Oleh M. Anwar Djaelani,
Inpasonline.com-Jalan Sunnah merupakan jalannya para ulama’ yang patut dijadikan contoh. Tradisinya mengikuti jejak Sahabat Nabi Saw. Ia adalah jalan yang indah. Di jalan itu, tak ada yang suka meributkan khilafiyah furu’iyyah. Di jalan itu, tak ada yang merasa perlu untuk mendemonstrasikan keberbedaannya dengan yang lain. Di jalan itu, semua bersikap saling menghargai.
Jaga Harmoni
Ada empat Imam Mazhab, Imam Hanafi (80-150 H), Imam Malik (93-179 H), Imam Syafi’i (150-204 H), dan Imam Hanbali (164-241 H). Kaum Muslimin boleh memilih salah satunya sambil menghormati sesama Muslimin yang bermazhab berbeda.
Terkait pilihan mazhab kita memang harus selalu bersikap saling menjaga hati, sebab perbedaan di antaranya hanya di aspek furu’iyah saja. Maksudnya, hanya berbeda di aspek “cabang” saja dan bukan di dalam hal yang “pokok”. Dengan cara saling menjaga hati itu, niscaya harmoni akan dirasakan oleh masyarakat. Maka, untuk menambah mantap keyakinan, mari cermati berbagai kisah elok yang telah diperagakan oleh ulama-ulama besar berikut ini.
Alkisah, dulu, di Baghdad. Semua tahu, Imam Ahmad (sapaan lain dari Imam Hanbali) meriwayatkan Hadits tentang adanya shalat sunnah qabliyah (sebelum) Maghrib dan menyatakan keshahihannya. Tapi mengherankan, para muridnya belum pernah melihat sang guru mengamalkannya.
“Mengapa,” tanya para murid ingin memutus penasaran.
“Sebab, penduduk Baghdad telanjur mengambil pendapat Imam Hanafi yang menyatakan bahwa tak ada shalat sunnah qabliyah Maghrib. Jika saya mengamalkan hal yang berbeda, pasti akan menimbulkan keributan di antara anggota masyarakat,” terang Imam Ahmad.
Tampak Imam Ahmad menekankan bahwa lebih baik meninggalkan suatu Sunnah yang diyakini keutamaannya demi terjaganya harmoni di tengah-tengah masyarakat. Alhasil, sikap seperti itulah yang harus dikedepankan.
Di masa yang lain, Ibnu Taimiyah (661 – 728 H) memberikan teladan yang serupa. Bagaimana bersikap terkait bacaan basmalah di dalam shalat? Dikeraskan atau dilirihkan suaranya?
Kata Ibnu Taimiyah, bagi sebagian orang melirihkan suara ketika membaca basmalah (dalam shalat berjamaah) adalah lebih utama. Tetapi, sebagian lainnya justru berpendapat sebaliknya. Maka, jika misalnya seseorang mengambil pendapat yang pertama (melirihkan bacaan basmalah) dan dia sedang mengimami makmum yang berpendapat sebaliknya, akan sangat bijak andai si imam membaca basmalah dengan dikeraskan. Sikap itu lebih dianjurkan daripada mengedepankan permasalahan mana yang afdhal (utama) dari kedua perkara tersebut. “Inilah (sikap) yang baik”, simpul Ibnu Taimiyah.
Sekarang, bergeser ke negeri ini. Kita lihat sikap Prof. Dr. HAMKA (1908-1981). Kita cermati sikap dari penulis Tafsir Al-Azhar itu dalam menghadapi perbedaan furu’iyah. Ini penting, sebab perselisihan di aspek ini sesekali masih terjadi. Sekadar menyebut dua contoh, baca qunut di shalat Subuh itu perlukah? Adzan shalat Jum’at, sekali atau dua kalikah?
Mari kenang dua fragmen. Pertama, soal qunut atau tidak qunut. Suatu ketika HAMKA shalat Subuh berjamaah bersama Dr. KH Idham Chalid (1921-2010). Tokoh yang disebut terakhir itu adalah Ketua Umum PB-NU 1956-1984, Ketua MPR/DPR 1971-1977, dan mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar-Mesir. Saat itu, HAMKA -yang “Orang Muhammadiyah”- mengimami KH Idham Chalid -yang “Orang NU”-. Pada rakaat kedua, HAMKA membaca doa qunut, sesuatu yang tak biasa dilakukannya. Hal ini memberi pelajaran, bahwa menjaga ketentraman hati dari saudara seiman itu sangat penting.
Kedua, tentang adzan Jum’at, sekali atau dua kali. Dulu, di sebuah Jum’at, KH Abdullah Syafii –seorang ulama terkemuka- mengunjungi Prof. Dr. HAMKA di Masjid Al-Azhar Jakarta Selatan.
Banyak yang faham, bahwa HAMKA telah memimpin pelaksanaan ibadah sehari-hari di masjid Al-Azhar sejak kali pertama digunakan pada 1958. Hari itu seharusnya HAMKA yang menjadi khatib. Tapi, sebagai penghormatan kepada sahabat dan sekaligus tamunya, HAMKA meminta KH Abdullah Syafii menjadi khatib.
Hal menarik terjadi. Saat itu, adzan Juma’t dikumandangkan dua kali. Padahal, siapapun tahu, di masjid itu adzan Jum’at selalu hanya satu kali. Rupanya, HAMKA menghormati KH Abdullah Syafii sebab melaksanakan adzan dua kali pada shalat Jum’at adalah pendapat yang dipegang oleh sang tamu.
Berikutnya, kita lihat sikap ulama saat menghadapi masalah-masalah “ringan” di keseharian. Kisah pertama, terjadi di Baghdad–Iraq. Pernah, Imam Ahmad menjumpai seseorang yang memakai pakaian ala penduduk Mekkah.
“Tidak cukupkah bagimu memakai pakaian yang biasa dikenakan orang Iraq,” tanya Imam Ahmad.
“Bukankah ini pakaian yang baik, pakaian dari tempat bermulanya Islam,” elak dari orang yang ditegur.
“Iya. Akan tetapi saya khawatir pakaian itu menghinggapkan rasa sombong dan saya khawatir yang demikian itu adalah pakaian kebanggaan yang dilarang oleh Rasulullah karena dikenakan agar pemakainya tampak menonjol di tengah-tengah masyarakat,” jelas Imam Ahmad.
Selanjutnya, kisah kedua, terjadi di Kufah-Iraq di masa Tabi’in. Pernah terjadi dialog menarik antara seseorang dengan Amir ibn Syurahbil Asy-Sya’bi, salah seorang pemuka Tabi’in ketika itu.
“Wahai Imam, jika saya mandi si sebuah sungai, maka ke manakah saya harus menghadap. Apakah ke arah kiblat, membelakanginya, atau menghindar dari arah keduanya? Bagaimana pula jika suatu kali saya tak tahu di mana arah kiblat,” tanya orang itu.
“Menghadaplah ke arah di mana pakaian itu engkau letakkan, agar jangan sampai terhanyut atau diambil orang,” jawab Amir ibn Syurahbil Asy-Sya’bi lembut seraya tersenyum.
Sungguh terasa bahwa -lewat jawaban sang ulama itu- praktik beragama bisa mudah. Jika kita buat sulit, hal itu akan memayahkan diri sendiri.
Lapang dan Indah
Berbagai teladan dari ulama-ulama besar di atas, memberi kita keyakinan bahwa hidup di Jalan Sunnah (yakni mengikuti salah satu empat madzhab itu) sungguh membahagiakan. Di jalan itu, tak ada konflik yang dipicu oleh perbedaan pendapat di sekitar hal-hal yang bukan pokok. Sebaliknya, di Jalan Sunnah, hal yang akan selalu ada adalah rasa bahagia karena keseharian kita akan serba lapang dan indah. []