Oleh : Ali Akbar bin Muhammad Bin Aqil
Inpasonline.com-LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) yang saat ini tengah ramai diperbincangkan merupakan ancaman nyata bagi generasi keluarga Indonesia. Umat Islam tidak boleh lengah dalam menghadapi fenomena ini. Sudah terlalu banyak kejadian kekerasan seksual oleh predator seks terhadap anak-anak. Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dalam catatan akhir tahun 2017 menyampaikan laporan bahwa kekerasan seksual merupakan permasalahan nomor dua di Indonesia yang menghantui anak-anak. Selama 2017 terdapat 28 kasus kekerasan seksual yang menimpa anak. Rinciannya, 17 kasus kekerasan seksual, 9 kekerasan fisik, dan 2 kekerasan psikis. Menurut Sekjen lembaga yang konsen mengurusi anak-anak ini, “ Ketidaksenonohan seksual sesama jenis terhadap anak memiliki kadar keburukan yang luar biasa, yaitu penyesatan opini orientasi seksual anak.”
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Siti Hikmawaty menjelaskan angka kekerasan seksual sesama jenis terhadap anak kian mengkhawatirkan dan terus menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pernyataan Siti di atas juga dibenarkan oleh Abdul Haris Semendawi, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang mengatakan adanya peningkatan tren kasus kekerasan seksual di awal tahun 2018. “ Satu orang pelaku bisa memakan lebih dari satu korban. Contoh seperti pada kasus di Tangerang dengan pelaku W alias Babe, yang korbannya mencapai 43 orang.”
Maraknya kasus kekerasan seksual sesama jenis terhadap anak merupakan fenomena gunung es. Apa yang tampak masih terlalu sedikit dibandingkan dengan yang tidak kita ketahui. Bisa jadi angka kekerasan seksual terhadap anak jauh lebih besar dari apa yang selama ini diberitakan. Keadaaan ini harus menggugah kesadaran orang tua tentang pentingnya melakukan pengawasan sehingga anak-anak kita tidak menjadi korban-korban berikutnya. Tidak ada jaminan seseorang memiliki imunitas dari virus LGBT. Ia bisa datang kapan saja bahkan dari orang yang tidak kita sangka yang tega melakukan hal yang tak sepatutnya dilakukan.
Dua Faktor
Ada dua faktor seseorang menjadi korban atau terpengaruh virus LGBT, keluarga dan lingkungan. Keluarga yang tidak harmonis, perceraian, ayah dan ibu yang sering bertengkar, atau pola pengasuhan yang salah, bisa memicu sikap LGBT. Ketika seorang anak mengalami trauma masa lalu, ia bisa berperilaku menyimpang dalam kehidupan seksualnya. Trauma di masa lalu merupakan pemantik terbesar bagi diri seseorang yang mengendap dalam alam bawah sadar sehingga menyebabkan disorientasi seksual. Termasuk dalam faktor ini adalah pola pengasuhan yang tidak benar. Seperti anak laki-laki yang didandani layaknya perempuan meski untuk sekadar hiburan atau lucu-lucuan. Anak laki-laki diberi mainan boneka atau mainan-mainan yang seharusnya diperuntukkan untuk anak perempuan.
Faktor eksternal atau lingkungan juga memiliki dampak dan pengaruh yang luar biasa. Lingkungan yang mengitari kehidupan sehari-hari anak begitu komplek. Ada lingkungan bermain, sekolah, masyarakat, tempat kerja atau komunitas. Seseorang yang bergaul dan berkumpul dengan komunitas yang mengalami penyimpangan seksual, besar kemungkinan ia akan terbawa arus dengan melakukan hal-hal seperti tempat perkumpulannya itu. Untuk itu, kita membutuhkan metode yang tepat dalam mengantisipasi virus LGBT sejak dini seperti bunyi pepatah, “Lebih baik mencegah dariapada mengobati.” Atau pepatah yang lain, “Sedia payung sebelum hujan.”
Tiga Langka Pencegahan
Dr. Netty Herawti, M.Psi, seorang Psikolog, mengatakan ada tiga cara untuk membentengi keluarga dari virus LGBT. Pertama, orang tua sebagai orang terdekat dari anak-anak itu harus mampu menghadirkan kenyamanan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Hendaknya orang tua menghadirkan atmosfer yang sejuk dan nyaman dalam mengasuh mereka.
Anak adalah peniru paling ulung. Ia dapat melihat, mengamati, dan melakukan mentah-mentah apa yang ia dengar dan saksikan. Ia belum tahu mana yang baik dan buruk. Ia hanya meniru semua yang dilihatnya. Ketika misalnya orang tua bertengkar di depan anak, ia akan menganggap bahwa hubungan antara ayah dan ibunya tidak harmonis. Padahal bisa jadi, pertengkaran ini karena hal yang sepele. Karenanya, Rasulullah SAW mengajarkan jika pasangan suami-istri bertengkar, hendaknya tidak dilakukan di depan anak. Kesimpulannya, jangan buat anak stress ketika tinggal di rumah.
Kedua, tampilkan karakter yang sesuai takarannya dalam diri ayah dan ibu. Seorang ayah harus berpenampilan layaknya seorang pria sejati, tidak lembek, tidak gemulai, namun tampil gagah. Demikian pula seorang ibu, menjaga penampilannya sesuai kodratnya. Ia tampil layaknya seorang wanita yang lembut. Dua karakter ini akan memberi pengaruh kepada tiap anaknya yang laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki akan meniru ayahnya yang gagah. Anak perempuan akan meniru ibunya yang lembut.
Ketiga, spiritualitas dalam keluarga. Bersandar kepada Allah SWT di awal dan akhir sesuatu merupakan sebuah keniscayaan. Apa pun usaha yang kita lakukan, semuanya akan kembali pada kuasa Allah. Dialah tempat bersandar kita dalam segala hal. Kita berlindung kepada Allah dari segala bentuk kejahatan. Peran agama sebagai kontrol diri harus terus diperkuat agar menjadi benteng yang melindungi segenap anggota keluarga dari segala hal yang negatif, khususnya virus LGBT.
Oleh karena itu, amalan-amalan spiritual harus menjadi denyut nadi kehidupan keluarga, menjadi asupan yang menguatkan jiwa agar tidak mudah terombang-ambing oleh ombak maksiat dan kejahatan. Orang tua harus mengajarkan agama dengan baik dan benar kepada anak-anaknya. Tak boleh merasa bosan dan lelah dalam mencerahkan kehidupan anak dengah cahaya Islam agar ia terlindungi dari pengaruh-pengaruh buruk yang terjadi di masa mendatang. Kontrol diri yang kuat ini adalah agama.
Virus LGBT dapat ditanggulangi dengan kerja sama semua pihak, khususnya oleh pemerintah dan masyarakat. Orang tua sebagai pihak yang mendapat amanah anak wajib mendeteksi sejak dini hal-hal yang dapat menimbulkan penyimpangan seksual pada anak. Pengetahuan yang baik merupakan kunci keselamatan bagi darah daging kita agar dapat menjadi generasi emas di masa depan. Caranya adalah menghadirkan kesejukan dalam rumah tempat bernaung mereka, melakukan pola asuh sesuai kodratnya, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT.
(Tulisan ini dimuat di Majalah Cahaya Nabawiy, Edisi No. 170 Rajab-Sya’ban 1439 H / 2018 M, Rubrik Nisaa’una hal. 89-91)