Judul : Warnai Dunia dengan Menulis
Penulis : M. Anwar Djaelani
Penerbit : InPAS Publishing Surabaya
Cetakan : Februari 2012
Tebal : 222 halaman
Aktivitas membaca dan menulis -bagi seorang Muslim- harus dilakukan secara lengkap. Sebab, membaca dan menulis ibarat dua sisi dari sebuah mata-uang. Satu dan yang lainnya saling melengkapi, tak boleh tiada salah satunya dan apalagi dua-duanya.
Dulu -di tujuh abad pertama sejarah Islam- peradaban Islam tegak dan cemerlang. Hal itu lantaran umat Islam benar-benar pengamal hebat ajaran Islam, termasuk dalam beraktivitas membaca dan menulis.
Buku berisi enam bab ini diniati sang penulis sebagai bagian dari usaha mengembalikan tradisi baca-tulis umat. Bab I berjudul ‘Membaca dan Menulis, Tradisi Umat Terbaik’. Bahwa, pertama, berdasar landasan teologis, kondisi umat Islam sebagai umat terbaik hanya akan bisa diraih jika kita beriman kepada Allah, bernahi munkar, dan beramar ma’ruf.
Saat beramar ma’ruf nahi munkar, maka menulis (baik artikel ataupun buku) termasuk sebuah pilihan strategis karena nilai dakwahnya berjangka lama. Tulisan-tulisan itu sangat berpotensi mewarnai dunia, dalam pengertian bisa memengaruhi pola pikir dan sikap para pembacanya. Sungguh, tulisan yang baik bisa menggerakkan pembacanya. Menggerakkan dari keadaan negatif ke suasana yang positif. Menggerakkan dari alam ‘gelap’ ke alam ‘terang’. Menggerakkan dari alam jahiliyah ke ridha Allah.
Tulisan yang baik hanya akan lahir dari pembaca yang tekun. Maka, di bab II yang berjudul “Membaca, Menjelajahi Alam”, dikupaslah hal-hal yang bertalian dengan betapa berharganya menyusuri dunia dan seisinya lewat membaca (buku).
Melalui bab II, penulis menitipkan pesan untuk menjadikan buku sebagai kekasih dan menjadikan perpustakaan sebagai ‘surga’ yang kita betah berlama-lama di dalamnya. Terkait itu, tinggalkanlah ‘budaya nonton dan dengar’. Intinya, janganlah sekali-kali melewati hari tanpa buku bersama kita.
Bab III berjudul “Menulis, Mewarnai Dunia”. Bahwa, ketrampilan menulis bisa dipelajari dan diasah lewat latihan-latihan yang tak kenal lelah. Artinya, harus tekun. Ketrampilan menulis bisa dimiliki siapapun. Maka, terutama mahasiswa, guru, dosen, pemimpin –atau kalangan manapun yang bisa dikategorikan sebagai intelektual- jangan sampai tak bisa menulis.
Bisakah kita hidup dari menulis? Jika ditekuni, tak ada yang dapat membantah bahwa profesi penulis dapat dijadikan ‘gantungan hidup’ seperti terungkap dalam bahasan “Habiburrahman dan Fenomena Penulis Kaya”. Sementara, -bagi kaum perempuan- aktivitas menulis sangatlah dianjurkan, baik sebagai sarana aktualisasi diri atau juga sebagai profesi seperti dikupas dalam “Kartini Modern, Membaca dan Menulislah!” di buku ini.
Di bab IV, ada judul “Tokoh yang ‘Kekal’ karena Mewariskan Buku”. Bahwa kita di dunia ini hanya hidup sementara saja, semua orang tahu. Tapi, ternyata, ada yang bisa membuat kita ‘kekal’, yaitu tulisan atau buku kita! Jika tulisan kita baik (misalnya, memuat pendapat yang benar, orisinil, dan mencerahkan), maka –insyaAllah- tulisan itu akan lama diperbincangkan bahkan dikutip oleh publik di berbagai kesempatan. Lebih dari itu, tulisan kita akan diarsip oleh banyak orang. Kita menjadi ‘kekal’ karena sesekali atau bahkan seringkali nama kita disebut-sebut orang.
Di dalamnya ditampilkan sebelas tokoh Islam yang nama-nama mereka (berkecenderungan) abadi lantaran mereka mewariskan buku-buku yang –insyaAllah- akan terus dibaca umat. Lihat, misalnya, Imam Al-Ghazali dengan Ihya’ Ulumuddin-nya. Atau, HAMKA dengan Tafsir Al-Azhar-nya.
Bab V berjudul “Menulis Itu –insyaAllah- Mudah”. Sebagai sebuah ketrampilan yang bisa dilatih, menulis itu memang hanya punya teori “Tiga M”, yaitu mulai, mulai, dan mulailah! Artinya, bersegeralah berlatih dan tidak menunda-nundanya.
Hal terpenting yang harus dimiliki (calon) penulis adalah keuletan atau ketekunan. Resep itu tak mengada-ada, sebab -mengutip sebuah pendapat- dalam menulis bakat hanya menyumbang 5%. Lalu, faktor keberuntungan 5%. Sisanya -yang 90%- adalah keuletan atau ketekunan.
Di bab ini, si penulis memberikan ilmu dan pengalamannya terkait cara menulis artikel dan resensi serta kiat menembuskannya ke media, terutama ke media cetak. Selanjutnya, diberikan juga cara menulis buku. Memang, akan lebih sempurna jika kita juga bisa menulis buku. Sebab, buku berpeluang lebih besar dalam mewarnai dunia. Lagi pula, buku dapat kita wariskan kepada peradaban dunia. Oleh karena itu, diberikan pula kiat menulis buku.
Ada tiga bahasan menarik di bab ini, yaitu: 1). Menulis Artikel semudah Berbicara. 2). Menulis Resensi segampang Berkomentar. 3). Menulis Buku, Jihad yang Menyenangkan. Tampak, ketiga judul bahasan tadi sangat menggoda dan ‘provokatif’.
Bab V ini menjadi sangat menarik karena dilengkapi contoh-contoh konkrit artikel dan resensi si penulis yang pernah dimuat sejumlah media cetak, terutama Jawa Pos. Dan, jika melihat judul buku dan keseluruhan isi buku ini, maka bisa dipastikan bahwa bab V inilah yang menjadi ‘jualan’ pokok buku ini.
Bab VI adalah epilog. Penulis kembali memberi penegasan bahwa hanya ada satu tekad: “Bismillah, saya mulai!” Dengan pena atau laptop, berkaryalah! Akan sangat bermanfaat jika ilmu dan wawasan yang kita punya dibagi (baca: disedekahkan) kepada khalayak ramai lewat tulisan kita.
Penulis mengakui bahwa karyanya itu lahir karena terinspirasi oleh ajaran ini: Pertama, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan” (QS Al-‘Alaq [96]: 1). Kedua, “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis” (QS Al-Qalam [68]: 1). Bagi dia, spirit untuk tekun membaca dan serius menulis dalam bingkai semata-mata untuk mengharap ridha Allah, penting dan perlu untuk terus di-‘teriak’-kan. InsyaAllah, kedua aktivitas itu jika kita amalkan secara istiqomah akan bisa melahirkan sebuah peradaban yang mulia, peradaban yang di dalamnya berisi manusia-manusia berkategori si “Pecinta Ilmu”. []