Peta Paham Pluralisme Agama di Indonesia (2 habis)

1. Pluralisme Basis Relativisme

Kebenaran dogma menjadi salah satu perbincangan dalam masalah pluralisme agama. Truth claim terhadap dogma agama yang dipeluk para penganut agama-agama seakan mengusik kaum pluralis, sehingga kaum pluralis menganjurkan kepada pemeluk agama untuk menganut paham ini. Tetapi kaum pluralis sendiri memaknai pluralisme masih dalam perdebatan.

Pluralisme yang ada di Indonesia memiliki beberapa tipe, pada satu sisi mengandung nilai-nilai toleransi, pada sisi yang lain mengandung nilai relativisme bahkan, sampai pada tingkat nihilisme. Doktrin relativisme beramula dari Protagoras sorang sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things).[i] Doktrin relativisme hanya mengandalkan akal manusia maknanya agama hanyalah tradisi. Agama tidak layak dijadikan patokan/standarisasi nilai-nilai kebenaran yang absolute.[ii] Kaum relativis berkeyakinan yang absolute hanya Tuhan,[iii] jadi kebenaran agama hasil tafsiran manusia adalah relative dan tidak absolut.

Agama (Tuhan) memiliki keabsolutan kebenaran dan dan jika agama memasuki akal manusia, maka wahyu tersebut akan menjadi pemikiran keagamaan, maka pemikiran tersebut (representasi manusia tentang agama) adalah relatif sebab manusia sifatnya relatif.[iv]

“Disamping itu, ternyata kita juga menyaksikan bagaimana penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian upaya mempersamakan dan mempersatukan dibawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontradiktif. Pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sehari-hari.”[v]

 Padahal dalam agama Islam keabsolutan itu bisa sampai tingkat manusia, sebab manusia di bekali wahyu, akal, rasul atau khabar shadiq. Dan akidah adalah bagian dari khabar shadiq yang diriwayatkan rasulullah kepada sahabat-sahabatnya dan turun kepada ulama-ulama. Bisa kita bayangkan jika di dunia ini semua relatif, maka hadis nabi yang menganjurkan untuk mencegah kemungkaran tidak akan berlaku lagi, sebab semua relatif, baik dan buruk standarnya akal manusia.

Pluralisme berkaitan erat dengan relativisme kebenaran, sedangkan relativisme memandang, bahwa semua keyakinan keagamaan, idiologi, dan pemikiran filosofis, sama-sama mengandung kebenaran dan memiliki posisi yang sederajat. Jadi tidak ada kebenaran yang mutlak yang dapat ditemukan dalam suatu agama karena memiliki kapasitas yang sama.[vi]

Pluralis-relativisme adalah gagasan yang menekankan, bahwa perbedaan dan kemajemukan adalah prinsip yang tertinggi. Pemahaman pluralisme mengharuskan manusia menghormati semua bentuk keanekaragaman dan perbedaan, dengan menerima hal tersebut adalah bentuk dari menerima realitas yang sebenarnya. Dalam sikap seorang pluralis bukan hanya berhenti pada pluralitas, tetapi menurut Nurcholish Madjid dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban menyatakan bahwa sikap menerima pluralitas dengan sikap menerima pluralisme.

“….kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam Kitab Suci disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai-(Q., 49:13), maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu system nilai yang memandang secara positif-opimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan itu….”[vii]

Maka dalam konteks ini Nurcholish Madjid mengajak umat Islam menerapkan prinsip kenisbian kedalam. Prinsip untuk melepas klaim kemutlakan kebenaran, sehingga persaudaraan dapat dibangun antar umat manusia. Melalui semangat persaudaraan diharapkan dapat mengubah perbedaan-perbedaan sehingga dapat menjadi sumber positif dalam berlomba-lomba menuju kebaikan. Kemudian, melalui persaudaraan sikap saling menghormati akan tumbuh sehingga menghargai perbedaan antar umat dalam kehidupan masyarakat akan terwujud, sebab perbedaan antar umat beragama adalah hanya terletak pada ritual keagamaan dalam mengekspresikan patuh dan tunduk kepada Allah Yang Maha Pencipta.

Hal ini juga sesuai dengan pernyataan dari Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, menyatakan, ”sekali pemahaman akan wahyu memasuki akal manusia, siapa pun manusia itu, ia akan memasuki wilayah kenisbian. Tidak boleh diklaim sebagai suatu kebenaran. Akal manusia tidak akan sampai mengetahui hakekat kebenaran. Sehingga, konsekwensinya juga tidak bisa mengetahui hakekat kebatilan. Akhirnya tidak boleh mengatakan bahwa apa yang diyakini oleh seseorang benar atau batil. Begitu juga keyakinan Ahmadiyah tidak bisa dikatakan sesat atau batil.[viii]

Menurut Syamsul Hidayat Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, pernyataan Ahmad Syafii Maarif akan sangat menyiksa manusia dan menjadikan kekacauan kehidupan manusia, sebab tidak ada kejelasan antara benar dan salah, ma`ruf dan mungkar, tauhid dan syirik, kesesatan dan petunjuk. Padahal banyak ayat-ayat al-Quran dan al-Sunnah yang menjelasankan tentang kriteria al-Haq dan al-Bathil, tauhid dan syirik, baik dan buruk. Kemudian Syamsul Hidayat  mengatakan Kesadaran akan relativitas akal, justru agar akal tunduk kepada mutlak kebenaran wahyu yang disajikan secara jelas oleh Al-Quran dan Sunnah kepada akal manusia. Artinya relativitas akal tetap disertai dengan kapasitas untuk mencapai kebenaran dan kebatilan secara pasti, serta tunduk kepada ketentuan wahyu.[ix] Jika umat Islam sudah tidak lagi percaya kepada kriteria tauhid, syirik, atau umat agama yang lain tidak percaya terhadap baik, buruk, benar salah, petunjuk dan kesesatan dan lain sebagainya yang disebutkan dalam al-Quran dan al-Sunnah atau dalam agama selain Islam di kitabnya masing-masing yang dianggap menjadi panduan ajaran agama, padahal dua kitab al-Quran dan al-Sunnah sebagai pedoman umat Islam, kemudian tidak dianggap benar, kalau begitu apalagi  yang bisa dijadikan pedoman?

Kaum pluralis yakin bahwa agama-agama adalah bentuk jalan menuju Tuhan. Menurut Budhy Munawar Rachman, jalan menuju Tuhan itu adalah satu, tetapi jalurnya banyak, atau jalur menuju keselamatan adalah memang banyak dan Tuhan memanivestasikan dalam bentuk yang beraneka ragam dan bukan hanya pada satu jalan. Beliau juga mengutip ayat al Quran surat Al-Hujurat [49]:10.[x] menurut beliau ayat ini menerangkan tentang perintah Allah untuk saling kompromi, saling take and give, dan tak ada yang boleh mengklaim sebagai yang paling benar.[xi] Pluralisme, masih menurut Budhy Munawar Rachman, tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam tetapi pluralisme harus disikapi dengan teologia religionum (teologi agama-agama) dengan tujuan memasuki dialog antaragama.[xii] Kemudian Budhy Munawar Rachman dalam bukunya Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman menjelaskan, bahwa pendekatan terhadap agama-agama adalah melalui tiga jalur yaitu dengan sikap eksklusif,[xiii] inklusif [xiv] dan paralelis.[xv]

Argumentasi pluralisme memakai Al-Hujurat [49]:10 untuk persatuan persaudaraan lintas agama adalah penafsiran yang penuh hawa nafsu. Padahal dalam Ali `imran ayat 19 sangat jelas, bahwa jalan menuju Allah hanyalah Islam. Bagi yang tidak melaksanakan keislaman berarti kafir. Islam secara teologis bersifat eksklusif sedangkan dalam bermuamalat, bersosialisasi dengan masyarakat adalah inklusif. Tidak ada larangan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat selama tidak merugikan. Sebab nabi juga bersosialisasi dengan masyarakat non muslim.

Makna pluralis dan pluralisme kaum pluralis selalu meyamakan. Senada pengkaburan tersebut Alwi Shihab juga berpendapat, Berbicara pluralisme artinya bukan satu, tetapi plural, banyak. Dan banyak itu artinya berbeda, karena tidak ada yang sama. Maka kita harus bisa menghargai pendapat orang lain, kemudian juga beliau berpendapat bahwa pluralisme itu respect terhadap pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak kelompok yang berbeda dengan kita tapi yang seharusnya adalah saling interaksi dengan baik saling menghormati khususnya idiologi agar terciptanya afinitas (daya gabung/hubungan erat)[xvi] akan tetapi kalimat ini sangat kontradiksi dengan kalimat berikutnya. Alwi Shihab diakhir tulisannya menulis. “….nilai-nilai pluralisme dalam Islam itu sangat kental, maka kita harus mengembangkan nilai-nili pluralisme ini untuk menghormati pendapat orang lain dan tidak memaksakan pendapat kita….”[xvii] sebetulnya pada kalimat “maka kita harus mengembangkan nilai-nilai pluralisme” adalah merupakan kalimat untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Kemudian juga Alwi Shihab juga menulis “Mari kita kembangkan budaya ini, dan saya kira dari dulu dan akan berlanjut terus, bahwa salah satu nilai penting dalam NU adalah inklusifisme” kalimat ini sebenarnya bentuk kalimat yang tidak toleran terhadap orang-orang yang mempertahankan eksklusifisme, padahal dalam Islam tidak terdapat istilah tersebut. Teology Islam adalah eksklusif sekaligus inklusif dalam kehidupan sosial.

2. Pluralisme Berbasis Nihilisme

Tipe pluralisme basis nihilisme adalah bahwa jika semua agama adalah sama benar maka logika terbaliknya adalah tidak ada kebenaran dalam semua agama. Sehingga Ludwig Feuerbach menunjukkan esensi agama terletak pada manusia[xviii] sehingga Feuerbach memaknai agama hanyalah gambaran akan keinginan manusia yang tak terbatas, yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri dan tidak lebih dari proyeksi hakikat manusia.

Agama itu hanya merupakan perwujudan cita- cita: “Ilusi religius yang terdiri dari suatu objek bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah,[xix] mewujudkannya, mempersonifikasikannya. ”Atribut- atribut Ilahi merupakan perwujudan dari predikat- predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi manusia. Agama merupakan kesadaran yang tidak terhingga.

Jadi Tuhan tidak lebih daripada manusia: dengan kata lain, ia adalah proyeksi luar dari hakikat batin manusia sendiri. Bisa juga dikatakan bahwa Tuhan ada dalam tiap manusia, dan manusia adalah bentuk luar dari Tuhan. Tuhan bukan lagi Zat Yang Mahakuasa tapi merupakan akal kolektif manusia. Sarana komunikasi Tuhan bukan memlalui wahyu melainkan dalam bahasa nasional. Manusia tidak butuh dengan Tuhan (Zat Yang Mahakuasa) sebab manusia dapat menyelesaikan masalah dunia tanpa dengan Tuhan.[xx] Jika demikian berarti manusia tidak butuh agama, sebab manusia adalah proyeksi atau gambaran Tuhan itu sendiri. Jika manusia adalah Tuhan apa fungsi agama bagi manusia? Sehingga demikian manusia tidak butuh agama. Dan agama-agama yang ada hanyalah aturan-aturan yang tidak bermakna.

Selain Feuerbach dengan ateisme antropologisnya maka Karl Marx dengan ateisme sosio-politis bahwa agama itu candu bagi masyarakat (religion is the opium of the people). Pendapat Marx ini adalah menerangkan bahwa dengan adanya agama maka struktur masyarakat tidak sehat. Agama menurut Marx adalah hanya khayalan membuat manusia terlena.[xxi] Agama bagaikan eskapisme untuk keluar dari dunia nyata ke dunia khayalan. Agama singkatnya adalah sesuatu yang tidak riil.

Pada tipe ini menyatakan bahwa, kebenaran sejatinya tidak ada, sebab dari pemahaman tentang  kebenaran adalah sama benarnya. Karena kebenaran sama benarnya atau bisa jadi semua kebenaran adalah sama salahnya, itu berarti kebenaran itu tidak ada. Selain itu juga kaum pluralis menganggap bahwa toleransi jika tidak dibarengi dengan sikap pluralisme itu bukanlah sikap toleransi sejati. Seorang pluralis sejati memaknai pluralisme dengan kesamaan dan kesetaraan dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Kaum pluralis juga beranggapan bahwa umat beragama jika tidak mengaplikasikan pluralisme dalam keagamaanya berarti toleran atau intoleran terhadap pemeluk agama yang lain.

Kaum pluralis juga  berusaha untuk menghilangkan otoritatif teolog, ulama dan lain sebagainya, sebab mereka beranggapan akal kolektif manusia yang berhak untuk memaknai sesuatu. Hal ini sesuai dengan pendapat Musdah Mulia disaat di wawancarai oleh Najwa Shihab di Metro TV 21 April 2010. Menurut Musdah Mulia bahwa yang berhak menafsirkan dan mendefinisikan agama adalah elemen masyarakat dan kesepakatan bersama, kemudian juga Musdah beranggapan bahwa Islam harus sesuai dengan Pacasila, UUD 1945, Prinsip NKRI dan prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika sebab Islam berada di Indonesia. Dari ungkapan beliau ini jelas bahwa nilai-nilai agama direduksi menjadi nilai kebangsaan, nilai-nilai agama diganti dengan kesepakatan bersama.

3. Pluralisme Basis Theosofis[xxii]

            Theosofis merupakan organisasi aliran kebatinan, wadah studi, dan pemahaman mengenai kebijaksanaan Ilahi yang tersirat di alam raya ini. Menurut Artawijaya yang menulis Gerakan Theosofi di Indonesia, bahwa antara Freemasonry  dan theosofi adalah satu tujuan dan hanya beda nama.[xxiii] Inti ajaran dari theosofi adalah agama apapun selama menjunjung tinggi kemanusiaan dan menebarkan kebajikan adalah pada hakekatnya sama. Tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kebenaran. Inilah ajaran teosofi dalam memandang agama.[xxiv]

Bahkan dalam lambang theosofi terdapat motto organisasi yang berbunyi, “There is no Relegion Higher Than Truth”, atau dalam bahasa sangsekerta, “Satyan Nasti Paroh Darma” yang berarti “Tidak ada agama yang lebih tinggi daripada Kebenaran”[xxv] dari motto organisasi ini bermakna masing-masing agama tidak bisa mengklaim bahwa agamanyalah yang mutlak benar (absolute truth claims). Karena menurut mereka kebenaran tidak berbentuk tunggal dan kebenaran terdapat dalam agama-agama selama menjalankan kebaikan dan kebenaran.  Dan inilah yang menjadi dasar para penggiat pluralisme agama di Indonesia. menurut kaum theosof bahwa setiap kehidupan dan makhluk di alam ini ada zat Tuhan yang menyatu serta alam dan seisinya bukanlah diciptkan melaikan terpancar dari zat Tuhan. Jadi dari tiap individu manusia memiliki zat Tuhan yang bersemayam dalam hati dan jantung manusia.[xxvi]

Gerakan theosofi yang dirumuskan Dr. Anie Besant salah satunya adalah Membentuk suatu inti persaudaraan universal kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin, kasta atau warna kulit.[xxvii] Kata-kata ini seakan indah tetapi memiliki tujuan yang berbeda. Padahal dalam Islam persaudaraan berdasarkan keimanan,[xxviii] dan ditegaskan kembali dalam QS Al-Mujadalah: 22.[xxix]

Diantara sarjana Muslim Indonesia yang terpengaruh dengan ide-ide Theosofi adalah Komarudin Hidayat. Disalah satu karyanya beliau menulis:

“Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkus yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan. Pada tahap ini, agama muncul dengan ragam wajah dan ragam bahasa sementara kita cenderung melihat perbedaannya ketimbang persamaanya.”[xxx]

Jika dicermati kalimat diatas, bahwa Komaruddin Hidayat meyakini bahwa kebenaran dapat ditemukan pada setiap agama. Keberagaman agama-agama hanyalah bentuk bungkus, kulit luar dan tradisi yang berbeda dari tiap agama-agama, akan tetapi isi ajaran agama adalah sama. Kemudian masih dalam buku yang sama, Komaruddin mengatakan, “secara empiris adalah suatu kemustahilan jika kita mengidealisasikan munculnya kebenaran tunggal yang tampil dengan format dan bungkus tunggal, lalu di tangkap oleh manusia dengan pemahaman serta keyakinan yang seragam dan tunggal pula.”[xxxi] Di sinilah Komaruddin menyangsikan akan adanya sebuak kebenaran dalam bentuk tunggal. Keberagaman tersebut merupakan kebenaran. Dan kebenaran terdapat pada tiap-tiap sesuatu yang tidak tunggal. Dan ini berarti beliau meragukan kebenaran agama Islam dan kesempurnaan ajaran.

            Selain Komaruddin Hidayat adalah Zuhairi Misrawi  Intelektual Muda NU dan Ketua Moderate Muslim Society. Dalam tulisannya di Kompas mengatakan:

Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.[xxxii]

Disini Zuhairi Misrawi mengajak untuk sadar terhadap perbedaan dan keragaman merupakan fitrah manusia. Disinilah kerancuannya, yaitu Zuhairi sendiri tidak sadar bahwa, yang menjadi fitrah adalah pluralitas bukan pluralisme. Disinilah terjadi pengkaburan makna antara pluralisme dan pluralitas. Kemudian Zuhairi juga menulis.

Fatwa keagamaan berupa penyesatan dan pengharaman terhadap kelompok minoritas dalam intra-agama sepanjang tahun 2009 juga menjadi tantangan serius. Fatwa tersebut dapat digunakan untuk melakukan tindakan hukum yang dapat dianggap sebagai diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas. Fatwa tersebut kerap kali dijadikan sebagai landasan untuk melarang kegiatan dan memejahijaukan mereka dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama. Di samping itu, kelompok minoritas harus mendapatkan perlakukan tidak manusiawi oleh sekelompok masyarakat yang tidak beridentitas, baik penyerangan maupun pengusiran.[xxxiii]

Disini tampak jelas bahwa Zuhairi menolak fatwa MUI terhadap Ahmadiyah, Lia Eden atau aliran-aliran sesat yang lainnya, bahkan Zuhairi mendukung keberadaannya. Sebab pemikiran Zuhairi lahir dari keyakinannya bahwa tidak ada truth claim. Masing-masing orang bebas mengekpresikan keyakinannya dalam beragama. Setiap individu memiliki pendapat akan kebenaran. Hal ini searah dengan ajaran theosofi yang mengajarkan bahwa manusia sejati adalah kebenaran dan kebenaran menurut theosofi tidak dapat dimonopoli. Setiap orang mempunyai kebenaran dan kenyataan sendiri.[xxxiv]

 

4. Pluralisme Bukan Toleransi

Jika pluralisme ini dianggap sebagai cara bertoleransi terhadap penganut agama lain, maka Diana L. Eck membantah pendapat tersebut dalam tulisannya What is Pluralisme,” Nieman Reports God in the Newsroom Issue” bahwa pluralisme tidak hanya bermakna toleransi, tetapi merupakan pencarian secara aktif guna memahami aneka perbedaan (the encounter of commitments) alias mengharapkan kesamaan dalam agama-agama.[xxxv] Hal ini juga senada dengan Syafi`i Anwar[xxxvi] Direktur International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) mengatakan bahwa “Pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia,” selain itu juga masih menurut Syafi`i Anwar, Konsep pluralisme yang tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others), [xxxvii]

Dalam konsep Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, tetapi tidak sampai pada tingkat pembenaran terhadap teologinya. Islam tetap mengakui kesalahan teologi agama yang lain bahkan sampai tingkat mengoreksi, tetapi Islam juga tidak memaksakan mereka untuk untuk masuk Islam. Islam juga membiarkan agama selain Islam untuk melaksanakan ritual agamanya, selama tidak mengganggu agama Islam. Ini berarti Islam tidak mentolerir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin).[xxxviii]

Daftar pustaka

 

Al Qurtuby, Sumanto., Lubang Hitam Agama, (Yogyakarta: Rumah Kata, 2005).

Arif, Syamsyuddin., Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008)

Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010)

Aslan, Adnan., Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, (terj) Munir, ( Bandung: Alifya, 2004)

Baso, Ahmad dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Kerjasama Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005)

Beyer, Peter, Religion and Globalization (London: Sage Publications, 1994)

Biyanto., Pluralisme Keagamaan dalam perdebatan Pandangan Kaum Muda Muhamadiyah, (Malang: UMMPRESS, 2009)

Budiman, Arief., dalam Dialog Kritik dan Identitas Agama, Seri Dian I/Tahun I (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993)

Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural. (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

Cholil, Suhadi (ed), Resonansi Dialog Agama dan Budaya, (Yogyakarta: CRCS (Centre for Religious & Cross-cultural Studies) 2008)

Dokumen Konsili Vatikan II (terj) R. Hardawiryana, SJ, (Jakarta: Obor 1993),

Ghazali, Abd Ghazali., Argumen Pluralisme Agama, (Depok: KataKita, 2009)

Hick, John dan  Bebblethwaite, Brian (eds.), Christianity and Other Religions (Glasgow: Fount Paperbacks, 1980)

Hick, John., Dialogues in The Philosophy of Religion, (Palgrave Macmillan, 2001)

Hick, John., God and the Universe of Faiths, (Oxford: Oneworld, [1973] 1993)

Hick, John., God Has Many Name (terjemahan) Amin Ma`ruf dan Elga Sarapung, (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2006)

Hick, John., God Has Many Names, (Philadelphia, The Westminster Press, 1980),

Hick, John., Philosophy of religion, (Prentice Hall, 1990) hal.117,

Hidayat, Komaruddin dan Nafis, Muhamad Wahyu., Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, ( Jakarta: Gramedia, 2003)

Husaini, Adian dan Hidayat, Nuaim., Islam Liberal Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabanya, (Jakarta: Gema Insani, 2002)

Husaini, Adian., Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani, 2006)

Husaini, Adian., Pluralisme Agama Parasit Bagi Agama-Agama, (Jakarta: Media Da`wah, 2006)

Husaini, Adian., Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani , 2005)

Husaini, Adian., Liberalisasi Islam di Indonesia, makalah disampaikan dalam acara Rakorda Majelis Ulama se-Jawa dan Lampung di Serang-Banten 11 Agustus 2009

Ikhsan, Muh., Pengaruh Globalisasi Terhadap Krisis Identitas Muslim, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2006)

Islmail, Faisal., Sekulerisasi Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid, (Yogyakarta: Pessantren Nawasea, 2008)

Lagenhausen, Muhammad., (terj) Arif Muladi, Satu Agama atau Banyak agama, (Jakarta: Lentera, 2002)

Madjid, Nurcholish Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995)

Madjid, Nurcholish., Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000)

Madjid, Nurcholish., Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992) cet. Ke-IV tahun 2000

Mulkhan, Abdul Munir., Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002)

Mulkhan, Abdul Munir., Satu Tuhan  Beribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007)

Munawar-Rahman, Budhy., Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004)

Naim, Ngainun dan Sauqi, Ahmad., Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008)

Nasr, Sayyed Hosen., Knowledge and the Sacred, (Albany: State University of New York Press, 1981)

Nasr, Sayyed Hossein., Knowledge and The Sacred, (Albany: State University of New York, 1989)

Philip J. Adler, World Civilizations, (Belmont: Wasworth, 2000)

Qodir, Zuly., Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (Edisi Revisi) 2007)

Qodir, Zuly., Muhamadiyah dan Pluralisme Agama,” dalam Pluralisme dan Liberalisme: Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah, (ed.) Imron Nasri (Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005)

Rasyid, Daud., Pembaharuan Islam & Orientalisme dalam Sorotan, (Bandung: Syaamil, 2006)

Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad, (terj) Rudy Alam, 5 Tantangan Abadi Terhadap Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya, (Bandung: Mizan, 2008)

Schoun, Frithjof., Spiritual Perpectives and Human Facts: A New Translation with Selected Letters (Indiana: World Wisdom , 2007)

Schuon,  Frithjof James S. Cutsinger, Gnosis: Divine wisdom: A New Translation With Selected Letters, (Indiana: World Wisdom, 2006), hal., 76-80

Shihab, Alwi., Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997)

 Soedarmo, R., Kamus istilah teologi, Gunung Mulia, 1994

Subkhan, Imam., Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, (Yogyakarta: Kanisius, 2007)

Sunardi, St. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993).

Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005)

Thoha, Anis Malik., Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis., (Jakarta: Perspektif 2005),

Ujan, Andre Ata, dkk., Mutlikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan, ( Jakarta: Indeks, 2009)

Wahid, Abdurrahman., Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: Lkis, 1999)

Waters, Malkom, Globalization, (London: Routledge, 1995)

Zarkasyi, Hamid Fahmy., Paham Pluralisme Agama, Makalah disampaikan pada Acara Training Da’i tetang Aqidah dan Pemikiran Islam, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, di Cilegon Banten, pada Ahad, tanggal 27 Mei 2007.

Zarkasyi, Hamid Fahmy., Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo, Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007)

http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/18/konsep-proyeksi-sang-filsuf-ateis-ludwig-feuerbach/

http://islamlib.com/id/artikel/membedah-pluralisme-cak-nur/

http://no-liberal.blogspot.com/

http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php

http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php

http://ponpes-almukhtar.blogspot.com

http://www.arrahmah.com/index.php/blog/read/1376/liberalisasi-islam-di-indonesia

http://www.asiafoundation.org/Location/indonesia.html

http://www.duniaesai.com/filsafat/fil11.html http://www.gaulislam.com/jangan-memberhalakan-multikulturalisme

http://www.sabda.org/biokristi/schleiermacher

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/26/op01.html

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/26/opi01.html

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/syafii-anwar/berita/01.shtml

www.frithjof-schuon.com

www.hidayatullah.com

www.islamlib.com

http://cetak.kompas.com

Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat Vol. V No. 1 Juli-Desember 2008

Islamia Jurnal Pemikiran Islam Republika 14 Januari 2010

Majalah Pemikiran dan Peradaban Islamia, tahun I NO.4/Januari-Maret 2005

Majalah Pemikiran dan Peradaban Islamia, Tahun I Nomor 3, terbit Septembar-Oktober 2004

Koran Kompas, 2002

Koran KOMPAS, 2001

[i] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo, Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007), hal., 92-98

[ii]  “Ke depan diperlukan langkah-langkah yang terencana dan sistemik untuk mereposisi peran agama di dalam masyarakat Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat control, terlebih lagi sebagai sebagai alat untuk mendominasi.” Siti Musdah Mulia, dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005) hal. 238-239.

[iii] Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, menyatakan, ”sekali pemahaman akan wahyu memasuki akal manusia, siapa pun manusia itu, ia akan memasuki wilayah kenisbian. Tidak boleh diklaim sebagai suatu kebenaran. Akal manusia tidak akan sampai mengetahui hakekat kebenaran. Sehingga, konsekwensinya juga tidak bisa mengetahui hakekat kebatilan. Akhirnya tidak boleh mengatakan bahwa apa yang diyakini oleh seseorang benar atau batil. Menurut pernyataan beliau ini, bahwa kebenaran absolute hanya dimiliki oleh Tuhan. Jika wahyu Tuhan telah memasuki akal manusia, maka kebenaran itu menjadi relative dan nisbi, sebab manusia sifatnya adalah relative. Syafii Maarif, “Mutlak dalam Kenisbian”, Republika 29/12/2006., lihat http://ponpes-almukhtar.blogspot.com dikutip tanggal 20 April 2010

[iv]  M. Khoirul Muqtafa, dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005) hal. 58. Nur Kholish Madjid, juga membedakan antara Agama dan pemikiran agama. Menurut beliau, agama adalah absolut sebab datang dari Tuhan, sedangkan pemikiran agama adalah relatif sebab telah masuk ke akal/pemahaman manusia, dan manusia adalah relatif. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992) cet. Ke-IV tahun 2000, hal., 328-329.,

[v]  M. Khoirul Muqtafa, dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam

[vi]  Dikutip dari  Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam perdebatan, ( Malang: UMMPress, 2009), hal. 170.

[vii]  Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. lxxv

[viii]  Ahmad Syafii Maarif, “Mutlak dalam Kenisbian”, Republika 29/12/2006, Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam perdebatan, ( Malang: UMMPress, 2009), hal. 14-15

[ix]  http://no-liberal.blogspot.com/ dikutip tanggal 20 april 2010

 [x] إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

[xi]  Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004) cet.I. Hal. 37

[xii]  Ibid. hal. 39-40

[xiii]  Menurut Budhy Munawar-Rachman,  adalah pandangan bahwa agamanya adalah satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. Jika dalam Katolik terdapat  ajaran extra ecclesiam nulla salus atau extra ecclesiam nullus propheta. Pandangan ini dikukuhkan pada konsili 1442. diantara para tokoh Protestan yang berpandangan ini adalah Karl Barth dan Hendrick Kraemer jika dalam agama Islam Budhy Munawar-Rachman mengutip QS Al-Maidah [5]: 3, QS Ali `imron [3]: 85 dan QS Ali `imron [3]: 19. Lihat Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, hal. 56-58

[xiv] Inklusif adalah pandangan yang membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific presence) dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan dan aktivitas Tuhan  agamanya. Artinya dalam agama-agama lain terdapat jalan keselamatan (kebenaran) tetapi agama yang diyakininya adalah jalan yang terbaik untuk meraih keselamatan (kebenaran). Dalam agama Katolik teologi ini muncul setelah Konsili Vatikan II tahun 1965. untuk menguatkan argumentasinya ini Budhy mengutip QS Al-Maidah [5]: 48 dan ayat ini juga digunakan oleh Nur Cholish Madjid. Lihat  Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, hal. 58-61

[xv]  Paralelisme adalah sikap petengahan antara eksklusif dan inklusif. Paralelisme adalah pandangan yang  mempercayai bahwa setiap agama memeiliki jalan keselamatannya sendiri-sendiri bukan agamanya yang paling memiliki kebenaran (eksklusif) atau agama lain adalah sebagai pelengkap agamanya (inklusif) atau setiap agama merupakan jalan-jalan yang sama menuju pada kebenaran. Sikap ini oleh John Hick disebut dengan Plularisme dalam bukunya God and the Universe of Faiths, . Lihat  Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, hal. 61-66

[xvi]  Alwi Shihab, dalam Sururin (ed) kata pengantar, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005)  Hal. 17

[xvii]  Ibid., hal. 20

[xviii]  St. Sunardi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei 1993)., hal. 69

[xix]  Lihat http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/18/konsep-proyeksi-sang-filsuf-ateis-ludwig-feuerbach/

[xx]  Hamid Fahmy Zarkasyi, Agama Dalam Pemikiran Barat dan Post-Modern, Islamia, Thn I No.4/Januari-Maret 2005, hal. 38

[xxi]  http://www.duniaesai.com/filsafat/fil11.html

[xxii] Theosofi terdiri dari dua suku kata “theos “(Allah) dan “Sophia” (kebijaksanaan). Pencarian pengetahuan yang tidak di dapatkan dengan panca indera tetapi dengan merenung. Menurut ajaran teosofi, manusia tidak membutuhkan Allah. Ia harus mencari kesempurnaan sendiri. Alam semesta, jadi juga manusia, adalah penampakan dari allah. Manusia harus mencari kesempurnaan. Kesempurnaan ini tidak dicapai dalam satu hidup. Jiwa tidak binasa kalau orang mati. Tapi jiwa ini akan pindah menjadi hal lain. Kalau orang hidup baik, jiwanya akan menjadi hal yang lebih tinggi; kalau ia hidup jahat, ia menjadi hal yang lebih rendah. Inilah ajaran reinkarnasi. Jadi setiap hal menerima sepadan dengan jasa-jasanya sendiri, baik atau jahat (hukum karma). Kesempurnaan di capai sebagai yang tertinggi yang disebut nirwana. R. Soedarmo, Kamus istilah teologi, Gunung Mulia, 1994., hal. 95

[xxiii]  Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hal.,16-35

[xxiv]  Ibid, hal. 49.

[xxv]  Ibid., hal. 43.

[xxvi] Ibid., 55-64

[xxvii]  Iskandar P. Nugraha, Mengikis batas Timur dan Barat: Gerakan Theosofi dan Nasionalisme Indonesia, 2001, hal., 47-62. Lihat, Adian Husaini dan Nuaim Hidayat, Islam Liberal Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabanya, (Jakarta: Gema Insani, 2002)., hal.124.

[xxviii] “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” QS Al-Hujurat: 10

[xxix]  “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” QS Al-Mujadalah: 22

[xxx] Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyu Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, ( Jakarta: Gramedia, 2003)., hal 130

[xxxi]  Ibid.

[xxxii] Lihat Zuhairi Misrawi, Pluralisme Pasca Gus Dur,  http://cetak.kompas.com tanggal 04 Januari 2010

[xxxiii]  Ibid.

[xxxiv] Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hal.,60

[xxxv]  Biyanto, “Pluralisme Keagamaan dalam perdebatan”.,hal. 50. pluralism is more tahan the mere tolerance of differences, it requires some knowledge of our differences. There is no questions that tolerance is important, but tolerance by itself may be a deceptive virtue….. Diversity to Pluralism. Diana L. Eck, keynote addressnya yang berjudul “A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. pluralism is not just tolerance, but the active seeking of understanding across lines of difference. Lihat http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php

[xxxvi]  Intelektual muslim yang bergelut dengan pluralisme. Telah menyelesaikan S-3 di di Universitas Melbourne, Australia, dan lulus tahun 2005. Ia menulis disertasi berjudul ”Negara dan Islam Politik di Indonesia: Sebuah Studi Politik Negara dan Perilaku Politik Pemimpin Muslim Modernis di Bawah Rezim Orde Baru Soeharto 1966-1998”. Kemudian memimpin ICIP dari tahun 1999

[xxxvii]  http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/syafii-anwar/berita/01.shtml dikutip tanggal 22 April 2010

[xxxviii]  Henri Shalahuddin, Al-Kafirun, Islamia Jurnal Pemikiran Islam Republika, 14 Januari 2010. Kholili Hasib, Kerancuan Wacana Titik Temu Agama, diterbitkan oleh www.hidayatullah.com pada tanggal 25 Juli 2009 dan dikutip pada tanggal 21 April 2010.

*Artikel terbit pada website inpasonline.com pada 2 Agustus 2010

Last modified: 10/01/2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *