Jangan Ciderai ‘Ruh’ Kerudung!
Untuk Apa?
Apa kira-kira makna kerudung bagi Afriyani (plus sejumlah wanita lainnya) yang tiba-tiba suka berkerudung? Apa implikasinya bagi (umat) Islam? Pertanyaan ini penting, karena –konon- di kesehariannya mereka diketahui tidak biasa berkerudung.
Sebelum menjawabnya, kita lihat kronologis kecelakaan maut Afriayani itu. Dari sejumlah sumber, ada catatan tentang dua hari perjalanan hura-hura –yaitu dugem ke banyak tempat- dari Afriyani bersama tiga temannya. Wanita berusia 29 tahun itu memulainya Sabtu 21/01/2012. Pukul 20.00 dia ke pesta ulang tahun di sebuah hotel di Jakarta Pusat. Pukul 22.00, Afriyani pindah ke sebuah kafe di Kemang, Jakarta Selatan. Di sini mereka minum minuman keras, termasuk wiski.
Hari berganti. Ahad, 22/01/2012, pukul 02.00, mereka pindah ke sebuah diskotek di Jakarta Barat dan berpatungan membeli dua butir ekstasi. Lalu, sekitar pukul 10.00 mereka beranjak pulang. Pukul 11.00, terjadilah peristiwa mengerikan itu. Mobil yang dikemudikan Afriyani ‘melalap’ belasan orang di sekitar Tugu Tani, Gambir-Jakarta Pusat.
Kecuali cerita di atas, ada baiknya kita tambah contoh-contoh ‘pekerudung dadakan’ yang lain. Lihatlah Dharnawati! Wanita yang terlilit kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini tiba-tiba suka berjubah lengkap dengan kerudung/jilbab saat ‘berhadapan’ dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal saat tertangkap tangan tidak berpenampilan seperti itu.
Perhatikan Imas Dianasari! Hakim itu ditangkap KPK karena terkait uang suap sebesar Rp 200 juta. Saat diperiksa di gedung KPK dia juga tampil berkerudung. Bagi yang mengenalnya, penampilan Imas tentu tampak sangat berubah. Pada saat ditangkap penyidik KPK, misalnya, Imas tidak mengenakan kerudung.
Seksamailah Nunun Nurbaeti yang terlibat kasus cek pelawat pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia untuk memenangkan Miranda Swaray Goeltom. Memang, sebelumnya dalam sejumlah kesempatan dia tampil berkerudung walau tak sempurna (misalnya, sebagian rambut yang di bagian depan masih menyembul). Tapi, kini Nunun selalu berkerudung saat diperiksa KPK.
Cermati Malinda Dee yang terjerat kasus penggelapan dana nasabah bank miliaran rupiah. Dia rajin berkerudung sekalipun tak rapi sebagaimana wanita Muslim seharusnya berkerudung.
Bahkan tak hanya yang berstatus tersangka, yang berstatus saksipun juga memilih berperforma serupa. Lihatlah gaya Yulianis, salah satu saksi dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games. Dia berjubah, berjilbab, serta bercadar saat menjadi saksi di persidangan kasus suap itu.
Kisah wanita yang tiba-tiba berkerudung saat ditimpa masalah hukum tak hanya monopoli mereka yang disangka terlibat perkara kriminalitas suap-menyuap dan korupsi. Mereka yang bersangkut-paut dengan masalah permesuman, juga tiba-tiba tampak kerap berkerudung di depan publik.
Luna Maya dan Cut Tari contohnya. Dalam sejumlah kesempatan –saat menjalani pemeriksaan di kepolisian terkait kasus beredarnya video adegan mesum mereka dengan seorang vokalis sebuah grup musik- keduanya tampak mengenakan kerudung. Penampilan mereka ini tentu tidak seperti biasanya.
Jika contoh-contoh di atas terjadi di Jakarta, maka di Surabaya juga ada. Pada 06/02/2012 di persidangan Pengadilan Negeri Surabaya, Elizabeth Susanti yang terlilit kasus penipuan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) tampil berkerudung. Padahal, sebelumnya diketahui dia tidak biasa seperti itu. “Biar terlihat lebih cantik,” kata dia.
Bagi para ‘pekerudung dadakan’, boleh jadi ada sejumlah makna dan motivasi bagi mereka. Pertama, sebagai bagian dari upaya menutup rasa malu. Dengan cara itu mereka berusaha menyembunyikan identitas. Mungkin saja, ‘strategi’ mereka benar. Sebab, dengan kerudung, mereka merasa bisa melindungi (setidaknya sebagian) wajah mereka dari sergapan kamera wartawan.
Kedua, bukan tak mungkin mereka tengah berupaya mengail simpati publik. Mereka beranggapan bahwa rata-rata kita masih suka terpesona kepada kemasan. “Oh, dia berkerudung, dia muslimah, dia saudara kita”. Maka, si ‘pekerudung dadakan’ berharap pemaafan dari publik. “Maafkan saja, bukankah dia saudara seagama kita? Maafkan saja, bukankah setiap orang berkemungkinan berbuat salah?”
Berikutnya, adakah implikasi bagi (umat) Islam? Para ‘pekerudung dadakan’ itu tak sadar bahwa mereka sedang mengampanyekan secara negatif tentang umat Islam dan terutama tentang wanita Islam.
Mereka -dengan sikapnya itu- bisa dinilai sebagai telah meruntuhkan citra Islam. Sebab, bukankah kerudung adalah bagian dari busana yang paling mudah menjadi indikator kemuslimahan seorang wanita? Jika di berbagai media cukup sering terliput banyak kasus kriminal yang melibatkan wanita Muslim, maka akan mudah bagi publik untuk menyimpulkan bahwa wanita Islam banyak yang berperilaku jelek.
Jangan Rusak
Kerudung –aslinya- berguna sebagai pembeda antara wanita Islam yang baik-baik dengan wanita lain yang tak baik. Islam –lewat QS Al-Ahzab [33]: 59- meminta muslimah berkerudung ”Supaya mereka lebih mudah untuk dikenal”. Tentu saja, maksudnya dikenal sebagai wanita Islam yang baik-baik dan bukan sebagai wanita pelaku aksi kriminal.
Jika kini wanita-wanita yang sedang menghadapi masalah hukum lalu rajin berkerudung, maka sungguh itu bisa dikatakan telah merusak citra kerudung sebagai furqan atau pembeda antara wanita Islam yang baik dengan yang tidak baik.
Kerudung itu salah satu simbol bahwa pemakainya adalah wanita yang taat kepada syariat Islam. Maka, janganlah ada sekelompok pelaku kriminal yang bermaksud mengelabui publik dengan mencitrakan dirinya sebagai wanita Islam baik-baik dengan cara berkerudung. Mari, selamatkan ‘ruh’ kerudung! []
Surabaya, 07/02/2012