkan terbuka. Atau, ada pula wanita yang masih ‘pakai dan copot’. Maksudnya, kadang dia tampak rapi berkerudung tapi di waktu yang lain dia kembali ‘terbuka’.

Ketahuilah, bahwa pada hakikatnya wanita yang berkerudung itu adalah untuk ‘mengerudungi’ seluruh bagian tubuhnya dari hal-hal yang diharamkan Allah. Sebaliknya, dia hanya mau menerima hal-hal yang dihalalkan Allah saja.

Sungguh, kerudung tidak hanya untuk menutup rambut dan dada. Lebih dari itu, secara hakikat, kerudung juga untuk membentengi mata, telinga, tangan, kaki, lisan, hati, pikiran, dan semua komponen tubuh seorang wanita dari kemungkinan berbuat sesuatu yang tak diridhai Allah.

Jika ada yang beralasan “Saya belum siap memakai kerudung karena tingkah saya masih tidak karu-karuaan,” maka itu apologi. Justru, segeralah berkerudung sehingga bisa membentengi diri dari tingkah laku yang tidak baik.

Jika ada yang bertanya, “Kenapa harus memakai kerudung?” Maka, jawablah dengan pertanyaan pula: “Kenapa berat untuk memakai kerudung? Bukankah dasar hukum kewajiban berkerudung sudah sangat jelas, yaitu –antara lain- di QS An-Nuur [24]: 31 dan QS Al-Ahzab [33]: 59?”

Sebagai renungan akhir, bagi yang sudah berkerudung, bersegeralah menyempurnakan kerudung Anda. Sementara, bagi yang belum, bersegeralah untuk memakainya. Hargailah diri Anda sendiri. Sungguh, Allah sangat menghargai dan menyayangi kita. []

,

*Mahasiswi Fakultas Kedokteran Unair

dan peminat masalah sosial-keagamaan

 

Last modified: 19/03/2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *