Oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi ulama dan penulis 13 buku
inpasonline.com – Mempelajari Muhammadiyah, bagus dimulai dengan mempelajari siapa KH Ahmad Dahlan sang pendiri. Hal ini, karena setiap organisasi tidak dapat dipisahkan dari pendirinya. Terkait, kita sangat perlu mempelajari bagaimana kehidupan, pemikiran, dan perjuangan Ahmad Dahlan.
Dalam hal di atas, telah banyak buku biografi Ahmad Dahlan yang bisa kita telaah. Saya, misalnya, alhamdulillah telah menulis dua buku yaitu: Pertama, berjudul KH Ahmad Dahlan; Gelegak Dakwah Sang Penggerak (terbit 2021). Buku ini mendapat Kata Pengantar Prof. Dr. Din Syamsuddin. Kedua, berjudul KH Ahmad Dahlan dan Kader-Kader Teladan (terbit 2022).
Kampung Tak Terlupakan
Tulisan ini hanya fokus kepada Kampung Kauman Jogjakarta (selanjutnya, ditulis Kauman). Kampung ini tempat Ahmad Dahlan lahir dan awal merintis dakwah sekaligus mendirikan Muhammadiyah.
Menjadi fokus karena, pertama, Ahmad Dahlan memulai gerakan dakwahnya di Kauman. Kedua, ikrar berdirinya Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dilakukan di Kauman. Ketiga, di Kauman berdiri Masjid Gedhe yang tak terpisahkan dengan riwayat dakwah Ahmad Dahlan.
Tentu, lewat setidaknya tiga faktor di atas, mustahil melupakan Kauman. Tak mungkin memisahkan Ahmad Dahlan, Muhammadiyah, dan Kauman. Ketiganya, seperti satu kesatuan.
Kampung Kenangan
Kauman adalah sebuah kampung di Jogjakarta yang mempunyai ciri-ciri khusus. Kauman mempunyai rangkaian dengan Keraton Yogyakarta. Lahirnya kampung ini dimulai dari penempatan abdi dalem, yang mempunyai tugas dari Keraton Jogjakarta di bidang keagamaan dan khususnya di kemasjidan.
Saya, alhamdulillah, telah mengunjungi Kauman beberapa kali. Di dalamnya termasuk beberapa kali ke Masjid Gedhe Kauman dan beberapa kali pula ke rumah KH Ahmad Dahlan di Kauman Gang Langgar Kidul. Jarak rumah KH Ahmad Dahlan ke Masjid Gedhe Kauman sekitar 200 m.
Kita mulai dari Masjid Gedhe. Selanjutnya ke Kauman gang Langgar Kidul tempat KH Ahmad Dahlan tinggal. Lalu ke Kauman gang Langgar Duwur, yang di salah satu rumahnya, muncul usul nama Muhammadiyah sebagai identitas organisasi dakwah yang akan didirikan oleh KH Ahmad Dahlan kala itu.
Masjid Gedhe
Ahmad Dahlan lahir 1 Agustus 1868 di Kauman Jogjakarta. Sebagian besar masa kecil Ahmad Dahlan dihabiskan di Kauman. Ayah dan ibunya memberikan perhatian luar biasa bagi perkembangan intelektual Ahmad Dahlan.
Setiap sore menjelang mengaji atau selepas mengaji, Ahmad Dahlan biasanya menyempatkan diri bermain-main. Bersama teman-temannya, Ahmad Dahlan betah bermain-main di halaman Masjid Gedhe Kauman (selanjutnya ditulis Masjid Gedhe).
Masjid Gedhe terletak di Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Jogjakarta. Posisinya, di sebelah barat alun-alun utara Keraton Jogjakarta.
Masjid Gedhe dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I, pada 1773.
Posisi orang tua Ahmad Dahlan adalah pemangku agama di Keraton Jogjakarta. Utamanya, untuk mengurusi Masjid Gedhe. Situasi ini, turut menjadi penyebab bahwa bagi Ahmad Dahlan Masjid Gedhe tak ubahnya seperti rumah kedua.
Sebagian besar masa kecil Ahmad Dahlan dihabiskan di Masjid Gedhe dan sekitarnya. Ahmad Dahlan selain bermain-main di halaman masjid, tentu juga shalat di dalamnya saat waktunya tiba. Lewat kondisi ini, Ahmad Dahlan seperti sudah hafal dengan setiap sudut di Masjid Gedhe. Misalnya dalam hal jenis ukiran, warna kayu jati, dan lain-lain. Pendek kata, Ahmad Dahlan seperti kenal luar dan dalam Masjid Gedhe.
Ruang utama Masjid Gedhe
Serambi dan Ruang Utama
Satu di antara kehadiran saya di Masjid Gedhe, pada Ahad 3 Januari 2016. Saat itu saya hadir di Masjid Gedhe untuk menjadi pembicara Bedah Buku. Ini, terkait buku pertama saya yang diterbitkan Pro-U Media – Jogjakarta. Judulnya, 50 Pendakwah Pengubah Sejarah. Malam sebelumnya, pada Sabtu 2 Januari 2016, dilakukan Peluncuran Buku tersebut pada acara Jogja Islamic Fair di GOR Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Kembali ke acara Bedah Buku saya. Acara itu ditempatkan di serambi Masjid Gedhe. Hemat saya, di tempat itu acara menjadi lebih rileks. Serambinya luas dan diwarnai banyak tiang yang artistik, jadilah suasananya asyik. Lantainya dari tegel bermotif khas dengan warna kuning kecoklatan. Pilar-pilar di serambi juga khas dalam hal bentuk, ornamen, dan warna.
Serambi ini bisa dibilang fungsinya serbaguna, Misal untuk pengajian umum, pengajian tafsir, dan pelaksanaan akad nikah. Sementara, untuk shalat jenazah tempatnya di ruang utama tapi lain-lainnya seperti seremonial pelepasan jenazah dilakukan di serambi.
Serambi Masjid Gedhe
Setelah melewati serambi kita akan sampai ke ruang utama. Posisinya, lebih tinggi dari serambi. Lantainya marmer tapi ditutupi hamparan permadani. Di sisi utara ruang utama, ada akses ke tempat wudhu laki-laki.
Di mana shaf shalat perempuan? Jika kita masuk dari serambi ke ruang utama, maka begitu masuk posisinya ada di kiri. Sehari-hari, shaf perempuan dibatasi tabir.
Unsur Pelengkap
Turun dari serambi masjid, kita akan berada di halaman. Di situ banyak fasilitas penunjang. Di sisi selatan masjid ada perpustakaan. Alhamdulillah, saya pernah memberikan Pelatihan Menulis di perpustakaan ini. Saya lupa tanggalnya. Itu, acara yang berbeda dengan Bedah Buku yang telah disebut di atas.
Perpustakaan Masjid Gedhe
Di sisi selatan juga ada Benteng Keraton. Lalu, ada juga Pagongan. Ini, adalah tempat untuk meletakkan seperangkat gamelan pada saat acara Sekaten.
Di sisi utara masjid ada kantor takmir. Di belakangnya, ada kantor Penghulu Keraton.
Jelajah Kauman
Di sekitar Masjid Gedhe dibangun fasilitas bagi para pengurus masjid, ulama dan khatib serta para abdi dalem. Nama kawasan itu adalah Kauman.
Kauman itu kampung yang terdiri dari banyak gang dan rata-rata akses jalannya kecil. Di antara gang-gang yang pernah beberapa kali saya kunjungi adalah Kauman gang Langgar Kidul dan Kauman gang Langgar Duwur. Kedua gang itu memang yang paling menarik perhatian.
Di antara kunjungan itu adalah pada 3 Desember 2022. Kala itu kami (yaitu saya dan keluraga serta Kak Jamaluddin dan keluarga), dari Masjid Gedhe menuju Kauman gang Langgar Kidul lewat dari sisi selatan Masjid Gedhe. Tentu, tujuan kami ke rumah KH Ahmad Dahlan.
Kami berjalan ke arah barat. Tak lama, di kiri jalan dari gang sempit itu kami ketemu dengan SD Muhammadiyah Kauman. Inilah SD Muhammadiyah pertama di Indonesia.
SD Muhammadiyah Kauman
Setelah sekitar 10 m, di seberang SD tadi, ada makam Siti Walidah (istri KH Ahmad Dahlan). Di pintu masuknya, ada papan dengan tulisan: Makam Pahlawan Nasional. Nyai Achmad Dahlan (1872-1946).
Makam Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah)
Kami terus berjalan dan setelah dua kali belokan kecil, sampailah ke Kauman gang Langgar Kidul. Gang itu kecil, mungkin lebarnya tak sampai dua meter. Kami susuri, kira-kira 100 m, sampailah kami ke rumah KH Ahmad Dahlan.
Jejak Itu
Rumah KH Ahmad Dahlan relatif kecil, lebarnya mungkin 4 m. Dinding, kusen, pintu, dan jendela berwarna hijau. Sangat sederhana.
Di depan rumah KH Ahmad Dahlan (2022)
Di depan rumah yang menghadap selatan itu, ada halaman. Mungkin, berukuran 5 X 15 m. Di sisi kiri halaman (dari arah rumah Ahmad Dahlan), ada gedung. Di situlah Ahmad Dahlan dulu mengajar.
Adapun di sisi kanan (dari arah rumah Ahmad Dahlan), ada bangunan dua lantai yang disebut Langgar Kidul. Dulu, di sinilah Ahmad Dahlan mengundang para ulama untuk membicarakan masalah agama termasuk soal arah kiblat yang benar.
Pada perkembangannya, terutama terkait polemik arah kiblat, Langgar Kidul dibakar dan dirubuhkan oleh mereka yang tak sepaham dengan pemikiran Ahmad Dahlan. Kini, langgar itu sudah dipulihkan dengan dua lantai. Lantai bawah dipakai untuk museum.
Langgar Kidul KH Ahmad Dahlan
Pondok Tabligh
Dari rumah KH Ahmad Dahlan di Kauman gang Langgar Kidul, kami menuju Kauman gang Langgar Duwur. Bisa dibilang gang itu di sebelahnya. Dengan demikian, sebentar saja kami sudah sampai. Disebut gang Langgar Duwur karena ada langgar yang posisinya persis di mulut gang dan bangunannya di atas.
Kami masuk gang, setelah sekitar 10 m di sisi kiri, kami bertemu rumah yang di depannya ada semacam ”papan nama” bertuliskan Pondok Tabligh. Ke situlah kami bertamu. Sayang, Pak Budi Setiawan sang tuan rumah saat itu sedang ke Cianjur yang waktu itu sedang mengalami bencana alam.
Memang, waktu itu Pak Budi Setiawan adalah Ketua MDMC PP Muhammadiyah. Meski begitu, kami yang telah berkabar sebelumnya kepada Pak Budi Setiawan bahwa akan bertamu, kami tetap diterima istri beliau dengan ramah dan penuh kekelurgaan.
Saya pribadi, setahun sebelumnya yaitu pada 2021, pernah ke Pondok Tabligh ini dan ketemu dengan Pak Budi Setiawan. Di saat itulah, banyak kisah menarik yang saya dapat. Di antaranya, di rumah beliau inilah, dulu nama Muhamadiyah kali pertama diusulkan.
Di depan Pendopo Tabligh
Adapun tentang rumah itu, Pondok Tabligh, dulunya didiami Sangidu. Beliau abdi dalem Keraton Jogjakarta. Beliau juga kerabat sekaligus sahabat Ahmad Dahlan. Kini, rumah itu didiami Pak Budi Setiawan sebagai cicit dari Sangidu.
Apa yang disampaikan Pak Budi Setiawan tentang sejarah nama Muhammadiyah sama dengan sejumlah referensi yang ada. Itu, setidaknya ada pada dua informasi pada dua buku berikut ini.
Rumah Sangidu menjadi pusat gerakan. Rumah itu disebut Pondok Tabligh. Pada 2011, di rumah itu ada rapat untuk merencanakan pendirian organisasi dakwah (Ensiklopedia Muhammadiya, 2015: 769). Nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat sekaligus sahabat Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu. Kemudian, setelah melalui shalat istikharah, nama itu diputuskan sebagai nama organisasi oleh Ahmad Dahlan (Darban, 2017: 39).
Di Karangkajen
KH Ahmad Dahlan wafat pada 23 Februari 2015. Sang Pencerah sekaligus Sang Penggerak itu dimakamkan di Karangkajen, sekitar 3 km dari Kauman. Kompleks pemakaman itu hanya berjarak sekitar 1 km dari Masjid Jogokariyan Jogjakarta yang tersohor itu.
Saya beberapa kali berziarah ke makam KH Ahmad Dahlan. Salah satunya, dengan jalan kaki dari Masjid Jogokariyan. Tentu dengan jarak sekitar 1 km, untuk mencapainya tidak perlu lama.
Makam itu berada di belakang Masjid Jami’ Karangkajen Jogjakarta. Secara umum, kondisi makam teratur dan rapi. Makam KH Ahmad Dahlan ada di sisi utara yang di arah utaranya langsung berbatasan dengan tembok pemisah antara wilayah masjid dengan kampung di sebelahnya.
Di tembok itu, di arah kepala makam KH Ahmad Dahlan, ada papan yang ditempelkan. Di dalamnya ada pemberitahuan: Makam Pahlawan Nasional, KH Ahmad Dahlan (1868-1923).
Makam KH Ahmad Dahlan
Tepat di sisi barat makam KH Ahmad Dahlan, adalah makam KH Ibrahim. Pas di barat dari makam KH Ibrahim adalah makam KH Ahmad Badawi. Siapa keduanya?
KH Ibrahim (1874-1934) adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah setelah KH Ahmad Dahlan. Beliau memimpin dari tahun 1923 sampai 1933. Di bawah kepemimpinannya Muhammdiyah berkembang pesat. Salah satu ukurannya, cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri di hampir seluruh Indonesia.
Ahmad Badawi (1902-1969) menjadi Ketua Umum PP Muhammdiyah dua periode yaitu 1962-1965 dan 1965-1968. Di antara jejak prestasinya: Pertama, punya banyak karya tulis dalam bentuk buku. Kedua, pada 1963 menjadi Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dalam bidang agama Islam. Ketiga, pada 1968 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Buah Menggugah
Demikianlah, sebagian kisah KH Ahmad Dahlan. Kisahnya dengan Kauman, menggugah jiwa. Terakhir, juga dilengkapi suasana ”tempat peristirahatan terakhir” dari sang ulama yang ketika hidup tampak tak lelah berdakwah.
Tentu, banyak yang bisa kita teladani. Misalnya, pertama, sikap sederhana di keseharian. Kedua, sikap istiqomah dalam menjalankan amanah nahi munkar dan amar makruf.
Alhasil, buah perjuangan dan dakwah KH Ahmad Dahlan yang luar biasa dapat menginspirasi siapa saja. Bahwa, saat tulisan ini dibuat, Muhammadiyah telah ada di 30 negara dan hadir di lima benua. Alhamdulillah, Allahu Akbar! []